Saturday, September 22, 2007

Tentang "MEMBACA" Puisi

Puisi 101

puisi harus dihormati terutama oleh orang yang cuma mampu membaca
puisi. Puisi harus dihormati dalam pembacaannya seperti orang
menghormati teks agama, teks hukum perceraian, atau teks pancasila.
Karena puisi itu bagian dari sastra dan sastra itu dipelajari dengan
sangat terhormat di universitas di seluruh planet ini dalam sebuah
studi bernama "fakultas sastra". Bahkan ada jutaan sarjananya!

Tidak setiap orang berhak untuk "membaca" puisi, sama dengan tidak
setiap orang berhak menjadi polisi, pengacara, ekonom atau dokter
gigi. Sastra adalah profesi, bukan hobi, maka harus dihormati sama
seperti orang menghormati dokter gigi!

Tidar benar bahwa "pengarang" itu mati setelah menuliskan karya
sastranya! Itu namanya sadomasokisme! Itu namanya pembunuhan! Itu
namanya omong kosong orang yang sok sudah baca roland barthes!

Alasannya!
Makanya plagiat itu haram hukumnya!
Makanya setiap pengarang yang karyanya muncul di kompas minggu,
misalnya, disebut namanya dan dikasih honor banyak pula! Makanya
karyanya, walau jelek gak kayak karya saut situmorang, dikasih
ilustrasi para perupa memble pula!

Tidak setiap orang berhak mengomentari agama.
Tidak setiap orang berhak keputusan pengadilan.
Tidak setiap orang berhak mencabut gigi naskeleng yang sudah busuk di
mulutnya yang sudah busuk.
Tidak setiap orang berhak untuk memberikan pendapatnya di bidang yang
bukan profesinya.
Setiap orang harus punya rasa rendah diri dan malu atas kapasitas
pengetahuan yang tidak dimilikinya.

Mungkinkah ada orang awam sok pintar mengomentari "salah"
dan "menghina" interpretasi seorang ulama atas teks kitab sucinya?
Lantas kenapa dengan puisi/sastra setiap orang merasa dia
berhak/punya pengetahuan cuma karena dia bisa membaca abjad, kalimat
yang ada di depan moncongnya?

Tidak setiap orang berani "membaca" dan memberi penafsiran atas atas
lukisan kontemporer! Lantas kenapa begitu sewenang-wenang dengan
puisi/sastra?!

Tidak setiap orang berani mengaku sebagai seniman rupa, walo bisa
menggambar atau membentuk patung? Lantas kenapa begitu berani
menyebut diri "penyair" atau "seniman" sastra?!

Sastra sudah sangat lama dihina di negeri yang menghormati para
koruptor dan penjual agama ini!
Sastra sudah lama cuma dianggap sekumpulan kata-kata yang dirangkai
jadi tulisan belaka, walo ribuan orang jadi sarjana dan dosen karena
sastra!
Sastra tidak dianggap profesi di negeri yang konon punya budaya
adiluhung ini!

Taik kucing semuanya itu!

Sudah waktunya para sastrawan menuntut balik orang-orang non-
sastrawan yang men-capnya macam-macam, terutama mereka yang selalu
mengatasnamakan agamanya, walo kejahatan mereka mungkin sudah membuat
agama dan tuhan mereka terhina dan muntah-muntah!

Bangsa yang besar (seperti bangsa-bangsa di peradaban barat sana)
adalah bangsa yang menghargai sastranya dan yang malu pada
kebodohannya. Bangsa yang besar (seperti bangsa-bangsa di peradaban
barat sana) bukan bangsa yang memuja-muja olimpiade fisika!!!

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menolak tahyul dalam segala
bentuknya. Dengan sastra, baru pencerahan ini bisa dicapai. Yang
tidak percaya adalah orang-orang yang akan masuk neraka jahanam
selama-lamanya!!!

Hahaha...
----

SautSitumorang

No comments: