Tidak hanya ibu kota Jakarta yang lumpuh total akibat diterjang banjir. Sukandi (70) juga mengalami kelumpuhan. Meski bukan karena banjir, Sukandi harus mengalami nasib terlunta-lunta oleh banjir yang tiba-tiba menenggelamkan lantai dua rumahnya. Ironisnya, Puskesmas Tebet, Jakarta justru menolak merawat. Derita Sukandi menjadi tragedi banjir ibu kota tahun ini.
AIR di lantai dua rumah Sukandi, RT 10, RW 01, Kampung Melayu Besar, Gudang Peluru, Kebun Baru, Jakarta Selatan mencapai tinggi kaki orang dewasa. Arus air begitu kuat. Suaranya bergemuruh. Langit hitam pekat. Gerimis datang menambah perasaan Dadan (35) semakin cemas. ''Bapak saya masih di rumah. Dia lumpuh, tidak bisa ke mana-mana,'' bibir Dadan yang biru oleh air banjir meminta bantuan.
Mata Dadan merah. Terlalu banyak air mata yang tumpah, seperti ingin menambah jumlah air banjir di kampungnya, Kebun Baru. Daerah inilah salah satu wilayah paling parah diterjang banjir. Lokasinya berdekatan dengan Kampung Melayu, Bukit Duri, dan Bidara Cina. Tiga wilayah yang juga paling parah terendam banjir.
Dadan telanjur yakin, banjir tak mungkin menenggelamkan lantai dua rumahnya. Sukandi, ayahnya, diletakkan di kasur dan ditunggui dua saudaranya. Keputusan Dadan bertahan di lantai dua tak sendiri. Ribuan warga Kebun Baru, termasuk anak-anak dan balita, melakukan hal yang sama, bertahan di lantai dua. ''Sambil menunggu rumah agar terhindar dari jarahan maling,'' ungkap Dadan. Hanya sebagian kecil yang mengungsi, termasuk Dadan.
Sejak petang, sekitar pukul 18.00 WIB, Dadan bersama teman-temannya justru mengimbau warga segera meninggalkan rumah. Maklum, dia dan anak muda di kampungnya sukarela menjadi tenaga evakuasi. Dadan ngepos di Posko Tulip, Gudang Peluru, tak jauh dari rumahnya.
Seruan waspada itu awalnya datang dari petugas PA Manggarai. Sabtu (3/2) pukul 10.45 WIB, Bendungan Katulampa Bogor mencapai titik klimaks tertinggi yakni 250 cm. Jauh melebihi ambang batas normal yang hanya 60 cm. Perjalanan dari Bogor ke Jakarta memakan waktu 8-9 jam. Air bandang akan menghunjam Jakarta mulai pukul 18.00-19.00. Penambahan ketinggian air diperkirakan mencapai 4-5 meter.
Benar, pukul 19.00 air mulai merambat naik. Dadan belum berpikir mengevakuasi ayahnya. Toh, lantai dua, seperti tahun 2002 lalu, tak tersentuh banjir. Pukul 20.00, air bertambah satu meter. Dadan mulai sibuk membuka tas kresek dan memencet tombol handphone, menghubungi saudaranya di rumah. Air seberapa? Dadan bertanya. Tambah naik satu meter, suara kakaknya dari ujung HP. Kalau tambah tinggi, jangan lupa telepon lagi, pinta Dadan sambil mematikan handphone.
Pukul 21.00, air bertambah satu meter lagi. Dadan kembali membuka tas kresek dan memencet handphone, menghubungi kakaknya. Pukul 22.00, Posko Tulip digotong menjauh. Air menggenangi posko. Pukul 23.00 WIB, posko digeser lagi lebih jauh lagi. Dadan membuka tas kresek untuk kesekian kalinya. Dia menghubungi kakaknya. Atap rumah tetangga sudah tenggelam, Dadan membisikkannya ke telinga Bali Post, yang malam itu ikut menyaksikan detik-detik datangnya air bah di Kampung Melayu.
Hujan mulai berjatuhan. Pukul 24.00, Dadan semakin cemas, lantai dua rumahnya telah disentuh air. Ayahnya tergolek, tak berdaya, karena lumpuh. Dua saudaranya pasrah. Sejak banjir, Jumat (2/2), mereka terkepung banjir dan menghabiskan sisa makanan yang tersedia atau menunggu pasokan dari luar. Air bersih sulit didapat. Mandi ah, untuk apa, yang penting bisa minum atau makan.
Akhirnya perahu karet milik Tontaipur merapat di Posko. Minggu (3/2) pukul 00.30, Kita ambil Bapak Kancut duluan, teriak salah satu tim evakuasi. Kancut -- nama panggilan Dadan -- di kampung. Bali Post turut dalam ekspedisi evakuasi ini.
Susah, arus air terlalu deras. Kabel listrik nyaris memanggang tim. Untung teriakan salah satu tim menggelegar. Dengan berbekal senter lima watt, tim menyusuri lorong ke lorong. Tampak dalam remang-remang warga berdiri di atap genting. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, ah masih banyak warga yang bertahan. Anak-anak, wanita, lansia, juga balita. Perasaan mereka cemas. Pak, nanti evakuasi kami di sini, ya Pak, sapa mereka kepada tim.
Perahu merapat di pagar lantai dua. Tali perahu diikat ke pagar besi. Sukandi (70), yang lumpuh tak berdaya, akhirnya diangkat. Awas kabel tegangan tinggi, nyaris saja kepala Sukandi terkena kabel. Pukul 01.00, Sukandi berhasil dibawa ke Kelurahan Kebun Baru.
Hujan tak kunjung berhenti. Kelurahan dikepung hujan. Air makin tinggi, mengepung Posko Banjir Kebun Baru. Jalan-jalan yang sebelumnya tak tersentuh air mulai tergenang hingga setinggi roda mobil Kijang. Pukul 03.00, Dadan menangis, minta tolong. ''Tolong kami. Bapak harus dievakuasi, kami tak punya mobil,'' suara Dadan dari handphone.
Bali Post yang sudah kembali ke markas terpaksa balik lagi ke lokasi. Demi kemanusiaan, kata Nanang, salah satu kru Daai TV, yang ikut menyopiri mobil WRC. Saat itu juga Sukandi meringis kesakitan ketika dinaikkan ke mobil. Sakit, erangnya.
Mobil berputar-putar mencari jalan. Begitu keluar dari lokasi genangan banjir, Sukandi dilarikan ke Puskesmas Tebet. Di sini, tiga mobil ambulans diparkir. Padahal, di lokasi banjir, korban sangat membutuhkan ambulans. Pukul 03.45, Sukandi masuk UGD. Sayang dokter jaga Puskemas Tebet tampil dengan muka tak suka. ''Kami tak bisa merawat, ruangan penuh,'' kata dokter itu.
Dadan pasrah dan menangis. ''Saya tak bisa apa-apa,'' katanya lemas. Badannya menggigil. Baju dan rompinya basah, celananya basah. Beberapa kali kakaknya yang masih berada di rumah minta dievakuasi karena ketinggian air mulai merendam lantai dua rumahnya hingga lutut. Erwin tetap kukuh. Tak bisa dirawat. ''UGD bukan tempat perawatan,'' sungutnya.
Dia menelepon dr. Ratna, atasannya. Sama saja. Dr. Ratna tak membolehkan. ''Kami rujuk saja ke RS Tebet,'' desak Erwin. Dadan hanya minta ayahnya tinggal sementara di Puskesmas Tebet, bukan untuk dirawat tetap.
Hingga pukul 05.45, Sukandi terlunta-lunta di Puskesmas Tebet. ''Kalau Bapak maksa, tidurkan saja di kursi tamu,'' dokter itu setengah membentak. Sukandi, lansia lumpuh itu, punya luka di bagian belakang. Tak mungkin ditidurkan di kursi kayu tanpa alas. Pukul 06.00 setelah Nanang, kru TV, mengancam akan menyiarkan peristiwa ini ke media massa nasional dan menyorotkan kameranya, Erwin memberi tempat tidur. Dadan kembali ke lokasi banjir, bergabung tim evakuasi lagi. Minggu (3/2) siang sekitar pukul 12.00, pihak Telkom langsung mengevakuasi Sukandi ke RS Mitra Keluarga. * heru b. arifi
--------------------------
From :http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/2/7/n4.htm
Wednesday, February 7, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...
No comments:
Post a Comment