Saturday, June 4, 2005

Sabtu, 04 Juni 2005

Busung Lapar: Kemiskinan Material atau Non-Material?

Oleh :
Hayyan ul Haq
Mahasiswa Program Doktor Utrecht Universiteit


Fenomena paradoks adalah istilah yang barangkali cukup tepat untuk menggambarkan terjadinya kasus busung lapar atau gizi buruk di NTB. Menteri Kesehatan sendiri menilai kasus ini sebagai suatu keanehan. Saat ini, hampir 359 balita (0,7 persen dari 498.000 balita) dari jumlah balita di NTB terserang busung lapar, padahal provinsi ini surplus pangan.
Keanehan kasus busung lapar yang terjadi di NTB dapat dimaklumi jika kita hanya melihat dari aspek material. Logikanya tidak mungkin ada orang mati kelaparan ketika dia berada di sebuah rumah yang banyak cadangan makanannya. Kalau ini terjadi, berarti patut diduga bahwa cara hidup para penghuni rumahnya ''tidak normal''. Oleh karena itu, saya melihat kasus busung lapar yang terjadi di NTB ini, bukan semata-mata masalah kemiskinan. Ada kelalaian pemerintah dalam mengasuh masyarakatnya karena kasus ini telah terjadi dari tahun ke tahun. Ini bukan bencana, melainkan sebuah malpraktik pemerintahan. Kalau dikatakan bahwa kasus ini tidak diketahui oleh pemerintah, lalu siapa yang bertanggungjawab atas laporan data statitistik kesehatan masyarakat selama ini? Apa dan bagaimana cara aparat kesehatan mengapresiasi data gizi buruk masyarakat sehingga tidak diketahui dan tidak teratasi oleh pemerintah selama ini? Ini berarti, patut diduga, ada aparat yang terlibat dalam pemanipulasian data atau berbohong hanya sekadar membuat laporan ABS atau tidak bekerja dengan penuh kesungguhan.
Dampak kebohongan dan sikap mental demikian kita rasakan saat ini. Kegagalan pemerintah dalam mengoptimalkan instrumen kebijakan yang tepat dapat mengakibatkan malpraktik dalam mengelola negara. Dalam konteks hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Sumber daya nonmaterial
Selanjutnya, apakah benar kemiskinan dan ketidaktahuan masyarakat dalam memelihara kesehatan keluarga dengan benar merupakan akar masalah dari busung lapar ini? Tampak jelas bahwa hampir semua alasan yang dikemukakan itu sesungguhnya hanyalah gejala (simptom) atau akibat yang tidak dikehendaki (undesired effect). Ia muncul dari sebuah struktur yang sudah lama mengendap dalam sistem sosial kita. Munculnya simptom busung lapar ini menggambarkan betapa rapuhnya sistem sosial kita. Ternyata sistem interaksi yang dibangun selama ini tidak menampilkan semangat spiritual (kebaikan, kebenaran, dan keindahan) masyarakat Lombok yang terkenal religius.
Sebagai contoh perbandingan kita bisa mencermati kasus Provinsi Krala di India yang dikategorikan sebagai provinsi miskin, namun memiliki Index Human Development (IHD) yang sangat memadai karena masyarakatnya terlatih mendistribusikan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan (nonmaterial resource). Jika ada orang yang kelaparan atau sakit, semua resource yang ada digunakan untuk si lapar dan si sakit. Ini menjadi bagian dari perilaku mereka yang telah terlatih bertahun-tahun, bahkan dari generasi ke generasi. Seharusnya semangat kebaikan inilah yang dijadikan muatan normatif utama dalam kebijakan publik.
Dalam masyarakat yang terlatih mendistribusikan nilai-nilai spiritual di ranah tindakan itu, normalitas pengaturan diri dan sustainabilitasnya akan terjamin. Masyarakat Lombok yang dikenal sedemikian kuatnya dalam menjalankan semangat keagamaannya ternyata belum optimal menampilkan keshalehan sosialnya.
Alternatif kebijakan
Mencermati keanehan di atas, ada dua hal penting yang perlu dielaborasi: (i) pengoptimasian instrumen kebijakan, dan (ii) pendekatan nonmaterial resource. Dalam mengelola negara bukankah instrumen kebijakan yang merupakan modal pemerintah, dapat digunakan untuk mendistribusikan keadilan? Misalnya melalui kebijakan perpajakan atau melalui perbaikan sistem jaminan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan perluasan aksesabilitas masyarakat terhadap sumber daya melalui skema ekonomi. Contoh konkrit yang sudah dirintis Tim P2BK Unram pada desa Aikmel di Lombok Timur. Tim itu merancang sebuah program untuk mengubah perilaku kesehatan masyarakat yang dirajut dengan kegiatan ekonomi sabagai katalisnya.
Berbagai lembaga kesehatan, baik nasional maupun internasional (dari Cina, bahkan Program Kesehatan Masyarakat pada John Hopkins University, AS) datang ke daerah itu untuk mempelajari bagaimana program ini dapat berjalan dan berhasil dengan baik. Inovasi-inovasi sosial seperti ini dapat diadopsi dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekaligus mendistribusikan keadilan.
Mencermati kasus busung lapar di NTB ini, tampaknya permasalahan pemberdayaan komunitas lebih banyak berkubang di level birokrasi. Hal ini sekaligus mengingatkan kita bahwa proses untuk hidup secara normal ini tidak saja ditentukan oleh individu itu sendiri, tetapi juga lingkungan sosialnya sebagai sebuah sistem, termasuk kebijakan pemerintah. Kerapkali kita menyaksikan banyak faktor penghambat itu bersumber dari lingkungan sosial atau karakter sosial yang membentuk struktur sosial masyarakat. Bertalian dengan hal tersebut, Amartya Sen dan Martha Nussbaum, melalui pendekatan kapabilitasnya sebagai kerangka berpikir, memperkenalkan dimensi etis --nonmaterial-- dalam pembangunan manusia yang berkelanjutan. Dimensi etis itu mencakup nilai-nilai seperti equality, freedom, proses pemanusiaan (well-being), justice, dan etika sosial lainnya.
Pendekatan Sen ini ternyata cukup ampuh untuk menggunting hambatan yang bersumber pada struktur sosial masyarakat. Hal ini pernah diuji di Amerika Latin (Lihat tulisan dan laporan tahunan UNDP yang digarap Sakiko Fukuda, 2002). Pendekatan kapabilitasnya Sen ini menitikberatkan peran individu/perilaku bukan pada struktur dalam melakukan perubahan. Dalam konteks inilah prinsip-prinsip the fifth discipline seperti personal mastery, mental model, team learning, shared vision, dan systems thinking relevan untuk diterapkan (Peter Senge 2000 dan Blank-Ons 2003). Tantangannya, bagaimana mengoperasionalisasikan gagasan Sen itu ke dalam kebijakan dan program inequality elimination yang akan diintrodusi.
Dalam konsep pembangunan ala Sen dan Nussbaum ini seseorang atau individu dapat menyerap intake atau produk (nonmaterial) yang dituangkan dalam sistem sosialnya dan mengembangkan aktifitas dan kapabilitasnya secara optimal dan terus-menerus sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya (Sen, 2002). Melalui pendekatan Sen ini, individu dan masyarakat distimulasi untuk mendistribusikan kapabilitasnya dalam mengkonversi komoditi menjadi functionings. Dalam hal ini termasuk program perluasan aksesabilitas masyarakat pada sumber-sumber kehidupan, termasuk perluasan public owners yang telah dirintis P2BK Unram di Aikmel, Lombok Timur dan Tanjung, Lombok Barat. Dalam hal ini, yang di shared adalah values-nya, bukan fisik atau income-nya. Dengan demikian, nilai, kebijakan, tradisi, ataupun kebiasaan yang dapat menghambat upaya pengkonversian karakteristik komoditi ke dalam functionings dan capabilities harus terus dieliminasi. Inilah salah satu inti gagasan Sen ''dari sustainable development menuju sustainable freedom''.
Tawaran etis yang sangat fundamental dari Amartya Sen adalah bahwa kemiskinan itu terkait dengan persoalan kapabilitas. Untuk dapat hidup normal, kapabilitas ini tidak terkait dengan pendapatan atau kepemilikan. Sejumlah aplikasi empiris membuktikan bahwa income adalah indikator yang terbatas dan bukanlah indikator yang terbaik dalam mengukur well-being. Kemampuan mengkombinasikan potensi dan fungsi sehingga memungkinkan seseorang menjadi kapabel dalam melakukan sesuatu atau mencapai sesuatu tujuan sesuai dengan nilai yang dianutnya adalah inti gagasan Sen.
Beberapa tahun yang lalu, di sebuah daerah kumuh di dekat Terminal Sweta, Lombok, saya mendengar ada seorang tua yang secara material tidak memiliki harta yang memadai, tapi bersedia menghibahkan tanah dan rumahnya untuk dijadikan pusat kegiatan pembelajaran bagi masyarakat di sekitarnya. Dan sudah tentu ada ribuan kasus yang sama seperti itu yang dapat terjadi di mana saja. Dalam pendekatan kapabilitasnya Sen, kedermawanan si miskin itu menunjukkan kemampuannya dalam mengkonversi komoditinya menjadi lebih berfungsi. Hal ini tidak digerakkan oleh pendapatan atau kondisi materinya.
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, seharusnya gagasan Sen ini dapat menjadi inspirasi dan layak dipertimbangkan dalam program pembangunan termasuk pengeliminasian kemiskinan. Jadi, tujuan pembangunan itu bukan sekadar memacu pertumbuhan ke pertumbuhan saja, tetapi sebagai alat yang ditujukan untuk menggunting seluruh hambatan yang dapat mengunci kebebasan setiap orang dalam mengaktualisasikan potensi dan energinya secara optimal tanpa hambatan menuju ideal state of social order.
 Posted by Hello

No comments: