Dalam sebuah siklus ekonomi, pasang surut perekonomian merupakan sebuah hal yang lumrah terjadi. Sebuah siklus ekonomi, selalu melihatkan adanya fase lonjakan yang tanpa terelakkan akan disusul oleh sebuah peluruhan (bust).
Era Ekonomi Baru yang lahir setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet, telah menjadikan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal dan menandai kemenangan ekonomi pasar atas sosialisme. Kondisi pasar yang terjadi pada era ekonomi baru, bukan hanya kapitalisme mengalahkan komunisme, tetapi juga menjadikan kapitalisme versi Amerika yang didasari kegigihan individualisme mengalahkan versi-versi kapitalisme lain yang lebih lunak dan halus (Stiglitz, 2003).
Seiring proses globalisasi, maka terjadilah penyebaran kapitalisme gaya Amerika ke seluruh dunia. Semua pihak, pada awal era ekonomi baru seolah memperoleh manfaat dari tatanan Economia Americana. Tatanan ini mendorong peningkatan aliran dana yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari negara maju ke dunia berkembang, yakni enam kali lipat dalam enam tahun, peningkatan perdagangan yang mencapai 90% lebih dalam satu dekade, dan angka pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Kondisi ini diharapkan akan menciptakan lapangan kerja yang besar dan pertumbuhan kesejahteraan yang lebih baik. Inti kapitalisme era baru ini ditandai dengan kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi yang merevolusi cara dunia berbisnis. Ia juga mengubah laju perubahan teknologi itu sendiri dan meningkatkan tingkat pertumbuhan produktivitas ke taraf yang tidak tercapai dalam seperempat abad lebih.
Dunia pernah mengalami revolusi ekonomi pada abad 18-19, yakni Revolusi Industri, yang menggeser basis perekonomian dari pertanian ke manufaktur. Era Ekonomi Baru juga menunjukkan pergesaran perekonomian sebagaimana Revolusi Industri. Pergeseran yang terjadi pada Era Ekonomi Baru adalah pergeseran produksi “barang” (manufaktur) ke produksi “gagasan”. Ekonomi Baru, lebih memerlukan pengolahan informasi dibandingkan persediaan barang. Mulai pertengahan era 1990-an, sektor manufaktur menyusut mendekati 14% dari total output perekonomian. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja yang bahkan jauh lebih kecil dari era sebelumnya.
Berubahnya basis perekonomian dari manufaktur ke gagasan, menjadikan perusahaan teknologi menjadi primadona dalam lapangan bisnis era ekonomi baru. Perusahaan-perusahaan teknologi menjadi rebutan para investor untuk menginvestasikan dana mereka. Rebutan investor dalam mengiventasikan dananya pada suatu sektor dapat mengakibatkan munculnya “kegairahan irasional” dalam sebuah pasar. Perlu disadari, bahwa dalam ekonomi pasar, harga merupakan faktor penting guna membangun kepercayaan dan berfungsi sebagai sinyal yang menuntun alokasi sumber daya. Jika harga didasari oleh informasi mengenai fakta dasar suatu pasar tertentu, maka keputusan yang dibuat investor berdasarkan harga tersebut merupakan keputusan yang sehat. Dengan demikian, sumber daya akan dialokasikan dengan baik dan perkeonomian akan tumbuh dengan wajar.
Akan tetapi, apabila harga-harga sesungguhnya bersifat acak yang didasari oleh keranjingan irasional spekulator pasar, maka investasi akan kacau balau. Spekulasi muncul akibat terlalu mengandalkan kepercayaan pasar dibandingkan pengetahuan tentang pasar, dan kurang mengindahkan ekonomi riil yang melandasi pemilihan investasi. Hal tersebut memunculkan sebuah “kegairahan irasional”, sehingga harga-harga yang terjadi hanya didasari oleh keranjingan semata. Demi mengejar kenaikan harga dan keuntungan, para investor mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan normal perilaku investasi rasional. Mereka melakukan investasi di dalam pasar yang sebenarnya bercirikan risiko tinggi.
Perkembangan yang tidak rasional tersebut, menurut Gilpin & Gilpin (2000), merupakan tahap “mania” atau “gelembung” dalam bom. Pada saat tahap ini semakin cepat, maka harga dan laju penambahan uang yang dispekulasikan pun meningkat. Kemudian, pada titik tertentu pasar akan mencapai puncaknya. Beberapa investor dalam mulai mengkonversi investasinya ke bentuk uang atau memindahakan ke investasi lain, untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi berikutnya.Melihat hal itu, banayak spekulan yang sadar, bahwa “permainan” akan berkahir dan ikut menjual asset-asset investasi mereka. Lomba adu cepat untuk keluar dari asset-asset yang berisiko dan bernilai tinggi menjadi semakin sengit, dan pada akhirnya berubah menjadi gerombolan liar yang mengejar kualitas dan keamanan.
Peritiwa tersebut dapat menimbulkan sinyal pasar yang memicu kekacauan dan menyebabkan paniknya dunia keuangan. Kepanikan tersebut dapat berupa kegagalan bank, bangkutnya suatu perusahaan, atau sejumlah peristiwa yang tidak mendukung lainnya. Ketika para investor terburu-buru keluar dari pasar, harga-harga pun berjatuhan, kebangkutan meningkat, dan “gelembung” spekulasi akhirnya meletus yang menyebabkan harga ambruk. Kepanikan terjadi setelah para investor dengan putus asa mencoba menyelamatkan diri mereka sedapat mungkin. Kemudian, bank-bank menghentikan pinjaman yang menyebabkan remuknya kredit, satu resesi, atau bahkan mungkin depresi mengikutinya. Pada akhirnya, panic akan mereda dengan cara tertentu, ekonomi terpulihkan, dan pasar kembali pada kesetimbangan, setelah membayar sedemikian mahal.
Menurut Stiglitz (2003), selama bertahun-tahun, semakin banyak bukti bahwa pasar sering tidak berjalan dengan baik. Walaupun, hubungan antar harga saham dengan informasi masuk akal, tetapi seringkali naik turunnya harga tidak demikian. Fluktuasi pasar benar-benar acak. Sifat pasar yang acak dan tidak efisien mempunyai biaya yang mahal dan menyebabkan suatu perusahaan mendapatkan investasi berlebih, sementara sebagian perusahaan lain mendapatkan investasi telalu sedikit bahkan mungkin tidak dapat sama sekali.
Pertumbuhan ekonomi di era ekonomi baru yang seringkali diwarnai dengan kegairahan irasional, juga menimbulkan suatu kondisi lain. Kondisi tersebut melahirkan pemisahan yang semakin besar antara kepemilikan dengan pengelolaan korporasi. Pengelola perusahaan atas nama jutaan pemegang saham mengelola korporasi. Namun, pemegang saham awam sulit memahami apa yang sesungguhnya terjadi atas investasi mereka pada korporasi tersebut. Kondisi yang terjadi saat ini dikenal sebagai modal uang atau kapitalisme uang (Korten, 1999). Pemilik modal menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari realitas perdagangan praktis. Mereka menggantungkan hidup dari pendapatan yang diperoleh dari kepemilikan uang dan mengharapkan tabungan yang diinvestasikan semakin menumpuk, namun kondisi tersebut menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya.
Kapitalisme uang telah memberikan kesempatan kepada orang yang memiliki uang untuk meningkatkan tututan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. Aktivitas seperti itu, menyebabkan sejumlah kecil orang menjadi kaya tapi tidak produktif. Menurut Korten, ketidakmampuan kapitalisme uang untuk membedakan antara investasi yang produktif dan yang ektraktif merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khasnya. Berdasarkan logika kapitalisme uang, definisi uang adalah kekayaan, dan tujuan aktivitas ekonomi adalah bagaiman menciptakan uang sebanyak mungkin.
Dari sebuah studi yang dilakukan oleh Mc Kinsey, dilaporkan bahwa antara tahun 1980-1992, asset keuangan negara-negara OECD (the Organization for Economic Cooperation and Development, yang merupakan 29 negara industri utama) tumbuh dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan PDB mereka. Hal itu, menunjukkan bahwa tuntutan yang potensial terhadap hasil ekonomi berkembang dua kali lipat daripada laju pertumbuhan hasil itu sendiri. Pembesaran asset keuangan seperti itu, merupakan suatu distorsi ekonomi yang amat menyesatkan. Penyesatan itu terjadi, menurut Korten, karena pemindahan kekuasaan ekonomi dari orang yang menciptakan kekayaan yang sesungguhnya kepada orang membuat uang.
Menciptakan sebuah gelembung keuangan, telah menjadi salah satu cara membuat uang tanpa memberikan kontribusi produktif bagi sebagian orang. Seringkali terjadi, suatu lembaga mempromosikan sebuah skema invetasi yang tidak didukung oleh suatu aktivitas yang produktif. Banyak pemilik tabungan tergoda untuk ikut serta menanamkan investasinya akibat kepiawaian promosi yang dilakukan dengan janji keuntungan yang sangat besar setiap bulan. Oleh karena banyaknya dana yang masuk, dengan gampang pihak yang melakukan promosi tersebut memakai sebagian uang dari investor untuk membayar keuntungan-keuntungan yang telah dijanjikan kepada investor yang datang terlebih dahulu. Pembayaran keuntungan ini menimbulkan rasa percaya terhadap skema itu, sehingga menambah keyakinan banyak orang untuk berinvestasi. Akibatnya, banyak orang dicengkram demam spekulasi dan menjual asset mereka untuk ikut serta dalam keuntungan besar yang dijanjikan berupa harta kekayaan yang diperoleh tanpa susah
payah. Kemudian, pada titik tertentu, semua menjadi terbalik. Asset yang dipertaruhkan untuk mendapatkan kekayaan yang luar biasa, hanya menjadi impian kosong dengan hilangnya pihak yang seharusnya bertanggungjawab.
Gelembung keuangan (financial bubble) yang bersifat spekulatif tersebut melibatkan penawaran benda-benda yang jauh lebih besar daripada nilai yang sesungguhnya. Hal itu merupakan bentuk penipuan yang canggih dan terselubung serta memakan banyak korban. Menurut Korten (1999), kondisi itu, juga dapat terjadi dalam bursa dunia. Banyak orang berdasarkan keyakinan yang salah, bahwa membeli saham atau reksa dana akan menghasilkan keuangan yang produktif di masa depan. Akan tetapi, berdasarkan angka Federal Reserve tahun 1993, pendanaan saham yang dijual melalui penjualan saham baru hanya menyumbang empat persen terhadap seluruh modal keuangan dari perusahaan-perusahaan terbuka di Amerika Serikat. Sisa modal didapatkan dari pinjaman sebesar 14%, dan pendapatan yang ditahan sebesar 82%. Banyak orang tidak sadar, bahwa ternyata perusahaan-perusahaan tersebut lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli saham mereka sendiri dibandingkan dengan apa yang mereka terima dari penerbitan
saham-saham baru.
Era ekonomi baru telah membawa sebuah era di mana milyaran dolar dalam bentuk “investasi” baru mengalir amat deras ke pasar saham dan menaikkan harga-harga dengan kecepatan yan belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, aliran dana yang murni dari pasar saham ke perusahaan pada hakikatnya adalah negatif. Menurut Korten, sesungguhnya, pasar saham adalah sebuah kasino judi canggih dengan wataknya yang unik. Para pemain di pasar saham, melalui interaksinya, memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu, memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat yang lain.
Berjalannya permainan tersebut, dapat dirasakan dari krisis moneter Asia akibat perputaran pasar saham dunia yang berdampak terhadap kehidupan manusia-manusia sesungguhnya. Pada tahun 1997, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia. Kehancuran tersebut dimulai dari Thailand, dan kemudian dengan cepat mejalar, sebagaimana deretan kartu domino yang berjatuhan, ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan Hong Kong.
Pada fase mukjizat Asia, pemasukan mata uang asing yang besar dengan cepat mencetuskan gelembung-gelembung keuangan yang berkembang dalam saham dan real estate. Pertumbuhan yang cepat dalam impor dan penjualan barang-barang konsumsi mewah, menciptakan sebuah khayalan kemakmuran ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan suatu pertambahan dalam hasil produkstif yang sesungguhnya. Gelembung-gelembung yang semakin berkembang itu, lalu menarik lebih banyak uang lagi. Uang tersebut diciptakan oleh bank-bank internasional yang menerbitkan hutang yang diperoleh karena asset-asset yang digelembungkan itu. Hasil-hasil yang diperoleh dari investasi industri dan pertanian produktif tidak dapat bersaing dengan hasil-hasil yang diperoleh dari spekulasi saham dan real estate. Oleh karena itu, investasi asing yang masuk ke dalam sebuah negara, memperbanyak uang-uang yang mengalir keluar dari sektor-sektor produktif untuk ikut serta dalam ajang spekulasi.
Pada fase kehancuran, para investor bergegas menarik uang mereka keluar untuk mengantisipasi keambrukan. Harga saham dan real estate menjadi jatuh. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya dibiarkan begitu saja dengan sejumlah besar daftar hutang yang tidak dapat ditagih. Kehancuran keuangan mengancam karena likuiditas telah kering.
Untuk menyelamatkan kondisi tersebut, pemerintah membayarkan hutang-hutang para banker dan badan-badan investasi dengan uang pemerintah. Kemudian, IMF bergegas membantu dengan hutang darurat yang dijamin oleh pemerintah. Sebagai contoh, IMF memberikan bantuan USD 57 milyar kepada Korea Selatan pada bulan Desember 1997. Pasar saham Korea meningkat kembali dengan bergairah untuk seketika. Kemudian, para spekulator mengambil uang IMF itu dan melarikan diri. Akibatnya, pasar saham menderita kejatuhan 50% dan pembayar pajak Korea mendapatkan surat hutang IMF sebanyak USD 57 milyar ditambah dengan bunga yang harus dibayar dalam valuta asing.
Pengalaman Asia, mengajarkan, bahwa suatu kenyataan yang amat umum terjadi, yaitu kemampuan kapitalisme untuk menciptakan sebuah khayalan kemakmuran dengan jalan menciptakan demam spekulasi. Hal yang terjadi sebenarnya, adalah sebuah kenyataan yang menggerogoti aktivitas yang benar-benar produktif. Banyak pihak terhanyut dalam kehancuran gelembung-gelembung keuangan yang disebabkan oleh spekulasi uang di pasar saham dan peminjaman uang yang tidak bertanggungjawab oleh bank. Namun demikian, tampaknya para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme itu, tetap tidak mempan dan tidak paham terhadap perbedaan investasi produktif (yaitu menggunakan tabungan untuk menambah dasar modal produktif) di satu pihak, dan investasi yang ekstraktif (yaitu menghasilkan uang dengan jalan spekulasi untuk mengajukan tuntutan kekayaan orang lain yang benar-benar ada) di lain pihak.
Ketidakpahaman para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme uang tersebut, mungkin terkait dengan terjadinya transaksi keuangan internasional yang lebih besar daripada harga keseluruhan ekonomi global pada dekade terakhir. Volume perdagangan uang internasional mencapai USD 1,5 milyar per hari, atau meningkat delapan kali lipat dari dekade sebelumnya. Namun, sebaliknya volume ekspor barang dan jasa global selama satu tahun hanya USD 6,6 trilyun atau hanya USD 25 milyar per hari. Hal itu memperlihatkan, bahwa betapa mencoloknya perbedaan perdagangan riil dibandingkan dengan perdagangan asset-asset keuangan yang bersifat maya.
Logika kapitalisme uang yang kurang memperdulikan tindakan-tindakan dalam membuat tambahan bersih kepada hasil produk dan jasa, mengakibatkan tidak satu sen pun investasi dalam menciptakan atau mempertinggi suatu asset yang produktif. Tujuan kapitalisme uang hanya menambah keseluruhan nilai pasar dari surat-surat berharga yang diperdagangkan, sehingga hanya berfungsi untuk menciptakan gelembung-gelembung uang sementara. Gelembung-gelembung tersebut akan menambah tuntutan mereka yang memegang sekuritas dalam menghadapi kekayaan masyarakat yang sesungguhnya.
Dengan kondisi demikian, menurut Korten, kapitalisme uang telah melupakan produksi dan kepentingan-kepentingan kelas pekerja, masyarakat, dan alam. Logika kapitalisme uang, saat ini, sedang mengendalikan pembuatan kebijakan-kebijakan dalam ekonomi global, dan sedang menyebabkan keruntuhan keuangan dari sebuah negara ke negara lain. Di bawah kekuasaan kapitalisme uang, penghargaan akan jatuh kepada mereka yang membuat uang, bukan kepada pekerja yang digaji dan benar-benar membuat hal-hal yang para pembuat uang itu ingin membelinya.
Akhirnya teori ekonomi yang menyatakan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja tidak selalu menjadi kenyataan pada saat ini, dan telah menjadi teori yang usang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang disebabkan gelembung-gelembung keuangan tidak lebih dari sebuah fatamorgana yang menyilaukan.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Tanggal: 2006 Okt 3 07:22
Judul: [ekonomi-nasional] GELEMBUNG PEREKONOMIAN (Versi Lengkap)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
No comments:
Post a Comment