Friday, February 17, 2006

Nurhamdi, bocah yogya yang memutuskan hanya sekolah sampai TK

Tanggal 9 sampai 11 saya menembus kabut, dari Jakarta
ke Yogya, bertemu seorang pendongeng senior bernama
Kak Wees.
Kami berbincang tentang buku dan pendidikan. Lalu,
kami pun membicarakan perihal Nurhamdi. Salah seorang
putranya. Hamdi memutuskan untuk belajar di rumah saja
bersama Abah. Hamdi belajar dari lingkungan alam dan
sosialnya, Hamdi belajar dari apa yang ia lihat, ia
dengar, dan dari apa yang ia pikirkan serta
diskusikan.
Maka, terperangahlah saya, terkekehlah saya,
geleng-geleng kepala lah saya, senyum-senyumlah saya,
melihat hasil karya seorang Hamdi yang "hanya" lulusan
TK. Ia berpuisi, ia menggambar pointilis (katanya
belajar dari mBah Djito), ia membuat sekuel fotografi,
dan kini ia sedang belajar membuat skenario. Aih, saya
tak ingin memuji-muji Hamdi, silakan saja kawan-kawan
milis membaca karyanya berikut :


Mirip ayam.

Di siang hari waktu aku sedang keluar ke belakang
rumahku
Aku melihat ayam betina dan ayam jago sedang kawin
Setelah kawin ayam betina itu mencari tempat untuk
bertelur
Setelah mempunyai telur lebih dari lima butir, ayam
betina itu
lalu mengerami telurnya.
Sewaktu ayam betina mengerami telurnya, si ayam jago
ternyata
sudah kawin lagi dengan ayam betina yang lain.
Sewaktu menghidupkan televisi aku melihat acara
pernikahan
artis yang terkenal. Pestanya meriah, menghabiskan
uang banyak.
Beberapa bulan setelah itu mereka mempunyai anak.
Setelah anaknya mulai sekolah TK ternyata pasangan
artis itu ribut
Hingga ke pengadilan. Kemudian mereka berpisah dan
cerai.
Tidak lama setelah itu diberitakan mereka kawin lagi
dengan pasangan yang lain.
Aku pikir “kok mirip ayam ya.”

(tanpa tanggal, tanjung).


Setamat TK, Nurhamdi memutuskan untuk tidak
melanjutkan sekolah formalnya.
Bukan karena ketidakmampuan otaknya, melainkan
kebalikannya. Hamdi atau
Dede, demikian dia disapa oleh orang tuanya, “terlalu
mampu” dalam memilih
kemana dirinya akan bersekolah. Seperti dalam kutipan
berikut:

Suatu hari waktu aku pulang dari acara perpisahan
sekolah TKku,
aku duduk di teras Rumahku bersama bapakku.
Bapakku bertanya: ”apa betul kamu tidak akan
melanjutkan
Ke SD ?” aku menjawab: “ bapak tahu dari siapa ?”
setelah minum air putih bapak berkata: “ ibumu
bercerita di sekolah
sewaktu ibu temanmu bertanya kamu mau melanjutkan SD
di mana
katanya kamu bilang kamu enggak sekolah SD.”
Aku melihat wajah bapakku dan menjawab:
“ya pak, aku tidak ingin sekolah SD, tetapi Aku akan
terus belajar.
Aku ingin sekolah di rumah. Bapak mau kan mengajari
aku?
Bapak dulu kan pernah jadi guru.”
.................
Aku lalu bertanya: ”kenapa sih pak kalau sekolah kok
terlalu banyak
aturan dan larangan, harus begini harus begitu, tidak
boleh ini tidak boleh itu?
Kalau sekolah di rumah kan bebas.”
Setelah menarik napas bapakku menjawab: “dimana-mana
pasti ada aturan.
Di sekolah, di jalan, di kampung, di rumah pun ada
aturan.
Bedanya kalau belajar di rumah peraturan dibuat
bersama-sama
antara murid dan guru. Kalau sudah sepakat, aturan
harus di jalankan,
yang melanggar dapat hukuman. Kapan belajar kapan
bermain kapan istirahat
Kapan membantu orang tua, semua di rencanakan
bersama.”
Aku kemudian bertanya: “jadi aku boleh usul pak,
misalnya hari ini belajar apa,
lama belajar berapa jam, istirahatnya jam berapa,
liburnya hari apa, gitu boleh?”
dengan cepat bapakku menjawab: “ya boleh, memang harus
begitu!”
aku lalu berkata: ”asyik juga. Ini namanya sekolah
merdeka.”
(Sekolah Merdeka, tanpa tanggal, tanjung
Watu emas, yogya karta.)

--------------------
From: cent cent
Date: Feb 16, 2006 9:15 AM
Subject: [Penyair] Nurhamdi, bocah yogya yang memutuskan hanya sekolah sampai TK

No comments: