Wednesday, September 26, 2007

Nonton Film "Djakarta 1966" di TIM

Catatan: Ikranagara

Akhirnya saya berhasil menyaksikan versi final untuk pasar film
berjudul "Dajakarta 1966" itu di TIM. Film ini diproduksi tahun 1982
oleh Perusahaan film Negara (PFN) kita, di masa Soeharto berkuasa,
tapi juga kemudian diban dari peredaran oleh pemerintah sendiri.
Saya pun mengira film ini sudah wassalam menjadi abu atau sampah
yang tak terurus. Tapi rupanya Kineflorum berhasil meminjamnya dan
menggelarnya selama seminggu di Ta,man ismail Marzuki.

Dibandingkan dengan yang sudah saya saksikan beberapa tahun yang
lalu itu, maka versi untuk pasar ini menurut saya menjadi
komunikatif, artinya mudah dicerna.

Tentu saya tidak menulis tentang film itu dalam kaitan dengan mjutu
artistyiknya. Itu urusan kritikus film. Bukan urusan saya.

Izinkanlah saya di sini memaparkan bagaimana tangkapan saya atas
film karya Arifien C. Noer yang satu ini.

Seperti juga yang dahulu saya saksikan, maka film ini dibuka
bagaikan adegan wayangan, dialog antara dua tokoh cerita tentang
posisi masing-masing. dan gambarnya memang banyak bagian-bagian yang
secara visual mendekati siluet sehingga menyebabkan saya teringat
kepada pertunjjukan wayang kulit. Dan seperti halnya wayang kulit,
keduanya memaparkan posisi masing-masing, sambil juga mengintroduksi
karakter kedua tokoh cerita yang sedang berdialog itu. Masing-masing
piunya posisi sendiri, yang saling berbeda, bahkan saling
bertentangan. Singkatnya: Soekarno (diperankan oleh Umar Kayam)
berada di kubu Kiri, sedangkan Soeharto (diperankan oleh Amoroso
Katamsi) di Kubu Kanan.

Urusan Kanan dan Kiri ini tentulah memerlukan referensi [percaturan
politik zaman itu, yaitu Zaman Perang Dingin, antara Amerika Serikat
cs dan dan Uni Soviet cs. Yang di Indonesia tentulah punya konotasi
khusus, dan di dalam film ini makna yang Indonesiawi inilah yang
diungkapkan: Soekarno menghendaki PKI dipertahankan demi konsep
Nasakom dalam "Ajaran Bung Karno" yang sudah diungkapkan dalam
sebuah kesempatan berpidato di forum internasional PBB. Soeharto
diposisikan sebagai yang mentang hal ini, dan menghendaki agar PKI
dibubarkan, karena PKI tidak sejalan dengan Pancaslia, yakni dengan
mengutip pernyataan Ketua CC PKI DN Aidit yang menyatakan Pancasila
hanyalah sekedar alat pemersatu bangsa belaka, bukan filsafat
kebudayaan dan bukan pula konsep dasar bagi kehidupan sosial,
ekonomi dan politik. Namun demikian, Soekarno merasa yakin akan "mem-
Pancasila-kan" PKI, sedangkan Soeharto tidak percaya itu bisa
dilakukan, karenannya tetap menuntut agar PKI dan ajaran
Komunismenya dinyatakan bubar dan terlarang.

Dialog antara Soekarno dan Soeharto sebagai kejadian/peristiwa tentu
saja merupakan realitas fiksi/seni, sejalan dengan pola representasi
dalam Simbolisme, dan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Dalang
Wayang Kulit, bukan? (Dan Arifien C. Noer yang menulis skenarion
(bersama Bur Rasuanto) dan juga sebagai sutradaranya, memang di
dalam Dunia Teater kita dikenal sebagai seniman teater yang
mempelopori (bersama Rendra) gewrakan "kembali ke akar budaya" dan
tidak lagi berkiblat kepada "seni modern Barat." Maka tidak heran
jika dalam filmnya ini tampak sekali betapa pola Wayang Kulit yang
tradisional itu telah diolahnya secara kreatif menjadi bagian dari
cara penyajian ide-idenya sebagai seniman.)

Jadi, apa yang diungkapkan oleh kedua tokoh ceritanya tadi (Soekarno
dan Soeharto) yang mengingaqtkan saya kepada Wayang Kulit itu,
adalah pandangan Arifien tentang garis besar yang membayangi
sepenggal sejarah negeri kita di Zaman Perang Dingin.

Adegan "sabetan" (=tarung, atau perang) sebagaimana yang menjadi
bagian yang mengasyikkan di layar wayangan Pak Dalang Wayang Kulit
pun tidak ketinggalan ditampilkan, yaitu berupa demonstrasi yang
digelar mahasiswa yang tergabung di dalam KAMI (yang paling menonjol
adalah panji-panji HMI) berhadapan dengan aparat keamanan terutama
pasukan pengawal istana Cakra Bhirawa. Setingnya selain jalan-jalan
raya, gedung-gedung pemerintah, juga yang terutama markas mahasiswa
KAMI di Fakultas Kedokteran di Salemba Raya itu. Dalam menampikannya
arifein selain menampilkan ksatria-ksatria berupa pemimpin gerakan
KAMI yang non-fiksi, juga menampilkan tokoh-tokoh fiktif antara lain
Barkah, hanif dan Laila. Sementara di kalangan mahasiswa yang
menjadi lawan KAMI, misalnya yang bernaung di dalam organisasi GMNI
onderbow PNI, juga ditampilkan. Nah, salah seorang tokoh yang
ditonjolkan dalam kisah Arifien ini adalah Tohid, yang saya perankan
dalam film ini. Meskipun fiktif, tetapi tetap ini berdasarkan fakta
nyata juga, sama halnya dengan tokpoh Soekarno dan Soeharto tadi.

Sudah tentu, sebagaimana halnya pola bercerita Pak Dalang Wayang
Kulit, selain Anda temukan adegan-adegan tegang, bahkan tragedi,
tidak lupa pula Arifien menampilkan garr-gerr a la Goro-goro
(sebagaimana yang ada di dalam Teater tradisional Jawa) atau
Bebadrigan (Teater tradisional Bali) itu. Maka adegan-padegan
menjadi sangat human jadinya.

Masih bisa ditambahkan lagi tokoh-tokoh lainnya yang punya posisi-
posisi lain, kalau mau ditelaah secara teliti. Tapi paling tidak
keempat tokoh mahasiwa fiktif itu, antara lain Barkah (Cok Simbara),
Hanif (Ahmad Nugraha), Laila (Ratna Riantiarno) dan Tohid
(Ikranagara) yang merupakan tokoh-tokoh yang menonjol dalam hal
masing-masing punya pandangan sendiri tentang makna sejarah yang
mereka ikut ambil bagian di dalamnya itu. Satu sama lain saling
berbeda, bahkan saling bertentangan.

Jadi, percaturan antara berbagai tokoh yang punya posisi yang saling
berbeda bahkan saling bertentangan satu sama lain yang diungkapkan
cukum imbang itu menjadi tumpuan lahirnya drama di dalam kisah
berjudul "Djakarta 1966" ini. Jadinya terkesan "peran utama" film
ini bukan hanya dua orang (peran utama pria dan wanita) saja,
sebagaimana biasanya, melainkan banyak! Dengan demikian kita akan
menangkap bukan hanya satu suara dari satu posisi belaka, melainkan
berupa beraneka ragam suara dari beberapa posisi. Dengan kata lain
inilah pola penyajian yang disebut sebagai "polyphony" dan tidak
lagi berupa "monophony." Maka logika yang berlaku pun sesuai dengan
konteks posisi-posisi yang berbeda-beda itu. Kebenaran menjadi
realitas yang plural.

Itulah yang saya tangkap dari paparan pandangan Arifien sebagai
seniman film dalam memandang sepenggal perjalanan sejarah kita yang
didominasi oleh gerakan mahasiswa di bawah langit berwarna kesumba
darah, langit Zaman Perang Dingin, di negeri kita.

Ada peristiwa sejarah yang mungkin bisa menjadi perdebatan, yakni
menyangkut kisah tentang lahirnya Super Semar. Tampaknya Arifien
tidak punya pandangan pribadi tentang hal ini. Peristiwa itu
ditampilkan dalam bentuk flash back dengan narasi yang diucapkan
oleh salah seorang jenderal (Jendral Basuki Rahmat, diperankan oleh
Rahmat Kartolo, itu?). Apakah kita masih memperdebatkannya atau
tidak lagi masalah ini, yang terang bagian ini justeru menampilkan
sebuah lagi suara, sehingga jumlah posisi yang ada di dalam keaneka-
ragaman polyphony itu bertambah jadinya!

Pola polyphony dalam bercerita ini sebenarnya bukan hal yang baru
bagi Arifien C. Noer, kalau kita perhatikan drama-dramanya. Bahkan
dramanya yang termashur berjudul "Mega-mega" itu sangat mudah
dijadikan sebagai salah satu contohnya.

Berkaitan dengan polyphony ini kita pun teringat kepada
film "Rashomon" karya Akira Kurosawa, bukan? Yang perlu dicatat
adalah juga karya Aleksandr Solzhenitsyn berjudul "One Day in the
Life of Ivan Denisovich" novel yang memenangkan Hadiah Nobel itu.

Selain itu, cara memperlakukan sejarah seperti itu untuk
mengekspresikan pandangan pribadi seniman dalam karya cipta seni,
Licentia Poetica, memang bukan cara yang baru, karena sudah
merupakan bagian dari hak kemerdekaan kreatif seniman yang sudah
dijamin di dalam deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Novel
sejarah karya Parternak ("Dokter Zhivago") maupun Pramudya ("Bumi
Manusia"), Steinbeck "Viva Zapata!" dan Tolstoy ("Hadji Murad"),
sekedar sedikit contohnya dari kazanah sastra.

Mungkinkah "Djakarta 1966" ini merupakan film terbaik yang lahir
dari seniman film Arifien C. Noer?

Ascott Jakarta, 2007

No comments: