Sebagai “aktor” yang dipercaya memerankan Cheng Ho dalam film kolosal “Admiral Zheng He” yang diproduksi Kantana Ltd (Thailand), Hengdian Movie Corp (China) dan Jupiter Film (Indonesia), saya senang membaca minat yang begitu antusias tentang Laksamana Cheng Ho. Dari sudut pandang politik, riwayat Cheng Ho memang menarik. Ia seorang Muslim dari Propinsi Yunan, yang telah memeluk agama itu sejak beberapa generasi. Ayahnya Ma Hazi (Haji Ma)ikut memberontak dan terbunuh. Ibu dan adik-adik Ma He (nama asli Cheng Ho) tertawan dan akan dibunuh. Cheng Ho kecil (10 tahun), memohon agar ibu dan adik-adiknya dibebaskan, dengan imbalalan dia bersedia dikebiri untuk dijadikan “abdi dalem” istana. Cheng dikenal cerdas, berani dan berbudi baik. Dia membaca banyak buku di perustakaan Pengeran Chen Chui Ti. Dia paham bahasa Arab dan Persia.Perkembangan selanjutnya, dia menjadi ahli strategi militer dan membantu Pengeran Chui Ti mengambil alih kekuasaan Kaisar Chen Chu Wen yang terkenal kejam melalui perang besar. Mereka menyerang ibu kota Nanjing dari Beijing selama tiga tahun. Kaisar Chen (Ming) Chui dengan bentuan Cheng Ho berhasil menyatukan seluruh daratan China dan membangun negara menjadi maju. Dalam dialog antara Cheng Ho dan Kaisar, timbullah idea bahwa Tiongkok tidak perlu meneruskan kebijakan Dinasti sebelumnya (Yuan, dinasti Manchu)yang ekspansionis dan menjajah. Tiongkok sudah terlalu besar. Kaisar baru dan Cheng Ho kemudian berambisi membangun perdamaian dunia, persahabatan dan kerjasama dengan semua bangsa. Dari sinilah timbul idea Cheng Ho untuk membangun armada besar yang akan menjalankan misi muhibah damai ke seluruh penjuru dunia. Walaupun ada pro-kontra, namun Kaisar setuju dengan ide itu, dan Cheng Ho pula yang diangkat sebagai laksamana. Cheng Ho memang Muslim secara turun temurun. Sebagian orang China percaya Cheng Ho adalah keturunan kesekian dari Rasulullah. Wallahu ‘alam. Bahwa belakangan ada masjid Cheng Ho dan Kelenteng Sam Po Kong, itu adalah bagian dari impak kisah sejarah. Umat Islam menghargai misi damai Cheng Ho dan mendirikan masjid menggunakan namanya, untuk mengenang kehadirannya dalam panggung sejarah. Orang-orang China perantauan, meyakini bahwa setelah Cheng Ho mati, ruhnya menjadi “dewa”, yang dinamai Sam Po Kong, artinya Dewa Laut yang melindungi setiap pelayar dan orang-orang China di perantauan. Barangkali, sebagai Muslim Cheng Ho sendiri tak setuju anggapan ruhnya menjadi dewa. Namun itulah kenyataan sosiologis dan sejarah yang tak dapat ditolaknya. Masjid Cheng Ho ada di Surabaya, juga sedang dibangun di Palembang. Cheng Ho sendiri pernah medirikan kelenteng atas perintah Kaisar. Kelenteng itu dibangun dengan uang sisa berlayar yang dikembalikan Cheng Ho. Kelenteng itu berdiri di Nanjing sampai sekarang dan dinamakan Kelenteng Tan Po En. Dalam film Cheng Ho, ada dialog antara Cheng Ho dan Wang Ching Hong tentang pembangunan kelenteng itu. Kata Cheng Ho, saya agak heran, mengapa kaisar menyuruh saya membangun kelenteng, padahal dia lebih daripada tahu, kalau saya seorang Muslim. Wang menjawab, pertama, uang yang digunakan ialah, uang sisa berlayar yang kau kembalikan. Kedua, kaisar tahu, anda orang yang sangat jujur. Pasti uang pembangunan kelenteng ini tidak akan dimakan untuk keperluan sendiri. Ketiga, Kaisar tahu, anda begitu menghormati penganut agama-agama lain. Demikian, dialog dengan Wang Ching Hong. Dalam sejarah, Wang wafat di Semarang. Dia dimakamkan di desa Simongan dan dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai “Makam Kiyai Juru Mudi”. Wang memang nakhoda kapal Ba Coan, kapal induk yang mengomando 300 buah kapal armada Cheng Ho. Dekat makam Wang mula-mula dibangun sebuah mushola, untuk mengenangnya sebagai seorang Muslim yang taat. Konon, Wang membantu Sunan Bonang menyebarkan agama Islam,atas perintah Cheng Ho, sehingga dia dikenal pula dengan nama Dompu Awang (berasal dari nama depannya Wang). Benar atau tidaknya hal ini, wallahu’alam. Tiga ratus kemudian, masyarakat Cina Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong di area makam Wang. Akhirnya mushola itu, kini berada di dalam kompleks Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu, Semarang. Banyak orang bertanya kepada saya, mengapa syuting film Cheng Ho tidak dilakukan di kelenteng Gedung Batu, Semarang. Jawab saya, kelenteng itu baru ada 300 tahun kemudian setelah pendaratan Cheng Ho di tempat itu. Tidak mungkin syuting di tempat itu. Syuting tentang Simongan dilakukan di gua-gua dekat Pantai Pangandaran, Ciamis, yang dibuat seakan-akan Simongan pada awal abad ke 15.
Terima kasih dan salam hormat saya.
Yusril Ihza Mahendra.
Wednesday, November 21, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
No comments:
Post a Comment