HP NC 4200 S/N : CND 6170 JN 5 4,150,000
IBM T 40 S/N : 99 - MXL 62 3,200,000
Del Vostro 1200 S/N : 2974 2171040 6,200,000
HP Compaq 2210 S/N : CNU 745367 D 6,200,000
Toshiba Tecra A8 S/N : X6091109 H 4,700,000
Toshiba Tecra M2 S/N : 6459800256 3,800,000
HP NC 4200 S/N : CND 6171 PAC 4,350,000
ACER TM 2480 4,650,000
ACER Aspire 4315 4,600,000
Compaq Presario V 3000 4,550,000
Sony VAIO VGN - T250 P 4,350,000
Gateway TC 73 4,750,000
-------------
Cah2 Semarang, tertarik ? kirim email ke bagusalfa@gmail.com
Tuesday, October 27, 2009
Saturday, October 24, 2009
Perenungn Part 1
Hari ini ada suatu topik di televisi yang acaranya dibawakan oleh Ulfa Dwiyanti dan Bella Saphira. Tamu dari acara ini adalah mereka yang sering disebut "From Hero To Zero". Ada yang bermula dari penjual ikan bakar, roti bakar dan Tukang Pijit di Jogja, menjadi semacam Crown Ambassador di KLink. Mereka adalah potret dari orang yang memulai dari nol (katakanlah begitu) sampai bergelimang harta (mercedes, honda crv) dalam waktu 4 tahun atau kurang.
Salah satu dari mereka menyebutkan bahwa:
Banyak yang berusaha / terjun ke dunia usaha namun fokus pada proses. Padahal mustinya fokus pada hasil dan impian.
Point penting lainnya adalah: tidak ada satu usahapun yang tanpa tantangan. Keberhasilan hampir pasti dicapai dengan penuh tantangan berat (selain kerja keras).
Apa yang dapat kali ini, adalah mengingatkan saya bahwa apapun bidang yang kita geluti pasti situasinya penuh kompetisi, keras. Mungkin kita sering melihat pada orang lain yang berhasil, kemudian kita ingin terjun ke bidang bisnis dia. Suatu hal yang normal, namuan kita bisa kecewa karena begitu kita terjun ke dunianya, sama saja, tantangan berat langsung menghadang.
Bisnis bisa laksana medan perang dahsyat yang menyakitkan sekaligus membosankan. Itu kalau kita fokus pada proses. Bila kita fokus pada hasil / impian, maka kita perlu optimis membayangkan kita duduk di atas mobil sport berharga milyaran rupiah.
---
Saya masih beruntung, bahwa dilahirkan dalam keadaan goblok dalam bidang bisnis. Sehingga hambatan untuk itupun tidak hanya besar, namun sangat dahsyat. Mengingat problem utamanya terletak pada diri saya sendiri. Bertahun-tahun bertempur dengan diri saya sendiri, sampai saat ini pertempuran belum usai, namun saya tetap yakin dan optimis.
Saya melihat sebenarnya banyak sekali orang yang seperti ini. Mungkin salah satu cirinya adalah ketika saya berkata kepada mereka, yuk jualan, kenapa dirimu gak jualan? Jawabnya sangat klasik: Mau jualan apa? Trus modalnya gimana?
Saya berusaha merenung dan mencari problem dalam diri saya, karena kebetulan saya mewakili mereka. Saya mau jualan apa? Bagaimana memulai? Ketakutan yang teramat besar membentengi diri saya.
Sebenarnya secara umum, bisnis adalah kulakan, dijual lagi dengan mengambil margin, maka kita akan mendapatkan laba. Okay, kita cek. Bila kita mengambil pada harga pasar, lalu kita akan menjual harga berapa? Jika kita mengambil margin, maka harga setelah itu akan menjadi relatif mahal, mungkin orang akan malas beli, karena mencari yang murah (sementara .. asumsinya begitu, padahal ini bisa jadi merupakan bayang2 setan yang menakut2i diri saya saja).
Bila saya ingin menjual setara harga pasar, saya musti kulakan / mendapatkan pasokan lebih murah, dimana saya akan mendapatkan pemasok? Terjadi lingkaran setan.
Andaipun semuanya ada, dimana saya akan menjualnya? Meskipun saya mengerti bahwa hal ini ada logiknya. Begini, jika kita punya barang dulu maka kita lihat sasaran pelanggan, baru kita cari tempat dimana banyak pelanggan tersebut berkumpul.Atau kita mulai dari tempat, kita analisa banyaknya calon pelanggan yang lewat, kita analisa kebutuhannya, baru kita menjual barang yang sesuai. Selain itu, best practise nya adalah kita langsung mencari tempat super strategis, pasar. Namun ada hambatan lain datang, yaitu: modal untuk membuka kios. Masa kita akan membuka lapak lesehan sih. Perhatikan. Ada manusia yang berbakat looser dan winner. Untuk mereka yang winner, pasti mau berjualan di tempat lesehan, panas, berdebu dan memalukan. Namun bagi mereka yang looser type, mereka gak mau hal demikian. Ini juga merupakan problem.
Saya menemukan banyak sekali permasalahan dan pertempuran di dalam diri saya ini. Kemudian saya melihat orang yang berhasil. Ada beberapa methode dalam setup awal jualan, yaitu ATP (Amati Tiru Persis), ATM (Amati Tiru modifikasi). Ternyata jika kita hanya mengkloning suatu usaha (kita membuka usaha mirip orang lain) maka pertumbuhan usaha kita akan sulit / seret. Satu-satunya jalan adalah menemukan titik patah dari Lingkaran Setan (kulakan - jual kembali) seperti pernah saya tulisa di paragraf atas. Bahasa lainya adalah menemukan inovasi, inovasi dan inovasi. Hal ini sebenarnya tercantum dalam sifat2 Fisika Pemasaran. Namuan bayangkan saja kesulitan yang musti dihadapi untuk menemukan inovasi bisnis yang tepat. Belum selalu dhadapkan lingkaran setan lain , yaitu : mau jualan apa? modal gimana? Meskipun jika kita sudah mantap dengan bidang usaha yang digeluti maka modal akan datang. Problem lain lagi adalah Apakah kita mampu mengembalikan modal? Apakah bisnis akan jalan? Bila gak laku gimana mengembalikan modal, begitu muncul setan yang seperti tersebut.
Okelah orang bilang, jalan saja dulu, Action. Problemnya adalah: mau jualan apa? Modalnya gimana? Jadi mau nekat nih, kulakan kemudian langsung jual?Banyak usaha yang stagnan, atau bahkan bangkrut. BErapa banyak orang terjun ke dunia usaha tiap harinya, berapa banyak yang bangkrut.
Jadi memang pada intinya adalah benar, ini masalah kejiwaan, yaitu bagaimana untuk positif thinking. Bagaimana untuk menata mindset kita.
Saya melihat banyak orang yang menjalankan usaha sebagai punya kecerdasan bisnis, meskipu terpendam. Banyak guru-guru bisnis bisa mengajarkan muridnya, karena saya pikir muridnya sebenarnya sudah punya potensi.
Mirp seperti ketika kita bertanya, mengapa lulusan ITB itu pinter2? PAdahal jawabannya sangat natural, yaitu karena muridnya yang diterima itu sudah pinter.
Hampir semua pendidik di sini (bisnis maksudnya) bisa berhasil karena memang muridnya sudah punya potensi pinter, tinggal dipoles. Bila murid telah siap, maka guru akan muncul. Kesempatan akan menguntungkan untuk pikiran yang telah siap.
Jadi lembaga pendidik itu gak hebat2 amat, karena hanya mendidik orang pinter menjadi pinter. Lalu bagaimana orang goblok? Gak bisakah menjadi pinter.
Alhamdulillah saya dlahirkan sebagai orang goblok di bisnis sehingga mengalami situasi seperti ini langsung, dan saya melihat buanyak sekali rekan2 saya miskin, juga karena goblok di bisnis. Lalu apakah orang seperti ini dimusnahkan saja atau bagaimana? Saya akan mengajak sesama goblok-ers seperti saya untuk bisa bangkit. Marilah menjalani mission impossible: Merubah orang goblok menjadi pinter.
Satu-satunya kecerdasanku di sini adalah bisa melihat bahwa diriku adalah orang goblok.
To be continued .....
Salah satu dari mereka menyebutkan bahwa:
Banyak yang berusaha / terjun ke dunia usaha namun fokus pada proses. Padahal mustinya fokus pada hasil dan impian.
Point penting lainnya adalah: tidak ada satu usahapun yang tanpa tantangan. Keberhasilan hampir pasti dicapai dengan penuh tantangan berat (selain kerja keras).
Apa yang dapat kali ini, adalah mengingatkan saya bahwa apapun bidang yang kita geluti pasti situasinya penuh kompetisi, keras. Mungkin kita sering melihat pada orang lain yang berhasil, kemudian kita ingin terjun ke bidang bisnis dia. Suatu hal yang normal, namuan kita bisa kecewa karena begitu kita terjun ke dunianya, sama saja, tantangan berat langsung menghadang.
Bisnis bisa laksana medan perang dahsyat yang menyakitkan sekaligus membosankan. Itu kalau kita fokus pada proses. Bila kita fokus pada hasil / impian, maka kita perlu optimis membayangkan kita duduk di atas mobil sport berharga milyaran rupiah.
---
Saya masih beruntung, bahwa dilahirkan dalam keadaan goblok dalam bidang bisnis. Sehingga hambatan untuk itupun tidak hanya besar, namun sangat dahsyat. Mengingat problem utamanya terletak pada diri saya sendiri. Bertahun-tahun bertempur dengan diri saya sendiri, sampai saat ini pertempuran belum usai, namun saya tetap yakin dan optimis.
Saya melihat sebenarnya banyak sekali orang yang seperti ini. Mungkin salah satu cirinya adalah ketika saya berkata kepada mereka, yuk jualan, kenapa dirimu gak jualan? Jawabnya sangat klasik: Mau jualan apa? Trus modalnya gimana?
Saya berusaha merenung dan mencari problem dalam diri saya, karena kebetulan saya mewakili mereka. Saya mau jualan apa? Bagaimana memulai? Ketakutan yang teramat besar membentengi diri saya.
Sebenarnya secara umum, bisnis adalah kulakan, dijual lagi dengan mengambil margin, maka kita akan mendapatkan laba. Okay, kita cek. Bila kita mengambil pada harga pasar, lalu kita akan menjual harga berapa? Jika kita mengambil margin, maka harga setelah itu akan menjadi relatif mahal, mungkin orang akan malas beli, karena mencari yang murah (sementara .. asumsinya begitu, padahal ini bisa jadi merupakan bayang2 setan yang menakut2i diri saya saja).
Bila saya ingin menjual setara harga pasar, saya musti kulakan / mendapatkan pasokan lebih murah, dimana saya akan mendapatkan pemasok? Terjadi lingkaran setan.
Andaipun semuanya ada, dimana saya akan menjualnya? Meskipun saya mengerti bahwa hal ini ada logiknya. Begini, jika kita punya barang dulu maka kita lihat sasaran pelanggan, baru kita cari tempat dimana banyak pelanggan tersebut berkumpul.Atau kita mulai dari tempat, kita analisa banyaknya calon pelanggan yang lewat, kita analisa kebutuhannya, baru kita menjual barang yang sesuai. Selain itu, best practise nya adalah kita langsung mencari tempat super strategis, pasar. Namun ada hambatan lain datang, yaitu: modal untuk membuka kios. Masa kita akan membuka lapak lesehan sih. Perhatikan. Ada manusia yang berbakat looser dan winner. Untuk mereka yang winner, pasti mau berjualan di tempat lesehan, panas, berdebu dan memalukan. Namun bagi mereka yang looser type, mereka gak mau hal demikian. Ini juga merupakan problem.
Saya menemukan banyak sekali permasalahan dan pertempuran di dalam diri saya ini. Kemudian saya melihat orang yang berhasil. Ada beberapa methode dalam setup awal jualan, yaitu ATP (Amati Tiru Persis), ATM (Amati Tiru modifikasi). Ternyata jika kita hanya mengkloning suatu usaha (kita membuka usaha mirip orang lain) maka pertumbuhan usaha kita akan sulit / seret. Satu-satunya jalan adalah menemukan titik patah dari Lingkaran Setan (kulakan - jual kembali) seperti pernah saya tulisa di paragraf atas. Bahasa lainya adalah menemukan inovasi, inovasi dan inovasi. Hal ini sebenarnya tercantum dalam sifat2 Fisika Pemasaran. Namuan bayangkan saja kesulitan yang musti dihadapi untuk menemukan inovasi bisnis yang tepat. Belum selalu dhadapkan lingkaran setan lain , yaitu : mau jualan apa? modal gimana? Meskipun jika kita sudah mantap dengan bidang usaha yang digeluti maka modal akan datang. Problem lain lagi adalah Apakah kita mampu mengembalikan modal? Apakah bisnis akan jalan? Bila gak laku gimana mengembalikan modal, begitu muncul setan yang seperti tersebut.
Okelah orang bilang, jalan saja dulu, Action. Problemnya adalah: mau jualan apa? Modalnya gimana? Jadi mau nekat nih, kulakan kemudian langsung jual?Banyak usaha yang stagnan, atau bahkan bangkrut. BErapa banyak orang terjun ke dunia usaha tiap harinya, berapa banyak yang bangkrut.
Jadi memang pada intinya adalah benar, ini masalah kejiwaan, yaitu bagaimana untuk positif thinking. Bagaimana untuk menata mindset kita.
Saya melihat banyak orang yang menjalankan usaha sebagai punya kecerdasan bisnis, meskipu terpendam. Banyak guru-guru bisnis bisa mengajarkan muridnya, karena saya pikir muridnya sebenarnya sudah punya potensi.
Mirp seperti ketika kita bertanya, mengapa lulusan ITB itu pinter2? PAdahal jawabannya sangat natural, yaitu karena muridnya yang diterima itu sudah pinter.
Hampir semua pendidik di sini (bisnis maksudnya) bisa berhasil karena memang muridnya sudah punya potensi pinter, tinggal dipoles. Bila murid telah siap, maka guru akan muncul. Kesempatan akan menguntungkan untuk pikiran yang telah siap.
Jadi lembaga pendidik itu gak hebat2 amat, karena hanya mendidik orang pinter menjadi pinter. Lalu bagaimana orang goblok? Gak bisakah menjadi pinter.
Alhamdulillah saya dlahirkan sebagai orang goblok di bisnis sehingga mengalami situasi seperti ini langsung, dan saya melihat buanyak sekali rekan2 saya miskin, juga karena goblok di bisnis. Lalu apakah orang seperti ini dimusnahkan saja atau bagaimana? Saya akan mengajak sesama goblok-ers seperti saya untuk bisa bangkit. Marilah menjalani mission impossible: Merubah orang goblok menjadi pinter.
Satu-satunya kecerdasanku di sini adalah bisa melihat bahwa diriku adalah orang goblok.
To be continued .....
Thursday, October 22, 2009
Keramahtamahan India
-- On Thu, 10/22/09, Yahya, Imas (BECA)
wrote:
Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India
oleh Syaifoel Hardy Jumat, 09/10/2009 08:05 WIB
Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan agama yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh dikata tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau Kerajaan Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam malah menjadi minoritas di sana .
Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang menjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan bagaimana sebenarnya India . Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya, misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku India sesuai dengan profesi saya.
Banyak hikmah yang bisa dipetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua minggu di India , di empat negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk diungkap di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah, bahwa meskipun India kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia ), nyatanya tidak semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan bangsa yang serakah.
*****
Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan. Maklum , India mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional India yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya taruh di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada penumpang.
Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib antri menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu lama prosesnya. Saya segera keluar menuju kota Karkala, sebuah kota kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur gerimis.
Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota .
*****
Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang India (setidaknya itu yang saya temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak, berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. Padahal burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang India sepertinya tidak terbiasa memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak mengijinkan, wallahu a’lam!
Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore, Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat orang-orang yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia India . Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara seperti Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan kita merasa asri.
Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi India . Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di Delhi . Tapi pemandangan yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200 meter. Bau selokan di kota-kota India , tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau Surabaya .
Hal ini pertanda bahwa orang-orang India tidak serakah terhadap kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di sana ‘dirampok’ dan digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung, orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di sana . Pabrik-pabrik di negeri kita banyak yang (Baca: dengan ‘seijin’ penguasa) seenaknya membuang limbah.
*****
Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang India . Kita memang tahu, orang India suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh. Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut, terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari seperti ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah India . Tertutup. Laki-laki India juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain pakaian tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran.
Perempuan India , betapapun dari kalangan modern di tengah kota , bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah dibanding Indonesia . Kekayaan tekstil yang dimiliki India menjadikan salah satu modal mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. Sekalipun kita tahu di film-film India banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur dengan pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita.
*****
Budaya konsumsi orang India juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10 toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya pun robek. Orang sana tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang mengantongi sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping atau belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang makan juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus menyediakan tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka.
Pasar India tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui kendaran Toyota . Sesekali saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang India lebih bangga mengendarai Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah Corolla atau BMW.
India begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan buatan orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian, makanan, bahan bangunan, hingga gaya hidup. India tidak serakah dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia bagian Selatan ini.
*****
Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya, bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal dengan mudah. Pula diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap diterima seorang dekan untuk urusan yang satu ini.
Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal University di kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng. Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya bisa mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian mereka serta tentu saja kendaraannya.
Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya tanya, dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya ‘ngewes’, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di kampung-kampung.
Buku-buku India murah sekali. Saya belanja tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah Air. Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan India terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa yang diambil oleh generasi-generasiny a Jawaharal Nehru ini, sehingga pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi kualitas lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam.
*****
Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya sekitar Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan kelasnya dengan Taj Mahal!
Pemerintah India tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, mengunjungi 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional.
Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali. Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? Padahal mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi petugas keamanan India tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata ini.
*****
India memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga kurang terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga tidak semegah di Jakarta . Komunal konflik juga acapkali marak. India barangkali bukan sebuah percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk Indonesia . Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini. Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi juga tidak ‘gentayangan’ seperti di negeri kita yang acapkali mengganggu pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah kita yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari.
Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski India amat terkenal dengan musik, lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak amal di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai.
Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di India . Tapi itulah kenyataannya. Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami kunjungi.
*****
Pembaca….
Saya tidak mau disebut sebagai orang Indonesia yang kufur akan nikmat Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali), semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah negara besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi, Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi.
Ada banyak PR yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India), berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di televise-televisi, maraknya Da’i-da’i yang bersemangat sekali dalam berceramah memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini lebih baik.
India memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia dari jendela India , saya jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan negeri ini?
Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di India , di Bandara Mangalore, saya tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang asli orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal yang konon ‘hanya’ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri.
Ah, Indonesia !
Doha , 8 October 2009
Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India
oleh Syaifoel Hardy Jumat, 09/10/2009 08:05 WIB
Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan agama yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh dikata tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau Kerajaan Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam malah menjadi minoritas di sana .
Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang menjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan bagaimana sebenarnya India . Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya, misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku India sesuai dengan profesi saya.
Banyak hikmah yang bisa dipetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua minggu di India , di empat negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk diungkap di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah, bahwa meskipun India kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia ), nyatanya tidak semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan bangsa yang serakah.
*****
Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan. Maklum , India mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional India yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya taruh di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada penumpang.
Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib antri menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu lama prosesnya. Saya segera keluar menuju kota Karkala, sebuah kota kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur gerimis.
Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota .
*****
Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang India (setidaknya itu yang saya temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak, berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. Padahal burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang India sepertinya tidak terbiasa memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak mengijinkan, wallahu a’lam!
Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore, Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat orang-orang yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia India . Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara seperti Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan kita merasa asri.
Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi India . Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di Delhi . Tapi pemandangan yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200 meter. Bau selokan di kota-kota India , tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau Surabaya .
Hal ini pertanda bahwa orang-orang India tidak serakah terhadap kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di sana ‘dirampok’ dan digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung, orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di sana . Pabrik-pabrik di negeri kita banyak yang (Baca: dengan ‘seijin’ penguasa) seenaknya membuang limbah.
*****
Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang India . Kita memang tahu, orang India suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh. Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut, terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari seperti ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah India . Tertutup. Laki-laki India juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain pakaian tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran.
Perempuan India , betapapun dari kalangan modern di tengah kota , bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah dibanding Indonesia . Kekayaan tekstil yang dimiliki India menjadikan salah satu modal mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. Sekalipun kita tahu di film-film India banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur dengan pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita.
*****
Budaya konsumsi orang India juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10 toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya pun robek. Orang sana tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang mengantongi sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping atau belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang makan juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus menyediakan tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka.
Pasar India tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui kendaran Toyota . Sesekali saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang India lebih bangga mengendarai Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah Corolla atau BMW.
India begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan buatan orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian, makanan, bahan bangunan, hingga gaya hidup. India tidak serakah dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia bagian Selatan ini.
*****
Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya, bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal dengan mudah. Pula diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap diterima seorang dekan untuk urusan yang satu ini.
Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal University di kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng. Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya bisa mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian mereka serta tentu saja kendaraannya.
Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya tanya, dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya ‘ngewes’, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di kampung-kampung.
Buku-buku India murah sekali. Saya belanja tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah Air. Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan India terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa yang diambil oleh generasi-generasiny a Jawaharal Nehru ini, sehingga pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi kualitas lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam.
*****
Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya sekitar Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan kelasnya dengan Taj Mahal!
Pemerintah India tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, mengunjungi 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional.
Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali. Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? Padahal mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi petugas keamanan India tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata ini.
*****
India memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga kurang terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga tidak semegah di Jakarta . Komunal konflik juga acapkali marak. India barangkali bukan sebuah percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk Indonesia . Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini. Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi juga tidak ‘gentayangan’ seperti di negeri kita yang acapkali mengganggu pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah kita yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari.
Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski India amat terkenal dengan musik, lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak amal di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai.
Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di India . Tapi itulah kenyataannya. Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami kunjungi.
*****
Pembaca….
Saya tidak mau disebut sebagai orang Indonesia yang kufur akan nikmat Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali), semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah negara besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi, Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi.
Ada banyak PR yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India), berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di televise-televisi, maraknya Da’i-da’i yang bersemangat sekali dalam berceramah memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini lebih baik.
India memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia dari jendela India , saya jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan negeri ini?
Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di India , di Bandara Mangalore, saya tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang asli orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal yang konon ‘hanya’ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri.
Ah, Indonesia !
Doha , 8 October 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...