Wednesday, June 8, 2005

HO dan Baduta Defisit IQ
Oleh Handrawan Nadesul
TIDAK sulit mendiagnosis busung lapar. Siapa saja, termasuk pejabat tentu, sekelebat melihat saja langsung tahu kalau itu status terburuk orang kelaparan. Dulu berjuluk HO (Hongeroedem). Dulu, mendengar HO konon sungguh membuat kakek kita malu.
Namun sekarang tidak gampang mengklasifikasi busung lapar, apakah tergolong kwashiorkor (kekurangan protein yang berat), marasmus (kekurangan kalori yang parah), atau barangkali kasus marasmic-kwashiorkor, bentuk campuran keduanya. Butuh sebelas ciri, termasuk di situ gejala, tanda, kelainan laboratorium, dan biopsi, guna memastikan busung lapar boleh dipanggil kwashiorkor, dan yang lain laik diteriaki marasmus.
Buat kita, klasifikasi itu agaknya tak perlu-perlu amat. Jauh lebih perlu melacak ketika restoran ayam goreng yang menjamur di mana-mana laku keras, sudah banyak pula beras impor lebih murah, kenapa HO masih terjadi. Sedang apakah kita selama ini?
BUSUNG lapar bukan semata-mata soal ekonomi, tetapi juga bagaimana anak balita tidak dibiarkan berjuang sendiri melawan cacingan, diare, dan ketidaktahuan orangtua memilihkan alternatif nutrisi. Tak tahu kalau tak ada susu, kita punya kedelai dan kacang hijau. Lupa kalau tak mampu beli ikan, kita bisa bikin "bubuk ikan" murah. Posyandu punya program, kader gizi punya jalan, dan puskesmas punya kaki.
Kalau saja program Kejar Paket penambah pintar betul tiba ke desa, tentu ibu papa tahu bagaimana mencegah diare, dan anak-anak tidak sampai cacingan. Kurang gizi dan infeksi memicu lebih cepat bayi dan anak memasuki status kekurangan kalori protein (KKP), panggilan manja buat si buyung yang kena busung lapar.
Melihat itu kita terenyuh. Negeri kita bukan Ghana, tempat dulu merebak kwashiorkor. Tanah kita luas nan subur, lautan kita betapa lebar terbentang, tak jauh ditempuh dari rumah-rumah papa beratap rumbia. Tetapi, padi dan ikan tak juga sampai ke perut anak-anak. Selain protein telah gagal membangun rumah kecerdasan balita kita, bertahun-tahun cacing di perut anak-anak ikut menyusutkan isi kepala mereka juga.
Menggendong status KKP bukan hanya bikin anak jadi kurus, lemah, dan rentan sakit, tetapi juga otak mereka tidak semolek sepantarannya di kota dan teman-temannya di negeri-negeri jiran. Buat bangsa, ini malapetaka. Malnutrisi anak prasekolah jelek dampaknya pada sumber daya manusia bangsa. Yang ini sejak 1966 kita sudah diingatkan (Conference on Children and Youth in National Planning and Development in Asia, di Bangkok). Bersenjangnya otak anak balita busung lapar kita dengan anak sepantarannya di dunia kian menjauhkan nasib mereka dari kekalahan persaingan mondial ke depan nanti.
Untuk menjaga agar hari depan anak punya nasib tak berbeda dengan sepantarannya di mana-mana dunia, anggaran bagi mereka sedikitnya perlu tersedia lima persen dari APBN. Yang ini pun kita pernah diingatkan di Madras sejak tahun 1970 (Seminar on Pre-school Child).
Anak-anak kita masih terus menunggu itu, sampai mereka telanjur busung lapar lagi. Semakin panjang saja hela napas kita melihat anak malnutrisi kita pasti tak bakal secerdas anak normal (Blankart, 1959 dan Djumadias, 1964).
KALAU juga ada terobosan, itu disusun bukan buat menyulap ekonomi rakyat papa agar ujuk-ujuk mereka mampu jajan ayam goreng, tetapi bagaimana mereka dibuat pintar dari keterbatasannya cerdik mencari alternatif nutrisi (gagasan "prosumen"). Diantar bagaimana memanfaatkan lahan untuk berbudidaya. Posyandu dipanjangkan kakinya, kader gizi diringankan tangannya, puskesmas ditajamkan matanya, hati pemerintah dimurahkan agar rajin menjenguknya.
Satu hal mungkin kita lupa. Apakah dari 40 juta penduduk miskin kita sekarang, otak anak balitanya sudah terselamatkan bisa terisi penuh. Aksiomanya, dua tahun pertama kehidupan setiap anak merupakan "tahun emas". Tak ada kesempatan kedua memperoleh otak yang bernas yang memberinya IQ optimal. Sekali otak anak di bawah dua tahun (baduta) kurang optimal tumbuh kembangnya, keadaan ini tidak dapat dipulihkan lagi (irreversible). Untuk itu, menu protein sedari pagi tak boleh luput.
Terus terang kita sangsi. Melihat kecukupan makan saja anak-anak dari keluarga papa kita belum tentu, alih-alih tercukupi, protein buat otak. Bisa jadi masih ada lagi jutaan anak di belakang korban busung lapar yang berjalan sendiri tengah terancam nasib otaknya.
Barangkali kita lupa. Rakyat yang krisis protein ketika negara sedang susah bisa diatasi dengan "bubuk ikan" FPC (fish protein concentrate) yang berisi 80 persen protein berkualitas tinggi. Sejak tahun 1966 studi di Jakarta mengatakan, "bubuk ikan" cocok diterima anak Indonesia. Buat kita, memproduksi "bubuk ikan" pekerjaan mudah, murah, dan sederhana. FPC selain berprotein tinggi, awet, dan tak bau amis, bisa mudah tiba sampai ke pelosok bayi di bawah dua tahun yang membutuhkan.
Kasus busung lapar sekarang tak seberapa dibandingkan dengan jumlah bayi di bawah dua tahun yang kekurangan protein. "Bubuk ikan" bisa dijadikan terobosan mengatrol IQ bayi yang terancam jongkok. Berapa banyak pula baduta yang lahir tak cerdas gara-gara ibunya kurang protein selagi mengandung?
Berapa pula anak-anak yang gagal cerdas akibat warisan infeksi ibu selama hamil, cacat otak akibat kekurangan vitamin, dungu sejak lahir kekurangan iodium (congenital hypothyroidi), radang otak, dan komplikasi infeksi perusak otak. Itu tak perlu terjadi jika puskesmas rajin mengajarkan bagaimana dalam kepapaan hidup penyakit yang bikin anak tidak cerdas mampu dicegah.
IBU-ibu kita kelewat berat memikul "mandat" membesarkan anak. Sudah papa, tak cukup tahu bahwa untuk sehat tak perlu harus menjadi kaya dulu. Maka, penyuluhan (komunikasi, informasi, edukasi) yang murah meriah itu selalu menjadi kata kunci di negeri ini. Bagaimana rata-rata rakyat yang papa dan kurang begitu cerdas tidak dibiarkan sendirian melawan sekutu infeksi, kurang gizi, dan kehabisan nasi.
Belum terlambat guna mengingat kembali beragam buah manis yang pernah dipetik dari begitu banyak konferensi, seminar, studi, dan apa saja yang sudah kita maklumi demi kemaslahatan anak. Kita sudah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak jauh sebelum generasi busung lapar muncul kembali. Sedang apakah kita kini?
Jangan lagi kita lupakan pesan-pesan dunia buat mencerdaskan anak-anak hanya karena kita tak punya cukup uang. Tangan dan hati kita memilihkan kita masih ada cara lain. Melihat ada orang-orang besar kita di sini pernah lahir dulu, rasanya tak perlu menunggu sekaya orang Swiss dulu untuk bisa sesehat dan secerdas mereka. Dan kita tahu, kita bisa.
Handrawan Nadesul Seorang Dokter
 Posted by Hello

No comments: