Friday, March 20, 2009
Analysis RHENALD KASALI: BBM naik adalah ulah Goldman Sachs dan Morgan Stanley [Spekulan Minyak]
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/30/01491018/wajah.baru.pedagang.minyak
ANALISIS EKONOMI
Wajah Baru "Pedagang" Minyak
RZF / Kompas Images
RHENALD KASALI
Senin, 30 Juni 2008 | 03:00 WIB
RHENALD KASALI
Kalau kami produksi minyak lebih banyak lagi, tidak ada yang membeli,” kata Raja Abdullah saat menutup KTT produsen-konsumen minyak. Semua pemimpin dunia pusing mencari solusi menahan laju harga. Kaya minyak, kok, tak berdaya? Di sini, selain disambut amarah rakyat, pemerintah juga disambut ”hak angket”. Sementara itu, yang tak punya minyak menari-nari dengan perdagangan dan spekulasi.
Ketidakberdayaan ini tak dapat diatasi dengan kecurigaan dan bermabuk wacana, apalagi dengan jalan pintas. Banyak hal telah berubah dan kita harus berlari lebih kencang lagi. Namun, ada yang sudah berubah, tetapi miskin pengakuan sehingga memicu frustrasi.
Menari di atas bara api
Ibarat menari di atas bara api dengan genderang ditabuh orang lain, Indonesia jelas menderita. Dulu, genderang itu ditabuh International Oil Company (IOC, perusahaan swasta, seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Shell) yang bekerja sama dengan National Oil Company (NOC, milik negara, seperti Saudi Aramco, Petronas, Petrobras, Statoil, PDVSA Venezuela, dan Pertamina). Namun, sejak menjadi net importer, kita cuma menjadi penari, sedangkan genderangnya berpindah ke pengendali keuangan di bursa komoditas.
Kongres Amerika mengungkapkan, investasi terbesar belakangan ini berbentuk ”paper” di bidang energi. Porsinya bergeser dari 4,6 persen (2003) menjadi 30,7 persen (2005), dan sekarang di atas 50 persen (NYMEX, 2006). Menurut The New York Times, keuntungan minyak sebesar 1,5 miliar dollar AS yang dinikmati Goldman Sachs dan Morgan Stanley (2005) menimbulkan efek domino panjang.
Stok minyak (juga kekayaan) telah beralih dari NOC-IOC kepada para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak punya sumur, fasilitas kilang, gudang, atau kapal. Persepsi yang hidup di bursa itu berbeda dengan angka riilnya. Lord Browne, mantan CEO BP, menandaskan, ”Tidak ada indikasi kelangkaan. Naiknya harga tidak berhubungan dengan suplai-permintaan.”
Maka, harga minyak pun bergerak-gerak seperti harga saham. Secara empiris, semua ini hanya bisa ditangkal NOC dengan membentuk oil trader yang kuat.
Transformasi NOC
Karena kini minyak diperdagangkan trader dan ”spekulator”, penting mentransformasi tangan-tangan perdagangan NOC. Masalahnya, NOC selalu sarat belenggu dengan berbagai aturan dan diganggu berbagai kepentingan. Kalau belenggu-belenggu itu tidak dilepaskan, oil trader tidak bisa bergerak optimal karena pengambilan keputusannya butuh manuver cepat, perencanaan matang, jaringan luas, dan manajemen keuangan yang canggih. Pengawasan perlu, tetapi bukan dengan kecurigaan berlebihan, apalagi dengan bureaucratic control. Gunakan saja result-based control yang lazim dipakai perdagangan modern.
Di Indonesia, harus diakui, banyak kemajuan yang dicapai dari transformasi Pertamina yang didasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Namun, kemajuan itu mahal pengakuan karena banyak kepentingan terusik, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kalau Pertamina kuat, misalnya, tidak ada ruang bagi tangan-tangan perdagangan asing yang mengincar pasar-pasar gemuk di kota-kota besar. Mereka akan berjuang mengarahkan Pertamina agar mengurus pasar di pinggiran saja yang ongkos kirim BBM-nya lebih mahal dengan menunjukkan NOC Indonesia ini kalah bersaing karena tidak efisien.
Di negara yang politiknya kondusif, NOC-nya berhasil memutasikan DNA oil trader-nya. Aramco, misalnya, melakukan penetrasi ke Amerika dengan jaringan SPBU Motiva. Petronas membeli jaringan SPBU di Afrika Selatan, Petrobras (Brasil) mengembangkan eksplorasi laut dalam bersama Statoil (Norwegia), dan NIOC (Iran) keuangannya beroperasi di New Jersey dan Swiss.
Untuk menangkal spekulator, NOC memodernkan tangan- tangan oil trading-nya. PETCO (milik Petronas), NICO (milik NIOC-Iran), Saudi Petroleum International (Saudi Aramco), Sonatrach Petroleum International (Sonatrach, Aljazair), Q8 (Kuwait), dan Petral (Pertamina) mengalami overhaul.
Oil Trading Company itu ditaruh di pusat perdagangan dunia dan serius melawan broker yang dulu dikuasai para kroni. Mereka juga bertransformasi dari buying agent menjadi trader modern.
Wajah baru ”trader” minyak
Jelaslah kesejahteraan kini sudah tidak bisa dipungut begitu saja dari perut bumi. Sebagai big consumer, Indonesia bisa sejahtera melalui Pertamina asalkan Petral dipertajam perannya dengan melakukan transaksi jangka panjang untuk pasar domestik, tetapi juga melakukan penetrasi global, kerja sama dengan pemilik kilang mancanegara, swap produksi, dan sebagainya. Adaptasi diperlukan untuk menghadapi wajah perdagangan yang sudah berubah.
Ia butuh fleksibilitas dan kepercayaan. Dan, karena financing-nya kompleks, butuh pemahaman tingkat tinggi, konsensus politik, dan status ”Approved Oil Trader” yang dikeluarkan otoritas perdagangan dunia.
Sepengetahuan saya, Petral sudah memilikinya, bahkan mulai kembali dipercaya bank asing. Jadi, Petral berpotensi memperoleh competitive price untuk konsumen Indonesia asalkan diberi kepercayaan lebih. Tanpa itu, hanya ada kecurigaan dan rakyat semakin menderita.
Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia
Tuesday, January 27, 2009
Web Blogs dihajar Google?
Tentang Tionghoa
Tionghoa, Dulu dan Sekarang (1)
WAKTU itu belum ada negara yang disebut Indonesia, atau Malaysia, atau Singapura. Tiga negara itu masih jadi satu kesatuan wilayah ekonomi dan budaya. Kalau ada orang dari Tiongkok yang mau merantau ke wilayah itu, apa istilahnya?
Tentu tidak ada istilah “mau pergi ke Indonesia”. Atau “mau pergi ke Malaysia”. Mereka menyebutkan dengan satu istilah dalam bahasa Mandarin: xia nan yang. Artinya, kurang lebih, turun ke laut selatan. Wilayah yang disebut “nan yang” itu bukan satu kesatuan dan bukan pula satu tempat tertentu. Kalau ditanya xia nan yang–nya ke mana? Barulah ditunjuk satu nama tempat yang lebih spesifik.
Misalnya, akan ke Ji Gang (maksudnya Palembang). Mereka tidak tahu nama Palembang, tapi nama Ji Gang terkenalnya bukan main. Maklum, Ji Gang adalah salah kota terpenting yang harus didatangi misi Laksamana Cheng He (Cheng Ho). Ji Gang (artinya pelabuhan besar) memang jadi tempat tujuan utama siapa pun yang xia nan yang.
Kalau tidak ke Ji Gang, mereka memilih ke San Bao Long. Maksudnya: Semarang. Atau ke San Guo Yang, maksudnya Singkawang. Atau ke Ye Chen, maksudnya Jakarta. Atau Wan Long, maksudnya, Bandung. Mereka tidak tahu nama-nama kota di wilayah nan yang seperti nama yang dikenal sekarang. Semua kota dan tempat yang mereka tuju bernama Mandarin.
Gelombang xia nan yang itu sudah terjadi entah berapa ratus tahun lalu, bahkan ribu tahun lalu. Bahkan, saya tidak tahu mana nama yang digunakan lebih dulu: Palembang atau Ji Gang. Pontianak atau Kun Tian. Surabaya atau Si Shui. Banjarmasin atau Ma Chen. Migrasi itu berlangsung terus, sehingga ada orang Tionghoa yang sudah ratusan tahun di wilayah nan yang, ada juga yang baru puluhan tahun. Waktu kedatangan mereka yang tidak sama itulah salah satu yang membedakan antara satu orang Tionghoa dan Tionghoa lainnya.
Maka, masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar: totok, peranakan, dan hollands spreken. Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana. Lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang. Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia. Sedangkan yang hollands spreken adalah yang –di mana pun lahirnya– menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok.
Yang peranakan umumnya bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan perdagangan. Mereka berbahasa Jawa, Minang, Sunda, Bugis, dan bahasa di mana mereka tinggal. Mereka menyekolahkan anaknya juga tidak harus di sekolah Tionghoa.
Saya pernah menghadiri peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung di Hongkong yang diselenggarakan masyarakat Hongkong kelahiran Bandung. Meski sudah puluhan tahun bukan lagi WNI, tapi di pertemuan itu hampir semua bicara dalam bahasa Sunda.
Yang hollands spreken umumnya menjadi direktur dan manajer perusahaan besar yang waktu itu semuanya memang milik Belanda. Atau jadi pengacara, notaris, akuntan, dan profesi sejenis itu yang umumnya memang memerlukan keterampilan bahasa Belanda. Ini karena mereka harus melayani keperluan dalam sistem hukum yang berbahasa Belanda dengan aparatur yang juga orang Belanda.
Sedang yang totok, umumnya menjadi penjual jasa dan pedagang kelontong. Lalu jadi pemilik bengkel kecil. Lama-kelamaan mereka inilah yang memiliki pabrik-pabrik. Karena kesulitan berbahasa (Belanda, Indonesia, maupun bahasa daerah) golongan totok menjadi “tersingkir” dari pergaulan formal yang umumnya menggunakan tiga bahasa itu.
Sebagai golongan yang terpinggirkan, orang totok harus bekerja amat keras untuk bisa bertahan hidup. Pada mulanya mereka tidak bisa bekerja di pabrik karena tidak “nyambung” dengan bahasa di pabrik. Mereka juga tidak bisa bertani karena untuk bertani memerlukan hak atas tanah. Mereka hanya bisa berdagang kelontong dari satu kampung ke kampung lain dan dari satu gang ke gang yang lain. Kalau toh mencari uang dari pabrik, bukan secara langsung namun hanya bisa berjualan di luar pagarnya: menunggu karyawan pabrik bubaran kerja.
Golongan peranakan lebih kaya, tapi status sosialnya masih kelas dua. Status sosial tertinggi adalah golongan hollands spreken. Sedangkan status sosial terendah adalah totok. Anak-anak golongan hollands spreken umumnya harus kawin dengan yang hollands spreken. Yang peranakan dengan peranakan. Demikian pula yang totok dengan totok. “Kalau kamu kawin sama anak totok, nanti kamu makan pakai sumpit,” kata-kata orang tua si hollands spreken. “Kalau kawin dengan peranakan, nanti kamu makan pakai tangan.”
Sedangkan orang totok biasa menghalangi anaknya kawin dengan hollands spreken dengan kata-kata, “Kamu nanti jadi orang yang tidak tahu adat.” Atau, “tidak mau lagi menghormati leluhur.”
Yang hollands spreken umumnya menyekolahkan anaknya di sekolah berbahasa Belanda. Atau mengirim anak mereka ke Holland atau Jerman. Yang peranakan mengirim anaknya ke sekolah terdekat, termasuk tidak masalah kalau harus ke sekolah negeri. Yang totok menyekolahkan anaknya ke sekolah berbahasa Tionghoa. Semua itu terjadi dulu.
Bagaimana sekarang? (bersambung)
Monday, January 26, 2009
BELAJAR "GOBLOK" DARI BOB SADINO
Pasti Anda bingung dengan judulnya: "goblok" kok dipelajari! Awalnya saya juga bingung, tapi setelah bertemu langsung dengan Om Bob (pangilan akrab Bob Sadino), baru percaya bahwa statement itu benar.
Bob Sadino terkenal dengan pengusaha yang 'Nyleneh' gaya dan pola pikirnya. Sejak dari jaman Soeharto, dia terkenal dengan 'kostumnya' yang selalu bercelana pendek. Begitulah cara Om Bob bertemu dengan semua presiden negeri ini.
Di kediamannya di kawasan Lebak Bulus sebesar 2 hektar, dia membuat kami pusing dengan statement-statementnya yang super Nyleneh. Misalnya dia tanya,"Menurutmu kebanyakan orang bisnis cari apa Jay?" Spontan kita jawab,"Cari untung om!" Kemudian Om Bob balik menjawab,"Kalo saya cari rugi!" Dia menjelaskan, kalo bisnis cari untung, apa selamanya untung? Sama juga kalo bisnis cari rugi, apa selamanya rugi? Maknanya adalah, rugi tak perlu ditakuti. Bahkan karyawan Kemchicks (pabrik daging olahan) dan Kemfarms (exportir sayur dan buah) diijinkan untuk berbuat salah. Sampai-sampai ada karyawan yang pernah membuat kerugian US$ 5 juta dan masih bekerja sampai sekarang.
Goblok atau Pintar?
Trus apa maknanya belajar "Goblok"? Bukankah banyak orang pandai tapi tak berhasil dalam usaha atau bahkan melangkahpun tak berani. Om Bob bilang, kalo orang "goblok" itu tak pandai menghitung, makanya lebih cepat mulai usaha. Kalau orang pinter, menghitungnya 'njlimet', jadi nggak mulai-mulai usahanya. Orang 'goblok' berbisnis tidak berfikir urutan, sedangkan orang pinter, berfikir urut. Orang pintar tidak percayaan dengan orang lain, jadi semuanya mau dikerjain sendiri, seolah tak ada yang dapat menggantikan dirinya. Nah, kalau orang 'goblok', dia akan mencari orang pintar dan harus lebih pintar darinya, untuk menjalankan usahanya. Orang pintar ketemu gagal, cenderung mencari kambing hitam untk menutupi kekurangannya. "Ehm, situasi ekonominya lagi down", atau "Pemerintah nggak mendukung saya", kata orang pintar. Lain hal dengan orang 'goblok', jika ketemu gagal, nggak merasa kalau dia gagal, karena dia merasa sedang 'belajar'. Bahkan Om Bob juga mengatakan bahwa dia sebagai orang 'goblok' tidak melakukan perencanaan usaha, target ataupun mengenal cita-cita. Namun sebaliknya, semua karyawannya harus memiliki target dan perencanaan. Buahnya, orang 'goblok' yang jadi bossnya orang pintar.
Itulah adilnya Tuhan menciptakan orang pintar dan orang 'goblok'. Masalahnya sekarang, siapa yang merasa pintar, siapa yang merasa goblok? Trus, enakan mana jadi orang pintar atau orang 'goblok'? Jika Anda semakin bingung dengan tulisan saya, artinya bagus, berarti Anda mulai ....Goblok! Kalau Anda emosi , berarti Anda pintar. Itu juga kata orang Om Bob lho..! Filosofi 'goblok' Bob Sadino dia ibaratkan seperti air sungai yang sedang mengalir. Ketemu batu di depan, ya belok kanan atau belok kiri. Namun seperti air di sungai, kitapun harus siap dikencingi, dibuangi sampah dan kotoran-kotoran yang lain. Jadi, pilih mana? GOBLOK atau PINTAR?
"Pengusaha tak harus pintar dalam segala hal. Tapi harus pintar mencari orang pintar"
Dr. Leo Marcelinus Handoko HP., SpKJ, MSc
Psychiatrist & Consultant of Nerve Revitalization
Thursday, January 22, 2009
Benarkah: Menulis di Blog, Orang Tua dipanggil Polisi ?
> suwandiahmad
> Wed Jan 21, 2009 1:52 am (PST)
> Yossy, karib saya dari Combine Resource Intitution
> (CRI), menuliskan
> pengalamannya mengurus Kartu Keluarga di Kantor
> Kelurahan di:
> http://suarakomunit as.combine. or.id/index.
> php?code= 2&cid=5&sid= 0&id=1491
> Akibatnya, orang tuanya dipanggil Pak Polisi.
>
=================================================================
> Dikutip dari
>
http://suarakomunitas.combine.or.id/index.php?code=2&cid=5&sid=0&id=1491
>
> Kemarin (20/1/2009) saya mendengar kabar pejabat
> teras di Kecamatan Patimuan, tentang tulisan ini.
> Karena komunikasi via telepon ringkasnya,
> kronologinya demikian. Senin (19/1/2009) pihak
> kecamatan mendatangi kantor kepala Desa Rawaapu
> untuk mencari warganya yang menulis berita ini.
> Kebetulan, diakhir tulisan disebutkan nama terang
> dan alamat penulis, yaitu Yossy Suparyo, Warga Desa
> Rawaapu, Kecamatan Patimuan, untuk mengklarifikasi
> dari pemberitaan. Kebetulan kepala desa mengetahui
> si penulis, kebetulan berteman baik, sehingga karena
> tidak mengerti duduk perkaranya, maka si kepala desa
> mengantar rombongan dari kecamatan, warga sering
> menyebutnya mantri polisi (polisi pamong praja) ke
> rumah penulis. Karena tidak bisa menemui penulis,
> rombongan kecamatan meminta orang tua penulis
> (kebetulan orang tua penulis berlatarbelakang tidak
> lulus SD dan dikenal warga baik-baik--tepatnya
> penurut) agar mengontak penulis untuk pulang
> menyelesaikan masalah tersebut.
> Intinya penulis disuruh "menghadap" sang camat.
> Jika tidak salah dengar apabila dalam dua hari tidak
> pulang maka penulis akan dilaporkan ke polisi.
> Sebagai jaminan, esoknya (20/1) orang tua penulis di
> jemput kepala desa ke kantor polisi (kebetulan
> keduanya pun akrab) untuk dimintai keterangan.
> Mencermati penjelasan tersebut, tindakan yang
> dilakukan oleh pihak Kecamatan Patimuan mungkin
> didasari oleh niat baik, yaitu ingin melakukan
> klarifikasi. Sayang, mereka tidak menyadari bahwa
> perbuatan itu menyalahi prosedur dalam UU No 40
> tahun 1999 tentang pers. Semestinya pihak kecamatan
> melakukan tindakan hak jawab atau klarifikasi yang
> ditujukan untuk media yang memuat tulisan tersebut.
> Tindakan Kecamatan Patimuan untuk menindaklanjuti
> pemberitaan itu dapat dikategorikan sebagai tindakan
> kriminalisasi pers. Padahal, permasalahan ini juga
> sudah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
> tanggal 30 Desember 2008 yang isi meminta para hakim
> menghadirkan saksi ahli
> dari Dewan Pers untuk kasus yang menyangkut delik
> pers. Jadi, menurut saya lebih baik pihak kecamatan
> membuat tulisan sebagai hak jawab atas tulisan ini.
> Apabila pihak kecamatan ingin menggeser masalah ini
> sebagai pencemaran nama baik, saya rasa salah
> alamat. Menurut saya tulisan Yossy Suparyo sangat
> jelas dan mendukung tegaknya perundang-undangan yang
> ada di Indonesia.
>
> ===============================================
> Tulisan Yossi:
>
> 07 November 2008
>
>
> Angka Merah untuk Akuntabilitas Pelayanan Publik di
> Patimuan
>
>
> Setiap pelayanan publik harus menerapkan sistem
> akuntabilitas. Lewat SK MenPAN Nomor 26 Tahun 2004,
> transparansi dan tanggung gugat menjadi prasyarat
> wajib yang menentukan baik buruknya sebuah
> pelayanan.
> Senin (3/11) pukul 11.30, penulis sebagai warga
> datang ke kantor Kecamatan Patimuan untuk melakukan
> perpanjangan KTP. Tepat 16 November 2008 masa
> berlaku KTP saya habis. Sesuai dengan peraturan yang
> tertera di KTP, 14 hari sebelum KTP habis diharapkan
> warga segera memperbaharui.
>
> Memasuki kantor kecamatan, saya segara mencari papan
> informasi tentang bagaimana pembuatan Kartu Tanda
> Penduduk (KTP). Sesuai dengan SK MenPAN di atas,
> setiap unit pelayanan instansi pemerintah wajib
> mempublikasikan mengenai prosedur, persyaratan,
> biaya, waktu, standar, akta atau janji, motto
> pelayanan, lokasi serta pejabat atau petugas yang
> berwenang dan bertangung jawab sebagaimana telah
> diuraikan di atas. Dari dua papan informasi yang ada
> tak satu pun ada informasi tentang layanan-layanan
> yang diselenggarakan oleh kecamatan.
>
> Lalu, saya masuk ke loket pelayanan. Saya bertanya
> pada petugas. Sujadi, nama petugas itu, meski saya
> tidak kenalan di atas saku seragamnya tertulis
> dengan jelas nama itu. Saya mengutarakan
> keperluannya, yakni membuat KTP. Lalu, sya bertanya
> apa persyaratannya sebab tidak ada layanan informasi
> yang saya bisa akses.
>
> Saya mengeluarkan surat pengantar dari pemerintah
> desa dan Kartu Keluarga (KK). Tak begitu lama,
> Sujadi mengecek berkas, lalu berkata,"Kamu ada foto?
> Kamera di sini rusak sudah 2 hari ini. Jika tidak
> punya, silahkan foto di luar dulu."
>
> Saya tetap santai. "Wah, jika dua hari kamera rusak
> apa tidak dicarikan alternatif?" saya mencoba
> bertanya. "Kebetulan saya bawa kamera digital
> mungkin bisa membantu, setelah jepret bisa langsung
> ditransfer," lanjutku.
>
> "Gak bisa, semua harus dilakukan oleh dan dengan
> alat petugas. Anda bawa foto gak? Latarnya harus
> warna biru atau merah. Jika punya saya scan tapi
> bayar Rp 10 ribu," sergah petugas.
>
> "Ya, kebetulan saya bawa. Tapi warna latarnya putih.
> Gimana jika saya oleh sebentar di komputer saya.
> Nanti file-nya saya kasih," balasku seraya hendak
> mengeluarkan komputer jinjing dari tas.
>
> Belum sempat hal itu dilakukan, Sujadi segera
> menolaknya. Tetap seperti tadi, aktivitas itu akan
> dilakukan timnya. Akhirnya, saya mengalah. Saya
> menyerahkan berkas dan selembar foto 3x4.
>
> "Tiga puluh ribu, mas," petugas segera menyebutkan
> angka biaya yang harus dibayar sang pemuda.
>
> Selanjutnya, saya mengeluarkan uang Rp 50 ribuan.
> Petugas memasukkannya dalam laci, seraya memberi dua
> lembar sepuluh ribuan, sembari mempersilahkan saya
> menunggu di luar, tepatnya emperan, sebab tidak ada
> fasilitas untuk antri atau menunggu.
>
> "Maaf tidak ada kwitansi?" tanyaku. "Saya tadi telah
> membayar, mengapa saya tidak dikasih tanda bukti,"
> lanjutku.
>
> "Gak ada kwitansi mas, nanti kalau selesai mas saya
> panggil," mukanya sudah mulai masam. "Semua dilayani
> sama kok," sergahnya.
>
> "Bukan begitu, bukankah setiap transaksi harus ada
> tanda bukti?" saya coba protes, tapi segera petugas
> melayani lainnya.
>
> Kwitansi pembayaran penting sebab menurut SK MenPAN
> Nomor 26 Tahun 2004, kepastian dan rincian biaya
> pelayanan publik harus diinformasikan secara jelas
> dan diletakkan di dekat loket pelayanan, ditulis
> dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak
> pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan
> dengan kondisi ruangan. Transparansi mengenai biaya
> dilakukan dengan mengurangi semaksimal mungkin
> pertemuan secara personal antara pemohon dan
> penerima pelayanan dengan pemberi pelayanan.
>
> Unit pemberi pelayanan seyogyanya tidak menerima
> pembayaran secara langsung dari penerima pelayanan.
> Pembayaran hendaknya diterima oleh unit yang
> bertugas mengenola keuangan atau bank yang ditunjuk
> oleh Pemerintah atau unit pelayanan. Di samping itu,
> setiap pungutan yang ditarik dari masyarakat harus
> disertai dengan tanda bukti resmi sesuai dengan
> jumlah yang dibayarkan.
>
> Di emperan ada puluhan warga yang duduk di lantai
> menunggu panggilan. Ada yang mengurus KTP, KK, dan
> lain-lain. Saya bertanya pada beberapa warga, berapa
> rupiah mereka membayar sebuah layanan dan apakah
> diberi kwitansi. Untuk satu layanan, beberapa warga
> membayar dengan berbeda. Saya Rp 30 ribu, Si Kardi
> membayar Rp 20 ribu, Si Warni membayar Rp 25 ribu.
> Mengapa satu layanan harganya berbeda?
>
> Ada tiga kesalahan fatal yang dilakukan Kecamatan
> Patimuan. Pertama, tidak ada sumber rujukan yang
> dipersiapkan oleh lembaga ini sehingga warga dapat
> mengakses setiap layanan secara jelas. Prosedur dan
> tata cara layanan hanya dapat akses apabila warga
> bertanya pada petugas layanan, Sayangnya, penjelasan
> antara satu petugas dengan petugas lainnya simpang
> siur alias tidak sama.
>
> Kedua, tidak adanya penerapan sistem pelayanan yang
> akuntabel. hal ini terlihat dari tidak adanya
> kwitansi sebagai tanda bukti pembayaran dan biaya
> yang dibayarkan juga tidak sama. Jadi, ada peluang
> si petugas memberikan harga yang beranekaragam.
>
> Ketiga, dari dua aktivitas di awal, warga jelas
> tidak mendapatkan layanan sesuai dengan prinsip dan
> standarisasi pelayanan publik sesuai dengan SK
> MenPAN Nomor 26 Tahun 2004. Semakin rumitnya sebuah
> layanan makin besar terjadi penyalahgunaan wewenang.
>
> Meski penulis tidak mengecek satu per satu, fakta
> pelayanan publik seperti di Kecamatan Patimuan juga
> terjadi di seluruh kecamatan di Kabupaten Cilacap.
> Bahkan beragam instansi dinas juga melakukan hal
> serupa. Ambil contoh, Dinas Tenaga Kerja dan
> Transmigrasi menarik Rp 3.000,- untuk pengurusan
> kartu kuning tanpa ada surat tanda bukti apapun.
>
> Perbuatan ini jelas masuk dalam tindakan melawan
> hukum, terlebih dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi
> negara yang menerapkan sistem manajemen modern dan
> akuntabilitas. Jangankan pembayaran Rp 30 ribu,
> membeli permen seharga Rp 700,- di toko saja
> mendapatkan slip bukti pembayaran.
>
> Lalu, siapa yang tidak tertawa ketika mereka bilang
> tentang pemberantasan korupsi di depan masyarakat.
> Camat Patimuan mesti bertanggung jawab dan bupati
> harus memberikan peringatan keras atas peristiwa
> ini. Tapi bagaimana jika perbuatan serupa dilakukan
> keduanya: masa jeruk makan jeruk! Eh...
>
http://suarakomunitas.combine.or.id/index.php?code=2&cid=5&sid=0&id=1491
>
>
Wednesday, January 21, 2009
Barack Obama delivers inauguration speech, 20 January 2009
Barack Obama made his speech in front of more than a million people
My fellow citizens:
I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you
have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank
President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and
co-operation he has shown throughout this transition.
Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have
been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace.
Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and raging
storms. At these moments, America has carried on not simply because of the
skill or vision of those in high office, but because we, the people, have
remained faithful to the ideals of our forbearers, and true to our founding
documents.
So it has been. So it must be with this generation of Americans.
That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at
war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is
badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of
some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the
nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered.
Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day
brings further evidence that the ways we use energy strengthen our
adversaries and threaten our planet.
These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less
measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land -
a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next
generation must lower its sights.
Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious
and they are many. They will not be met easily or in a short span of time.
But know this, America - they will be met.
On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of
purpose over conflict and discord.
On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false
promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long have
strangled our politics.
We remain a young nation, but in the words of scripture, the time has come
to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring
spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift,
that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given
promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue
their full measure of happiness.
In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is
never a given. It must be earned. Our journey has never been one of
short-cuts or settling for less. It has not been the path for the
faint-hearted - for those who prefer leisure over work, or seek only the
pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the
doers, the makers of things - some celebrated but more often men and women
obscure in their labour, who have carried us up the long, rugged path
towards prosperity and freedom.
For us, they packed up their few worldly possessions and travelled across
oceans in search of a new life.
For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of
the whip and ploughed the hard earth.
For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg;
Normandy and Khe Sahn.
Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked till
their hands were raw so that we might live a better life. They saw America
as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the
differences of birth or wealth or faction.
This is the journey we continue today. We remain the most prosperous,
powerful nation on earth. Our workers are no less productive than when this
crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no
less needed than they were last week or last month or last year. Our
capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting
narrow interests and putting off unpleasant decisions - that time has surely
passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and
begin again the work of remaking America.
For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy
calls for action, bold and swift, and we will act - not only to create new
jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and
bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and
bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield
technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost. We
will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our
factories. And we will transform our schools and colleges and universities
to meet the demands of a new age. All this we can do. All this we will do.
Now, there are some who question the scale of our ambitions - who suggest
that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are
short. For they have forgotten what this country has already done; what free
men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and
necessity to courage.
What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath
them - that the stale political arguments that have consumed us for so long
no longer apply. The question we ask today is not whether our government is
too big or too small, but whether it works - whether it helps families find
jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified.
Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no,
programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be
held to account - to spend wisely, reform bad habits, and do our business in
the light of day - because only then can we restore the vital trust between
a people and their government.
Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill.
Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this
crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out
of control - that a nation cannot prosper long when it favours only the
prosperous. The success of our economy has always depended not just on the
size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on
the ability to extend opportunity to every willing heart - not out of
charity, but because it is the surest route to our common good.
As for our common defence, we reject as false the choice between our safety
and our ideals. Our founding fathers, faced with perils we can scarcely
imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man,
a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the
world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all
other peoples and governments who are watching today, from the grandest
capitals to the small village where my father was born: know that America is
a friend of each nation and every man, woman, and child who seeks a future
of peace and dignity, and we are ready to lead once more.
Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just
with missiles and tanks, but with the sturdy alliances and enduring
convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor
does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power
grows through its prudent use; our security emanates from the justness of
our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and
restraint.
We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we
can meet those new threats that demand even greater effort - even greater
cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly
leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With
old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear
threat, and roll back the spectre of a warming planet. We will not apologize
for our way of life, nor will we waver in its defence, and for those who
seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we
say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot
outlast us, and we will defeat you.
For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We
are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus - and non-believers.
We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this
earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and
segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we
cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the
lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our
common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in
ushering in a new era of peace.
To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and
mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict,
or blame their society's ills on the West - know that your people will judge
you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power
through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you
are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are
willing to unclench your fist.
To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your
farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed
hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we
say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders;
nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the
world has changed, and we must change with it.
As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble
gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off
deserts and distant mountains. They have something to tell us, just as the
fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honour them
not only because they are guardians of our liberty, but because they embody
the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater
than themselves. And yet, at this moment - a moment that will define a
generation - it is precisely this spirit that must inhabit us all.
For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and
determination of the American people upon which this nation relies. It is
the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness
of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job
which sees us through our darkest hours. It is the firefighter's courage to
storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to
nurture a child, that finally decides our fate.
Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be
new. But those values upon which our success depends - honesty and hard
work, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism
- these things are old. These things are true. They have been the quiet
force of progress throughout our history. What is demanded then is a return
to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility -
a recognition, on the part of every American, that we have duties to
ourselves, our nation, and the world, duties that we do not grudgingly
accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing
so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our
all to a difficult task.
This is the price and the promise of citizenship.
This is the source of our confidence - the knowledge that God calls on us to
shape an uncertain destiny.
This is the meaning of our liberty and our creed - why men and women and
children of every race and every faith can join in celebration across this
magnificent mall, and why a man whose father less than 60 years ago might
not have been served at a local restaurant can now stand before you to take
a most sacred oath.
So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have
travelled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a small
band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river.
The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained
with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in
doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:
"Let it be told to the future world...that in the depth of winter, when
nothing but hope and virtue could survive...that the city and the country,
alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."
America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship,
let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave
once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said
by our children's children that when we were tested we refused to let this
journey end, that we did not turn back nor did we falter; and with eyes
fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great
gift of freedom and delivered it safely to future generations.
Thank you. God bless you. And God bless the United States of America.
Kisah Sukses Muhadi Menjadi Pengusaha Bus PO Dedy Jaya
Kisah Sukses Muhadi Menjadi Pengusaha Bus PO Dedy Jaya
Lewat kerja keras dan keuletan, Muhadi sukses menjadi pengusaha bus Dedy Jaya. Ia merintis usahanya dari berdagang es lilin serta menjadi kondektur bus. Kini bisnisnya sudah menggurita, mulai dari hotel, pabrik cat, mal, hingga toko bangunan.
Soal nasib urusan belakang. Itulah pegangan hidup Muhadi Setiabudi, konglomerat asal Brebes, Jawa Tengah. Kerja kerasnya selama sekitar 19 tahun kini membuahkan hasil. Grup usaha PT. Dedy Jaya Lambang Perkasa yang berdiri sekitar 15 tahun silam, kini menjelma menjadi kerajaan bisnis dengan 2.500 karyawan. Lini usahanya juga sungguh beragam luas, mulai dari mengelola ratusan armada di bawah bendera perusahaan otobus (PO) Dedy Jaya, hotel, pabrik cat, toko bahan bangunan, toko emas, hingga bisnis mal di Brebes, Tegal & Pemalang. "Nasib itu urutan kesekian. Siapa pun yang bekerja keras pasti bisa berhasil," ucap lelaki kelahiran Brebes, Maret 1961 ini mantap.
Muhadi tentu tidak asal omong. Boleh dibilang pria yang hanya menamatkan pendidikan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) dari sebuah pesantren di Cirebon ini, benar-benar sudah membuktikannya. Maklum, kerajaan bisnisnya itu ia rintis dengan susah payah dan bukan terima menjadi dari warisan. "Saya benar-benar mulai dari nol besar," tandas bapak tiga anak ini.
Merintis Sukses Dari Berdagang Bambu
Simak saja kisahnya. Muhadi muda sempat melakoni pekerjaan kasar seperti berdagang es lilin di kampung, menjadi kondektur bus, serta berjualan minyak tanah. Pekerjaan itu ia jalani hingga 1979 atawa sekitar lima tahun sejak menamatkan pendidikan menengah. Di saat senggang, ia juga ikut membantu ayahnya bertani di sawah.
Jalan terang agaknya mulai terbentang setelah Muhadi menikahi Atik Sri Subekti pada 1981. "Waktu itu umur saya baru 19 tahun, tapi saya nekat menikah," tuturnya mengenang. Nasibnya berubah bukan karena dia menikahi anak konglomerat. Sebaliknya, mungkin karena kian terdesak harus membiayai keluarga barunya, dia tak bisa lagi menyandarkan penghasilan dari kerja serabutan itu.
Maka, Muhadi mulai menerjuni usaha dagang bambu dengan modal awal sekitar Rp 50.000. Modal ini ia kumpulkan dari upah membantu orang tuanya di sawah. "Usaha ini masih saya pertahankan sampai sekarang karena ia adalah cikal bakal semua usaha yang tidak bisa saya lupakan," tutur Muhadi.
Guratan sukses Muhadi tampaknya memang sudah terukir di bambu. Sebab, jerih payahnya berjualan bambu tersebut menuai hasil lumayan. Apalagi beberapa pesanan dalam jumlah besar juga mulai berdatangan. Misalnya, dia sempat mendapat order dari sebuah kontraktor bangunan untuk menyuplai ribuan batang. Untungnya meningkat, dari sekitar Rp 70.000 sebulan menjadi Rp 470.000 saban bulan.
Selain mendapat order, ada berkahnya juga Muhadi bergaul dengan para kontraktor itu. Ia jadi mulai mafhum tentang seluk-beluk usaha bahan bangunan. Dua tahun setelah berdagang bambu, Muhadi lantas mendirikan toko bahan bangunan dengan modal yang ia kumpulkan dari untung berdagang bambu. "Kekurangannya saya pinjam dari bank," ucapnya terus terang.
Rupanya pilihan Muhadi melebarkan sayap ke bisnis bahan bangunan sungguh tepat. Karena usaha barunya itu benar-benar menjadi tambang emas yang tiada henti mengalirkan untung. Bahkan, tujuh tahun setelah berkutat di material, keuntungannya dari berjualan bahan bangunan sudah bisa menjadi modal untuk membeli beberapa bus besar. Muhadi seperti terobsesi berusaha di jasa sarana angkutan. Boleh jadi selain meraup untung dari jasa ini, dia ingin mengenang masa sulitnya menjadi kondektur.
Kini, jumlah armada busnya yang berbendera PO Dedy Jaya sudah mencapai ratusan unit. Penumpang asal Pantura, Tegal, Pekalongan, dan Purwokerto yang hendak ke Jakarta tentu sudah tak asing lagi dengan bus ini. Maklum, Dedy Jaya melayani trayek Jakarta-Purwokerto, Jakarta-Tegal, dan Jakarta-Pemalang-Pekalongan. Ia mencomot nama untuk bus serta grup usahanya dari nama anak pertamanya, Dedion Supriyono. Selain menggeluti bus, Muhadi juga mulai merambah ke toko emas dan bisnis perkayuan.
Masih Muda Sudah Kaya Raya
Konglomerasi bisnis Muhadi tak berhenti sampai di situ saja. Ia pun mulai melirik bisnis pusat perbelanjaan lantaran melihat peluang yang masih terbuka lebar di Tegal. Selain itu, "Saya ingin menjadi pelopor pengembang pribumi, daripada peluang itu diambil developer dari luar," ucapnya.
Alhasil, berdirilah Mal Dedy Jaya pada 1998, yang kini menjadi pusat perbelanjaan termegah di kota warteg itu. Tak puas mendirikan mal, Muhadi lantas menerjuni pula bisnis perhotelan. Dua tahun berselang setelah membangun mal itu, ia juga membangun dua hotel berbintang sekaligus. Satu di Tegal dan satunya lagi di Brebes.
Sepak terjang Muhadi boleh dibilang mencengangkan karena ia membangun kerajaan bisnis itu saat usianya baru menginjak 31 tahun. Tak heran jika ia mendapat banyak penghargaan berkat keuletannya tersebut. Ini bisa dilihat dari tiga buah lemari besar yang penuh berisi berbagai penghargaan. Yang paling membanggakan Muhadi, dia pernah terpilih menerima penghargaan upakarti dari presiden. "Saya bangga, karena saya ini cuma orang desa," tuturnya merendah.
Muhadi tak memungkiri bahwa perkembangan bisnisnya ini tak lepas dari peran bank yang mengucurinya kredit. Tentu saja tak serta-merta bank mau mengucurkan pinjaman ketika usahanya belum sebesar sekarang. Kendati sekarang utangnya masih lumayan besar, dia mengaku tak risau ataupun malu. "Saya baru malu kalau tak bisa membayar," tegasnya.
Begitulah, kerja kerasnya kini sudah membuahkan hasil. Toh, ia tak lantas puas dengan hasil yang sudah ia peroleh. Muhadi juga tak lantas bermewah-mewah dengan hasilnya selama ini. Kantornya pun sederhana. Hanya sebuah ruang seluas 24 m2 di salah satu sudut rumahnya di Jalan Raya Cimohong, Bulakamba, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Brebes. Toh, dari kota kecil inilah Muhadi mengendalikan bisnisnya yang sudah menggurita.
Menggulung Layar Hiburan dan Kapal Ikan
Sudah lumrah setiap ada senang pasti ada susah. Kalau tidak untung ya rugi. Demikian pula dengan bisnis yang dijalani Muhadi. Tidak semua usahanya berjalan mulus dan menjadi tambang duit yang berlimpah. Salah satu usahanya yang terpuruk adalah bioskop Dedy Jaya di Tegal. Semula bioskopnya sempat menjadi maskot dan sasaran hiburan warga Tegal. Namun, usaha itu menjadi berantakan akibat membanjirnya video compact disc (VCD) bajakan yang murah meriah. Bioskopnya menjadi sepi pengunjung dan pemasukannya makin seret hingga berbuntut rugi. Tak heran Muhadi lantas melego bisnis tontonannya itu.
Selain bioskop, bisnis kapal ikannya pun terpaksa gulung tikar. Itu terjadi akibat sengitnya persaingan di Tegal serta belitan krisis moneter pada 1997 hingga 1998. Padahal, kala itu usaha Muhadi baru mulai berbiak dan membutuhkan dana besar untuk mengembangkannya. Sayang, ketika itu tak ada bank yang berani mengucurkan kredit. Muhadi mengaku hampir menyerah saat itu lantaran imbasnya begitu dahsyat menerpa usahanya. "Berat sekali waktu itu. Ternyata lebih mudah merintis ketimbang mempertahankan usaha yang sudah ada", kenang Muhadi.
Sumber : http://bocahblitar.multiply.com/journal
Salam Sukses,
Adib Munajib
http://www.adibmunajib.blogspot.com
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
-
Pada 28 Mei 2011 08:54, Ophoeng menulis: Mas Wisnu dan TTM semuwah, Hai, apakabar? Sudah makan tahu? Hehehe... pagi-pagi sudah d...