MEMBACA KEGAGALAN REZIM MARXISME & KAPITALISME
Catatan singkat Ikranagara
Dalam blog internet "IndoProgress" saya dapatkan artikel yang ditulis
oleh Coen Husein Pontoh berjudul "Depolitisasi Pasca Mao". Di sana
dipaparkan depolitisasi yang terjadi di RRC-Deng yang dimaknai dengan
kaca mata gerakan Kiri Baru oleh Hui dan tampaknya diadopsi dalam
artikel Coen ini, yang menurut pendapat saya mereka masih tetap dalam
paradigma berfikir/menganalisis dengan pendekatan yang Marxistis
juga. Padahal sudah jelas kegagalan RRC-Mao dan Uni Soviet dalam cita-
cita dan usaha mereka membangun "sorga di muka bumi" yang disebut
Masyarakat Komunis yang cetakbirunya adalah sistem ekonomi Marxis.
Marxisme itu tidak pernah terbukti berhasil memberikan pertumbuhan
ekonomi dan demokrasi politik, karenanya yang dilahirkan di Uni
Soviet (almarhim) dan RRC-Mao (almarhum) adalah, pada strata
ekoniminya berupa pemerataan kemiskinan alias "neraka di dunia" dan
bukan "sorga di dunia"; dan pada strata politiknya kediktatoran atas
nama "diktator proletariat" yang jelas-jelas anti demokrasi. Deng
membuang system akonomi Marxis yang hanya melahirkan pemerataan
kemiskinan alias "neraka di dunia" itu, tetapi tetap mempertahankan
system politik kediktatoran yang mengandalkan kepada okol intel,
polisi dan militer.
Seorang pemudi menulis memoirnya, yaitu pengalamannya sebagai pemudi
di zaman Mao dan Revolusi Kebudayaan, dalam bukunya berjudul "Red
Azelea" dengan jitu mengungkpkan dua hal tersebut. Dia adalah Ancee
Min. Buku yang bahasanya sederhana tanpa bunga-bunga kata, secara
langsung dan polos mengungkpakan semuanya dari sudut pandang
kemanusiaannya, sehingga kita bisa merasakan suka-dukanya hidup di
zaman serba melarat dan dikuasai oleh politik pengekangan yang
dilakukan penguasa atas nama ideology negara, pada tingkat rakyat
kecil seperti Ancee Min dan tetangga-tetangganya, serta lingkungan
pergaulannya sehari-hari. Kemelaratan zaman itu pun sekarang ini
masih juga tampak di kalangan kaum urbanis di kota-kota besar seperti
Beijing dan Shanghai di RRC, sebagai akibat pemiskinan struktural
dari masa lampau (Mao) dan masa sekarang (Deng), terungkapkan dalam
film dokumenter yang dibuat oleh PBS.
Dari 7 bekas negara jajahan Uni Soviet di Asia tengah ada 7 film
dokumrnter yang menggambarkan tentang nasib wanita di sana, sebagai
warisan dari zaman Uni Soviet masih hidup. Dalam film produksi Open
Society itu terungkapkan kemiskinan di tingkat rakyat yang sampai
sekarang belum tertalangi, ditambah lagi bagaimana rendahnya
pandangan masyarakat terhadap gender wanita di sana. Film itu dengan
jitu menggambarkan bagaimana terbelakangnya kehidupan di bekas-bekas
jajahan Uni Soviet di Asia Tengah itu.
DUA TEMPURUNG
Itulah yang bisa kita baca pada domenta kehidupan rakyat-rakyat di
alam Uni Soviet dan RRC-Mao yang menunjukkan kegagalan sistem
Marxisme di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Padahal
sekian puluh tahun waktu telah dihabiskan oleh kedua rezim tersebut,
juga sekian juta nyawa dipersempahkan sebagai korban sesajen untuk
sabda-sabda sosial, politik, ekonomi, budaya, filsafat, dll yang
tercatat dalam kitab suci "Das Kapital" karya Dewa Marx (Penganut
Materialisme yang Hegelian) itu.
Karenanya, usaha Wang Hui, dan tampaknya seperti diamini oleh Coen,
adalah tak lebih dari usaha menegakkan benang basah belaka, karena
jelas membutakan diri terhadap hubungan genealogis antara kegagalan
sebagai realitas di hilirnya dan Marxisme sebagai pangkal
berangkatnya pergerakan di hulunya.
Ketidakmampuan membaca genealogi permasalahannya itulah, maka
akibatnya pemikir-pemikir Marxis seperti Wang Hui dan Coen Husain
Pontoh dan kameradnya akan selalu terjebak untuk tetap berkutat di
dalam kubangan di bawah tempurung Marxisme terus sampai akhir
zaman. "No exit!" (pinjam judul drama Sartre) itulah yang terjadi
pada para pemikir Marxis ini.
Deng sudah benar dengan berani keluar dari tempurung Marxisme itu,
tetapi sayangnya dia terjebak oleh Berkeley Mafia, seakan-akan
mengamini pernyataan Margareth Tatcher yang menyatakan tidak ada
system ekonomi yang lain di luar Kapitalisme Neo-liberal. Padahal
jelas terbukti di mana-mana sistem ini hanya mampu memberikan
pertumbuhan ekonomi tapi tidak punya sistem pemerataan kecuali apa
yang diharapkan dari teori trickle down effect itu saja, maka
akibatnya akan selalu ada kesenjangan sosial-ekonomi antara yang
diperkaya dengan yang dimiskinkan oleh struktur yang ada di dalam
sistemnya itu.
Pertumbuhan ekonomi yang dibawa oleh Kapitalisme Neo-liberal itu
adalah berupa lahirnya para konglomerat yang kuat dalam jumlah
segelintir manusia saja, dan kelas menengah yang lumyan jumlahnya
tapi tetap tak berdaya bagaikan busa yang mudah dihempaskan oleh
gelombang "boom and bust" yang juga tak terhindarkan di dalam sistem
ini, dan akhirnya selebihnya adalah yang tergolong tidak kaya, miskin
atau di bawah garis kemiskinan. Inilah kubangan lain lagi, yaitu yang
berada di bawah tempurung system Kapitalisme Neo-Liberal.
Harusnya Deng jangan keburu begitu dalam mencari jalan keluar dari
realitas kegagalan Marxisme itu. Bahwa perlakuannya terhadap Marxisme
sudah benar, yakni harus diperlakukan dengan "forget it!" dan juga
seharusnya menolak Kapitalisme Neo-Liberal yang diajarkan oleh
Berkeley Mafia. Tapi natanya RRC mengundang profesor Berkeley Mafia
untuk mengajarkan ilmu ekonomi kapitalis di Nanjing University
sebagai awal usaha memasuki era ekonomi Kapitalisme untuk RRC.
Sementara system ekonominya sudah berobah, sistem politiknya tetap
otoriterian "diktator proletariat" warisan dari Marxisme.
ALTERNATIF DI LUAR TEMPURUNG
Kelompok pemikir dan peneliti yang bergabung di dalam Forum on
Globalization (IFG) telah melakukan telaah terhadap dampak
globalisasi Kapitalsime Neo-Liberal ini, sebagaimana bisa dibaca
hasilnya berupa kumpulan tulisan para ahli berbagai bidang dalam "The
Case Against the Global Economy" (1996) itu. Kelompok ini juga
menawarkan jalan keluarnya, yang jelas bukan Marxisme, melainkan
mereka rumuskan dalam kumpulan tulisan dalam buku "Alternatives to
Economic Globalization" (2002). Seperti juga diungkapkan dalam dua
buku David C. Korten "When Corporations Rule the World" (1995)
dan "The Post-Corporate World" (1999).
Buku-buku semacam itu, yang memuat pandangan-pandangan alternatif di
luar Kapitalisme Neo-Liberal dan Marxisme sudah banyak beredar, dan
pengaruhnya besar sekarang, baik di AS maupun di Amerika Latin dan
Eropah. Jadi, Tatcher tidak benar, karena masih banyak alternatif
lain di luar yang dua itu. Yang pertama harus dilakukan adalah
menempatkan yang dua warisan masa lampau itu sebagai model yang sudah
kedaluwarsa. Ucapkanlah "forget them!" dan mulailah dengan
mempertimbangkan sejumlah tawaran alternatif, mana yang pas untuk
lokal masing-masing. Kalau tidak ada yang pas, maka carilah dari
menelaah lokal sendiri untuk mendapatkan diagnose yang pas untuk
lokalnya itu. Forget IMF dan lain-lain itu!
Di Amerika Latin, yang menonjol adalah pengaruh pemikiran para
pencari alternatif ini pada Presiden Brazil yang terkenal dengan nama
panggilan "Mr Lula" dalam praktiknya sebagai pemimpin --- dan dia
sukses, antara lain telah menghilangkan kemiskinan struktural di
daerah urban perkotaan yang kemudian melahirkan ladang enerji etanol
sebagai alternatif terhadap oil. Etanol dibuat dari tebu. Dulunya
ladang-ladang ini ditinggalkan akibat urbanisasi dan industrialisasi
akibatnya daerah agraria berubah menjadi ladang penanaman bahan
narkotik. Tapi sekarang ladang-ladang itu menjadi sumber cikalbakal
ethanol! Dan pemerintah Lula melindungi petani tebu dari himpitan
pasar bebas (free market) yang bisa saja menjatuhkan harga pasar ke
titik rendah yang bisa merugikan petani tebu itu, dengan menerapkan
system pasar-adil (fair market).
Ini salah satu contoh bagaimana politik ekonomi bisa dicari di luar
Kapitalisme dan Marxisme/Komunisme. Bahwa Tatcher ternyata tidak
benar, sebab masih banyak alternatif di luar dua tempurung produk
para pemikir masa lampau itu.
==========
Tulisan Ikranagara ini merupakan respon setelah membaca
tulisan "Depolitisisasi Politik Pasca Mao"
Coen Husain Pontoh yang dapat dibaca di blog internet ini:
http://indoprogress.blogspot.com/2007/03/depolitisisasi-politik-pasca-
mao.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
No comments:
Post a Comment