Thursday, February 23, 2006

Happiness Gede Prama Off Air : Stop Comparing, Start Flowing !

Gede Prama memulai talkshow dengan bercerita tentang tokoh asal Timur
Tengah, Nasruddin. Suatu hari, Nasruddin mencari sesuatu di halaman
rumahnya yang penuh dengan pasir. Ternyata dia mencari jarum.
Tetangganya yang merasa kasihan, ikut membantunya mencari jarum
tersebut. Tetapi selama sejam mereka mencari, jarum itu tak ketemu juga.

Tetangganya bertanya, "Jarumnya jatuh dimana?"

"Jarumnya jatuh di dalam," jawab Nasruddin.

"Kalau jarum bisa jatuh di dalam, kenapa mencarinya di luar?" tanya
tetangganya. Dengan ekspresi tanpa dosa, Nasruddin menjawab, "Karena di
dalam gelap, di luar terang."

Begitulah, kata Gede Prama, perjalanan kita mencari kebahagiaan dan
keindahan. Sering kali kita mencarinya di luar dan tidak mendapat
apa-apa. Sedangkan daerah tergelap dalam mencari kebahagiaan dan
keindahan, sebenarnya adalah daerah-daerah di dalam diri. Justru letak
'sumur' kebahagiaan yang tak pernah kering, berada di dalam. Tak perlu
juga mencarinya jauh-jauh, karena 'sumur' itu berada di dalam semua
orang.

Sayangnya karena faktor peradaban, keserakahan dan faktor lainnya,
banyak orang mencari sumur itu di luar. Ada orang yang mencari bentuk
kebahagiaannya dalam kehalusan kulit, jabatan, baju mahal, mobil bagus
atau rumah indah. Tetapi kenyataannya, setiap pencarian di luar
tersebut akan berujung pada bukan apa-apa. Karena semua itu, tidak akan
berlangsung lama. Kulit, misalnya, akan keriput karena termakan usia,
mobil mewah akan berganti dengan model terbaru, jabatan juga akan hilang
karena pensiun.

"Setiap perjalanan mencari kebahagiaan dan keindahan di luar, akan
selalu berujung pada bukan apa-apa, leads you nowhere. Setiap
kekecewaan hidup yang jauh dari keindahan dan kebahagiaan, berangkat
dari mencarinya di luar," tegas Gede Prama. Untuk mencapai tingkatan
kehidupan yang penuh keindahan dan kebahagiaan, seseorang harus melalui
5(lima) buah 'pintu' yang menuju ke tempat tersebut.

Pintu pertama adalah stop comparing, start flowing.

"Stop membandingkan dengan yang lain. Seorang ayah atau ibu belajar
untuk tidak membandingkan anak dengan yang lain. Karena setiap
pembandingan akan membuat anak-anak mencari kebahagiaan di luar," ujar
Gede Prama.

Setiap penderitaan hidup manusia, setiap bentuk ketidakindahan, menurut
Gede Prama, dimulai dari membandingkan. Gede Prama mencontohkan orang
kaya berkulit hitam yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa dia
berkulit hitam. Orang itu sering kali membandingkan dirinya dengan orang
kulit putih.

"Uangnya banyak, mampu mengongkosi hobinya untuk operasi plastik.
Sehingga orang yang hidup dari satu perbandingan ke perbandingan lain,
maka hidupnya kurang lebih sama dengan seorang orang kaya itu. Leads you
nowhere," kata Gede Prama dengan logatnya yang khas.

Karena itu, Gede Prama mengajak peserta ke sebuah titik, mengalir
(flowing) menuju ke kehidupan yang paling indah di dunia, yaitu menjadi
diri sendiri. Apa yang disebut flowing ini sesungguhnya sederhana saja.

Kita akan menemukan yang terbaik dari diri kita, ketika kita mulai
belajar menerimanya. Sehingga kepercayaan diri juga dapat muncul.
Kepercayaan diri ini berkaitan dengan keyakinan-keyakinan yang kita
bangun dari dalam. "Tidak ada kehidupan yang paling indah dengan menjadi
diri sendiri. Itulah keindahan yang sebenar-benarnya!" kata Gede Prama.

Pintu kedua menuju keindahan dan kebahagiaan adalah memberi. Sebab
utama kita berada di bumi ini, kata Gede Prama, adalah untuk memberi.
"Kalau masih ragu dengan kegiatan memberi, artinya kita harus memberi
lebih banyak," ujar Gede Prama.

"Saya melihat ada 3 tangga emas kehidupan; I intend good, I do good and
I am good. Saya berniat baik, saya melakukan hal yang baik, kemudian
saya menjadi orang baik. Yang baik-baik itu bisa kita lakukan, bila kita
konsentrasi pada hal memberi," lanjut Gede Prama lagi. Memberi tidak
harus selalu dalam bentuk materi. Pemberian dapat berbentuk senyum,
pelukan, perhatian. Dan setiap manusia yang sudah rajin memberi, dia
akan memasuki wilayah beauty and happiness.

"Saya sering bertemu dengan orang-orang kaya. Ada yang suka memberi, ada
yang pelit. Saya melihat orang yang tidak suka memberi muka orang itu
keringnya minta ampun. Orang yang mukanya kering ini bertanya pada saya,
apa rahasia kehidupan yang paling penting yang bisa saya bagi ke saya.

Saya bilang sleep well, eat well," ungkap Gede Prama sambil tersenyum.
Artinya memang, untuk ongkos untuk menjadi bahagia tidak mahal. Hanya
saja orang sering kali memperumit hal yang sudah rumit. Kalau kita
sederhanakan, sleep well, eat well akan jadi mudah jika diikuti dengan
kegiatan memberi.

Pintu ketiga untuk menuju keindahan dan kebahagiaan adalah berawal dari
semakin gelap hidup Anda, semakin terang cahaya Anda di dalam.
Perhatikanlah bintang di malam hari tampak bercahaya, jika langitnya
gelap. Sedangkan, lilin di sebuah ruangan akan bercahaya bagus, jika
ruangannya gelap. Artinya, semakin Anda berhadapan dengan masalah dan
cobaan dalam hidup, semakin bercahaya Anda dari dalam.

"Jika Anda punya suami yang keras dan marah-marah, jangan lupa
bersyukurlah. Karena suami yang keras dan marah-marah, membuat sinar
dari dalam diri Anda bercahaya. Anda punya istri cerewetnya minta
ampun. Bersyukurlah, karena orang cerewet adalah guru kehidupan
terbaik. Paling tidak dari orang cerewet kita belajar tentang kesabaran.
Jika Anda punya atasan diktatornya minta ampun. Bersyukurlah, karena
Anda dapat belajar tentang kebijaksanaan," ujar Gede Prama membesarkan
hati.

Orang yang pada akhirnya menemukan keindahan dan kebahagiaan, menurut
Gede Prama, biasanya telah lulus dari universitas kesulitan. Semakin
banyak kesulitan hidup yang kita hadapi, semakin diri kita bercahaya
dari dalam. Mengutip perkataan Jamaluddin Rumi, semuanya dikirim sebagai
pembimbing kehidupan dari sebuah tempat yang tidak terbayangkan.

"Tidak hanya orang cantik saja yang berguna, orang jelek juga berguna.
Gunanya adalah karena orang jelek, orang cantik terlihat jadi tambah
cantik," kata Gede Prama disambut tawa peserta. "Jadi semuanya ada
gunanya, untuk menghidupkan cahaya-cahaya beauty and happiness,"
tegasnya.
---------
(? pintu keempat, tanyakan ke Gede Prama)
---------
Pintu kelima menuju keindahan dan kebahagiaan yakni tahu diri kita dan
kita tahu kehidupan. Manusia-manusia yang tidak tahu diri adalah manusia
yang tidak pernah ketemu keindahan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

"Sumur kehidupan yang tidak pernah kering berada di dalam. Sumur ini
hanya kita temukan dan kita timba airnya kalau kita bisa mengetahui
diri kita sendiri," kata Gede Prama.

Seandainya diri sendiri telah ditemukan, maka artinya kita kemudian
mengetahui kehidupan.

Gede Prama

Top Ten of Programming Advice to NOT follow

Copyright (C) 2006 Kristian Dupont Knudsen

A friend of mine is just beginning his professional programming career and
he asked me recently f I had any specific programming advice for him.
I found that I couldn't really think of anything interesting to say. There
are lots and lots of programming advice on the web. Some of it good, some of
it less so. But most of it is simply plain obvious or just too general to be
interesting.
Then I thought well, since I feel that I do have something to say in that
area, why not try and address some of the most common things people are
being told with which I disagree?
So here goes,
The top ten list of programming advice to not follow:

10) Don't use exceptions
Okay, I just had to throw in this particular one because it keeps showing up
over at Joel's. :)
Joel feels strongly about this and since he is read by many, I think he is
considered somewhat of an authority in the area. However, exceptions are in
my opinion superior to error return codes for many reasons.
This discussion relates to programming language discussions which tend to be
dead ends, so I'll step carefully. I think the number one reason why I like
exceptions is that it makes it easier to convince myself that my invariants
are enforced. Joel says: "Every time you call a function that can raise an
exception and don't catch it on the spot, you create opportunities for
surprise bugs caused by functions that terminated abruptly, leaving data in
an inconsistent state, or other code paths that you didn't think about." I
would argue the exact opposite: everytime you call a function that merely
returns an error code, you risk such surprises, simply because you may not
react to this error code. Throwing exceptions is a way to ensure that code
is not executed with a broken precondition. Error codes rely on the
programmer to remember. In C++, Java and C#, constructors are the most
obvious example. If something goes wrong during the construction of an
object, throwing an exception is the only way to back out, unless you want
to leave behind a zombie object. Granted, throwing an exception will cause
your entire program to explode if you don't catch it but at least, you will
have valuable information about where things went wrong. Zombie objects on
the other hand, are bombs with a timer set to go off in maybe a second or
so, when code that relies on that particular object fails. Now, a second may
not be a lot to you and me but to the computer, this is millions of
instructions away from the erroneous code. Tracking that is a lot harder.


9) Use unsigned integers for values that can only be positive
I'm a bit nervous about this one because it is used in the STL and if there
is one thing that I have learned it is that those guys thought things
through. STL is an example of strikingly good design. However, in STL, size
types - *::size_type are unsigned integers just like the old C size_t was.
Why that is I simply don't understand. Unsigned integer types seem nice at
first because they feel safer. They have a constraint that says "this
variable will never become negative" which makes perfect sense for a number
of variables, such as sizes. Problem is, this constraint is enforced by
wrapping rather than bounds checking (at least in C and C++ - in C# you can
turn on overflow checking and as far as I know, Java doesn't have unsigned
integer types). Hence, you simply end up having no way to tell whether it
has been violated or not - the bit which could be used for error indication
is now used to gain size. But we're talking one bit here, people. If you're
stretching your code so far as to require the size gained by that one bit,
you are probably in the danger zone of introducing errors of more serious
kinds.


8) Design classes parallel to their physical counterparts
I believe that one of the reasons why OO is so popular is that it is so easy
to grasp. Inheritance and specialization really does seem to occur in real
life and the concept of classes fits nicely into real life phenomena. A Ford
is a car is a vehicle. Only this does not map very well to software. You're
not implementing a car. You're probably implementing a record of a car which
can carry a number of stock items from one city to another, with a certain
mileage and speed. This is not a car, it is a virtual reference to a certain
car. Thinking of it as a car will lead your design in the wrong direction.
Even if you're designing a model of a new prototype of car for Ford, which
will be rendered in 3D with physical modelling and all, you're _still_ not
implementing a car. People who think in such parallels are likely to find
themselves confused if they run into the "a square is a rectangle" problem.
In math, squares may well be subclasses of rectangles but making square
inherit from rectangle is plainly wrong.
But while I'm on the topic, I want to bring in a favourite nit of mine,
namely that inheritance is overrated. It used to be the case with C++,
though it seems most of the deep hierarchy people have moved to Java and C#,
leaving the C++ community to evolve in a direction that I think is more
promising. Danny Kalev puts this rather precisely.


7) Make sure your team shares a common coding standard
Not quite going to tell you to not do this, simply that I think it is much
less important than people make it. Programmers can see through indentation
and naming conventions, really. But alas, some don't want to (I didn't for a
long time - I would actually spend a lot of time reformatting source code to
fit my liking if I had to use it. Sigh).

Consider these two versions of the same function:

public string FormatAsHeadline(string sourceText)
{
string resultCode = "

" + sourceText + "

";
HeaderCount++;
return resultCode;
}

public string format_as_headline (string source_text) {
string result_code="

"+source_text+"

";
headerCount++;
return result_code;
}

Now tell me, is there one of the versions of the code above you could not
immediately decipher? Of course not. The two pieces are semantically
identical but they look different. But not so different that they would fool
a programmer. Now, if you're going to tell me that style is important, at
least have the guts to admit that they only really are because of your
aesthetical nit picking desires.


6) Write lots of comments
Make sure you comment your code. Otherwise, it will be impossible for anyone
to understand - including yourself in a year or so. I have heard that many
many times and thought that it was probably right. It makes sense after all,
and I have often found use of comments when trying to find meaning in
somebody elses code. Particularly, I have struggled with comment-less code
and sworn that I would never make that mistake. However, this is mostly the
case when the code is not self explanatory. Which it should be. If you feel
the need to write comments in your code, I suggest you try to refactor
instead, so comments won't be needed. Renaming some variables or introducing
a function call will probably do the trick. Context is better documented
using assertions. In fact, a context that cannot be described using
assertions is probably a bad sign!
There are times when comments serve a pupose though. Algorithmics can be
hard to grasp and yet impossible to simplify through further abstractions.
In such cases, you can explain yourself with comments. I think my colleague
Lars Thorup pointed out a very good test for comments: they should contain
the word "beacuse". This way, you know that you are answering a why rather
than a what.
Oh, and my favourite specialization of the comments advice: keep a history
of changes and author info etc. in the top of each file.
I've never actually heard anyone say that you should do this but I have seen
it so many times that there must be people out there recommending it. Why on
earth you would clutter the code with information that so obviously belongs
in the version control system is just beyond me.


5) Use accessors or properties rather than public fields
We've all learned this. Public fields are no good. Which is true, they're
not, because they break encapsulation. However, supplying accessors gives
you but a tiny bit more encapsulation. What you need to do is determine why
somebody from the outside needs to manipulate the inner workings of your
class. Often, you will find that there should really be a method or set of
methods that do the manipulation. Otherwise, your class might be the victim
of what Martin Fowler calls "feature envy", which means that other classes
seem to wish they had the fields that your class does. Maybe they should,
then?


4) Use the singleton pattern for variables that you KNOW you should have
only one instance of
Global variables are evil. And just because you put a such into a class
which in turn is put into a design pattern from nothing less than the GoF
book, it is no less so. Variables should live in the innermost scope
possible, since this makes every scope more deterministic. A method that
relies only on local variables is easier to analyze than one that also
relies on members of the class. Because instead of having to look around the
method for places where manipulation takes place, you now have to look
around the entire class. And guess what happens if you pull the variable
even further out? That's right - if global variables are used, you have to
look around the entire program for manipulation.
On a more philosophical level, what is "global"? The date could be said to
be a global variable, if one doesn't consider timezones and such, but that
is hardly what you mean. Neither is it what you get. "Global" in programming
terms means per process. Which is sometimes fine but it is actually a rather
arbitrary resolution given the distribution of many software systems. A
software system can consist of many processes running on many machines - and
each process may internally run many threads. In this perspective,
process-level variables are really somewhat of an odd size.
I should note that this goes for mutable variables only. I think. Global,
immutable variables - constants - are okay. For the simple reason that since
they do not vary, determinism is maintained and, they can safely be accessed
by all threads as well as multiple processes.


3) Be tolerant with input and strict with output
Yet another piece of advice that seems intuitive. My program or function
should be able to accept almost anything but produce a very deterministic
and streamlined set of results. This seems like really diplomatic behaviour,
however, it easily conflicts with a principle that is of greater importance:
fail fast. A function that accepts a vast variety of input formats is harder
to test and harder to validate. Also, it allows for problems to propagate
down the system - if a calling function supplied invalid data, this is less
likely detected. This brings us back to the exceptions point. You will want
to fail as soon as you realize something is wrong - and fail as effectively
as possible. Not pleasant to the user, perhaps, but much easier to find and
debug.
If you want to allow for various formats, for instance if you input is
entered by the user, you should split your function into two: a
normalization function and a processing function.


2) Code all the corner cases immediately, cause otherwise you'll never go
back and fix things
Why do we programmers feel guilty when not finishing a function? We're
simply keeping focus! First of all, the "you'll never go back and fix it"
argument is just silly. If you don't then it's obviously because it's not
necessary! But this point is part of an entirely different discussion about
whether you focus on aesthetics or economics, which I will not bring up
here.
Known hacks and incomplete code can be documented, preferably with a failing
test. But you can write a todo-item in your taks list for all I care.
Getting the broader picture together first is important because it shows you
whether your solution is on the right track or not. When you are certain,
focus on the details, but not before that. Which brings us to my number one
piece of advice not to follow:


1) Design first, then code
Okay, things are going political now, but even though you will find many
many people who disagree, I still feel that this is the single most valuable
lesson that I have learned. Designing first and then coding simply doesn't
work. The problem is that this is so counter intuitive that you more or less
have to find it out for yourself.
I think every programmer has experienced a project with no planning turning
into a mess. Changing such code can only be done with hacks and patches to
everyones great frustration. It is at that time that you realize that the
only decent way to code is by designing things right from the start. Only
now the frustration is even greater when you realize that your beautiful
design isn't prepared for exactly this new feature that you are to implement
now. What to do then?
You should think before you code. Go ahead, but think for hours, not days.
Don't kid yourself into believing you can sketch an entire design document
with UML diagrams and everything without making mistakes. At least, don't
think you can do so any faster than you could have simply written the code.
Now, if you're not familiar with agile methodologies such as eXtreme
Programming, the whole concept of evolving design sounds like the very
problem programmers are trying to solve with all their clever ways of
abstracting things out. And indeed, evolving design only works well if you
follow a number of practices. Short iterations, automated testing and
frequent refactoring being the most important.
I suggest you read Martin Fowler's excellent article Is Design Dead? which
explains it all a lot better that I am capable of.

Wednesday, February 22, 2006

Menjadi Apapun Dirimu.........

Menjadi karang-lah, meski tidak mudah. Sebab ia akan menahan sengat
binar mentari yang garang. Sebab ia akan kukuh halangi deru ombak
yang kuat menerpa tanpa kenal lelah. Sebab ia akan melawan bayu yang
keras menghembus dan menerpa dengan dingin yang coba membekukan.
Sebab ia akan menahan hempas badai yang datang menggerus terus-
menerus dan coba melemahkan keteguhannya. Sebab ia akan kokohkan
diri agar tak mudah hancur dan terbawa arus.Sebab ia akan berdiri
tegak berhari-hari, bertahun-tahun, berabad-abad, tanpa rasa jemu
dan bosan.

Menjadi pohon-lah yang tinggi menjulang, meski itu tidak mudah.
Sebab ia akan tatap tegar bara mentari yang terus menyala setiap
siangnya. Sebab ia akan meliuk halangi angin yang bertiup kasar.
Sebab ia akan terus menjejak bumi hadapi gemuruh sang petir. Sebab
ia akan hujamkan akar yang kuat untuk menopang. Sebab ia akan
menahan gempita hujan yang coba merubuhkan. Sebab ia akan senantiasa
berikan bebuahan yang manis dan mengenyangkan. Sebab ia akan berikan
tempat bernaung bagi burung-burung yang singgah di dahannya. Sebab
ia akan berikan tempat berlindung dengan rindang daun-daunnya.

Menjadi paus-lah, meski itu tak mudah. Sebab dengan sedikit
kecipaknya, ia akan menggetarkan ujung samudera. Sebab besar
tubuhnya akan menakutkan musuh yang coba mengganggu. Sebab sikap
diamnya akan membuat tenang laut dan seisinya.

Menjadi elang-lah, dengan segala kejantanannya, meski itu juga tidak
mudah. Sebab ia harus melayang tinggi menembus birunya langit. Sebab
ia harus melanglang buana untuk mengenal medannya. Sebab ia harus
melawan angin yang menerpa dari segala penjuru. Sebab ia harus
mengangkasa jauh tanpa takut jatuh. Sebab ia harus kembali ke sarang
dengan makanan di paruhnya. Sebab ia harus menukik tajam
mencengkeram mangsa. Sebab ia harus menjelajah cakrawala dengan
kepak sayap yang membentang gagah.

Menjadi melati-lah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia ‘kan tebar
harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah
tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya.
Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak
pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah
malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah
rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki
pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena
pahami hakikat hidupnya.

Menjadi mutiara-lah, meski itu tak mudah. Sebab ia berada di dasar
samudera yang dalam. Sebab ia begitu sulit dijangkau oleh tangan-
tangan manusia. Sebab ia begitu berharga. Sebab ia begitu indah
dipandang mata. Sebab ia tetap bersinar meski tenggelam di kubangan
yang hitam.

Menjadi kupu-kupulah, meski itu tak mudah pula. Sebab ia harus
melewati proses-proses sulit sebelum dirinya saat ini. Sebab ia
lalui semedi panjang tanpa rasa bosan. Sebab ia bersembunyi dan
menahan diri dari segala yang menyenangkan, hingga kemudian tiba
saat untuk keluar.

Karang akan hadapi hujan, terik sinar mentari, badai, juga
gelombang. Elang akan menembus lapis langit, mengangkasa jauh,
melayang tinggi dan tak pernah lelah untuk terus mengembara dengan
bentangan sayapnya. Paus akan menggetarkan samudera hanya dengan
sedikit gerakan. Pohon akan hadapi petir, deras hujan, silau
matahari, namun selalu berusaha menaungi. Melati ikhlas tuk selalu
menerima keadaannya, meski tak terhitung pula bunga-bunga lain
dengan segala kecantikannya. Kupu-kupu berusaha bertahan, meski saat-
saat diam adalah kejenuhan. Mutiara tak memudar kelam, meski pekat
lingkungan mengepungnya di kiri-kanan, depan dan belakang.

Tapi karang menjadi kokoh dengan segala ujian. Elang menjadi
tangguh, tak hiraukan lelah tatkala terbang melintasi bermilyar kilo
bentang cakrawala. Paus menjadi kuat dengan besar tubuhnya dalam
luas samudera. Pohon tetap menjadi naungan meski ia hadapi beribu
gangguan. Melati menjadi bijak dengan dada yang lapang, dan justru
terlihat indah dengan segala kesederhanaan. Mutiara tetap bersinar
dimanapun ia terletak, dimanapun ia berada. Kupu-kupu hadapi cerah
dunia meskipun lalui perjuangan panjang dalam kesendirian.

Menjadi apapun dirimu…, bersyukurlah selalu. Sebab kau yang paling
tahu siapa dirimu. Sebab kau yakini kekuatanmu. Sebab kau sadari
kelemahanmu.

Jadilah karang yang kokoh, elang yang perkasa, paus yang besar,
pohon yang menjulang dengan akar menghujam, melati yang senantiasa
mewangi, mutiara yang indah, kupu-kupu, atau apapun yang kau mau.
Tapi, tetaplah sadari kehambaanmu.
------------------------------------------------

From: annes_70974
Date: Feb 18, 2006 12:06 PM
Subject: [yogyaroom6] Menjadi Apapun Dirimu.........

Friday, February 17, 2006

Nurhamdi, bocah yogya yang memutuskan hanya sekolah sampai TK

Tanggal 9 sampai 11 saya menembus kabut, dari Jakarta
ke Yogya, bertemu seorang pendongeng senior bernama
Kak Wees.
Kami berbincang tentang buku dan pendidikan. Lalu,
kami pun membicarakan perihal Nurhamdi. Salah seorang
putranya. Hamdi memutuskan untuk belajar di rumah saja
bersama Abah. Hamdi belajar dari lingkungan alam dan
sosialnya, Hamdi belajar dari apa yang ia lihat, ia
dengar, dan dari apa yang ia pikirkan serta
diskusikan.
Maka, terperangahlah saya, terkekehlah saya,
geleng-geleng kepala lah saya, senyum-senyumlah saya,
melihat hasil karya seorang Hamdi yang "hanya" lulusan
TK. Ia berpuisi, ia menggambar pointilis (katanya
belajar dari mBah Djito), ia membuat sekuel fotografi,
dan kini ia sedang belajar membuat skenario. Aih, saya
tak ingin memuji-muji Hamdi, silakan saja kawan-kawan
milis membaca karyanya berikut :


Mirip ayam.

Di siang hari waktu aku sedang keluar ke belakang
rumahku
Aku melihat ayam betina dan ayam jago sedang kawin
Setelah kawin ayam betina itu mencari tempat untuk
bertelur
Setelah mempunyai telur lebih dari lima butir, ayam
betina itu
lalu mengerami telurnya.
Sewaktu ayam betina mengerami telurnya, si ayam jago
ternyata
sudah kawin lagi dengan ayam betina yang lain.
Sewaktu menghidupkan televisi aku melihat acara
pernikahan
artis yang terkenal. Pestanya meriah, menghabiskan
uang banyak.
Beberapa bulan setelah itu mereka mempunyai anak.
Setelah anaknya mulai sekolah TK ternyata pasangan
artis itu ribut
Hingga ke pengadilan. Kemudian mereka berpisah dan
cerai.
Tidak lama setelah itu diberitakan mereka kawin lagi
dengan pasangan yang lain.
Aku pikir “kok mirip ayam ya.”

(tanpa tanggal, tanjung).


Setamat TK, Nurhamdi memutuskan untuk tidak
melanjutkan sekolah formalnya.
Bukan karena ketidakmampuan otaknya, melainkan
kebalikannya. Hamdi atau
Dede, demikian dia disapa oleh orang tuanya, “terlalu
mampu” dalam memilih
kemana dirinya akan bersekolah. Seperti dalam kutipan
berikut:

Suatu hari waktu aku pulang dari acara perpisahan
sekolah TKku,
aku duduk di teras Rumahku bersama bapakku.
Bapakku bertanya: ”apa betul kamu tidak akan
melanjutkan
Ke SD ?” aku menjawab: “ bapak tahu dari siapa ?”
setelah minum air putih bapak berkata: “ ibumu
bercerita di sekolah
sewaktu ibu temanmu bertanya kamu mau melanjutkan SD
di mana
katanya kamu bilang kamu enggak sekolah SD.”
Aku melihat wajah bapakku dan menjawab:
“ya pak, aku tidak ingin sekolah SD, tetapi Aku akan
terus belajar.
Aku ingin sekolah di rumah. Bapak mau kan mengajari
aku?
Bapak dulu kan pernah jadi guru.”
.................
Aku lalu bertanya: ”kenapa sih pak kalau sekolah kok
terlalu banyak
aturan dan larangan, harus begini harus begitu, tidak
boleh ini tidak boleh itu?
Kalau sekolah di rumah kan bebas.”
Setelah menarik napas bapakku menjawab: “dimana-mana
pasti ada aturan.
Di sekolah, di jalan, di kampung, di rumah pun ada
aturan.
Bedanya kalau belajar di rumah peraturan dibuat
bersama-sama
antara murid dan guru. Kalau sudah sepakat, aturan
harus di jalankan,
yang melanggar dapat hukuman. Kapan belajar kapan
bermain kapan istirahat
Kapan membantu orang tua, semua di rencanakan
bersama.”
Aku kemudian bertanya: “jadi aku boleh usul pak,
misalnya hari ini belajar apa,
lama belajar berapa jam, istirahatnya jam berapa,
liburnya hari apa, gitu boleh?”
dengan cepat bapakku menjawab: “ya boleh, memang harus
begitu!”
aku lalu berkata: ”asyik juga. Ini namanya sekolah
merdeka.”
(Sekolah Merdeka, tanpa tanggal, tanjung
Watu emas, yogya karta.)

--------------------
From: cent cent
Date: Feb 16, 2006 9:15 AM
Subject: [Penyair] Nurhamdi, bocah yogya yang memutuskan hanya sekolah sampai TK

Thursday, February 16, 2006

Tanaman Transgenik Mulai Dibicarakan Lagi

Tanaman Transgenik Mulai Dibicarakan Lagi,
Pemprov Sulsel Harus Berani Menolak Tanaman Transgenik

Pasca kasus tanaman kapas transgenik di Sulsel tahun 2000-2001 lalu, tanaman hasil rekayasa genetik tidak ramai diperbincangkan, dan tidak ‘heboh’ lagi di media lokal maupun nasional. Namun dalam waktu dekat ini, rupanya teknologi rekayasa tanaman akan dikembangkan lagi di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Belum diketahui secara pasti jenis tanaman transgenik apa yang akan dikembangkan, akan tetapi sebuah lokakarya mengenai dampak tanaman transgenik memunculkan sejumlah kekuatiran akan masuknya kembali tanaman transgenik di Sulsel.

Lebih awal Pemprov Sulsel sangat hati-hati terhadap transgenik. Tidak mau mengulang kejadian lima tahun silam. Prinsip kehati-hatian itu supaya pemerintah punya dasar yang kuat untuk menentukan sikap. Tidak mudah tergiur dengan segala keunggulan tanaman trasgenik, dan melupakan dampak negatifnya yang justru bisa lebih besar. Hal itu disampaikan Asisten II Pemprov Sulsel, HB Amiruddin Maula ketika mewakili Gubernur HM Amin Syam dalam lokakarya bertajuk,’’Sosialisasi Dampak Transgenik Sebagai Komoditi Unggulan’’ dilaksanakan oleh Yayasan Hijau bekerjasama dengan Badan Ketahanan Pangan Daerah (BKPD) Provinsi Sulsel tanggal 9 Februari 2006 di Hotel Quality Makassar.

Menurut Maula, sebuah negara yang kuat harus memiliki landasan pertanian dan ketahanan pangan yang kuat. Mari belajar dari pengalaman Afrika dan Uni Soviet. Afrika mengalami kesulitan pembangunan ekonomi akibat tidak tercapainya ketahanan pangannya. Kemudian Uni Soviet harus mengalami perpecahan karena ketidaktangguhan pertaniannya dan tidak mampu memutus ketergantungannya terhadap impor pangannya.

Pengalaman Sulsel dalam pembangunan pertanian sudah banyak. Sejak tiga dekadu yang lalu, diterapkan paket teknologi untuk mendukung produktivitas hasil pertanian, akan tetapi ternyata penerapan teknolgi itu memberikan dampak negatif terhadap penurunan kualitas lingkungan akibat pemakaian pestisida yang berlebihan.

Pengalaman kedua, ketika munculnya teknologi rekayasa genetik atau transgenik dengan segala keunggulan yang ditawarkan, akan tetapi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia sebagai konsumen. Bukan hanya itu, transgenik tidak cocok bagi rakyat miskin yang mayoritas petani, serta menghilangkan kearifan tradisional petani dan keanekaragaman hayati.

Masih ada dalam ingatan, ketika tanaman kapas transgenik dikembangkan di beberapa kabupaten, seperti Bantaengm dan Bulukumba yang harus dihentikan penanamannya karena lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya. Belum lagi peredaran dan penanaman ilegal jagung dan kedelai transegik, karena tidak berlabel, justru menurunkan produktivitas panenan.

‘’Semua contoh tersebut perlu dijadikan pelajaran bahwa tidak semua teknologi dari negara luar atau negara maju bisa diadopsi dan diterapkan di Indonesia,’’tegas Amiruddin Maula menyampaikan sikap Pemprov Sulsel terhadap tanaman transgenik. Ia meminta agar lokakarya tersebut melahirkan sebuah rumusan yang bisa dijadikan bahan untuk menyikapi tanaman transgenik di Sulsel.

Salah satu hasil dari lokakarya itu adalah terbentuknya forum yang akan melakukan kajian dan pengumpulan data terhadap transgenik.

Sementara itu, Eksekutif Daerah WALHI Sulsel, Inda Fatinaware meminta agar Pemprov Sulsel tidak menjadikan forum tersebut sebagai alat legitimasi masuknya tanaman transgenik di Sulsel. Forum tersebut harus independen dalam bekerja. ‘’Jangan sampai kasus kapas transgenik terulang,’’ tegas Inda kepada usai menghadiri lokakarya itu.

Dia akan memegang statemen Gubernur HM Amin Syam yang disampaikan Asisten II Amiruddin Maula, yang berani menolak transgenik dengan alasan kedaulatan pangan harus dikembalikan kepada petani. ‘’Saya kira kedaulatan petani adalah hal yang penting. Kedaulatan petani menjadi alasan utama penolakan tanaman transgenik. Kalau arah kebijakan pertanian Sulsel untuk menguatkan ketahanan pangan masyarakat, maka seharusnya mengembalikan kedaulatan pangan di tangan petani. Caranya, berikan kebebasan kepada petani untuk menanam bibit yang mereka kembangkan sendiri, bukan bibit yang diintroduksi dari luar negeri dengan alasan produktivitas, dan diminta kepada Pemprov Sulsel agar tidak lagi menambah atau membuka lahan baru untuk industri karena itu akan menghilangkan kedaulatan petani,’’tandasnya.

Meski dalam lokakarya tersebut tidak disebutkan jenis tanaman transgenik apa yang akan dikembangkan secara massal di Sulsel, akan tetapi menurut Inda, kemungkinannya jagung dan kedelai transgenik karena selama ini telah beredar jenis tanaman tersebut di masyarakat, akan tetapi tidak diberi label.

Berdasarkan Data Direktorat Bina Benih Deptan RI, sejak tahun 1998, di Indonesia, sudah ada 22 varietas jagung unggul dari perusahaan multinasional, yaitu Charoen Pokphand, Cargill, dan Pioneer. (basriandang/Jurnal Celebes)

From: basri andang
Date: Feb 16, 2006 5:27 PM
Subject: [beritabumi] Berita transgenik di Sulsel

Senjata Biologi (Flu burung) , Pembunuh yang menguntungkan Bisnis

Teror flu burung, bagi sebagian kecil orang justru berkah. Layaknya
keping mata uang, ketika satu pihak buntung, yang lain justru mengeruk
untung.

Fenomena itu awalnya dikupas F William Enghdahl, peneliti dari
GlobalResearch, California, AS. Dia membuat tiga tulisan menarik soal
pihak yang diuntungkan di balik serbuan flu burung.

Menurut Enghdahl, segelintir pihak yang diuntungkan itu adalah para
pelaku agrobisnis AS, politikus, sampai para pejabat negara.

Enghdahl memulai tulisannya dengan dua pertanyaan.
Pertama, bagaimana bisa, hanya ada satu perusahaan yang memonopoli
peredaran obat flu burung, Tamiflu, di seluruh dunia ?. Hingga kini,
monopoli dipegang perusahaan patungan AS-Swiis, Roche Holdings.

Pertanyaan kedua, tidakkah aneh bila pemusnahan jutaan unggas ternyata
lebih menyentuh unggas-unggas milik peternak kecil di Asia, dibanding
ternak milik perusahaan peternakan raksasa, terutama milik AS ?.

Kejutan pertama dari Enghdahl diterbitkan Oktober tahun lalu. Judulnya
sensasional, ''Is Avian Influenza Another Pentagon Hoax?'' (Apakah Flu
Burung itu Hanya Gurauan Pentagon ?). Hanya berselang satu bulan, terbit
tulisan keduanya, Bird Flu and Chicken Factory Farms: Profit Bonanza for
US Agribusiness (Flu Burung dan Pabrik Peternakan Ayam: Panen Untung
Buat Agrobisnis AS).

Tulisan ketiga Enghdahl bahkan jauh menusuk . Bird Flu: A Corporate
Bonanza for the Biotech Industry, Tamiflu, Vistide and The Pentagon
Agenda.. (Flu Burung: Panen Untung bagi Perusahaan Industri
Bioteknologi, Tamiflu, Vistide, dan Agenda Pentagon).

Menurut Enghdahl, terlepas dari keampuhan Tamiflu memberantas flu
burung, peredarannya yang dimonopoli Roche terbukti hanya menguntungkan
segelintir pihak. Beberapa di antaranya sangat dikenal publik sebagai
pejabat dan mantan pejabat pemerintahan Amerika Serikat (AS), yakni
mantan menteri pertahanan, Donald H Rumsfeld, dan George P Shultz,
mantan menteri luar negeri.

Tamiflu ditemukan dan dipatenkan pada 1996 oleh sebuah perusahaan
bioteknologi bernama Gilead Sciences Inc. Gilead saat ini terdaftar di
Nasdaq (bursa kedua di AS) dengan kode GILD. ''Kebetulan'' Rummy (sapaan
Donald Rumsfeld) dan George Shultz sempat duduk di jajaran direksi
Gilead. Rummy masih duduk di kursi dirut sampai menjelang ia diangkat
menjadi menteri pertahanan AS pada 2001.

Dalam siaran pers Gilead yang terbit 1997, Rummy duduk di jajaran
direksi perusahaan sejak 1988. Menurut Enghdahl, tahun lalu secara
diam-diam Rummy menambah sahamnya sampai mencapai 18 juta dolar AS. Ada
pun George Shultz, ia dikabarkan meraup untung setidaknya 7 juta dolar
AS dari hasil penjualan saham Gilead, awal tahun lalu. Sejalan dengan
menyebarnya flu burung di berbagai belahan bumi, saham Gilead sejak 2001
terus melejit. Dari posisi tujuh dolar AS per lembar di 2001, November
lalu harganya sampai ke kisaran 50 dolar AS. Saat ini, nilai
kapitalisasi pasar Gilead telah mencapai 22 miliar dolar AS.

Lalu, apa hubungannya Gilead dengan Roche ?. Selidik punya selidik,
ternyata Gilead menyerahkan hak pemasaran dan paten obat-obatannya
(terutama Tamiflu) kepada Hoffman-LaRoche. Dengan begitu, dari setiap
Tamiflu yang dijual Roche, Gilead mendapat bagian 10 persen keuntungan.
Tidak heran, sampai akhir tahun lalu, pendapatan Gilead dari sisi
royalti saja mencapai 219,1 juta dolar AS, meningkat 166 persen dari
2004.

Dominasi Roche terhadap Tamiflu makin tak tertahan. Semester II tahun
lalu, Roche menolak permintaan Kongres AS yang memintanya melepas hak
eksklusif atas Tamiflu untuk diberikan kepada perusahaan farmasi lain.
Alasan penolakan Roche, saat ini flu burung masih menyerang berbagai
penjuru bumi. Menurut Roche, perusahaan farmasi lain tidak dapat
memproduksi Tamiflu dengan kecepatan produksi sebanding Roche.

Di pihak lain, ada lima perusahaan raksasa AS yang bergerak di industri
peternakan ayam. Mereka adalah Tyson Foods, Goldkist Inc, Pilgrim's
Pride, Con Agra Poultry, dan Perdue Farms. Dari kelimanya, Tyson adalah
yang terbesar di dunia, dengan kapasitas produksi 77,5 juta kilogram
daging ayam per pekan.

Anehnya, menurut Enghdahl, kasus flu burung justru tidak muncul dari
perusahaan-perusahaan besar tersebut. Flu burung seolah hanya mau
hinggap di unggas-unggas peternak kecil di Asia.

Terhadap hal ini, Dirut Tyson Foods, Greg Lee, mengatakan industri
peternakan AS sangat berbeda dengan Asia. ''Kami lebih melindungi ternak
kami dari penyakit,'' kata Lee, tahun lalu.

Dalam laporan FAO, sepanjang 2004 lalu, flu burung telah mengimbas Asia.
Akibatnya, Thailand dan Cina bahkan dilarang mengekspor ayam ke luar
negeri. Pada saat yang sama permintaan ayam Asia tentu harus dipenuhi.
Ketika Thailand dan Cina dilarang itulah, perusahaan AS masuk. Jepang
yang rakyatnya doyan ayam, harus mengalihkan impor ke AS.
***

Lebih jauh, virus H5N1 telah memunculkan keganjilan-keganjilan sejak
awal. ''Secara teori, virus ini sebetulnya tak dapat menular ke manusia
karena adanya perbedaan reseptor,'' tutur Kepala Balai Penelitian
Veteriner Bogor, Abdul Adjid, kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Adjid menerangkan unggas memiliki reseptor dengan spesiesifikasi 2,3.
Sementara manusia spesiesifikasinya 2,6. Artinya, secara teori, virus AI
dari unggas tak dapat diterima tubuh manusia akibat perbedaan
spesiesifikasi reseptor.

Virus influenza pada unggas melekat pada slycoprotein yang rantai
oligosaccharide-nya berakhir pada sialic acid 2,3. Berbeda dengan
unggas, kode sialic acid manusia adalah 2,6 yang secara prinsipil
berlainan. Bagaimana virus ini akhirnya dapat menulari manusia ?.

Adjid menduga, ''Kemungkinan ada evolusi spesiesifikasi virus AI dalam
tubuh.'' Menurut dia, virus AI dapat mendekam dalam tubuh manusia meski
tidak membuat tubuh sakit. Tapi di situ, ia memperbanyak diri dan
perlahan-lahan mengalami perubahan spesiesifikasi ke 2,6 lantaran lolos
dari serangan zat antibodi pada tubuh. ''Ia lalu menyerang saat tubuh
sedang lemah. Misalnya dalam keadaan stres,'' terangnya.

Bukan cuma itu. Virus ini juga memiliki 'kecerdasan' unik yang
memungkinkan penularan antarmanusia secara terbatas. Pakar biomolekuler
Universitas Airlangga, Dr drh CA Nidom, menilai virus AI dapat menular
secara efektif pada kelompok manusia yang memiliki kemiripan profil DNA
(deoxyribonucleic acid). Bagi kelompok ini, virus tak harus bermutasi
dulu untuk dapat menular. ''Namun cukup mengalami perubahan struktur
kimiawi sementara (konformasi),'' kata dia.

Artinya, virusnya tetap subtipe H5N1 yang berasal dari unggas. Namun
virus unggas ini dapat sekonyong-konyong mengalami perubahan
spesiesifitas reseptor, sehingga menular antarmanusia. ''Kasus seperti
itu kemungkinan dapat terjadi pada kelompok manusia dengan profil
genetik yang identik,'' tutur dia, beberapa waktu lalu.

Kemiripan profil genetik kemungkinan terdapat pada anggota keluarga
(small cluster) atau suku bangsa tertentu yang secara genotipe mirip.
Inilah alasan mengapa terjadi banyak kasus cluster flu burung di
Indonesia (lima kasus hingga Februari 2006).

Tapi uniknya, kasus cluster hanya terjadi di Indonesia. Apakah ada
kekhasan sifat virus flu burung di Indonesia ?.

CA Nidom termasuk yang percaya hal itu. Riset Nidom memperlihatkan bahwa
virus H5N1 yang kini menyebar di Indonesia cenderung mempunyai sifat
tidak peka terhadap sitokin atau zat antibodi yang dihasilkan tubuh
sebagai mekanisme respons.

Sifat ini, terang Nidom, akan memperburuk derita pasien setelah sang
virus mulai menyerang, karena tubuh diserang dari dua arah. ''Dari si
virus itu sendiri, juga kelebihan sitokin dalam tubuh,'' paparnya.

Sifat antisitokin ini, anehnya, tidak terdapat pada virus H5N1 yang
berasal dari Vietnam atau Thailand.

Secara detail, Nidom menjelaskan ketika virus H5N1 menyerang maka tubuh
mengeluarkan zat antibodi sitokin untuk melawan serangan virus.
Alih-alih menangkalnya, sitokin malah meluber di tubuh lantaran virus
tak teridentifikasi. Akibatnya terjadinya 'badai sitokin' (sitokin
storm) yang merusak organ paru-paru. Sementara sitokin bekerja, virus
terus mereplikasi diri, lalu dengan leluasa merusak sel-sel.
***

Kekalutan melanda distrik Kaduna, di utara Nigeria, sejak pekan lalu.
Lebih dari 150 ribu unggas di kota itu dilaporkan mati dalam tempo
kurang dari sepekan. Tak berselang lama, Kamis (9/2), pemerintah
setempat mengumumkan telah berjangkitnya Avian influenza alias flu
burung di Nigeria. Kantor berita AFP melaporkan dua bocah Kaduna
diboyong ke rumah sakit. Mereka diduga menjadi korban pertama virus flu
burung di negara itu. ''Kedua bocah juga mengalami batuk berdarah,''
tutur seorang pejabat kesehatan Kaduna, akhir pekan lalu.
Batuk berdarah ?. Inilah salah satu perkembangan paling mutakhir kasus
flu burung. ''Diduga ini gejala baru. Dahak disertai darah,'' terang dr
Tjandra Yoga Aditama, spesialis paru-paru, dari Rumah Sakit Persahabatan
Jakarta, Senin (13/2).

Kasus di Nigeria menandai jejak sang virus maut di Benua Afrika. Ini
juga menandakan bahwa virus H5N1 kini telah genap bercokol di tiga
benua: Asia, Eropa, dan Afrika, sejak merebak di Asia Tenggara pada
2003. Sejauh ini cuma Amerika dan Australia yang mengklaim bebas flu
burung.

Namun, bukan cuma sepak terjang virus ini yang pantas dikhawatirkan.
Melainkan gejala-gejala baru yang ditebar sang virus, yang kerap
membingungkan. Jika masa inkubasi dulu cuma tiga hari, kata Tjandra,
kini sudah menjadi antara dua hingga delapan hari. Yang ekstrem malah
bisa sampai 17 hari. ''Namun WHO kini telah menetapkan rata-rata tujuh
hari,'' tambah dia lagi.

Selain itu, virus ini dikabarkan mulai resisten terhadap obat antiviral
(oseltamivir). Riset yang dipublikasikan jurnal terkemuka New England
Journal of Medicine menunjukkan pasien yang diobati oseltamivir cuma 24
persen sembuh. Uniknya, kata Tjandra, pasien yang tak diobati Tamiflu
malah sekitar 25 persen yang sembuh.

Karena itulah saat ini para ahli kini tengah meneliti obat baru flu
burung. Antara lain Veramivir, Zanamivir (IV), Long-acting NA inhibitors
(LANI), Conjugated sialidase, inhibitors- cyanovirin-N, Polymerase
inhibitors siRNA, ribavirin (aerosol/IV/PO), dan Protease inhibitors
Aprotinin.

Menjadi kebal

Dugaan virus H5N1 dapat menjadi resisten terhadap oseltamivir, telah
diramalkan para ahli beberapa tahun lalu. ''Dan kini mulai terbukti,''
tulis Anne Moscona, guru besar Departemen Mikrobiologi, Pediatrik, dan
Imunologi Universitas Cornel, AS, dalam New England Journal of Medicine.
Adalah struktur kimia pada oseltamivir, kata Moscona, yang dapat memicu
perubahan struktur neuraminidase pada virus dan menciptakan kondisi
terjadinya mutasi. Neuraminidase adalah sel-sel penghalang (inhibitor)
pada virus influenza yang sebetulnya dapat berperan sebagai agen
antiviral yang efektif pada manusia.

Bagaimana struktur neuraminidase dapat berubah ?. Riset Moscona
menunjukkan bahwa carboxamide-linked hydrophobic yang terdapat pada
materi kimia oseltamivir terbukti memicu perubahan fundamental pada
ujung rantai glycerol (Neu5Ac2en) pada virus influenza.

Kontaminasi carboxamide ini memicu transformasi neuraminidase menjadi
varian baru, yakni Arg292. Transformasi disertai dengan perubahan
substrat kimia di dalamnya. Substrat kimia ini telah amat berbeda dengan
sebelumnya. Tak sekadar kehilangan fungsi antiviralnya, sebaliknya,
substrat kimia ini malah mendorong terjadinya resistensi.

Molekul-molekul penghambat (inhibitor) lantas meniru substrat alami dari
neuraminidase baru ini, sembari mengikatkan diri pada situs aktif, dan
menelorkan virus baru. Proses ini terjadi berantai pada sel-sel lainnya,
dan memicu lahirnya virus resisten lainnya.

Menurut Moscona, peristiwa kimia ini tidak terjadi pada obat influenza
lain seperti zanamivir. Kata dia, virus H5N1 memang sensitif dan tak
terduga.

Pengetahuan manusia tentang H5N1 sejatinya masih amat terbatas.

Artikel-artikel diatas dikutip dari :
Yang Untung dari Flu Burung & Virus yang Cerdas & Teka-teki Virus Flu
Pembunuh.
Republika, Rabu, 15 Februari 2006.

Saturday, February 11, 2006

DILARANG MEMASANG STIKER MARINIR DI KENDARAAN

[06-Februari-2006]
Korps Marinir melarang seluruh prajurit Marinir dan masyarakat sipil
memasang stiker yang berhubungan dengan TNI AL / Marinir . Hal ini tertuang
dalam Surat Telegram Dankormar Nomor : ST / 72 / 2006 tanggal 23 Januari
2006 tentang larangan pemasangan stiker yang berlogo TNI AL / Marinir pada
kendaraan pribadi prajurit Marinir, sipil, swasta, perusahaan dan angkutan
umum.

Sehubungan dengan hal tersebut jajaran Provos Korps Marinir akan
melaksanakan penertiban dengan melepas stiker yang berlogo TNI AL / Marinir
pada kendaraan di lingkungan Korps Marinir dan mengadakan razia terhadap
kendaraan umum yang menempel stiker tersebut serta melakukan penertiban
penjualan stiker berlogo TNI AL / Marinir yang beredar di masyarakat /
pertokoan umum.

Untuk itu dihimbau kepada seluruh prajurit Marinir, keluarga prajurit maupun
masyarakat sipil untuk tidak memasang stiker yang dimaksud dan melepas
stiker tersebut atas kesadaran sendiri.
Dan kepada seluruh prajurit Marinir untuk ikut mensosialisasikan kepada
masyarakat umum tentang larangan ini.
[admin]

http://www.marinir.mil.id/news.php?id=20060206215047

From: Yap Hong Gie