Tanggal: 2006 Nov 18 11:08
Judul: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Pemberangusan Serikat Pekerja di Harian Kompas !!!
Saya prihatin atas peristiwa yang menimpa Mas Wis,
yang telah bersusah payah memperjuangkan hak-hak teman
di Kompas.
Dan bila harus dibuang ke Ambon, kok kesannya seperti
tahanan politik yang harus disingkirkan.
Dua minggu lalu, saya bertemu dengan wartawan Kompas,
dan ia menceritakan tentang kemelut di perusahaannya.
Dengan perasaan gembira ia mengabarkan kepada saya
bahwa perjuangan untuk mendapatkan deviden 20% bisa
berhasil (walaupun harus kehilangan saham).
Namun saya sempat menanyakan kepada teman tersebut,
apakah semudah itu perusahaan akan meloloskan
permintaan para karyawan? Pasti akan berbuntut ke
pengadilan.
Ini merujuk kepada pengalaman yang dialami di berbagai
perusahaan surat kabar. Tidak ada satupun perusahaan
surat kabar yang memiliki serikat pekerja. Telah
banyak korban yang harus keluar (dipecat) dari tempat
mereka bekerja gara-gara melontarkan ide membentuk
serikat pekerja.
Saya ingat kata-kata almarhum Valens Doy, wartawan
senior Kompas yang pernah mengatakan kepada saya:
''Kamu harus siap masuk ke wilayah yang isinya
orang-orang yang melanggar demokrasi. Tidak ada
demokrasi di surat kabar.''
Kalimat itu semula tidak saya percayai. Mengapa para
wartawan yang selama ini giat menyuarakan kepentingan
masyarakat, justru di organisasinya tidak ada
demokrasi.
Namun setelah saya menjalani profesi tersebut lebih
dari 10 tahun, saya benar-benar merasakan bahwa
demokrasi sengaja tidak ditumbuhkan.
Ada teman membuat polling perlu tidak serikat pekerja,
langsung diminta OUT. Pendapat yang berbeda pun bisa
dianggap pembangkang, dll.
Dan pada akhirnya banyak karyawan yang akhirnya
menempuh jalan ke pengadilan untuk menuntut
perusahaan. Ada perusahaan yang harus menelan
kekalahan telak, dan wajib membayar ganti rugi
Saya sempat menanyakan kepada beberapa orang yang
tidak setuju dengan adanya serikat pekerja. Alasannya,
perusahaan tidak mau merugi karena bila ada PHK
terhadap karyawan, perusahaan harus memberikan
kompensasi kepada karyawan sesuai UU Tenaga Kerja.
Dengan tidak ada SP, maka perusahaan bisa menentukan
sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan. INTINYA
tidak mau rugi.
Padahal kehadiran SP ini sebagai mediasi untuk
menyelesaikan konflik antara karyawan dengan
perusahaan. Namun selama ini ada anggapan SP menjadi
sebuah kendaraan politik karyawan untuk memeras
perusahaan. Sehingga perusahaan pun buru-buru
memberangus organisasi tersebut.
Padahal kenyataannya, gaji wartawan Indonesia masih di
bawah UMR (pernah ditulis di milis ini).
Bukankah sudah menjadi kebiasaan, kalau perusahaan
untung, maka tidak pernah dikabarkan berapa besar
keuntungannya.
Bila perusahaan rugi, mereka akan melakukan jumpa pers
dengan karyawan dan diminta untuk mengerti kondisi
perusahaan.
Ini seperti yang dialami Mas Wis dengan upaya
mendapatkan 20% deviden.
Adapun pembuangan Ambon, itu sama saja sebagai tanda
bahwa ybs diberi opsi apakah anda akan memilih menjadi
karyawan Kompas atau keluar.
Tindakan semacam itu memang sangat lazim di mana pun.
Selamat berjuang.....
--- Satrio Arismunandar
wrote:
> From: bambang wisudo bambangwisudo@yahoo.com
> (wartawan Harian Kompas)
>
> Untuk kawan-kawan yang setia,
>
> Saya bermaksud minta dukungan kawan-kawan terhadap
> kasus yang menimpa diri saya selaku sekretaris
> Perkumpulan Karyawan Kompas, serikat pekerja resmi
> di Harian Kompas.
>
> Baru-baru ini kami pengurus berhasil memaksa
> perusahaan bernegosiasi soal kejelasan kepemilikan
> saham kolektif karyawan Kompas. Kesepakatan telah
> ditandatangani. Meski kami kehilangan saham, kami
> bisa memperoleh jaminan untuk memperoleh deviden 20
> persen. Tapi sebelum kesepakatan dilaksanakan,
> minggu lalu muncul keputusan, empat orang pengurus
> dimutasi. Saya akan dibuang ke Ambon.
>
> Kawan-kawan tahu, bahwa ini pelanggaran serius
> terhadap UU Serikat Pekerja. Pembuangan saya sebagai
> aktivis SP jelas dengan maksud memberangus gerakan
> pekerja yang kami rintis sejak 1998. Menurut UU itu,
> pelanggarannya dikategorikan sebagai tindakan pidana
> dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau denda
> Rp 100 juta. Saya telah memutuskan untuk melakukan
> perlawanan. Saya akan membawa kasus ini ke pidana
> dan perdata.
>
> Berhubung usia saya yang sudah makin tua, tentu saja
> saya tidak bisa melawan sendiri. Di tubuh intern
> Kompas, saya sulit memperoleh solidaritas yang
> dinyatakan eksplisit. Mereka takut, termasuk
> sebagian besar dari anggota AJI di sana yang
> jumlahnya sangat sedikit. Saya minta tolong pada
> kawan-kawan untuk melakukan advokasi. Masalah ini
> telah bicaraan dengan pengurus AJI Indonesia dan AJI
> Jakarta. Minggu depan saya resmi membuat pengaduan.
>
>
> Terima kasih
>
> P Bambang Wisudo
> Koordinator Divisi Etik dan Profesi AJI
No comments:
Post a Comment