Friday, April 7, 2006

Blok Cepu Perlu Sikap Nasionalis Negarawan

Dalam keseharian, pernah berkembang penggunaan istilah paham Nasionalis Pragmatis kemudian pendapat Nasionalis Sempit sejalan dengan sikap Pro-Kontra Blok Cepu. Hal ini perlu diluruskan agar kehidupan berbangsa dan bernegara kita senantiasa tetap sehat adanya.
Adapun Nasionalisme itu juga diartikan sebagai paham Kebangsaan yakni paham yang mengajarkan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada Negara Kebangsaan (definisi Hans Kohn, dikutip A. Dahlan Ranuwihardja, SH dalam buku Sejarah Lahirnya Pancasila, YAPETA Pusat, Maret 1995). Lebih lanjut A. Dahlan Ranuwihardja, SH menyatakan bahwa rambu-rambu paham Kebangsaan adalah Pro Kemerdekaan, Anti Penjajahan, Kemerdekaan adalah hasil Perjuangan, Pro Ketuhanan, Anti Atheisme, Pro Tujuan Nasional, Pro Demokrasi, Pro Republik, Pro UUD, Pro Pancasila yang salah satunya Persatuan Indonesia. Dan Prof MR Notonegoro (Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila) menegaskan Paham Kebangsaan Indonesia yang dalam Pancasila adalah Persatuan Indonesia diartikan sebagai Persatuan Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang ber-Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, yang ber-Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Lebih jauh, Cita Bangsa Indonesia itu sesungguhnya telah diamanatkan oleh Soempah Pemoeda 1928, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya 1928, Pancasila 1945 dan Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan Politikus itu Ahli Negara atau Negarawan [Plato, 427 - 347 SM] artinya seorang penguasa dicita-citakan dari seorang akhli Negara yang baik, yang sejati, yang harus berpendirian sesuai dengan Politika, dan harus selalu berusaha kearah kebajikan. Lebih lanjut, dari beberapa kamus seperti John M. Echols dan Hassan Shadily diperoleh Statesman = negarawan, ahli kenegaraan, Statesmanlike = sebagai negarawan, sifat-sifat seorang negarawan, Statesmanship = kenegarawanan, kecakapan sebagai negarawan, dari Hoetomo, MA disimak Statesman = negarawan, Statesmanship = kenegarawanan, dari Merriam Webster didapat Statesman = a person engaged in fixing the policies and conducting the affairs of a government especially one wise and skilled in such matters, sedangkan Collins menuliskan Statesman = experienced and respected political leader, Webster’s American English mengungkapkan Statesman = one skilled in government or diplomacy, Oxford menandai Statesman = distinguished and capable politician or diplomat, Longman menyatakan Statesman = a political or governmental leader, especially one who is respected as being wise and fair, a respected elder statesman – statesmanship, sedangkan dari Prof Drs S. Wojowasito – W.J.S Poerwadarminta bisa dicermati Statesman = ahli tata Negara, Statesmanship = kebijaksanaan dalam urusan tata Negara. Dengan lain perkataan, Politikus adalah profesi yang seharusnya mulia adanya, dan perlu dibedakan dengan profesi Pejabat Publik bahkan terhadap Jiwa, Semangat dan Nilai-nilai Kenegarawanan itu sendiri.
Aktualisasi sikap Nasionalis Negarawan tersebut diatas seharusnya bisa menjadi resep yang ampuh bagi Pejabat Publik setingkat Menteri ketika mengemban misalnya Pasal-29 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi, 14 Oktober 2004, saat berhadapan dengan realitas kepentingan para Pihak. Pasal-29 ini menyatakan bahwa (1) Kontraktor melalui Badan Pelaksana dapat mengusulkan kepada Menteri perubahan (amandemen) ketentuan dan persyaratan Kontrak Kerja Sama; (2) Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan pertimbangan Badan Pelaksana dan manfaat yang optimal bagi Negara.
Namun bilamana tidak, maka kelak akan bisa berpeluang besar ditemuinya praktek penyimpangan Kontrak Kerja Sama (KKS) BPMiGas dengan Kontraktor Asing terhadap misalnya Pasal-38 Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, 14 Oktober 2004 menyatakan bahwa Terhadap Kontrak Kerja Sama tunduk dan berlaku hukum Indonesia.
Demikian pula penyimpangan terhadap baik Pasal-11 Undang Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, 23 Nopember 2001 maupun Pasal-26 Peraturan Pemerintah No. 35/2004, 14 Oktober 2004 menyatakan bahwa Kontrak Kerja Sama (KKS) wajib memuat paling sedikit ketentuan2 pokok yaitu : (a) penerimaan Negara, (b) Wilayah Kerja dan pengembaliannya, (c) kewajiban pengeluaran dana, (d) perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi, (e) jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, (f) penyelesaian perselisihan, (g) kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri, (h) berakhirnya kontrak, (i) kewajiban pasca operasi pertambangan, (j) keselamatan dan kesehatan kerja, (k) pengelolaan lingkungan hidup, (l) pengalihan hak dan kewajiban, (m) pelaporan yang diperlukan, (n) rencana pengembangan lapangan, (o) pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, (p) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat, (q) pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Oleh karena itulah, kualifikasi profesionalitas (seringkali beratribut akademik yang sesuai) bagi Menteri dengan kapasitas jabatan sebagai regulator sumber daya alam strategik bagi Negara dan bangsa tidaklah cukup, perlu kelengkapan kualifikasi sikap Nasionalis Negarawan berdasarkan rekam jejak. Setidaknya, pengalaman empiris KKS Blok Cepu yang dikenali kontroversial itu dapat memicu upaya2 kaji ulang ini, demi NKRI. Rekam jejak yang tercatat adalah bahwa Menteri ESDM kinilah yang prakarsai RUU MiGas edisi ke-2 yang kemudian menjadi UU MiGas 2001, yang dalam implementasinya justru berbuah terhadap penurunan produksi MiGas akibat kegiatan eksplorasi ladang MiGas yang baru menurun atau bahkan dapat dianggap tidak ada sama sekali antara lain sebagai dampak Pasal-31 (3b) UU MiGas yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak terdiri atas pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi. Padahal kegiatan eksplorasi adalah prasyarat bagi keberadaan kegiatan eksploitasi. Tanpa kegiatan eksplorasi yang memadai maka kegiatan eksploitasi yang ada hanya menyisakan situasi dan kondisi sumur2 tua dengan tingkat produksi yang tidak mencukupi.
Demikian pula, bilamana sikap Nasionalis Negarawan cukup adanya, maka misalnya tidak akan lalu muncul situasi dan kondisi (sikon) pasca Joint Operating Agreement (JOA), 15 Maret 2006 yang berujung hanya Joint Operating Committee (JOC) karena sebetulnya Association of International Petroleum Negotiators (AIPN, Texas) yang jadi rujukan model JOA itu, merekomendasikan berujung Joint Ventures (JV Company) yang dapat merujuk UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini tentunya lebih menjamin pemberlakuan Pasal-38 PP No. 35/2004 termaksud diatas secara utuh, misalnya pilihan tempat sengketa adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) bukan International Chambers of Commerce bagi Blok Cepu. Sikon ketidakpastian menjadi lebih besar dengan resiko tergadaikannya asset Negara yang lain kelak ketika sengketa terjadi diantara para Pihak. Hal ini berarti “mari bersama kita bisa siap2 berbagi resiko ???”.

Jakarta, 2 April 2006
DR Ir Pandji R. Hadinoto, MH / Ikatan Cendekiawan Demokrat Indonesia 45

2 comments:

bagusalfa said...

Tanggapan :



Istilah Nasionalisme Kenegaraan menurut pendapat saya tidak benar,karena tidak cocok dengan lahirnya faham Nasionalisme di Indonesia. Dalam tulisan saya yang terdahulu (06.04.2006 ) dalam menanggapi tulisannya pak DR Ir Pandji R.Hadinoto, PE, MH yang membahas masalah Nasionalis Pragmatis Blok CEPU Kontraproduktif,telah saya kemukakan pendapat saya tentang Nasionalisme, yang antara lain sebagai berikut: (kutipan dari tulisan saya pada 06.04.2006)



Dalam persoalan ini saya berpendapat bahwa arti kata Nasionalisme menurut pemahaman saya adalah suatu pandangan atau suatu isme. Isme ini lahir dari kandungan kolonialisme, terutama kolonialisme Barat. Khususnya di Indonesia, faham Nasionalisme ini lahir dari kandungan kolonialisme Belanda, yang telah menjajah Indonesia selama kira-kira 300 tahun lebih lamanya.

Dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, penduduk daerah jajahan Belanda dari Sabang sampai Maraoke, semuanya merasa bernasib sama, yaitu penindasan dari kolonialisme Belanda. Atas dasar ini maka terbentuknya faham atau sikap Nasionalisme bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan kolonialisme Belanda.

Jadi disini jelas bahwa faham atau sikap Nasionalisme Indonesia harus selalu memngandung nilai-nilai patriotisme, yang berarti sikap mempertahankan dan membela tanah air dan segala kekayaan bumi dan alamnya demi kesejahteraan nusa,bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Demikianlah Nasionalisme yang kiranya cocok dengan sifat dan watak dari revolusi Agustus 1945.

Pengertian Nasionalis Kenegaraan menurut pendapat saya sangat tidak jelas nilai revolusionernya,nilainya meragukan ditinjau dari segi kepentingan revolusi Agustus 1945. Mengapa demikian, karena arti kata negarawan terlalu luas, seorang negarawan belum tentu memiliki kesadaran patriotisme, dia bisa berkesadaran konserfatif. Ia bisa berdiri sejajar dengan seorang nasionalis, tetapi merupakan kategori terpisah dari pandangan-pandangan patriotisme. Seorang negarawan bisa sekaligus konserfatif,liberal atau sosial demokrat,tapi belum tentu memiliki kesadaran patriottik.

Terutama dalam masalah Blok Cepu, kita harus mempunyai sikap yang tegas dan kuat, suatu sikap yang mempertahankan kedaulatan tanah air dan bangsa Indonesia, oleh karena itu penggunaan kata Nasionalisme Kenegaraan dipandang sangat lemah, tidak mempunyai jiwa revolusi Agustus 1945 dengan UUD 45 pasal 33. Nasionalisme Kenegaraan dalam hal ini saya sejajarkan dengan Nasionalisme Pragmatis. Karena Kenegaraan adalah suatu sikap yang secatra umum menegasi kebenaran objektif dari nilai kebenaran absolut semangat revolusi Agustus 45, yaitu pratriotisme dan hanyut didalam arus relatifisme.



Roeslan.

Anonymous said...

Untuk clarity, perkenankanlah saya tambahkan keterangan sebagai berikut : bahwa menurut pemahaman saya, Sikap Negarawan bukan milik Pejabat Publik saja tapi bisa juga milik Warga Peduli Kenegaraan, dengan lain perkataan, Pejabat Publik (baik yang terpilih maupun yang tertunjuk) belum tentu punya Sikap Negarawan sebagaimana mestinya, namun bagaimanapun juga adalah arif dan bijaksana sekiranya Bersama Kita Bisa Bina Nasionalis Religius Negarawan yang Cendekia dan/atau Cendekia yang Nasionalis Religius Negarawan.
Sikap2 Nasionalis, Religius, Negarawan, Cendekia itu dapat saling memperkuat satu sama lain bagi pembentukan karakter kader2 bangsa, tidak demikian misalnya sikap2 Nasionalis Tidak Cerdas, Nasionalis Sempit, ataupun Nasionalis Pragmatis yang satu sama lain dapat saling reduksi.
Salam "Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur" (Pembukaan UUD 1945)
Pandji R. Hadinoto
icdi45@yahoo.com