Thursday, January 28, 2010

Revolusi Bisa Saja Terjadi

Setelah 100 hari berjalan rezim pemerintahan SBY-Boediono,
apakah rakyat lebih makmur atau menderita?

Coba kita lihat…

Pemerintah via Mensekneg memutuskan untuk memberi mobil
dinas mewah Toyota Crown seharga Rp 1,32 milyar kepada 150 pejabat termasuk
para menteri. Padahal dengan mobil seharga Rp 350 juta saja per buah sudah
lebih dari cukup.

Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan gaji presiden,
menteri, dan para pejabat lainnya. Padahal gaji Presiden dan para menteri
tersebut sudah puluhan kali lipat di atas UMR.

Setjen DPR menganggarkan Laptop senilai Rp 16 juta untuk 560
anggota DPR. Padahal dengan Laptop seharga Rp 3-7 juta saja sudah didapat
laptop yang bagus untuk internet atau memakai program Office.

Setjen DPR juga menganggarkan renovasi rumah untuk 560
anggota DPR senilai Rp 700 juta per rumah. Belum lagi uang kontrak rumah selama
renovasi sebesar Rp 15 juta/bulan.

Belum lagi uang untuk Pesawat Presiden yang menelan biaya
ratusan milyar rupiah.

Kemudian BLT senilai Rp 6,7 trilyun untuk Bank Century.

Jika kita lihat, segala kenikmatan di atas dinikmati oleh
segelintir pejabat dan orang-orang kaya saja. Jika pun gaji PNS dan TNI naik,
jumlah mereka kurang dari 3% dari seluruh rakyat Indonesia.

Sebaliknya apa yang dinikmati mayoritas rakyat Indonesia?

Tarif listrik akan dinaikkan.
Tarif jalan tol sudah dinaikkan.
Harga beras naik.
Subsidi KPR BTN setelah 4 tahun akan dicabut sehingga rakyat
yang sebelumnya “cuma” bayar bunga 12% per tahun nanti akan membayar lebih
tinggi lagi.

Coba bayangkan. Para pejabat dapat mobil, rumah, laptop gratis, padahal gaji mereka besar dan
dinaikkan. Sementara rakyat kecil sudah gaji kecil dan banyak yang tidak naik,
harus membayar sendiri untuk seluruh kebutuhan hidup mereka. Itu pun harganya
terus dinaikkan.

Periode 2004-2009 pemerintahan SBY ditandai naiknya BBM dari
Rp 1800/liter jadi Rp 4500/liter. Tarif angkutan umum seperti Bis dan Kopaja
naik dari Rp 1000 jadi Rp 2000 sekali jalan. Berbagai harga Sembako dan
kehidupan rakyat lainnya juga naik sementara mayoritas rakyat tidak mengalami
kenaikan gaji yang cukup untuk mengatasi kenaikan harga barang. Bahkan banyak
yang gajinya tidak naik sama sekali atau bahkan kehilangan pekerjaan karena
perusahaannya tutup karena tidak mampu menanggung beban operasional yang terus
membengkak. Hanya segelintir pejabat, PNS, dan TNI saja yang menerima kenaikan
gaji.

Jika trend kenaikan harga dan gaji sama-sama lurus atau
menanjak ke atas, itu tidak masalah. Kemungkinan 5 tahun ke depan rakyat akan
makmur.

Tapi jika trend kenaikan harga terus meningkat, sementara
kenaikan gaji mayoritas rakyat lurus atau jauh di bawah kenaikan harga, lambat
laun akan terjadi bom waktu. Suatu saat rakyat akan menderita. Saat titik mencapai
puncaknya, bisa saja terjadi krisis ekonomi dan rubuhnya pemerintahan oleh
desakan rakyat seperti di tahun 1998.

Mari kita ingat sejarah Raja Perancis Louis XVI dan Ratu
Marie Antoinette. Mereka pesta pora dan bermewah-mewahan sementara mayoritas
rakyat Perancis kelaparan. Saat rakyat protes bahwa mereka lapar, sang Ratu
Marie Antoinette dengan enteng berkata, “Kalau begitu makan saja roti!”

Akhirnya terjadi Revolusi Perancis yang menurunkan Raja
tersebut dari tahtanya. Perancis berubah wujud menjadi Republik. Sementara Ratu
Marie Antoinette kepalanya terpisah dari tubuhnya karena dipancung dengan pisau
Guilotine.

Hendaknya itu jadi pelajaran kita semua. Jangan sampai kasus
1998 atau pun tragedy Marie Antoinette terjadi di Indonesia. Pada saat harga-harga
barang terus naik, sementara penghasilan rakyat tidak naik, bahkan banyak
perusahaan gulung tikar karena perdagangan bebas, kemarahan rakyat bisa muncul.
Revolusi bisa terjadi.
-----
dari A Nizami
balas ke ppiindia@yahoogroups.com
ke ekonomi-nasional@yahoogroups.com,
ppiindia@yahoogroups.com,
lisi ,
sabili ,
istiqlal@yahoogroups.com,
Indonesia Raya
tanggal 28 Januari 2010 15:29
subjek [ppiindia] 100 Hari Rezim SBY-Boedi – Rakyat Lebih Makmur atau Menderita?
------

Referensi:
http://hariansib.com/?p=96586
Rencana Kenaikan Gaji Presiden & Menteri, Pejabat Tidak
Peka Derita Rakyat

http://hariansib.com/?p=108199
Setjen DPR Harus Transparan Soal Komputer Rp 16 Juta untuk
560 Anggota Dewan
Posted in

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2009/12/29/brk,20091229-216283,id.html
Pejabat Negara Diminta Kembalikan Mobil Mewah
http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/28/100-hari-rezim-sby-boedi-%E2%80%93-rakyat-lebih-makmur-atau-menderita/

Tuesday, October 27, 2009

Jual Notebook Second untuk Area Semarang

HP NC 4200 S/N : CND 6170 JN 5 4,150,000
IBM T 40 S/N : 99 - MXL 62 3,200,000

Del Vostro 1200 S/N : 2974 2171040 6,200,000
HP Compaq 2210 S/N : CNU 745367 D 6,200,000

Toshiba Tecra A8 S/N : X6091109 H 4,700,000
Toshiba Tecra M2 S/N : 6459800256 3,800,000
HP NC 4200 S/N : CND 6171 PAC 4,350,000

ACER TM 2480 4,650,000
ACER Aspire 4315 4,600,000
Compaq Presario V 3000 4,550,000

Sony VAIO VGN - T250 P 4,350,000
Gateway TC 73 4,750,000
-------------

Cah2 Semarang, tertarik ? kirim email ke bagusalfa@gmail.com

Saturday, October 24, 2009

Perenungn Part 1

Hari ini ada suatu topik di televisi yang acaranya dibawakan oleh Ulfa Dwiyanti dan Bella Saphira. Tamu dari acara ini adalah mereka yang sering disebut "From Hero To Zero". Ada yang bermula dari penjual ikan bakar, roti bakar dan Tukang Pijit di Jogja, menjadi semacam Crown Ambassador di KLink. Mereka adalah potret dari orang yang memulai dari nol (katakanlah begitu) sampai bergelimang harta (mercedes, honda crv) dalam waktu 4 tahun atau kurang.

Salah satu dari mereka menyebutkan bahwa:
Banyak yang berusaha / terjun ke dunia usaha namun fokus pada proses. Padahal mustinya fokus pada hasil dan impian.

Point penting lainnya adalah: tidak ada satu usahapun yang tanpa tantangan. Keberhasilan hampir pasti dicapai dengan penuh tantangan berat (selain kerja keras).

Apa yang dapat kali ini, adalah mengingatkan saya bahwa apapun bidang yang kita geluti pasti situasinya penuh kompetisi, keras. Mungkin kita sering melihat pada orang lain yang berhasil, kemudian kita ingin terjun ke bidang bisnis dia. Suatu hal yang normal, namuan kita bisa kecewa karena begitu kita terjun ke dunianya, sama saja, tantangan berat langsung menghadang.

Bisnis bisa laksana medan perang dahsyat yang menyakitkan sekaligus membosankan. Itu kalau kita fokus pada proses. Bila kita fokus pada hasil / impian, maka kita perlu optimis membayangkan kita duduk di atas mobil sport berharga milyaran rupiah.

---
Saya masih beruntung, bahwa dilahirkan dalam keadaan goblok dalam bidang bisnis. Sehingga hambatan untuk itupun tidak hanya besar, namun sangat dahsyat. Mengingat problem utamanya terletak pada diri saya sendiri. Bertahun-tahun bertempur dengan diri saya sendiri, sampai saat ini pertempuran belum usai, namun saya tetap yakin dan optimis.

Saya melihat sebenarnya banyak sekali orang yang seperti ini. Mungkin salah satu cirinya adalah ketika saya berkata kepada mereka, yuk jualan, kenapa dirimu gak jualan? Jawabnya sangat klasik: Mau jualan apa? Trus modalnya gimana?

Saya berusaha merenung dan mencari problem dalam diri saya, karena kebetulan saya mewakili mereka. Saya mau jualan apa? Bagaimana memulai? Ketakutan yang teramat besar membentengi diri saya.

Sebenarnya secara umum, bisnis adalah kulakan, dijual lagi dengan mengambil margin, maka kita akan mendapatkan laba. Okay, kita cek. Bila kita mengambil pada harga pasar, lalu kita akan menjual harga berapa? Jika kita mengambil margin, maka harga setelah itu akan menjadi relatif mahal, mungkin orang akan malas beli, karena mencari yang murah (sementara .. asumsinya begitu, padahal ini bisa jadi merupakan bayang2 setan yang menakut2i diri saya saja).
Bila saya ingin menjual setara harga pasar, saya musti kulakan / mendapatkan pasokan lebih murah, dimana saya akan mendapatkan pemasok? Terjadi lingkaran setan.

Andaipun semuanya ada, dimana saya akan menjualnya? Meskipun saya mengerti bahwa hal ini ada logiknya. Begini, jika kita punya barang dulu maka kita lihat sasaran pelanggan, baru kita cari tempat dimana banyak pelanggan tersebut berkumpul.Atau kita mulai dari tempat, kita analisa banyaknya calon pelanggan yang lewat, kita analisa kebutuhannya, baru kita menjual barang yang sesuai. Selain itu, best practise nya adalah kita langsung mencari tempat super strategis, pasar. Namun ada hambatan lain datang, yaitu: modal untuk membuka kios. Masa kita akan membuka lapak lesehan sih. Perhatikan. Ada manusia yang berbakat looser dan winner. Untuk mereka yang winner, pasti mau berjualan di tempat lesehan, panas, berdebu dan memalukan. Namun bagi mereka yang looser type, mereka gak mau hal demikian. Ini juga merupakan problem.

Saya menemukan banyak sekali permasalahan dan pertempuran di dalam diri saya ini. Kemudian saya melihat orang yang berhasil. Ada beberapa methode dalam setup awal jualan, yaitu ATP (Amati Tiru Persis), ATM (Amati Tiru modifikasi). Ternyata jika kita hanya mengkloning suatu usaha (kita membuka usaha mirip orang lain) maka pertumbuhan usaha kita akan sulit / seret. Satu-satunya jalan adalah menemukan titik patah dari Lingkaran Setan (kulakan - jual kembali) seperti pernah saya tulisa di paragraf atas. Bahasa lainya adalah menemukan inovasi, inovasi dan inovasi. Hal ini sebenarnya tercantum dalam sifat2 Fisika Pemasaran. Namuan bayangkan saja kesulitan yang musti dihadapi untuk menemukan inovasi bisnis yang tepat. Belum selalu dhadapkan lingkaran setan lain , yaitu : mau jualan apa? modal gimana? Meskipun jika kita sudah mantap dengan bidang usaha yang digeluti maka modal akan datang. Problem lain lagi adalah Apakah kita mampu mengembalikan modal? Apakah bisnis akan jalan? Bila gak laku gimana mengembalikan modal, begitu muncul setan yang seperti tersebut.

Okelah orang bilang, jalan saja dulu, Action. Problemnya adalah: mau jualan apa? Modalnya gimana? Jadi mau nekat nih, kulakan kemudian langsung jual?Banyak usaha yang stagnan, atau bahkan bangkrut. BErapa banyak orang terjun ke dunia usaha tiap harinya, berapa banyak yang bangkrut.

Jadi memang pada intinya adalah benar, ini masalah kejiwaan, yaitu bagaimana untuk positif thinking. Bagaimana untuk menata mindset kita.

Saya melihat banyak orang yang menjalankan usaha sebagai punya kecerdasan bisnis, meskipu terpendam. Banyak guru-guru bisnis bisa mengajarkan muridnya, karena saya pikir muridnya sebenarnya sudah punya potensi.
Mirp seperti ketika kita bertanya, mengapa lulusan ITB itu pinter2? PAdahal jawabannya sangat natural, yaitu karena muridnya yang diterima itu sudah pinter.

Hampir semua pendidik di sini (bisnis maksudnya) bisa berhasil karena memang muridnya sudah punya potensi pinter, tinggal dipoles. Bila murid telah siap, maka guru akan muncul. Kesempatan akan menguntungkan untuk pikiran yang telah siap.
Jadi lembaga pendidik itu gak hebat2 amat, karena hanya mendidik orang pinter menjadi pinter. Lalu bagaimana orang goblok? Gak bisakah menjadi pinter.

Alhamdulillah saya dlahirkan sebagai orang goblok di bisnis sehingga mengalami situasi seperti ini langsung, dan saya melihat buanyak sekali rekan2 saya miskin, juga karena goblok di bisnis. Lalu apakah orang seperti ini dimusnahkan saja atau bagaimana? Saya akan mengajak sesama goblok-ers seperti saya untuk bisa bangkit. Marilah menjalani mission impossible: Merubah orang goblok menjadi pinter.
Satu-satunya kecerdasanku di sini adalah bisa melihat bahwa diriku adalah orang goblok.


To be continued .....

Thursday, October 22, 2009

Keramahtamahan India

-- On Thu, 10/22/09, Yahya, Imas (BECA)
wrote:


Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India
oleh Syaifoel Hardy Jumat, 09/10/2009 08:05 WIB

Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan agama yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh dikata tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau Kerajaan Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam malah menjadi minoritas di sana .
Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang menjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan bagaimana sebenarnya India . Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya, misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku India sesuai dengan profesi saya.
Banyak hikmah yang bisa dipetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua minggu di India , di empat negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk diungkap di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah, bahwa meskipun India kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia ), nyatanya tidak semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan bangsa yang serakah.

*****
Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan. Maklum , India mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional India yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya taruh di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada penumpang.
Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib antri menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu lama prosesnya. Saya segera keluar menuju kota Karkala, sebuah kota kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur gerimis.
Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota .

*****
Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang India (setidaknya itu yang saya temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak, berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. Padahal burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang India sepertinya tidak terbiasa memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak mengijinkan, wallahu a’lam!
Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore, Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat orang-orang yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia India . Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara seperti Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan kita merasa asri.
Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi India . Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di Delhi . Tapi pemandangan yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200 meter. Bau selokan di kota-kota India , tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau Surabaya .
Hal ini pertanda bahwa orang-orang India tidak serakah terhadap kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di sana ‘dirampok’ dan digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung, orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di sana . Pabrik-pabrik di negeri kita banyak yang (Baca: dengan ‘seijin’ penguasa) seenaknya membuang limbah.

*****
Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang India . Kita memang tahu, orang India suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh. Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut, terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari seperti ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah India . Tertutup. Laki-laki India juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain pakaian tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran.
Perempuan India , betapapun dari kalangan modern di tengah kota , bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah dibanding Indonesia . Kekayaan tekstil yang dimiliki India menjadikan salah satu modal mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. Sekalipun kita tahu di film-film India banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur dengan pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita.

*****
Budaya konsumsi orang India juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10 toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya pun robek. Orang sana tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang mengantongi sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping atau belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang makan juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus menyediakan tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka.
Pasar India tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui kendaran Toyota . Sesekali saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang India lebih bangga mengendarai Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah Corolla atau BMW.
India begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan buatan orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian, makanan, bahan bangunan, hingga gaya hidup. India tidak serakah dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia bagian Selatan ini.

*****
Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya, bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal dengan mudah. Pula diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap diterima seorang dekan untuk urusan yang satu ini.
Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal University di kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng. Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya bisa mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian mereka serta tentu saja kendaraannya.
Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya tanya, dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya ‘ngewes’, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di kampung-kampung.
Buku-buku India murah sekali. Saya belanja tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah Air. Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan India terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa yang diambil oleh generasi-generasiny a Jawaharal Nehru ini, sehingga pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi kualitas lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam.

*****
Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya sekitar Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan kelasnya dengan Taj Mahal!
Pemerintah India tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, mengunjungi 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional.
Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali. Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? Padahal mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi petugas keamanan India tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata ini.

*****
India memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga kurang terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga tidak semegah di Jakarta . Komunal konflik juga acapkali marak. India barangkali bukan sebuah percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk Indonesia . Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini. Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi juga tidak ‘gentayangan’ seperti di negeri kita yang acapkali mengganggu pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah kita yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari.
Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski India amat terkenal dengan musik, lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak amal di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai.
Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di India . Tapi itulah kenyataannya. Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami kunjungi.

*****
Pembaca….
Saya tidak mau disebut sebagai orang Indonesia yang kufur akan nikmat Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali), semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah negara besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi, Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi.
Ada banyak PR yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India), berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di televise-televisi, maraknya Da’i-da’i yang bersemangat sekali dalam berceramah memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini lebih baik.
India memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia dari jendela India , saya jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan negeri ini?
Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di India , di Bandara Mangalore, saya tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang asli orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal yang konon ‘hanya’ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri.
Ah, Indonesia !

Doha , 8 October 2009

Monday, May 4, 2009

Seputar Kisruh Nazrudin - Antasari - Rani Juliani

Sekarang ini lagi ramai dan hangat dibisacarakannya perihal kematian Nazrudin. Ini dikarenakan dugaan mengenai otak pembunuhan berujung ke Antasari, pemimpin KPK yang lalu (saat ini cuti / non aktif). Antasari sendiri sudah membantah keterlibatannya dalam tindakan eksekusi terhadap Nazrudin. Saya akan membuat teori yang paling mungkin tentang situasi ini.

Pada dasarnya memang wanita sering digunakan untuk misi-misi khusus, seperti dalam marketing atau peperangan under ground. Hanya saja, memang trik-trik marketing memang mirip dengan strategi perang.

Bila berbicara fakta yang didapat kepolisian, maka hampir dapat dipastikan bukti yang mengarah pada hubungan dekat Rani dan Antasari.
Sekarang, mengapa harus ada yang bersimbah darah ? Nasrudin tewas disambar peluru. Nazrudin diceritakan sebagai suami dari Rani. Tapi adalah hal yang SANGAT ANEH bila tiba-tiba Antasari dikatakan dengan serta merta telah membunuh Nazrudin, mengingat prestasi sementara ini dalam mengungkap korupsi, meskipun masih sekelumit kalau dilihat dari prosentasinya, dan masih banyak yang menggantung. Ada 2 hal yang masih menggantung, patut dicatat : masalah Aulia Pohan (besan SBY), dan IT KPU yang melibatkan ratusan miliar anggaran hanya untuk program aneh / dipaksakan.

Apa cerita yang paling mungkin? Saya mencoba membuat garis awah tekanan.
Bahwa laki-laki biasanya jatuh oleh wanita, ini banyak terjadi di cerita-cerita orang besar. Selain itu dimungkinkan juga mendidik agen-agen intelijen wanita untuk misi-misi critical, biasanya highly effective. Saya membaca berita di televisi bahwa ada Pakar Intelijen yang menyebutkan bahwa Antasari dijebak.
So, kita asumsikan memang terjadi hubungan Antasari-Rani Juliani. Dibalik terjadinya hubungan adalah adanya jebakan, tinggal siapa yang menjebak. Ada yang menulis bahwa penjebak ini sebenarnya adalah Nazrudin, yang mengumpankan ke Antasari, dan dimakanlah jebakan ini. Antasari gak berkutik, bila rahasia ini dibeberkan. Maka Antasari dituntut untuk menguak korupsi di suatu BUMN gula, mengingat Nazrudin mengincar posisi Direksi di BUMN tertentu. Cuman konon dibalik BUMN ini sangat pelik, karena akan menyeret dana untuk membiayai operasi-operasi dalam hal perpolitikan. Artinya ini menyangkut nama baik berbagai macam partai (ada dugaan banyak partai yang dibiayai oleh dana korupsi di BUMN tersebut). Antasari punya kedekatan kuat dengan partai politik tersebut.
Sehingga konon terpaksa Antasari mengeksekusi Nazudin.
--
Namun saya masih sangsi dengan skenasio di atas. Saya lebih berpikir bahwa memang sebenarnya Antasari musti ditembak jatuh dari KPK karena sudah menyusahkan banyak orang dengan mengobok-obok sampai ke DPR, atau ke kantong-kantong kekuasaan. Setelah sekian lama maka dibuatlah skenario tersebut. Ada 2 orang yang saya curigai disini, yaitu sosok Sigid dan Rani Juliani itu sendiri. Sigid adalah orang bekas Golkar yang masuk ke PKB. Sosok ini cukup aneh karena dikatakan sebagai biang perpecahan PKB, meskipun dikatakan pernah ada hubungan Yenny - Sigid. Sigig bisa berlaku sebagai intelijen penyusup / lapangan yang melakukan aksi-aksi. Bisa saja Sigid mendidik Rani untuk menjadi semacam agent yang mendekati Nazrudin. Saya menyebut Nazrudin lah yang pertama termakan oleh skenario ini, yang seterusnya menyiapkan skenario lanjutan untuk mendekatkan Rani ke Antasari (Step 2). Setelah itu yang mendapat nasib buruk adalah si Nazrudin, entah ini memang telah disusun skenarionya , atau hasil perkembangan lebih lanjut di lapangan.

Yang jelas bila disusun teorinya bisa sangat-sangat pelik, namun mengarah pada penghentian upaya-upaya antikorupsi, termasuk dugaan IT KPU. Kita lihat saja performance KPK setelah ditinggalkan Antasari, apakah semakin baik atau makin buruk, ini akan menjadi sinyalemen tersebut.

Tuesday, April 21, 2009

Penggunaan ICR di Pemilu, bijaksanakah?

ICR yang dibaliknya mengandung model Character Recognition dicoba di terapkan oleh KPU tahun ini. Saya memang tidak mengerti arsitektur di balik ICR ini, seperti menggunakan jenis Artificial Neural Network apa, seberapa banyak interkoneksi bobotnya, menggunakan metode pembelajaran apa, apakah di hibrid dengan model lain di ANN, dsb.
Jenis interkoneksi pada ANN, banyaknya bobot, penggunaan metode pembelajaran tertentu, akan sangat menentukan kecerdasan dari Character Recognition.

Namun ada lagi yang sangat menentukan result datanya, yaitu Sample Data / Epoch. Karena saya perkirakan ICR ini menggunakan jenis Supervised Learning ANN, maka kelengkapan sample data adalah hal yang mutlak. Mustinya sample data ini didapatkan dari simulasi-simulasi pencontrengan di seluruh pelosok nusantara, sehingga karakter manusia penginput datanya ikut meningkatkan pertimbangan akurasi data. Saya membaca bahwa team yang melakukan pembelajaran ICR ini menggunakan stok data terbatas (saya mengasumsikan bahwa sample data ini jauh dari cukup untuk melakukan pembelajaran pada mesin ICR). Hasilnya sangat dapat diduga adanya kesalahan / deviasi error pada saat recognition. Ini merupakan hal-hal yang bersifat teknis.

Saya cuman sangat kasihan pada team yang bekerja keras di balik engine ini, yang seakan-akan dijadikan kambing hitam kesalahan team KPU secara general. Hal ini karena implementasi IT jelas itdak bisa dilihat dari sisi Teknikal belaka, namun faktor non teknis akan sangat berpengaruh. Hal ini bisa dilihat pada methodologi pengembangan software yang biasanya mengikutkan Risk Analysis - yang juga berkorelasi dekat dengan Security Analysis. Saya merasa ada usaha "social hacking" untuk me - "mejen" - kan (red: bahasa jawa) information system di KPU, dengan mempersalahkan bagian penginput.

Indonesia memang saat ini jauh dari budaya gotong royong demi kesejahteraan masyarakat dan warganegara Indonesia. Sekarang hanyalah faktor kepentingan yang mengemuka, alias kantong belaka. Ini adalah keberhasilan pendidikan era kapitalis garis keras. Maka, saya mengajak untuk kembali ke model Pancasila seperti dicita-citakan oleh founding fathers kita.

Friday, March 20, 2009

Analysis RHENALD KASALI: BBM naik adalah ulah Goldman Sachs dan Morgan Stanley [Spekulan Minyak]

Analysis RHENALD KASALI: BBM naik adalah ulah Goldman Sachs dan Morgan Stanley [Spekulan Minyak]

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/30/01491018/wajah.baru.pedagang.minyak
ANALISIS EKONOMI
Wajah Baru "Pedagang" Minyak
RZF / Kompas Images
RHENALD KASALI
Senin, 30 Juni 2008 | 03:00 WIB

RHENALD KASALI

Kalau kami produksi minyak lebih banyak lagi, tidak ada yang membeli,” kata Raja Abdullah saat menutup KTT produsen-konsumen minyak. Semua pemimpin dunia pusing mencari solusi menahan laju harga. Kaya minyak, kok, tak berdaya? Di sini, selain disambut amarah rakyat, pemerintah juga disambut ”hak angket”. Sementara itu, yang tak punya minyak menari-nari dengan perdagangan dan spekulasi.

Ketidakberdayaan ini tak dapat diatasi dengan kecurigaan dan bermabuk wacana, apalagi dengan jalan pintas. Banyak hal telah berubah dan kita harus berlari lebih kencang lagi. Namun, ada yang sudah berubah, tetapi miskin pengakuan sehingga memicu frustrasi.

Menari di atas bara api

Ibarat menari di atas bara api dengan genderang ditabuh orang lain, Indonesia jelas menderita. Dulu, genderang itu ditabuh International Oil Company (IOC, perusahaan swasta, seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Shell) yang bekerja sama dengan National Oil Company (NOC, milik negara, seperti Saudi Aramco, Petronas, Petrobras, Statoil, PDVSA Venezuela, dan Pertamina). Namun, sejak menjadi net importer, kita cuma menjadi penari, sedangkan genderangnya berpindah ke pengendali keuangan di bursa komoditas.

Kongres Amerika mengungkapkan, investasi terbesar belakangan ini berbentuk ”paper” di bidang energi. Porsinya bergeser dari 4,6 persen (2003) menjadi 30,7 persen (2005), dan sekarang di atas 50 persen (NYMEX, 2006). Menurut The New York Times, keuntungan minyak sebesar 1,5 miliar dollar AS yang dinikmati Goldman Sachs dan Morgan Stanley (2005) menimbulkan efek domino panjang.

Stok minyak (juga kekayaan) telah beralih dari NOC-IOC kepada para trader dan pelaku sektor keuangan yang tidak punya sumur, fasilitas kilang, gudang, atau kapal. Persepsi yang hidup di bursa itu berbeda dengan angka riilnya. Lord Browne, mantan CEO BP, menandaskan, ”Tidak ada indikasi kelangkaan. Naiknya harga tidak berhubungan dengan suplai-permintaan.”

Maka, harga minyak pun bergerak-gerak seperti harga saham. Secara empiris, semua ini hanya bisa ditangkal NOC dengan membentuk oil trader yang kuat.

Transformasi NOC

Karena kini minyak diperdagangkan trader dan ”spekulator”, penting mentransformasi tangan-tangan perdagangan NOC. Masalahnya, NOC selalu sarat belenggu dengan berbagai aturan dan diganggu berbagai kepentingan. Kalau belenggu-belenggu itu tidak dilepaskan, oil trader tidak bisa bergerak optimal karena pengambilan keputusannya butuh manuver cepat, perencanaan matang, jaringan luas, dan manajemen keuangan yang canggih. Pengawasan perlu, tetapi bukan dengan kecurigaan berlebihan, apalagi dengan bureaucratic control. Gunakan saja result-based control yang lazim dipakai perdagangan modern.

Di Indonesia, harus diakui, banyak kemajuan yang dicapai dari transformasi Pertamina yang didasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Namun, kemajuan itu mahal pengakuan karena banyak kepentingan terusik, baik dari dalam maupun luar negeri.

Kalau Pertamina kuat, misalnya, tidak ada ruang bagi tangan-tangan perdagangan asing yang mengincar pasar-pasar gemuk di kota-kota besar. Mereka akan berjuang mengarahkan Pertamina agar mengurus pasar di pinggiran saja yang ongkos kirim BBM-nya lebih mahal dengan menunjukkan NOC Indonesia ini kalah bersaing karena tidak efisien.

Di negara yang politiknya kondusif, NOC-nya berhasil memutasikan DNA oil trader-nya. Aramco, misalnya, melakukan penetrasi ke Amerika dengan jaringan SPBU Motiva. Petronas membeli jaringan SPBU di Afrika Selatan, Petrobras (Brasil) mengembangkan eksplorasi laut dalam bersama Statoil (Norwegia), dan NIOC (Iran) keuangannya beroperasi di New Jersey dan Swiss.

Untuk menangkal spekulator, NOC memodernkan tangan- tangan oil trading-nya. PETCO (milik Petronas), NICO (milik NIOC-Iran), Saudi Petroleum International (Saudi Aramco), Sonatrach Petroleum International (Sonatrach, Aljazair), Q8 (Kuwait), dan Petral (Pertamina) mengalami overhaul.

Oil Trading Company itu ditaruh di pusat perdagangan dunia dan serius melawan broker yang dulu dikuasai para kroni. Mereka juga bertransformasi dari buying agent menjadi trader modern.

Wajah baru ”trader” minyak

Jelaslah kesejahteraan kini sudah tidak bisa dipungut begitu saja dari perut bumi. Sebagai big consumer, Indonesia bisa sejahtera melalui Pertamina asalkan Petral dipertajam perannya dengan melakukan transaksi jangka panjang untuk pasar domestik, tetapi juga melakukan penetrasi global, kerja sama dengan pemilik kilang mancanegara, swap produksi, dan sebagainya. Adaptasi diperlukan untuk menghadapi wajah perdagangan yang sudah berubah.

Ia butuh fleksibilitas dan kepercayaan. Dan, karena financing-nya kompleks, butuh pemahaman tingkat tinggi, konsensus politik, dan status ”Approved Oil Trader” yang dikeluarkan otoritas perdagangan dunia.

Sepengetahuan saya, Petral sudah memilikinya, bahkan mulai kembali dipercaya bank asing. Jadi, Petral berpotensi memperoleh competitive price untuk konsumen Indonesia asalkan diberi kepercayaan lebih. Tanpa itu, hanya ada kecurigaan dan rakyat semakin menderita.

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia