Wednesday, May 30, 2007

Senyum hari ini

Adalah seorang cowok yang macho en keren abis. Untuk ngebuktiin kejantanannya dia ikut lomba panco bisa DITEBAK DONK kalo dia menang. Disamping dapet tropi dia juga dapet duit yang jumlahnya lumayan. Nah sohibnya kagak terima kalo Wan Abud pemenang juara panco tadi diresmikan sebagai machoman. Dia tanya ke Wan Abud
" Wan, pernah ngerasain cewek ndak ?"
Wan Abud jawab dengan malu-malu
" Eh, be.. belum tuh.."
" Gitu kok bilang macho makanya ngerasain cewek dulu "
Alhasil mereka berdua pergi ke lokalisasi en karena pemula temannya memilihkan yang terseksi dan terhot tentu aja paling mahal.
Singkat cerita Wan Abud sudah berdua dengan cewek itu. Si cewek mulai sebel karena Wan Abud belum mulai pemanasan juga.
" Udah nyantai aja. Pelayanan aku itu ndak perlu dikuatirkan ketimun masuk keluar jadi acar."
Mendengar itu Wan Abud langsung lari dan temannya mengejar dan bertanya mengapa dia lari.
Wan Abud menjawab " Wah ketimun aja masuk keluar jadi acar apalagi punya saya. Entar masuk keluar jadi cornet beef.
Temannya terbengong-bengong........

--------------------


Bu Guru : Kenapa jakarta makin panas?
Ani : Karena pemanasan global, Bu.
Bu GUru : Bagus. Jawaban lain?
Ina : Karena ozon kita menipis, Bu.
Bu Guru : Bener juga. Coba sekarang saya tanya pendapat Amir.
Amir : Karena MATAHARI buka cabang dimana-mana

==========

from : http://lautan.indosiar.com/topic.asp?TOPIC_ID=26924&whichpage=5

Monday, May 28, 2007

Tim Indonesia Bangkit: Menuntut Kredibilitas dan Independensi BPS

Menuntut Kredibilitas dan Independensi BPS
-Tim Indonesia Bangkit-

“In God we trust. All others must bring data”. Pernyataan tersebut memberikan gambaran akan pentingnya makna sebuah data. Data akan menjelaskan keadaan yang sedang terjadi, dan dari gambaran tersebut kita akan mengambil keputusan terhadap langkah-langkah yang harus dilakukan.

Masalah utama yang seringkali dihadapi oleh para pengambil keputusan adalah akurasi pengukuran data dan metodologi yang digunakan. Data yang tidak akurat akan memberikan informasi yang menyesatkan dan dapat berdampak fatal. Dalam industri penerbangan, peran pengukuran sangat vital dan berkaitan langsung dengan keselamatan penumpang. Dengan berpatokan pada data yang dihasilkan oleh sistem navigasi yang tidak akurat, sebuah pesawat terbang akan mendarat di tempat yang tidak sesuai dengan tujuannya semula. Demikian juga dalam dunia kedokteran, peran data bagi seorang dokter sangatlah penting untuk menentukan jenis tindakan yang akan diberikan kepada pasien. Seorang dokter niscaya akan menuliskan resep yang salah, jika alat-alat ukur di laboratorium Rumah Sakit menghasilkan data yang tidak sesuai dengan kondisi pasien yang sebenarnya, yang pada gilirannya akan berakibat fatal bagi kesehatan si pasien.

Dalam kehidupan bernegara, kebutuhan akan data yang akurat malah lebih vital lagi karena tidak hanya menyangkut nasib orang per orang, tetapi menyangkut nasib 225 juta rakyat Indonesia. Oleh karena itu, BPS sebagai lembaga pengukur dan penghasil data utama di Indonesia perlu terus didorong untuk meningkatkan kredibilitas dan independensinya, baik dalam perhitungan maupun dalam presentasi data. Kredibilitas dibutuhkan agar data yang dikeluarkan BPS benar-benar akurat menggambarkan kondisi Indonesia yang sebenarnya. Sementara independensi dibutuhkan untuk memastikan data yang dihasilkan BPS bukanlah merupakan hasil dari intervensi kalangan tertentu yang bermental ”Asal Bapak Senang” sehingga justru tidak membantu menyelesaikan persoalan.

Tim Indonesia Bangkit (TIB) menilai BPS saat ini belum memenuhi kriteria independen dan kredibel seperti disebutkan di atas. Ada beberapa fakta yang mendasari penilaian tersebut, antara lain:

1. Keharusan BPS Berkoordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan

Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik, BPS dinyatakan akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Akan tetapi pada tahun 2005, ketika Bappenas dipimpin oleh Sri Mulyani, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, BPS akan dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, telah menjadi alat kendali atas independensi BPS dan membuka peluang pemerintah untuk mengintervensi data dan metodologi pengukuran data oleh BPS. Selama dua tahun terakhir, BPS bahkan harus mengkonsultasikan 5 (lima) indikator utama dengan sejumlah menteri bidang ekonomi beberapa waktu sebelum diumumkan ke publik. Keenam indikator tersebut adalah (1) Pertumbuhan Ekonomi (2) Pengangguran (3) Kemiskinan (4) Inflasi (5) Perdagangan Internasional atau Ekspor Impor.

Menurut Tim Indonesia Bangkit (TIB), posisi BPS seperti tersebut di atas sangatlah tidak wajar dan sangat rawan untuk diintervensi, terutama oleh tim ekonomi pemerintah. Seperti halnya di negara lain, pemerintah Indonesia juga sangat berkepentingan dengan keenam indikator tersebut karena menyangkut citra mereka di mata publik dalam maupun luar negeri.



2. Kredibilitas angka statistik yang meragukan

2.1 Pengukuran Inflasi yang Tidak Akurat

Kecurigaan Tim Indonesia Bangkit (TIB) akan adanya ketidakakuratan BPS dalam menghitung inflasi bermula pada kontradiksi antara data inflasi yang dilaporkan BPS dengan fakta kenaikan harga kebutuhan pokok di lapangan. Seperti halnya yang sering kita baca di media, tahun ini harga sejumlah kebutuhan pokok beberapa kali mengalami lonjakan dan menjadi sumber keresahan rakyat.

Pada periode Januari – Maret 2007, harga eceran beras medium meningkat 8,3%, namun inflasi yang tercatat oleh BPS hanya 1.9 %. Sepanjang tahun 2006 juga demikian, harga eceran beras meningkat 25% dan harga minyak goreng naik 60% menjadi Rp 8,500 per kg, namun inflasi yang dicatat oleh BPS hanya 6.6%. Memang benar bahwa beras bukan satu-satunya penentu inflasi, tetapi bobot beras dalam keranjang belanja masyarakat adalah yang paling besar. Kenaikan harga beras juga praktis memicu kenaikan harga bahan non-makanan dan makanan lainnya seperti gula, sayur-sayuran, makanan jadi dan lain-lain.

Ternyata, salah satu penyebab munculnya perbedaan sangat besar antara statistik inflasi BPS dengan fakta yang dirasakan rakyat adalah cara memotret fakta, terutama penentuan bobot perhitungan yang tidak akurat. Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002, bobot beras dalam pengeluaran rumah tangga cukup besar yaitu rata-rata sekitar 12% (bobot beras untuk kelompok miskin sekitar 24%, kelompok mendekati miskin (near poor) sekitar 19% dan rata-rata sekitar 12%). Bahkan dari hasil Susenas 2002 di wilayah studi ADB dan BPS (Maret, 2006) kabupaten pedesaan, komponen beras untuk kelompok miskin bisa mencapai 28%. Bila perhitungan dilakukan tidak hanya untuk beras tetapi untuk 9 bahan pokok maka porsinya secara nasional berkisar 30% dan untuk wilayah studi 6 kabupaten pedesaan sebesar 40%.



Namun perhitungan inflasi yang dilakukan saat ini, faktor pembobot termasuk beras tidak didasarkan pada hasil Susenas, akan tetapi menggunakan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2002. Berdasarkan survei biaya hidup 2002, penimbang (bobot) beras dalam perhitungan inflasi sangat rendah, hanya 6%. Bobot beras ini sangat jauh berbeda dengan angka pembobot yang diperoleh dari hasil Susenas di Kabupaten pedesaan sebesar 28%. Namun, karena perhitungan inflasi didasarkan pada survei biaya hidup maka bobot beras dan kebutuhan pokok lainnya dalam perhitungan inflasi menjadi sangat rendah.

Kelemahan lain dalam memotret tingkat inflasi adalah dalam pemilihan sampel Survei Biaya Hidup yang bias terhadap kelompok menengah atas karena Survei Biaya Hidup dilakukan di 44 ibu kota propinsi dan dalam keluarga respondennya harus ada anggota yang minimal tamat SMA. Berdasarkan statistik BPS, persentase pendukuk yang tidak tamat SMA mencapai 70%. Pengambilan sampel dengan cara ini akan menjauhkan hasil perhitungan dengan realitas lapangan. Sebab, metode tersebut sangat urban bias (bias terhadap pola hidup penduduk kota) dan mengabaikan pola hidup masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah kelompok menengah ke bawah. Padahal dari sebuah survei yang dilakukan oleh BPS dan ADB, diketahui adanya perbedaan tingkat inflasi yang sangat tajam antara daerah perkotaan dan pedesaan. Inflasi di pedesaan bisa mencapai lebih dari 2 kali lipat inflasi nasional. Artinya, angka inflasi saat ini lebih menggambarkan inflasi yang dihadapi kelompok masyarakat kelas menengah di perkotaan
(urban and middle class bias).

Tidak aneh terjadi perbedaan yang sangat besar antara realitas kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat (lonjakan tinggi harga beras, minyak goreng dan gula) dengan potret inflasi yang diumumkan BPS dan pemerintah, sehingga menteri-menteri ekonomi dengan sangat yakin mengutarakan telah berhasil mengatasi masalah finansial dan inflasi, tetapi rakyat biasa menjerit menghadapi kesulitan ekonomi karena lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Belum pernah dalam sejarah Indonesia modern, banyak kasus-kasus bunuh diri karena kesulitan ekonomi, kecuali selama satu tahun terakhir. Demikian juga tingkat kriminalitas dan jumlah orang yang masuk rumah sakit jiwa meningkat akibat kesulitan ekonomi.


2.2 Kejanggalan Data Pengangguran

Pengumuman BPS tentang angka pengangguran yang menurun masih perlu diklarifikasi lebih jauh lagi. Dari hasil analisa TIB, ada sejumlah kejanggalan pada data tersebut, antara lain:

Pertama, peningkatan drastis pada rasio penciptaan lapangan kerja terhadap angka pertumbuhan ekonomi. Antara tahun 2002 sampai 2005, jumlah lapangan kerja yang tercipta untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya sekitar 238 ribu. Namun pada periode Februari 2006 sampai Februari 2007, angkanya meningkat sangat drastis menjadi 421 ribu lapangan kerja per 1 persen pertumbuhan. Padahal dalam kenyataanya, industri padat karya justru banyak yang bangkrut dan tutup.

Kedua, peningkatan drastis pada pekerja informal sektor pertanian. Menurut data BPS, dalam dua tahun terakhir, jumlah orang bekerja meningkat sekitar 2.63 juta orang dan sebagian besar kenaikan tersebut diakibatkan oleh kenaikan orang yang bekerja informal di sektor pertanian yaitu sekitar 1,33 juta orang atau sekitar 51 persennya. Ini merupakan fenomena aneh karena pada periode tersebut kinerja sektor pertanian tidak terlalu baik dan hanya tumbuh rendah rata-rata 2,7 persen. Sektor Pertanian biasanya tumbuh rata-rata di atas 3 persen per tahun.

Ketiga, peningkatan drastis orang yang tidak tergolong angkatan kerja. Antara tahun 2001 sampai 2005, persentase orang yang tidak tergolong angkatan kerja (seperti anak sekolah, ibu rumah tangga, dsbnya) rata-rata hanya sekitar 32.1 persen. Namun dalam dua tahun terakhir, angkanya meningkat drastis menjadi 33.4 persen, atau meningkat 1.3 persen. Lagi-lagi ini merupakan rekayasa yang perlu diklarifikasi lebih jauh oleh BPS. Sebab secara statistik, peningkatan orang yang tidak tergolong angkatan kerja otomatis menurunkan angkatan kerja dan yang paling penting adalah menurunkan jumlah pengangguran.

Keempat, untuk memperkecil angka pengangguran, BPS menambahkan definisi pekerja bagi orang yang bekerja walaupun tidak digaji atau pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan dasarnya. Pekerja keluarga yang biasanya terdiri dari istri, anak, sepupu atau saudara lainnya yang membantu suatu usaha asalkan dalam seminggu minimal membantu selama satu jam, maka mereka akan dikategorikan sebagai pekerja walaupun mereka tidak dibayar. Jumlah pekerja keluarga sangat besar mencapai 17,8 juta orang. Jika tenaga kerja yang tidak dibayar ini dikeluarkan dari angka orang bekerja maka pengangguran yang diklaim BPS akan meningkat dari 9,8% menjadi 26%. Demikian juga ”Pak Ogah” yaitu orang yang membantu kendaraan saat memutar di jalan raya (bukan tukang parkir) asalkan mereka bekerja dalam seminggu minimal satu jam maka mereka dikategorikan sebagai pekerja. Jika ”Pak Ogah” atau pekerja informal lainnya yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasarnya dari pekerjaannya dikeluarkan lagi dari
angka pekerja, maka angka pengangguran di Indonesia akan meningkat lagi.

Saat ini, tidak ada satu negarapun terutama di ASEAN selain di Indonesia yang menggunakan definisi cukup minimal bekerja satu jam dalam seminggu sebagai ukuran dianggap sebagai pekerja. Negara lain umumnya telah menggunakan ukuran minimal 15 jam seminggu untuk dianggap sebagai pekerja.

Berbagai kejanggalan, ketidakakuratan, dan rekayasa data tersebut menunjukkan bahwa BPS tidak independen dan sangat dipengaruhi oleh intervensi menteri-menteri bidang ekonomi. Apalagi banyak kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah telah melakukan berbagai akrobat statistik sekedar untuk menunjukkan keberhasilan.

Dari hasil analisa TIB yang telah dipresentasikan beberapa waktu lalu ditemukan bahwa praktek ini pernah dilakukan sebelumnya. Saat itu pemerintah mempresentasikan angka kemiskinan telah mengalami penurunan. Ternyata pernyataan kemiskinan menurun dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005 tidak jujur dan menyesatkan. Data kemiskinan yang dilaporkan tersebut merupakan data hasil Susenas Februari 2005 atau kondisi sebelum kenaikan BBM. Padahal, BPS sebenarnya sudah memiliki data yang lebih up date yakni dari hasil Susenas bulan Juli 2005 dan Maret 2006. Namun, data tersebut tidak dilaporkan karena diperkirakan angka kemiskinan lebih tinggi dan mendekati kondisi pada awal krisis tahun 1998/1999.

Keraguan terhadap kredibilitas data BPS terbukti pada program SLT (Subsidi Langsung Tunai). Dari hasil Sensus Kemiskinan 2006 diperoleh data angka kemiskinan membengkak tinggi sehingga dalam RAPBN direncanakan jumlah keluarga miskin penerima SLT tahun 2006 sekitar 19,0 juta keluarga. Dengan asumsi anggota rumah tangga miskin dan sangat miskin sebanyak 4 orang, angka ini setara dengan 48,3 juta penduduk miskin atau sekitar 22 persen dari total penduduk. Sebuah angka yang sangat jauh dibanding angka kemiskinan sebesar 16 persen yang diklaim oleh pemerintah (paper TIB tanggal 18 Agustus 2006).

Banyak sekali keraguan atas kredibilitas dan independensi BPS, terutama sejak keluarnya Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, pada saat Sri Mulyani menjadi Meneg PPN/Ketua Bappenas, yang menyebutkan bahwa koordinasi BPS dialihkan dari Presiden kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan. Sejak saat itu, intervensi menteri-menteri ekonomi kepada BPS agar menghasilkan statistik yang ”Asal Bapak Senang” semakin sering terjadi. Intervensi tersebut biasanya dilakukan dalam bentuk rapat-rapat koordinasi menjelang pengumuman data resmi BPS, saran menteri-menteri ekonomi agar BPS memperbaiki metodologi, serta penunjukkan konsultan-konsultan asing dan tim asistensi dari luar BPS untuk menyelaraskan data BPS sesuai pesanan menteri-menteri ekonomi.

Akibatnya sangat jelas dan berbahaya. Kesulitan ekonomi rakyat seperti kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok, tingkat pengangguran dan kemiskinan terus direkayasa untuk memberikan laporan ”Asal Bapak Senang”. Masalah kemiskinan dan pengangguran diselesaikan lewat rekayasa statistik, bukan dengan program ekonomi yang pro-rakyat dan pro-lapangan kerja.

Dengan berbagai ulasan tersebut di atas, kami meminta DPR untuk membentuk PANSUS untuk menyelidiki kredibilitas dan independensi BPS. Kami juga mendesak agar DPR melakukan amandemen terhadap Undang-undang Statistik agar BPS betul-betul menjadi lembaga yang independen dan kredibel.


Jakarta, 28 Mei 2007
Tim Indonesia Bangkit

-----------
From : Alim M
ekonomi-nasional@yahoogroups.com,
28 Mei 2007 15:15

Friday, May 18, 2007

MA Akui Salah Ketik Dalam Putusan Meruya Selatan

Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) mengakui terjadi salah ketik nama hakim agung dalam putusan perdata kasus tanah di Meruya Selatan Nomor 2683/PDT/G/1999 yang dikirimkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat.

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) MA, Nurhadi, di Gedung MA, Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa salah ketik itu menyebabkan munculnya nama hakim agung Paulus Effendi Lotulung dalam putusan yang dikirimkan MA ke PN Jakarta Barat.

Padahal, nama yang seharusnya tertulis adalah Emin Aminah sebagai ketua majelis hakim yang memutus perkara tersebut.

"MA juga baru tahu adanya salah ketik ini setelah ribut-ribut sekarang ini," ujarnya.

Sebagai bukti bahwa kesalahan itu adalah salah ketik, bukan pemalsuan, Nurhadi memperlihatkan putusan asli yang disimpan oleh MA sebagai arsip.

Putusan asli yang bermeterai itu ditandatangani oleh Emin Aminah.

Nurhadi juga memperlihatkan agenda sidang pembacaan putusan perkara itu pada 26 Juni 2001 yang diketuai oleh Emin Aminah, serta beranggotakan Benjamin Mangkoedilaga dan Chairani A. Wani.

Setelah putusan asli ditandatangani dan diperiksa oleh majelis hakim, Nurhadi menjelaskan, panitera kemudian menyalin kembali putusan itu sesuai dengan aslinya.

Dalam proses penyalinan itu, Nurhadi mengatakan, terjadi salah ketik.

Tidak seperti putusan asli yang ditandatangani oleh majelis hakim, salinan putusan hanya mencantumkan tertanda (ttd) di atas nama hakim.

Sebelum salinan putusan dikirim ke PN Jakarta Barat, Direktur Perdata memeriksa salinan itu dan memberi paraf pada setiap halamannya.

"Pada proses penyalinan putusan itu terjadi salah ketik, sehingga nama Paulus Effendi Lotulung tercantum di sana," kata Nurhadi.

Menurut Nurhadi, salah ketik itu tidak memiliki implikasi hukum karena tidak menyangkut substansi perkara.

Kesalahan ketik itu bisa diperbaiki oleh MA dengan cara me-"renvoy" salinan putusan tersebut.

Ketua MA atau Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, menurut Nurhadi, dapat meralat salinan itu dengan cara mencoret nama Paulus dan menggantinya dengan nama Emin Aminah.

Putusan kasasi sengketa tanah Meruya Selatan antara PT Portanigra dan Djuhri Cs terdiri atas dua berkas perkara, yaitu No 570 atas sengketa 146 surat girik dan No 2863 atas sengketa 19 surat girik. (*)

Copyright © 2007 ANTARA

Tuesday, May 15, 2007

Misi untuk mewujudkan visi Indonesia 2030 (Peringkat Lima Besar Dunia)

Misi Untuk Mewujudkan Visi
Visi Indonesia 2030 diwujudkan
melalui sinergi tiga modal bangsa dengan misi masing-masing.

Modal Manusia
Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkualitas
dan bebas dari kemiskinan

Modal Alam dan Fisik
Memanfaatkan kekayaan alam secara optimal dan berkelanjutan

Modal Sosial
Mewujudkan sinergi kelompok wirausaha, birokrasi dan pekerja
menuju daya saing yang global
===================================

Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bebas dari
kemiskinan.

Penduduk Indonesia akan mencapai jumlah 285 juta jiwa pada tahun
2030. Laju pertumbuhan penduduk pada dekade 2020-2030
diproyeksikan sebesar 0,9 persen per tahun. Angkatan kerja akan
mencapai 150 juta jiwa atau 52 persen dari jumlah penduduk.
Angka ketergantungan (jumlah penduduk usia non-produktif yang
ditanggung 100 orang penduduk usia produktif) akan mencapai titik
terendah pada tahun 2018 (lihat Gambar 7). Tahun tersebut menandai
akhir dari Bonus Demografi I
yang merupakan kesempatan
perekonomian mengakumulasi tabungan domestik. Setelah 2018, angka
ketergantungan akan naik sejalan dengan meningkatnya usia harapan
hidup yang mencapai 74 tahun. Saat ini terbuka kesempatan
memperoleh Bonus Demografi II yang akan bersumber dari kelompok
lansia yang sehat, berpendidikan dan produktif.

Gambar 7. Kondisi Demografi Indonesia, 1950 - 2030
Sumber: Data BPS dan Proyeksi YIF

Mayoritas penduduk Indonesia (sekitar 70 persen) akan tinggal di
daerah perkotaan. Mobilitas akan diwarnai oleh fenomena circular
migration. Penduduk yang terkonsentrasi di daerah perkotaan akan
kembali ke kota asalnya pada saat-saat tertentu. Hal ini mensyaratkan
infrastruktur yang memadai. Pantai utara Jawa akan menjadi daerah
perkotaan padat penduduk, dan bisa menjadi salah satu daerah
perkotaan terpanjang di dunia pada 2030.
Kesejahteraan masyarakat tidak saja direfleksikan oleh pendapatan per
kapita yang tinggi, namun juga diwujudkan melalui perbaikan status
pendidikan dan kesehatan. Perbaikan kualitas pendidikan tinggi harus
dimulai dengan program wajib belajar 12 tahun, paling tidak sebelum
tahun 2010. Di samping itu, seluruh bangsa Indonesia harus bebas dari
buta huruf pada tahun 2030 tersebut. Perbaikan status kesehatan tetap
berfokus kepada ibu dan anak, dengan tidak melupakan perbaikan
status kesehatan lansia untuk mewujudkan kelompok lansia yang sehat
dan produktif. Angka kematian ibu dan bayi harus menurun paling tidak
menjadi setengah dari kondisi saat ini.
Kualitas hidup juga ditandai oleh meratanya akses kepada berbagai
infrastruktur dasar seperti sarana perumahan, air bersih, listrik,
transportasi dan komunikasi. Perumahan yang memadai harus tersedia
untuk seluruh rumah tangga. Di samping itu, seluruh rumah tangga
Indonesia harus memiliki sambungan listrik, dan akses terhadap air
bersih. Sinergi sektor publik dan swasta menjadi kata kunci bagi
perbaikan kualitas hidup di masa depan.

Memanfaatkan kekayaan alam secara optimal dan berkelanjutan

Kekayaan alam Indonesia memiliki tiga dimensi utama, yaitu: (a) posisi
geografis yang strategis, (b) sumber daya alam sebagai faktor produksi,
dan (c) budaya dan keindahan alam. Kekayaan alam ini harus
dimanfaatkan secara optimal, melalui sinergi sumber daya manusia dan
teknologi, dengan tetap menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.

Posisi geografis Indonesia terletak di salah satu jalur perdagangan
paling padat di dunia, yaitu Selat Malaka. Kedekatan dengan raksasa
ekonomi dunia baru, yaitu Cina dan India, akan mewarnai peranan
Indonesia dalam globalisasi. Berada di jalur khatulistiwa, Indonesia
menikmati sinar matahari sepanjang tahun dengan iklim tropis dan
tanah yang subur.
Satu dimensi pemanfaatan sumber daya alam sebagai faktor produksi
dalam jangka panjang adalah FEW yaitu food, energy dan water.
Istilah few mengingatkan Indonesia untuk mengantisipasi semakin
berkurangnya sumber makanan, energi dan air.
Pemanfaatan sumber daya alam sebagai sumber energi perlu
memperhatikan keberlanjutan penggunannya. Beberapa sumber energi
yang tak-terbarukan memiliki umur yang dapat diperkirakan. Di
antaranya adalah:

Cadangan minyak bumi saat ini sebesar 9 milyar barel. Dengan
produksi rata-rata 500 juta barel per tahun, maka cadangan
tersebut akan habis dalam waktu 18 tahun.

Cadangan gas alam saat ini sebesar 182 triyun kaki kubik.
Dengan produksi rata-rata 3 trilyun kaki kubik per tahun, maka
cadangan tersebut akan habis dalam waktu 61 tahun.

Cadangan batubara saat ini sebesar 57 milyar ton. Dengan
produksi rata-rata 130 juta ton per tahun, maka cadangan
tersebut akan habis dalam waktu 438 tahun.
Untuk keberlanjutan ketersediaan energi, maka Indonesia harus
memanfaatkan SDA terbarukan untuk mengamankan pasokan energi.
Pasokan energi yang diproduksi secara domestik merupakan sumber
perbaikan kesejahteraan bagi sektor pertanian yang ramah lingkungan.
Pemanfaatan SDA seperti ini juga berpotensi menghemat devisa.
Indonesia juga sangat kaya dengan sumber daya alam hayati. Sumber
daya ini dapat diolah lebih lanjut menjadi beragam produk turunan.
Hal ini dapat menjadi sumber diversifikasi pangan.

Globalisasi membawa peluang pengembangan sektor pariwisata bila
didukung dengan pengelolaan aset budaya dan sejarah yang tersebar di
Nusantara secara memadai dan terpadu bersama-sama masyarakat.
Kunjungan turis asing ke Indonesia diharapkan dapat membukukan
peningkatan yang berarti dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.

Mewujudkan sinergi wirausaha, birokrasi dan pekerja menuju daya
saing yang global.

Visi bangsa Indonesia 2030 dapat diwujudkan dengan sinergi tiga
kelompok besar, yaitu kelompok wirausaha, birokrasi dan pekerja.
Sinergi ini mengarah kepada peningkatan daya saing global
perekonomian Indonesia.
Untuk mewujudkan sinergi tersebut dibutuhkan kontrak sosial baru
sebagai perwujudan komitmen bersama untuk maju. Segenap
komponen bangsa baik wirausaha, pekerja maupun pemerintah
memiliki tanggung jawab baru dalam bentuk pola hubungan baru
sebagai kontrak sosial seperti yang terlihat di dalam diagram di Gambar
8 di bawah ini.

Gambar 8. Kontrak Sosial bagi Pencapaian Visi

Satu dimensi penting kontrak sosial baru ini adalah kepastian hukum
dalam arti luas. Dalam hal penegakan kontrak, Indonesia sangat jauh
dibandingkan negara lain. Pada tahun 2030, Indonesia harus menjadi
salah satu negara dengan kepastian hukum dan kepastian usaha yang
paling tinggi. Untuk itu pemberantasan korupsi dan pembenahan sistem
dan aparat penegak hukum perlu terus dilanjutkan

Ramai-ramai Menikahi Janda

Senin, 14 Mei 2007

Untuk mengurangi jumlah populasi janda, pemerintahan Malaysia membuat kebijakan baru untuk menikahi para janda. Ingin daftar?

Hidayatullah.com--Kuatir dengan kebanyakan janda membuat Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan baru terhadap lelaki khususnya bagi yang beragama muslim untuk menikahi janda-janda tersebut. Meskipun begitu lelaki Malaysia tetap dibebaskan menikah sampai empat kali.

Menurut Abdullah Che Muda, Ketua The Islamic and welfare committee, sampai sekarang ada sekitar 18 ribu wanita yang menjanda.

“Dalam konstituen saya sendiri, sekarang ada 300 janda yang bisa dipertimbangkan untuk menikah kembali,” katanya, seperti dikutip dalam The Star.

Mereka yang memenuhi syarat bisa mengurus para janda itu, bisa menerimanya sebagai istri.

Abdullah mengatakan, sebenarnya dalam hukum Islam, para lelaki diperbolehkan untuk menikahi empat wanta, akan tetapi mental dan finansial mereka harus benar-benar mampu.

Di Malaysia, 60 persen dari 26 juta jumlah penduduknya adalah muslim dan yang lainnya adalah budha, kristen dan hindu. [ap/iht/www.hidayatullah.com]

Source : http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4706&Itemid=1

Friday, May 11, 2007

Tuntutan Rakyat : Internet Murah

Internet merupakan kebutuhan dasar bagi
masyarakat Intelektual Indonesia.
Mahalnya internet dibandingkan negara lain,
akan menghambat kemajuan Indonesia dalam mengejar ketinggalannya.

Internet murah akan membawa pengaruh masuknya
software-software Open source bermutu,
sampai ke lapisan terbawah masyarakat.
Sehingga masyarakat akan lebih mudah
mendapatkan software terkini Open Source untuk kebutuhan sehari-hari.

Saat ini dengan bandwith yang terlalu mahal,
masyarakat sulit mendownload program dengan ukuran
mendekati 1 Gb. Padahal kebutuhan akan software
Open source telah semakin mendesak.

Dengan ditunjukkan Menkominfo baru,
yang merupakan pakar IT,
mari kita tuntut INTERNET MURAH untuk masyarakat luas.



--
Salam Revolusi IT Indonesia !!!!

Tips membuat surat lamaran kerja.

Berdasarkan riset sosial tentang kemampuan membuat surat lamaran kerja,
ada beberapa kesalahan yang sering terjadi dan patut disampaikan kepada
saudara / temen yang akan melamar kerja. Semoga bermanfaat :

Sudah ribuan lamaran kerja dikirim tapi belum ada balasan...., mungkin salah
satu tips dibawah ini adalah masalahnya........

1. JANGAN TERLALU BANYAK MENGGUNAKAN SINGKATAN

Dgn Hrmt.

ttrk dgn ikl lwg krj yg dmt pd srt kbr edisi sls , sy brmskd mengisi lwg yg
bpk bthkn , rdri thn 1999 - 2004 , sy tlh bkj di aptk km farma , di bag
cln srv.

dri thn 2004-2005 , sy bkj di LC bank sbg kabag keu.
dri thn 2005- smp skrg jd tkg pkr di BIp
.....................................................................

2. JANGAN TERLALU BANYAK LAMPIRAN

............................................................................

sebagai bahan pertimbangan bapak , bersama ini saya sertakan :

a. foto copy KTP bapak saya
b. pas foto saya waktu disunat
c. surat kelakuan baik seluruh keluarga saya
d. bon hutang selama 1 tahun
e. proposal permintaan sumbangan pembangunan mesjid di Rt saya

............................................................................

3. BAHASANYA SOK GAUL

Dgn hromat banget , boss!!!!

halo boss , capee deeehhh!!!! apa kabar nich.....?
baik baik aja dong , iya kan iya dong , bener kan bener dong....? saya
mo ngelamar kerja nich..boleh dong...please...boleh ya.........
........................................................................

4. BAHASANYA SOK PREMAN.

..............................................................

gue pernah kerja di kantor bokap , tapi lantaran gue sering bolos sama
sering ngegodain skertaris kantor , gue dikeluarin , setan banget
deehhh!!!!
makanya sekarang gue ngelamar kerja di kantor elo , ga usah khawatir
soal jabatan deh.....gue sih yg penting dibayar gede sama elo. ok
deh!! gue tunggu panggilan kerja dari elo di rumah gue , kalo sampe
tiga hari belom juga ada panggilan , elo bakal tau sendiri
akibatnya....!!!!!!!

..............................................................

5. BAHASANYA SOK AKRAB.

Dengan hormat ,

hai apa kabar nih...? baik baik aja kan...?
saya juga ketika menulis surat ini dalam keadaan sehat wal afiat ,
semoga kamu juga baik baik aja seperti saya disini. ngomong ngomong
gimana kabar anak anak , sehat kan..? istri pasti makin cantik
aja.....salam aja ya buat mereka. oya ..hampir lupa , say bermaksud
melamar pekerjaan pada perusahaan kamu bisa kan,.,,..?

......................................................................

6. TERLALU RESMI DAN BERTELE TELE.

Dengan hormat,

setelah saya membaca iklan lowongan pekerjaan di surat kabar ternama
di ibukota , saya sangat tertarik dengan iklan yang anda muat disitu.
oleh karena itu saya bermaksud untuk melamar pekerjaan tersebut dan
juga sekalian harapan saya , dengan surat lamaran ini kita bisa mempererat
tali silaturahmi antara kita berdua , bukankah dalam agama pun telah
diterangkan betapa pentingnya arti sebuah silaturahmi....



Best regards,


Hairurahman

--------------
Sumber : milis Guyon-yook

Keyword Pencarian ke Blog ku

Dalam beberapa hari terakhir ini,
keyword yang digunakan untuk melakukan searching,
yang akhirnya terdampar ke Blog-ku adalah sebagai berikut:

-resep tipus balita
-sejarah baru zaman majapahit 2007
-kebatinan jawa
-makalah obstetri ginekologi
-prinsip teknik elisa
-trojan baru
-spanyol - tidore
-marxisme
-case criminal praja ipdn
-kacang kentut
-penyimpangan kontrak kerja
-struktur sosial kasus ipdn
-endapan freatik
-normalisasi database rumah sakit
-pengapuran
-legenda pendekar
-konflik budaya di ipdn
-mud vulcano
-analisis matematis dinamo
-gajah sora
-torch kesehatan index igg igm
-negara yang memiliki kurva tingkat pertumbuhan penduduk berbentuk u
-baik buruk tentang plasmedia
-andi supangat
-makanan penyebab penyakit lupus
-identitas gender
-virus yg menyerang koma di excell
-analisis cara kerja dinamo dengan listrik magnet
-apa itu sdlc
-panci internet ono
-perlawanan bangsa indonesia terhadapa bangsa eropa pada abad 14- 16
-genocide
-positif dan negatif palsu pemeriksaan elisa
-nyeri sendi dan tulang
-membuat minyak goreng kelapa tanpa pemanasan deng
-windows me how to safemode
-perkumpulan orang indonesia di eindhoven
-cara menanggulangi spam
-masa imperialisme belanda di subang
-jurnal penelitian skreening
-kompensasi gaji pegawai
-perlindungan konsumen ketersediaan pangan
-makalah bertema lumpur lapindo
-penyumbatan pembuluh getah bening
-membuat kesimpulan dari makalah sampah ban bekas
-runtuhnya majapahit
-pendekatan dyadic
-pembuatan karbon aktif
-trauma dan jatuh pada geriatri
-borobudur 2007 jawa pos
-angin duduk
-cerita silat jawa
-sengketa di eropa
-masalah terdapatnya bahan pengawet pada mizone
-ilmu penyakit dalam/ nyeri dada/ fk ui
-kerusakan tubuh pada pencandu narkoba
-mahesa jenar
-lupus sistemic
-matematika sarana berfikir ilmiah
-jurnalis gender
-rehabilitasi osteoartritis
-bagus
-langkah yang seharusnya diambil untuk menanggulangi lumpur lapindo
-danau borobudur
-dual accsess gw
-kretivitas
-artikel mutasi biologi
-bende mataram
-pengaruh pemanasan global
-pancasila dan implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
-jurnal peristaltik usus
-teori pemiskinan struktural
-pengertian nyeri punggung bawah menurut para ahli
-alpha bagus
-pasingsingan
-dampak banyaknya game center
-heru hendratmoko aji
-lowongan kerja klinik fisioterapi
-istri jaka tingkir
-kegagalan sistem komunis uni sovyet
-prasasti kebon kopi
-perbedaan gender karo
-hasil statistik kuantitatif dampak tv terhadap anak

Monday, May 7, 2007

Penjara 6 bulan utk Pencemaran Nama Baik [Pers]

Subject: [jurnalis_jakarta] Siaran Pers AJI "Tolak Kriminalisasi Pers dan
Pemenjaraan Wartawan"

ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN

No : 015/AJI-Adv/Siaran Pers/V/2007
Hal : Siaran Pers untuk segera disiarkan


Tolak Kriminalisasi Pers dan Pemenjaraan Wartawan!


Bertepatan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2007,
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menerima kabar menyedihkan.
Yakni keluarnya putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi berikut perintah
pemenjaraan 6 bulan terhadap Risang Bima Wijaya, Pemimpin Umum Harian Radar
Yogya. Risang divonis pasal 310 junto 64 KUHP tentang pidana pencemaran
nama baik terhadap Sumadi Martono Wonohito, Dirut Harian Kedaulatan Rakyat
(KR) Yogyakarta.

Dalam pemberitaan Harian Radar Yogya pada Mei 2002, Risang menuliskan kasus
dugaan pelecehan seksual oleh Sumadi terhadap seorang karyawati Harian KR.
Sumber informasi kasus tersebut berasal dari laporan korban di kepolisian
dan pengungkapan korban dalam sebuah konferensi pers. Berita laporan polisi
oleh korban dimuat di berbagai media seperti Jawa Pos, Tabloid Adil, Tabloid
Nyata, termasuk Radar Yogya. Harian pimpinan Risang Bima Wijaya ini juga
melengkapi laporan jurnalistiknya tentang perkembangan peristiwa, memuat
karikatur, dan memuat artikel lepas.

Pada 22 Desember 2004 Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, memutus
bersalah dan memvonis Risang Bima dengan hukuman 9 bulan penjara. Keputusan
yang bernuansa kriminalisasi terhadap profesi jurnalistik ini menimbulkan
protes di kalangan komunitas pers. Sayangnya, saksi ahli dari Dewan Pers (RH
Siregar) justru menyatakan Risang Bima melanggar etika jurnalistik. Hingga
keluar putusan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta, disusul putusan Mahkamah
Agung (MA) yang menghukum pemimpin Harian Radar Yogya ini dengan penjara 6
bulan.

Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan hal-hal sbb :

1. Menolak setiap upaya kriminalisasi terhadap jurnalis dan pers yang
bertentangan dengan semangat kebebasan pers. Mengancam atau mengirim
jurnalis ke penjara dengan KUHP merupakan langkah mundur dan menghilangkan
hak publik akan informasi. Penggunaan KUHP dalam kasus sengketa pemberitaan
pers menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi kemerdekaan
pers, sesuatu yang selama ini dijadikan ikon pemerintahan SBY-Kalla.

2. Mengecam putusan Mahkamah Agung RI yang memvonis Risang Bima Wijaya,
Pemimpin Umum Radar Jogja, dengan hukuman penjara 6 bulan karena profesi
jurnalistik dilindungi UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan pasal 28F UUD
1945. AJI mendesak Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan di bawahnya agar
berpegang pada ketentuan UU Pers No 40/1999 dalam menangani kasus terkait
pemberitaan pers.

3. Mengingatkan semua pihak bahwa jika terjadi sengketa atau keberatan
terhadap karya jurnalistik agar menggunakan mekanisme hak jawab, hak
koreksi, dan pengaduan kepada organisasi jurnalis dan/atau Dewan Pers.
Bahkan jika jurnalis dinyatakan melanggar etika jurnalistik, hukuman yang
paling mungkin adalah denda terhadap perusahaan pers, bukannya pemenjaraan.

Jakarta, 7 Mei 2007

Heru Hendratmoko Eko Maryadi
Ketua Umum Koord. Divisi Advokasi