Jakarta, Kompas - Pavel V Korol (49), ilmuwan dan praktisi pertambangan asal Rusia, telah mengajukan proposal ke sejumlah kementerian di Indonesia untuk menghentikan semburan air dan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.
Pavel, Minggu malam lalu di Jakarta menegaskan, 90 persen risiko akan ditanggungnya. Pemerintah Indonesia tidak perlu membayarnya jika teknologi yang ditawarkan itu gagal mematikan semburan lumpur yang telah menenggelamkan empat desa, dan mengakibatkan sekitar 12.000 jiwa harus mengungsi itu.
"Terus-terang sekarang ini pesoalannya seperti persoalan politik bukan? Kalau tidak diambil sampai kapan masyarakat di sana akan terus menderita? Karena itu saya mengajukan proposal ini. No cure no pay! (kalau tidak selesai masalahnya tidak perlu bayar)," kata Pavel menegaskan kepada Kompas bahwa ia sangat serius dengan tawaran teknologinya.
Ia didampingi Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Susanto Pudjomartono, dan Irzal Chaniago, Presiden Asosisasi Teknologi Adiguna Rusia-Indonesia (Astari). Secara khusus, Pavel juga sudah meninjau sejumlah lokasi semburan lumpur di Sidoarjo pekan lalu.
Tiga teori
Ia menjelaskan tiga hal mendasar dari teknologi yang ditawarkannya. Pertama ia tidak sependapat bahwa kejadian semburan lumpur di Sidoarjo sebagai bagiandari aktivitas gunung lumpur atau mud volcano yang umumnya diterima publik.
Karena itu, semburan lumpur itu masih mungkin dikendalikan, dan dimatikan alirannya. Masalah seperti itu, adalah kajadian atau kasus yang tidak luar biasa.
"Tetapi kalau terus dibiarkan, sudah jelas risikonya, yaitu makin banyak orang menderita, dan mungkin ia akan menjadi mud vulcano," kata Pavel.
Kedua, teknologi yang ditawarkannya adalah gabungan penggunanaan tekanan yang sangat besar (sekiar 1.000 atmosphere/ATM), dan teknologi "selubung payung". Jika selama ini teknologi tekanan besar digunakan justru untuk "memompa" kandungan bumi seperti minyak dan gas, tekanan udara yang digunakannya justru untuk menghentikan semburan air dan lumpur tadi ke atas.
Sedangkan yang dimaksud selubung payung (dia menyebut nya teknologi umbrella), adalah lapisan-lapisan selubung dari bahan polimer pada radius tertentu mengelilingi atau di sekitar lubang-lubang semburan lumpur. Zat polimer, diketahui merupakan "adonan" yang akan berubah menjadi keras menyerupai karet pada saat kering. Tentu saja, "lapisan" atau "konstruksi" payung itu letaknya di kedalaman tertentu, sekitar 3.000 kaki.
Kalau aliran lumpur tidak tertutup juga, maka akan dibuat payung kedua, ketiga, dan seterusnya pada kedalaman dan lokasi berbeda. Tujuannya untuk menutup rekahan-rekahan batuan/lapisan tanah yang sudah menjadi aliran lumpur atau yang belum jadi "jalan" aliran lumpur.
Langkah pembuatan payung (lihat grafis), dimulai dengan membuat jendela (bukaan) masing-masing 3.000 kaki, mengebor lajur tepi (sidetrack), hingga 3.500 kaki, memasang cashing, masing-masing 3.500 kaki, mengebor bagian lateral (menyamping) sepanjang 500 meter ke depan, meretakkan/memecahkan batuan secara hidrolik dan mengisinya dengan "semen" dari polimer tadi.
Pada saat seluruh "radius" ledakan/rembesan lumpur sudah terkendali oleh payung polimer, pada saat itulah lubang semburan yang utama mulai ditangani dengan menutupnya dengan hydro-packing bertekanan besar, serta polimer.
"Teknologi yang ditawarkan ini menggunakan cara berpikir tebalik. Dia justru menggunakan hydro packing dan tekanan tinggi menahan semburan dari dalam," kata Irzal menambahkan.
Pembiayaan
Pavel menjelaskan, proposal itu telah diajukannya ke depan staf ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar, dan staf ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pekan lalu.
"Proposal ini pada dasarnya 90 persen risiko pada saya. Nilai 90 persen itu dibayar jika pekerjaan selesai, dan lumpur mati," katanya.
Sedangkan 10 persen yang harus disediakan pemerintah atau Lapindo, sepenuhnya hanya untuk mendatangkan peralatan, dan SDM yang menangani teknologi. Belum termasuk fee untuk Pavel dan timnya.
Nilai 10 persen sebagai uang muka itu, ,jumlahnya sekitar 50.000 dollar AS. "Tidak besar, dibanding jumlah yang telah dikeluarkan Lapindo tiap hari," katanya.
Kedatangan Pavel ke Indonesia, diakui oleh Susanto Pudjomartono atas inisitifnya. Ilmuwan yang malang melintang di berbagai perusahaan pertambangan Kanada, AS, Siberia, Kazakstan, maupun Kamzatka itu, sebelumnya bertemu dengan mantan Dubes Indonesia untuk Rusia Rachmat Witoelar. Lalu Witoelar dan Susanto sepakat, untuk memperkenalkan Pavel membantu mengatasi semburan lumpur.
"Apa yang bisa kami lakukan, kami lakukan. Ini demi bangsa kita yang terus menderita akibat bencana lumpur ini. Apalagi Bapak Presiden akan berkunjung ke Rusia 30 November-1 Desember nanti," kata Susanto.
Irzal mendukung langkah Susanto, karena tawaran Pavel merupakan bagian dari alih teknologi antarkedua bangsa. (HRD)
------------------
KOMPAS
Kamis, 26 Oktober 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
No comments:
Post a Comment