Konsep Jungkir Balik
Oleh Kartono Mohamad
KETIKA Artika, peserta kontes ratu sejagat dari Indonesia, menyatakan bahwa ia datang dari negara yang religius, maka ia tidak bersedia mengenakan pakaian renang bikini, terasa ada ironi di sana. Ia mengatakan bahwa ia datang dari bangsa yang religius, tetapi ironinya juga bangsa yang memiliki angka korupsi tertinggi di dunia. Ada ironi karena ternyata orang-orang religius di negara Artika lebih mempersoalkan bikini daripada korupsi. Ada konsep moral yang terjungkirbalikkan.
Konsep moral yang jungkir balik ini juga tampak dari mereka yang sehari-hari bicara antikorupsi, ternyata kemudian tertangkap sebagai koruptor, tetapi menyatakan bahwa yang diperbuatnya itu suatu kewajaran sesuai dengan posisinya, dan bukan korupsi.
Konsep jungkir balik itu juga tampak ketika terjadi busung lapar di negara ini. Ada pejabat yang mengatakan bahwa itu hanya satu kasus, tetapi ketika kemudian muncul kasus-kasus lain, pejabat lain mengatakan bahwa itu kecelakaan karena salah orangtua.
Logikanya, yang sehari-hari memberi makan orangtuanya, bukan pejabat pemerintah. Jadi mengapa pemerintah yang disalahkan? Mengapa orangtua tidak memerhatikan anaknya? Barangkali pejabat itu belum pernah menjadi orangtua, atau belum pernah mengurusi langsung anaknya sendiri karena ada pembantu, asisten, dan sebagainya.
Di dunia ini rasanya tidak ada orangtua yang akan berbulan-bulan membiarkan anaknya kelaparan dan mati karena tidak diberi makan. Kalau sampai terjadi busung lapar, ada dua kemungkinan: pertama, orangtua itu tidak mampu membeli makanan yang baik untuk anaknya. Kedua, ia tidak tahu bagaimana memberi makanan yang baik. Sesuai dengan UUD yang dianut di negara ini, negara mempunyai kewajiban menyejahterakan rakyatnya dan sekaligus juga mencerdaskan mereka.
Jadi, kalau rakyat sampai tidak mampu membeli makanan untuk anaknya, seharusnya pejabat itu mempertanyakan apa yang telah saya perbuat sehingga rakyat tidak sejahtera, dan apa yang telah saya perbuat sehingga rakyat tidak tahu bagaimana memberi makan kepada anaknya? Para pejabat kan mendapat amanat dan digaji oleh rakyat yang busung lapar itu untuk melaksanakan UUD. Lebih menyedihkan lagi, peristiwa itu terjadi di provinsi yang sudah berhasil menjadi produsen padi yang berlebih.
NESTAPA busung lapar terjadi tidak lama setelah ada outbreak polio, ketika dulu pernah diklaim bahwa imunisasi polio secara nasional sudah berhasil. Kali ini yang disalahkan juga orangtua yang tidak mau anaknya diimunisasi dan virus liar yang dibawa orang, mungkin TKI, dari negeri seberang. Ada juga pejabat tinggi yang mengatakan vaksin polio akan diberikan gratis. Seolah ini adalah hadiah dan kemurahan hati pemerintah, padahal itu memang kewajiban pemerintah.
Sekali lagi pemerintah tidak merasa telah berbuat salah. Kalau ada orangtua tidak mau anaknya diimunisasi, dan kalau ada TKI membawa virus dari luar, mengapa pemerintah yang disalahkan?
Sekali lagi ini bukti penjungkirbalikan konsep. Konsep bahwa betapapun juga pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyatnya, menyejahterakannya dan mencerdaskannya rupanya hanya tinggal konsep. Kalau semua itu tidak berhasil, maka yang salah seharusnya bukan rakyat. Sekali lagi terjadi ironi di sini karena peristiwa ini terjadi di kabupaten yang menjadi pusat penghasil air mineral komersial.
Ini menunjukkan bahwa sumber air mineral di wilayah itu cukup berlimpah dan kontribusi dari pengusaha air mineral kepada pemerintah daerah tentu sangat besar. Tetapi toh rakyatnya terkena polio yang menunjukkan bahwa rakyat tidak memperoleh kesempatan menikmati air bersih, atau tidak diberi kesempatan menikmati hasil PAD (pendapatan asli daerah) dari air bersih itu.
DALAM sebuah kesempatan berkunjung ke Kabupaten Kutai Timur, saya berkesempatan mengunjungi sebuah posyandu. Para kader sangat antusias mungkin karena mengira saya pejabat dari pusat. Mereka menunggu kedatangan kami meskipun terlambat dua jam. Yang mencengangkan adalah adanya seorang ibu yang rumahnya hanya lima puluh meter jaraknya dari posyandu tetapi mempunyai anak usia satu setengah tahun dengan berat badan hanya delapan kilogram.
Agaknya tidak ada yang menjelaskan kepadanya bahwa berat badan anaknya itu jauh di bawah yang seharusnya. Dan lebih mencengangkan lagi mereka mengatakan bahwa posyandu mereka itu sudah lebih dari dua tahun tidak pernah dikunjungi dokter atau pejabat lokal, baik pejabat kesehatan maupun pengurus PKK.
Ini membuktikan bahwa sistem posyandu yang dulu bagus, sekarang sudah tidak dipedulikan lagi. Demikian pula kejadian polio dan busung lapar, seharusnya sistem posyandu ini, jika benar dimanfaatkan dan diberdayakan, dapat menjadi sarana deteksi dini terhadap kemungkinan KLB. Tetapi mengapa sistem yang sudah ada ini mengalami degradasi?
Pada umumnya pejabat menyatakan: tidak ada anggaran. Tetapi anggaran untuk membangun rumah sakit, gedung-gedung pejabat, dan kepentingan para pejabat selalu tersedia. Tentu karena pejabat mempunyai tugas yang berat sehingga perlu fasilitas, sementara masalah kesejahteraan rakyat biarlah diurus oleh rakyat itu sendiri.
Kita tidak tahu bencana apa lagi yang mengintai setelah tsunami, demam berdarah, polio, dan busung lapar. Tetapi, di luar tsunami, bencana-bencana itu menunjukkan bahwa sistem tidak berjalan di negeri ini. Mungkin tidak ada sistem, mungkin ada sistem deteksi dini tetapi tidak dimanfaatkan, mungkin ada sistem tetapi tidak tahu bagaimana memanfaatkannya, atau mungkin juga para pejabat dari daerah sampai pusat tidak peduli pada sistem.
Kali ini saya menyalahkan para pejabat dan bukan ibu-ibu yang tidak tahu dan tidak mampu mengurusi anaknya.
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
No comments:
Post a Comment