Sdr. Bimosetyop, saya tidak punya blog. Mohon maaf, saya agak awam soal komputer dan internet. Kebetulan saja saya membaca forum ini, dan hati saya tergerak untuk sedikit memberikan sumbangan informasi. Barangkali ada gunanya bagi pembaca yang lain.
Untuk Sdr. Oon, entahlah apakah saya bersedia untuk menjadi calon Presiden di tahun yang akan datang. Dunia perpolitikan kita sungguh tidak sehat dan kadang-kadang bikin gerah. Di era keterbukaan dan kebebasan sekarang ini, orang bisa berbicara apa saja dan berbuat apa saja. Segala fitnah, hujatan, sumpah serapah dengan mudah dilontarkan melalui berbagai media. Apa yang penting nampaknya, bukanlah kebenaran, tetapi membangun citra atau imej yang buruk tentang seseorang.Tidak jarang hukum dipermainkan demi kepentingan politik. Masyarakat kita belum sepenuhnya kritis, dan tidak jarang dengan begitu mudah opini mereka dipengaruhi oleh pemberitaan, editorial, dan sejenisnya. Semua informasi dikira benar dan obyektif. Padahal, semua media tidak sunyi dari berbagai kepentingan, langsung maupun tidak langsung. Pemberitaan seringkali sepihak, berat sebelah, menggunakan kata-kata yang sarat nilai dan mengandung konotasi negatif. Saya hanyalah seorang yang berasal dari partai kecil, dengan dana yang sangat minim. Saya juga berasal dari Pulau Belitung yang kecil, dan dari suku bangsa yang juga kecil jumlahnya. Saya tidak sanggup menggalang opini publik dengan menjalin kolaborasi dengan mereka yang bekerja di balik media. Semua itu memerlukan dana besar. Ambisi saya dalam dunia politik, tidaklah terlalu besar. Hanya nasib dan perjalanan hidup yang mendorong saya terlibat dalam panggung politik.
Anda tentu masih ingat, dalam sidang MPR tahun 1999, hanya ada tiga calon Presiden yang disahkan oleh paripurna, yakni Megawati, Gus Dur dan saya. Dalam kalkulasi kami, dalam pilihan putaran pertama, Gus Dur akan kalah, sehingga tinggal Megawati dan saya yang akan maju ke putaran kedua. Kalkulasi kami ketika itu, Mega didukung oleh 305, saya 232 dan Gus Dur 185. Dalam putaran kedua, tergantung kepada eks pendukung Gus Dur, pilih Mega atau pilih saya. Mungkin saja akan terjadi kompromi, Mega menjadi Presiden, saya menjadi wakilnya, atau kami maju terus untuk memastikan siapa yang akan menang, Mega atau saya. Namun, walau tinggal beberapa langkah saja untuk menjadi Presiden atau Wapres, saya toh mundur dari pencalonan, beberapa menit menjelang pemilihan. Ambisi saya tidak terlalu besar. Tiga kali saya menjadi menteri dengan segala suka-dukanya. Seribu kebaikan yang dikerjakan, seakan begitu mudah dilupakan orang. Namun satu perbuatan, yang belum tentu salah — seperti kasus AFIS dan Bank Paribas London — namun dianggap salah oleh media, akan setiap hari di blow up dengan headline, talk show, runing text dan sebagainya. Saya seolah tidak mendapatkan porsi yang wajar untuk mengklarifikasi, menjelaskan, apalagi membela diri. Sebagai manusia, kadang-kadang saya berpikir, nama baik, harkat dan martabat serta kehormatan adalah jauh lebih berharga dari segala macam pangkat dan jabatan.
Dua kali saya diberhentikan sebagai menteri, tanpa membuat saya marah dan dendam. Gus Dur terpilih menjadi Presiden, karena saya mundur dari pencalonan, dan suara pendukung saya seluruhnya dialihkan ke Gus Dur. Saya menjadi menteri di bawahnya. Namun suatu hari Gus Dur memanggil saya dan memberhentikan saya. Saya hanya tertawa. Begitu pula dengan SBY. Yang mencalonkan SBY-JK ke KPU adalah koalisi dua partai, Demokrat dan PBB. JK ketika itu sedang diberi sanksi diberhentikan sementara keanggotaannya di Golkar. Budisusilo dan saya, masing-masing Ketua Demokrat dan PBB yang menandatangani pencalonan kedua beliau itu. Belakangan ditambah dengan Edy Sudrajat, Ketua PKPI. Setelah terpilih, saya lagi-lagi diangkat menjadi menteri. Namun kemudian SBY memberhentikan saya karena “adanya desakan publik” (mungkin melalui media), seraya memohon maaf atas keputusannya itu dengan mengingat peranan dan sumbangan yang telah saya berikan kepada beliau, baik sebelum maupun setelah menjadi Presiden. Demikian kata beliau dalam surat pribadinya yang ditujukan kepada saya. Saya tidak marah, apalagi dendam. Biarkanlah semua itu berlalu.
Politik, bukanlah satu-satunya lahan untuk saya berbuat dan mengabdi. Banyak hal yang saya minati, termasuk dunia akademis, dunia keagamaan, dunia seni, arsitektur, arkeologi, bahkan juga dunia masak-memasak.Saya belum memutuskan apa-apa untuk tahun 2009. Saya ingin mengikuti perkembangan lebih dulu, sebelum memutuskan apa yang saya anggap terbaik. Sekarang saya hanya sibuk dalam pembuatan film Cheng Ho. Saya senang, karena banyak aktor besar dan ternama ikut bermain dalam film ini. Mereka dari China, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Dari negara kita sendiri, saya suprise karena aktor besar seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim dan Nurul Arifin, ikut bermain dalam enam episode film ini. Kadang-kadang, saya sungguh malu dengan mereka. Saya yang awam dan pendatang baru, diberi peran utama, sementara para aktor besar, tidak dalam posisi seperti itu. Namun saya ingin belajar dari pengalaman dan wawasan mereka. Sdr. Oon, sudah terlalu panjang penjelasan saya ini. Saya mohon maaf dan terima kasih atas perhatian Sdr.
Yusril Ihza Mahendra
Dipetik dari : http://yulian.firdaus.or.id/2005/06/24/cheng-ho-laksamana-agung-dari-china/#comment-126091
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
No comments:
Post a Comment