Terus bermunculannya kasus-kasus gizi buruk yang endemik di berbagai wilayah di Indonesia sebenarnya bukan fenomena mengherankan untuk sebuah bangsa yang belum menganggap pembangunan sumber daya manusia—termasuk kesehatan dan pendidikan—sebagai investasi terpenting bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Di tingkat nasional, alokasi anggaran investasi sosial, seperti kesehatan dan pendidikan, sering menjadi hal yang pertama dikorbankan dalam kondisi ekonomi sedang sulit. Sementara di tingkat rumah tangga, kesehatan dan pendidikan juga belum menjadi isu penting dan masih dikalahkan oleh pengeluaran untuk konsumsi rokok.
Lonjakan jumlah anak balita penderita gizi buruk dari 1,8 juta (tahun 2005) menjadi 2,3 juta (2006), seperti diungkapkan Unicef pekan lalu, tentu membuat kita bertanya-tanya. Mengapa kasus gizi buruk terus meningkat, padahal kemiskinan menurut pemerintah mengalami penurunan dan kesejahteraan masyarakat juga mengalami peningkatan sebagaimana tergambar dari peningkatan pendapatan per kapita masyarakat.
Di luar 2,3 juta anak balita gizi buruk ini, masih ada 5 juta lebih yang juga mengalami gizi kurang. Jumlah bayi berstatus gizi buruk dan gizi kurang ini sekitar 28 persen dari total bayi di seluruh Indonesia.
Dari total bayi berstatus gizi buruk dan gizi kurang ini, sekitar 10 persen berakhir dengan kematian. Dari angka kematian bayi yang 37 per 1.000 kelahiran, separuhnya adalah akibat kurang gizi. Dengan kenyataan seperti ini, kita semestinya tidak bisa lagi menutup mata.
Dilihat dari sebaran wilayahnya, dari 343 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-Unicef tahun 2005, hanya delapan kabupaten yang memiliki prevalensi balita gizi buruk atau gizi kurang yang rendah (kurang dari 10 persen). Sebanyak 257 kabupaten/kota lainnya tergolong prevalensi tinggi dan 169 kabupaten/kota sangat tinggi.
Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata jauh lebih serius dari yang kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya menghinggapi bayi atau anak balita, tetapi semua kelompok umur. Perempuan adalah kelompok paling rentan, di samping anak-anak.
Dari sekitar 4 juta ibu hamil, separuhnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya kekurangan energi kronis (KEK). Dari ibu hamil dalam kondisi seperti itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi yang lahir dalam kondisi berat badan rendah.
Untuk anak usia sekolah, dari 31 juta anak, 11 juta di antaranya bertubuh pendek akibat gizi kurang dan 10 juta mengalami anemia gizi. Untuk kelompok usia remaja, dari 10 juta remaja putri (15-19 tahun), sebanyak 3,5 juta mengalami anemia gizi.
Untuk wanita usia subur (WUS), dari 118 juta WUS, sebanyak 11,5 juta di antaranya juga mengalami anemia gizi. Kurang energi kronis juga dialami 30 juta orang dari kelompok usia produktif. Kurang gizi juga dialami lansia, dengan jumlah penderita anemia gizi sekitar 5 juta orang.
Angka-angka di atas menunjukkan, Indonesia masih belum merdeka dari kelaparan dan juga kemiskinan sebagai akar penyebab utama malnutrisi.
Tingginya prevalensi anemia gizi pada wanita dan anak-anak ini akhirnya menciptakan lingkaran setan. Wanita penderita gizi kurang akan melahirkan anak- anak dengan berat badan rendah yang rentan terkena infeksi dan kematian. Jika bertahan hidup, mereka tak akan mampu tumbuh dan berkembang secara optimal.
Mereka juga mengalami gangguan kecerdasan, dan mengakibatkan potensi putus sekolah juga menjadi tinggi. Pada usia dewasa, dia tidak produktif sehingga akhirnya hanya akan menjadi beban bagi keluarganya dan juga perekonomian.
Karena kemiskinan dan gangguan kecerdasan akibat kurang gizi, lebih dari 50 persen anak perempuan di perkotaan dan lebih dari 80 persen anak perempuan di pedesaan tidak lagi bersekolah dan menikah muda.
Akibatnya, usia subur juga lebih lama dan jumlah anak yang dilahirkan lebih banyak. Ini mengakibatkan beban hidup mereka juga lebih berat dan semakin sulit bagi mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Pemberdayaan masyarakat
Fenomena kurang gizi sendiri disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, yakni kemiskinan, kondisi lingkungan, buruknya pelayanan kesehatan, dan kurangnya pemahaman mengenai gizi. Namun, penyebab paling utama adalah kemiskinan. Kemiskinan membuat ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas di tingkat rumah tangga juga rendah.
Sekitar 17,7 persen atau 39 juta penduduk Indonesia masih miskin. Jika ukuran garis kemiskinan 2 dollar AS yang dipakai, lebih dari 110 juta orang atau 53 persen dari total penduduk masih di bawah garis kemiskinan.
Oleh karena itu, tidak mungkin mengatasi masalah gizi buruk di masyarakat tanpa adanya upaya peningkatan ekonomi di tingkat rumah tangga. Ini menjadi persoalan besar dengan keterbatasan kemampuan perekonomian untuk menciptakan lapangan kerja sekarang ini.
Indonesia sebenarnya sudah banyak membuat kemajuan dalam menekan angka gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita, menjadi 37,5 persen (1989), 35,5 persen (1992), 31,6 persen (1995), 29,5 persen (1998), 26,4 persen (1999), dan 24,6 persen (2000). Akan tetapi, sejak tahun 2000 angka gizi buruk dan gizi kurang kembali meningkat, menjadi 26,1 persen (2001), 27,3 persen (2002), 27,5 persen (2003), dan 29 persen (2005).
Depkes mengakui, problem penanganan masalah gizi menghadapi tantangan lebih besar lagi pada era otonomi daerah. Pemerintah daerah yang diharapkan lebih berperan dalam upaya peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat, dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Di masa lalu, intervensi gizi oleh pemerintah juga bisa lebih cepat dilakukan dalam kasus ditemukan anak balita kurang gizi atau gizi buruk, antara lain karena masih berfungsinya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan tenaga-tenaga medis wajib praktik yang menjangkau hingga daerah-daerah terpelosok.
Sekarang, dari 250.000-an posyandu, tinggal 40 persen yang aktif sehingga hanya sekitar 43 persen anak balita yang terpantau. Tanpa kader-kader di lapangan, Depkes sendiri, seperti diakui Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, Sri Astuti S Suparmanto, tak akan bisa berbuat banyak.
Tertinggal
Dari sini, kita mestinya tak perlu heran mengapa indeks pembangunan manusia (IPM) semakin tertinggal, dan kita terus menjadi bangsa pesakitan yang tak bisa bersaing dengan negara lain. Kita juga tak kunjung keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan terbebas dari penyakit sosial seperti kelaparan.
Dibandingkan dengan negara- negara tetangga, angka kematian bayi dan ibu di Indonesia termasuk tinggi. Angka kematian bayi di Indonesia tahun 2004 adalah 37 per 1.000 kelahiran hidup. Sebagai perbandingan, Thailand 20 dan Malaysia hanya 6 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup. Angka harapan hidup di Indonesia juga lebih rendah daripada negara-negara tersebut.
Ironisnya, pada saat bersamaan, Indonesia semakin kewalahan menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke, dan diabetes.
Prof dr Hamam Hadi MS Sc D pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tahun 2005 menyebutkan, Indonesia kehilangan nilai ekonomi Rp 22,6 triliun atau 1,43 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2003 akibat prevalensi kurang gizi yang masih relatif tinggi.
Jika hingga tahun 2010 prevalensi dan tiga masalah utama gizi (gangguan akibat kekurangan yodium/GAKY, kekurangan energi kronis/KEP, dan anemia pada orang dewasa) belum diatasi, bangsa Indonesia akan kehilangan nilai ekonomis Rp 186,1 triliun. Sebaliknya, jika tiga masalah gizi utama bisa diatasi melalui intervensi gizi, akan dihasilkan nilai ekonomi Rp 55,8 triliun hingga tahun 2010.
Hamam sendiri melihat kebijakan pemerintah selama ini cenderung lebih menekankan pada upaya-upaya promotif dan preventif ketimbang upaya-upaya yang sifatnya promotif-preventif. Alokasi anggaran untuk upaya promotif-preventif tidak sampai 10 persen dari total anggaran bidang kesehatan, sementara untuk upaya kuratif mendapat alokasi 60-80 persen.
Tingginya kejadian luar biasa (KLB), termasuk gizi buruk sekarang ini, menurut Hamdi, adalah juga akibat kebijakan pembangunan kesehatan yang hanya responsif dan kagetan, atau simptomatif dan populis, bukan kausatif dan antisipatif terhadap masalah-masalah kesehatan yang dirumuskan secara lebih sistematis berdasarkan fakta di lapangan.
Untuk pemerintah daerah, Hamam melihat komitmen mereka terhadap pembangunan bidang kesehatan masih kurang. Padahal, pada era otonomi daerah, peran mereka sangat menentukan keberhasilan pembangunan bidang kesehatan dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Beberapa kalangan lain melihat, alokasi anggaran untuk kesehatan yang hanya 3 persen dari PDB juga menunjukkan tidak cukup kuatnya komitmen pemerintah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebagai perbandingan, Malaysia, Thailand, dan Filipina sendiri sekarang ini mengalokasikan 6-7 kali lipat anggaran lebih besar dibandingkan dengan Indonesia untuk pendidikan dan kesehatan.
Sri Astuti sendiri mengatakan, bukan saatnya saling menyalahkan. Menurut dia, Depkes sudah berusaha keras.
"Tugas dan tanggung jawab Depkes adalah regulator, fasilitator, dan membuat standar. Itu sudah kita kerjakan. Namun, hal tersebut tidak akan berjalan baik kalau pemerintah daerah sendiri tidak melihat strategi itu sebagai strategi mereka yang akan dioperasionalkan. Kebijakan kita adalah kebijakan Indonesia, tetapi harus diterjemahkan di pemerintah daerah. Kalau sekarang, dengan keadaan seperti itu, hanya Depkes yang dinilai, fair enggak?" ujarnya.
Menurut Sri Astuti, anggaran besar juga tidak menjamin program berjalan, tanpa adanya pemberdayaan masyarakat sendiri. "Sebetulnya, kalau kita efisien, jalan tuh. Dulu kan anggarannya enggak sampai segini, bisa jalan. Karena masyarakat di bawah itu melihat bahwa program ini milik mereka," ujarnya. Menurut Sri Astuti, masalah kesehatan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah atau Depkes.
Maraknya kasus gizi buruk juga membuktikan ketahanan pangan masyarakat sebenarnya masih belum terwujud. Ketahanan pangan yang di masa lalu dilumpuhkan oleh kebijakan swasembada beras dengan sistem monokulturnya, mestinya menjadi tantangan buat Departemen Pertanian kini dalam penyediaan pangan bagi rakyat.
Demikian pula, ini juga tantangan buat Depnaker dan departemen-departemen teknis lain di pemerintahan. Sebab, masalah gizi buruk ini muaranya akhirnya juga tergantung pada tingkat ekonomi penduduk dan ketersediaan lapangan kerja serta pangan yang bisa dijangkau, selain juga pemahaman mengenai gizi, yang lagi-lagi kalau dicari akarnya akhirnya tak jauh-jauh dari tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya memang masih rendah.
Depkes sendiri berpandangan, sama saja omong kosong mengurangi kemiskinan tanpa memperbaiki masalah gizi masyarakat. "Gizi bukan hanya isu kesejahteraan, isu hak asasi manusia, serta masalah pangan dan konsumsi, tetapi juga isu investasi. Meningkatkan gizi penduduk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi," ujar Direktur Gizi Masyarakat Depkes Ina Hernawati.
Tanpa itu, jangan berharap terlahir sumber daya manusia yang tangguh dan mampu bersaing atau perekonomian yang kuat. Tanpa itu, fenomena generasi yang hilang (lost generation), seperti dicemaskan Unicef, juga akan terus menghantui Indonesia.
KOMPAS, Sabtu 7 Oktober 2006
Oleh Sri Hartati Samhadi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
No comments:
Post a Comment