Pemprov Sulsel Harus Berani Menolak Tanaman Transgenik
Pasca kasus tanaman kapas transgenik di Sulsel tahun 2000-2001 lalu, tanaman hasil rekayasa genetik tidak ramai diperbincangkan, dan tidak ‘heboh’ lagi di media lokal maupun nasional. Namun dalam waktu dekat ini, rupanya teknologi rekayasa tanaman akan dikembangkan lagi di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Belum diketahui secara pasti jenis tanaman transgenik apa yang akan dikembangkan, akan tetapi sebuah lokakarya mengenai dampak tanaman transgenik memunculkan sejumlah kekuatiran akan masuknya kembali tanaman transgenik di Sulsel.
Lebih awal Pemprov Sulsel sangat hati-hati terhadap transgenik. Tidak mau mengulang kejadian lima tahun silam. Prinsip kehati-hatian itu supaya pemerintah punya dasar yang kuat untuk menentukan sikap. Tidak mudah tergiur dengan segala keunggulan tanaman trasgenik, dan melupakan dampak negatifnya yang justru bisa lebih besar. Hal itu disampaikan Asisten II Pemprov Sulsel, HB Amiruddin Maula ketika mewakili Gubernur HM Amin Syam dalam lokakarya bertajuk,’’Sosialisasi Dampak Transgenik Sebagai Komoditi Unggulan’’ dilaksanakan oleh Yayasan Hijau bekerjasama dengan Badan Ketahanan Pangan Daerah (BKPD) Provinsi Sulsel tanggal 9 Februari 2006 di Hotel Quality Makassar.
Menurut Maula, sebuah negara yang kuat harus memiliki landasan pertanian dan ketahanan pangan yang kuat. Mari belajar dari pengalaman Afrika dan Uni Soviet. Afrika mengalami kesulitan pembangunan ekonomi akibat tidak tercapainya ketahanan pangannya. Kemudian Uni Soviet harus mengalami perpecahan karena ketidaktangguhan pertaniannya dan tidak mampu memutus ketergantungannya terhadap impor pangannya.
Pengalaman Sulsel dalam pembangunan pertanian sudah banyak. Sejak tiga dekadu yang lalu, diterapkan paket teknologi untuk mendukung produktivitas hasil pertanian, akan tetapi ternyata penerapan teknolgi itu memberikan dampak negatif terhadap penurunan kualitas lingkungan akibat pemakaian pestisida yang berlebihan.
Pengalaman kedua, ketika munculnya teknologi rekayasa genetik atau transgenik dengan segala keunggulan yang ditawarkan, akan tetapi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia sebagai konsumen. Bukan hanya itu, transgenik tidak cocok bagi rakyat miskin yang mayoritas petani, serta menghilangkan kearifan tradisional petani dan keanekaragaman hayati.
Masih ada dalam ingatan, ketika tanaman kapas transgenik dikembangkan di beberapa kabupaten, seperti Bantaengm dan Bulukumba yang harus dihentikan penanamannya karena lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya. Belum lagi peredaran dan penanaman ilegal jagung dan kedelai transegik, karena tidak berlabel, justru menurunkan produktivitas panenan.
‘’Semua contoh tersebut perlu dijadikan pelajaran bahwa tidak semua teknologi dari negara luar atau negara maju bisa diadopsi dan diterapkan di Indonesia,’’tegas Amiruddin Maula menyampaikan sikap Pemprov Sulsel terhadap tanaman transgenik. Ia meminta agar lokakarya tersebut melahirkan sebuah rumusan yang bisa dijadikan bahan untuk menyikapi tanaman transgenik di Sulsel.
Salah satu hasil dari lokakarya itu adalah terbentuknya forum yang akan melakukan kajian dan pengumpulan data terhadap transgenik.
Sementara itu, Eksekutif Daerah WALHI Sulsel, Inda Fatinaware meminta agar Pemprov Sulsel tidak menjadikan forum tersebut sebagai alat legitimasi masuknya tanaman transgenik di Sulsel. Forum tersebut harus independen dalam bekerja. ‘’Jangan sampai kasus kapas transgenik terulang,’’ tegas Inda kepada usai menghadiri lokakarya itu.
Dia akan memegang statemen Gubernur HM Amin Syam yang disampaikan Asisten II Amiruddin Maula, yang berani menolak transgenik dengan alasan kedaulatan pangan harus dikembalikan kepada petani. ‘’Saya kira kedaulatan petani adalah hal yang penting. Kedaulatan petani menjadi alasan utama penolakan tanaman transgenik. Kalau arah kebijakan pertanian Sulsel untuk menguatkan ketahanan pangan masyarakat, maka seharusnya mengembalikan kedaulatan pangan di tangan petani. Caranya, berikan kebebasan kepada petani untuk menanam bibit yang mereka kembangkan sendiri, bukan bibit yang diintroduksi dari luar negeri dengan alasan produktivitas, dan diminta kepada Pemprov Sulsel agar tidak lagi menambah atau membuka lahan baru untuk industri karena itu akan menghilangkan kedaulatan petani,’’tandasnya.
Meski dalam lokakarya tersebut tidak disebutkan jenis tanaman transgenik apa yang akan dikembangkan secara massal di Sulsel, akan tetapi menurut Inda, kemungkinannya jagung dan kedelai transgenik karena selama ini telah beredar jenis tanaman tersebut di masyarakat, akan tetapi tidak diberi label.
Berdasarkan Data Direktorat Bina Benih Deptan RI, sejak tahun 1998, di Indonesia, sudah ada 22 varietas jagung unggul dari perusahaan multinasional, yaitu Charoen Pokphand, Cargill, dan Pioneer. (basriandang/Jurnal Celebes)
From: basri andang
Date: Feb 16, 2006 5:27 PM
Subject: [beritabumi] Berita transgenik di Sulsel
No comments:
Post a Comment