Tionghoa, Dulu dan Sekarang (1)
WAKTU itu belum ada negara yang disebut Indonesia, atau Malaysia, atau Singapura. Tiga negara itu masih jadi satu kesatuan wilayah ekonomi dan budaya. Kalau ada orang dari Tiongkok yang mau merantau ke wilayah itu, apa istilahnya?
Tentu tidak ada istilah “mau pergi ke Indonesia”. Atau “mau pergi ke Malaysia”. Mereka menyebutkan dengan satu istilah dalam bahasa Mandarin: xia nan yang. Artinya, kurang lebih, turun ke laut selatan. Wilayah yang disebut “nan yang” itu bukan satu kesatuan dan bukan pula satu tempat tertentu. Kalau ditanya xia nan yang–nya ke mana? Barulah ditunjuk satu nama tempat yang lebih spesifik.
Misalnya, akan ke Ji Gang (maksudnya Palembang). Mereka tidak tahu nama Palembang, tapi nama Ji Gang terkenalnya bukan main. Maklum, Ji Gang adalah salah kota terpenting yang harus didatangi misi Laksamana Cheng He (Cheng Ho). Ji Gang (artinya pelabuhan besar) memang jadi tempat tujuan utama siapa pun yang xia nan yang.
Kalau tidak ke Ji Gang, mereka memilih ke San Bao Long. Maksudnya: Semarang. Atau ke San Guo Yang, maksudnya Singkawang. Atau ke Ye Chen, maksudnya Jakarta. Atau Wan Long, maksudnya, Bandung. Mereka tidak tahu nama-nama kota di wilayah nan yang seperti nama yang dikenal sekarang. Semua kota dan tempat yang mereka tuju bernama Mandarin.
Gelombang xia nan yang itu sudah terjadi entah berapa ratus tahun lalu, bahkan ribu tahun lalu. Bahkan, saya tidak tahu mana nama yang digunakan lebih dulu: Palembang atau Ji Gang. Pontianak atau Kun Tian. Surabaya atau Si Shui. Banjarmasin atau Ma Chen. Migrasi itu berlangsung terus, sehingga ada orang Tionghoa yang sudah ratusan tahun di wilayah nan yang, ada juga yang baru puluhan tahun. Waktu kedatangan mereka yang tidak sama itulah salah satu yang membedakan antara satu orang Tionghoa dan Tionghoa lainnya.
Maka, masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar: totok, peranakan, dan hollands spreken. Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana. Lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang. Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia. Sedangkan yang hollands spreken adalah yang –di mana pun lahirnya– menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok.
Yang peranakan umumnya bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan perdagangan. Mereka berbahasa Jawa, Minang, Sunda, Bugis, dan bahasa di mana mereka tinggal. Mereka menyekolahkan anaknya juga tidak harus di sekolah Tionghoa.
Saya pernah menghadiri peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung di Hongkong yang diselenggarakan masyarakat Hongkong kelahiran Bandung. Meski sudah puluhan tahun bukan lagi WNI, tapi di pertemuan itu hampir semua bicara dalam bahasa Sunda.
Yang hollands spreken umumnya menjadi direktur dan manajer perusahaan besar yang waktu itu semuanya memang milik Belanda. Atau jadi pengacara, notaris, akuntan, dan profesi sejenis itu yang umumnya memang memerlukan keterampilan bahasa Belanda. Ini karena mereka harus melayani keperluan dalam sistem hukum yang berbahasa Belanda dengan aparatur yang juga orang Belanda.
Sedang yang totok, umumnya menjadi penjual jasa dan pedagang kelontong. Lalu jadi pemilik bengkel kecil. Lama-kelamaan mereka inilah yang memiliki pabrik-pabrik. Karena kesulitan berbahasa (Belanda, Indonesia, maupun bahasa daerah) golongan totok menjadi “tersingkir” dari pergaulan formal yang umumnya menggunakan tiga bahasa itu.
Sebagai golongan yang terpinggirkan, orang totok harus bekerja amat keras untuk bisa bertahan hidup. Pada mulanya mereka tidak bisa bekerja di pabrik karena tidak “nyambung” dengan bahasa di pabrik. Mereka juga tidak bisa bertani karena untuk bertani memerlukan hak atas tanah. Mereka hanya bisa berdagang kelontong dari satu kampung ke kampung lain dan dari satu gang ke gang yang lain. Kalau toh mencari uang dari pabrik, bukan secara langsung namun hanya bisa berjualan di luar pagarnya: menunggu karyawan pabrik bubaran kerja.
Golongan peranakan lebih kaya, tapi status sosialnya masih kelas dua. Status sosial tertinggi adalah golongan hollands spreken. Sedangkan status sosial terendah adalah totok. Anak-anak golongan hollands spreken umumnya harus kawin dengan yang hollands spreken. Yang peranakan dengan peranakan. Demikian pula yang totok dengan totok. “Kalau kamu kawin sama anak totok, nanti kamu makan pakai sumpit,” kata-kata orang tua si hollands spreken. “Kalau kawin dengan peranakan, nanti kamu makan pakai tangan.”
Sedangkan orang totok biasa menghalangi anaknya kawin dengan hollands spreken dengan kata-kata, “Kamu nanti jadi orang yang tidak tahu adat.” Atau, “tidak mau lagi menghormati leluhur.”
Yang hollands spreken umumnya menyekolahkan anaknya di sekolah berbahasa Belanda. Atau mengirim anak mereka ke Holland atau Jerman. Yang peranakan mengirim anaknya ke sekolah terdekat, termasuk tidak masalah kalau harus ke sekolah negeri. Yang totok menyekolahkan anaknya ke sekolah berbahasa Tionghoa. Semua itu terjadi dulu.
Bagaimana sekarang? (bersambung)
No comments:
Post a Comment