Mari Mengeroyok "Hantu" Inflasi
Oleh Lalu Mara Satria Wangsa
Selasa, 14 Oktober 2008
"Tsunami" finansial yang menghantam Negeri Paman Sam (Amerika Serikat) dan Uni Eropa tidak hanya menyeret harga kertas berharga (saham dan obligasi) di seluruh dunia menukik ke level terendah dalam lima tahun terakhir, tetapi juga berdampak negatif pada harga minyak mentah dunia. Kini harga minyak mentah dunia berada di bawah 90 dolar Amerika Serikat (AS) per barel, jatuh 40% dibanding harga tertinggi yang pernah dicapai pada 11 Juli 2008, yaitu 147,27 dolar per barel.
Melonjaknya harga minyak merupakan pangkal utama terjadinya "tsunami" finansial. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia, seperti Exxon dan BP, menghasilkan keuntungan tertinggi dalam sejarah. Di sisi lain, keuntungan tersebut telah menggerus daya beli (buying power) rakyat di seluruh dunia. Inflasi menjadi momok yang menakutkan. Di sinilah pangkal soal dimulai. Bank-bank sentral di seluruh dunia secara berkala menaikkan tingkat suku bunga acuan.
Kenaikan tingkat suku bunga acuan secara langsung membuat non performing loan (NPL) perbankan meningkat. Banyaknya nasabah yang gagal bayar (default), khususnya di sektor properti, mengganggu kesehatan perbankan. Meski pada akhirnya The Fed, selaku bank sentral acuan dunia, sejak Juni 2007 terus memangkas suku bunga acuan secara berkala hingga saat ini sebesar 2%, "tsunami" finansial pun tidak dapat dihindari.
Kini "tsunami" finansial membuat harga minyak mentah dunia cenderung turun. Negara-negara yang tergabung dalam kartel minyak, OPEC, bingung apakah akan memotong tingkat produksi untuk menjaga harga tetap di level 100 dolar AS per barel dengan risiko dapat mendorong keadaan ekonomi dunia lebih buruk, ataukah membiarkan harga terus menukik dengan harapan percepatan pemulihan ekonomi secara global.
Pemerintahan SBY-JK pun menaikkan harga BBM untuk menekan besaran subsidi. Jika pada saat itu pemerintah tidak menaikkan harga BBM ketika harga minyak mentah di pasar internasional melonjak di atas 125 dolar AS per barel, maka beban subsidi BBM yang harus ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa melebihi angka Rp 190 triliun dari seharusnya Rp 126,8 triliun yang sudah dianggarkan.
Jika dibandingkan dengan dana penanggulangan kemiskinan yang disalurkan melalui program pemberdayaan masyarakat yang tersebar di 22 departemen dan lembaga, maka jumlah subsidi yang ditanggung pemerintah luar biasa besarnya. Besaran dana penanggulangan kemiskinan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2004 dana penanggulangan kemiskinan hanya Rp 18 triliun, lantas meningkat menjadi Rp 23 triliun pada 2005, lalu Rp 42 triliun pada 2006, Rp 51 triliun tahun 2007, dan Rp 82 triliun pada 2008. Karena itu, pilihan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada saat itu adalah pilihan rasional dan tepat.
Kini, dengan menyusutnya pertumbuhan ekonomi global sebagai dampak "tsunami" finansial, diprediksi permintaan minyak mentah dunia juga menurun. Era mata uang euro "membantai" mata uang dolar Amerika pun naga-naganya mulai mengendur. Baik AS maupun Uni Eropa sama-sama mengalami masalah di sektor finansial.
Melemahnya mata uang Amerika sepanjang tahun terhadap mata uang euro juga berkontribusi signifikan atas meningkatnya harga minyak. Para pemain pasar uang ramai-ramai melakukan hedging (lindung nilai) atas nilai asetnya ke minyak agar tidak tergerus oleh inflasi.
Tren penurunan tersebut minimal dapat menghilangkan ketakutan atas "hantu" inflasi. Tanda-tanda itu sudah terlihat ketika sebagai pembuka, bank sentral Australia sudah memulai dengan memangkas suku bunga acuan sebesar 100 basis poin. Bank sentral Amerika, The Fed, sudah memangkas suku bunga acuan (Fed fund rate) menjadi 1,5%. Bank sentral Hong Kong, Bank of England, dan bank sentral Inggris, misalnya, juga mengikuti langkah yang diambil bank sentral Australia. Bank of Japan, salah satu bank sentral yang menjadi acuan pasar uang, juga sudah merilis tidak akan menaikkan suku bunga acuan 0,5%.
Di dalam negeri, pemerintah masih terus bergelut mengendalikan "hantu" inflasi sebagai akibat kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Hingga saat ini, inflasi year on year (September 2007-September 2008) mencapai 12,14%. Sedangkan inflasi sepanjang Januari hingga September 2008 mencapai 10,47%. Rasanya sulit untuk mencapai target inflasi sepanjang tahun 2008 sebesar 11,4%.
Jadi, mungkinkah pemerintah memanfaatkan momentum tren penurunan harga minyak dunia dengan mengambil langkah menurunkan harga BBM? Menurunkan harga BBM merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan "hantu" inflasi. Jinaknya "hantu" inflasi adalah berkah bagi kita semua, khususnya rakyat menengah ke bawah yang populasinya lebih besar ketimbang kalangan berpunya.
Di satu sisi, tren penurunan harga minyak di pasar internasional dapat dijadikan momentum untuk mengecilkan atau menghanguskan subsidi BBM yang sudah dianggarkan di APBN. Pemerintah dapat mengalihkan anggaran subsidi tersebut untuk program pemberdayaan masyarakat dan program penanggulangan kemiskinan.
Apabila akhirnya pemerintah mengambil keputusan menurunkan harga BBM, maka tekanan inflasi di tiga bulan tersisa akan mengendur. Dengan demikian, kita bisa berharap Bank Indonesia dapat kembali menurunkan BI Rate secara berkelanjutan, yang akhirnya menggairahkan sektor riil. Kini dengan BI Rate sebesar 9,5%, rasanya sulit bagi sektor riil untuk mengembangkan usahanya.
"Tsunami" finansial yang melanda AS dan Uni Eropa harus dijadikan momentum bagi kita semua untuk membantu pemerintah dalam mengendalikan "hantu" inflasi dengan mencintai dan menggunakan produk dalam negeri. Mari kita hidupkan lagi semangat yang pernah diletakkan oleh Pak Harto selaku Ketua Dewan Penasihat Golkar saat menunjuk Pak Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Muda Pendayagunaan Produk Dalam Negeri. Bukankah salah satu produk Menmud Ginandjar adalah keppres yang mengatur penggunaan dan perlindungan bagi produksi dalam negeri? Sekarang adalah saat yang tepat menjalankan apa yang sudah diretas oleh Pak Harto.
Kinilah saatnya SBY-JK meningkatkan popularitasnya di mata rakyat dengan memutuskan harga BBM turun, seperti yang diinginkan oleh sebagian besar masyarakat menengah dan bawah.***
Lalu Mara Satria Wangsa adalah Staf Khusus Menko Kesra.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi
http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini