Untuk merayakan rilis terbaru Ubuntu 7.04 (Codename : Feisty Fawn), maka kami dari komunitas Ubuntu Indonesia wilayah Semarang mengundang para pengguna Ubuntu, pengguna Linux dan tentu saja siapapun yang ingin tahu atau tertarik untuk menggunakan Ubuntu Linux ke acara Feisty Release Party ini.
Acara ini terutama untuk temen-temen yang sudah sangat lama merindukan aktifnya kembali komunitas linux semarang, semoga acara ini nantinya bisa menjembatani untuk pembahasan diskusi tentang kegiatan-kegiatan selanjutnya seputar Linux di Semarang. Intinya sih semoga bisa mengawali untuk pembentukan kembali komunitas linux semarang.
Acara Semarang Feisty Release Party akan diadakan pada:
Tanggal : Minggu, 6 Mei 2007
Tempat : Ruang Serba Guna Politeknik Negeri Semarang Tembalang Semarang
Waktu : 08.00 - selesai
Biaya : GRATIS plus plus, (dapet CD Ubuntu GRATIS serta DVD Repository GRATIS), datengnya jangan telat aja biar masih kbagian.
Knapa sih pada make Ubuntu, emang bisa apa aja Ubuntu, trus Feisty tu apaan lagi sih?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab pada Feisty Release Party, yang kali ini untuk wilayah Semarang akan mengusung Tema "One Hour Competition". Karena nantinya kita akan membagi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok akan mencoba dan mendemokan kemampuan Ubuntu untuk beberapa keperluan yang berbeda-beda, yakni sebagai berikut
- Tim Desktop Customization
- Tim Entertainment (Video, Audio, DVD movie dll)
- Tim Server Development
- TIm Network Management
- Tim Connectivity (3G, CDMA, WiFi, Bluetooth dll)
- Tim VoIP SIP
- Tim Hardware Compatibility (Printer, webcam dll)
- Tim Repository
- Tim Office
- dan lainya, slebihnya bahas di milis aja
http://groups.yahoo.com/group/ubuntu-semarang
Nantinya semua aktifitas diatas akan dimulai secara bersamaan dan diharapkan akan selesai dalam waktu satu jam. Jadi bagi temen2 yang merasa tertarik dengan ubuntu mungkin bisa melihat-lihat bagaimanakah sebenarnya Ubuntu digunakan temen-temen setiap harinya.
Dan bagi temen2 yang sudah menggunakan Ubuntu juga bisa berbagi pengalamanya dengan mengusulkan materi utk dioprek bareng atau bisa juga pada acara sharing dan diskusi tentang ubuntu. Yang punya laptop dbawa aja kalo mau.
Acara Release Party ini merupakan acara rutin para pengguna Ubuntu di penjuru dunia untuk menyambut distribusi Ubuntu Linux terbaru yang dirilis setiap enam bulan sekali.
Untuk informasi, pendaftaran dan konfirmasi lebih lanjut, silahkan kirimkan email ke
ubuntu.semarang AT gmail DOT com
Bekerjasama dan didukung oleh:
- PCC (Polytechnic Computer Club) Politeknik Negeri Semarang
- DNCC (Dian Nuswatoro Computer Club) UDINUS
- IC (Internet Club) UNISBANK
- Komunitas Linux Tembalang
- Warnet Linux Semarang
- dll
- Welcome jg utk lainya yg ingin memberikan supportnya
Dedi Aldedi
Monday, April 30, 2007
Monday, April 23, 2007
Pendangan tentang Perbedaan Gender sudah Uzur
sebetulnya hasil studi-studi terbaru tentang hubungan dyadic (duaan)
antara lelaki-perempuan dalam sebuah relasi yang cukup intens, tidak
lagi menafsirkan lelaki dan perempuan hanya sebagai nomina, atau
sebagai identitas gender.
lelaki dan perempuan mewujud dalam karakter maskulin dan feminin
yang bisa saja dimiliki oleh jenis kelamin berbeda. jadi seorang
lelaki tak selalu maskulin, sebagaimana juga seorang wanita tak
selalu feminin. proporsi kadar maskulinitas-femininitas itu selalu
ada dalam sebuah individu dalam takaran yang bervariasi.
biasanya karakter itulah yang lebih berperan dalam menentukan siapa
yang lebih mendominasi dalam sebuah hubungan.
seloroh tentang isti (ikatan suami takut istri), merupakan salah
satu contoh paling terang dari kecenderungan penjelasan terbaru itu.
jika maskulinitas disetarakan dengan sifat yang lebih dominan,
agresif, mengatur, ketimbang femininitas yang dianggap lebih
kompromistis, mengalah, dan menghindari konfrontasi, maka pada
kasus "isti" itu terlihat maskulinitas tidak selalu berada di pihak
suami.
lebih dari itu, dominasi ini mau ditakar dari indikator apa? kalau
pada fungsi pengambilan keputusan (decion making) dalam sebuah
pasangan, biasanya hal itu berada di tangan sang istri, misalnya:
mau ambil rumah/kendaraan di mana atau jenis apa? menyekolahkan anak
di mana? dan hal-hal strategis semacam itu. suami sering hanya
menjadi influencer, tapi pemetok palu jadi atau tidaknya sebuah
keputusan dieksekusi berada di tangan perempuan. ini yang dipahami
betul oleh para marketer kontemporer.
jadi siapa yang lebih dominan?
hemat saya harus dilihat kasus per kasus, tak bisa digeneralisasi,
apalagi dengan penjelasan quasi-ilmiah, yang seringkali menggunakan
stereotip uzur yang sudah lelah mengikuti zaman.
salam,
~a~
From : Akmal N. Basral
1 Apr 2007 09:29
antara lelaki-perempuan dalam sebuah relasi yang cukup intens, tidak
lagi menafsirkan lelaki dan perempuan hanya sebagai nomina, atau
sebagai identitas gender.
lelaki dan perempuan mewujud dalam karakter maskulin dan feminin
yang bisa saja dimiliki oleh jenis kelamin berbeda. jadi seorang
lelaki tak selalu maskulin, sebagaimana juga seorang wanita tak
selalu feminin. proporsi kadar maskulinitas-femininitas itu selalu
ada dalam sebuah individu dalam takaran yang bervariasi.
biasanya karakter itulah yang lebih berperan dalam menentukan siapa
yang lebih mendominasi dalam sebuah hubungan.
seloroh tentang isti (ikatan suami takut istri), merupakan salah
satu contoh paling terang dari kecenderungan penjelasan terbaru itu.
jika maskulinitas disetarakan dengan sifat yang lebih dominan,
agresif, mengatur, ketimbang femininitas yang dianggap lebih
kompromistis, mengalah, dan menghindari konfrontasi, maka pada
kasus "isti" itu terlihat maskulinitas tidak selalu berada di pihak
suami.
lebih dari itu, dominasi ini mau ditakar dari indikator apa? kalau
pada fungsi pengambilan keputusan (decion making) dalam sebuah
pasangan, biasanya hal itu berada di tangan sang istri, misalnya:
mau ambil rumah/kendaraan di mana atau jenis apa? menyekolahkan anak
di mana? dan hal-hal strategis semacam itu. suami sering hanya
menjadi influencer, tapi pemetok palu jadi atau tidaknya sebuah
keputusan dieksekusi berada di tangan perempuan. ini yang dipahami
betul oleh para marketer kontemporer.
jadi siapa yang lebih dominan?
hemat saya harus dilihat kasus per kasus, tak bisa digeneralisasi,
apalagi dengan penjelasan quasi-ilmiah, yang seringkali menggunakan
stereotip uzur yang sudah lelah mengikuti zaman.
salam,
~a~
From : Akmal N. Basral
1 Apr 2007 09:29
CIA novel brings Sun Tzu philosophy to modern war
April 22, 2007
BODY OF LIES
By David Ignatius
W.W. Norton, $24.95, 349 pages
REVIEWED BY JOHN WEISMAN
"All warfare," the Chinese philosopher and tactician Sun Tzu wrote
almost 3,000 years ago, "is based on deception." History's greatest warriors
understood this simple yet profound exhortation to think outside the box.
Odysseus, who breached Troy's walls by constructing a huge hollow wooden
horse, certainly personified the rare breed of outside-the-siege-tower
thinkers. During World War II, a Royal British Navy lawyer named Ewen Edward
Montagu pushed the Sun Tzu envelope when he mounted a clever sleight-of-hand
operation to convince Germany the Allies were planning to invade the Balkans
in 1943 (in fact the target was Sicily). Montagu's Operation Mincemeat was
later chronicled in the book and Clifton Webb movie "The Man Who Never Was."
More recently, legendary CIA operations officer Duane "Dewey" Clarridge
ran an ambitious deception that provoked psychotic paranoia in terrorist Abu
Nidal's mind, causing him to destroy his own organization. "On a single
night in November of 1987, approximately 170 [of his own people] were tied
up and blindfolded, machine-gunned, and pushed into a trench prepared for
the occasion. Another 160 were killed in Libya shortly thereafter," Mr.
Clarridge writes in the 1997 autobiography "A Spy for All Seasons."
Lately, however, deception operations seem to have fallen out of favor.
Whether this vacuum is due to the tsunami of risk aversion that swept over
the Central Intelligence Agency in the 1990s (detritus from which still
unfortunately clutters headquarters today), the culture of political
correctness that eschews the sorts of amoral operations that might offend
self-righteous congressional Democrats or the fact that it has become
virtually impossible to keep a secret in Washington anymore, is unclear.
The bottom line, however, is simple and unsettling. For reasons
unfathomable to a large segment of our most seasoned intelligence
professionals both active and retired, we have abandoned a valuable weapon
in our arsenal. This deplorable situation is the jumping-off point for David
Ignatius' complex, intricate, Byzantine CIA novel "Body of Lies."
The novel recounts the story of Roger Ferris, an aggressive young case
officer who volunteers for Iraq. Unlike most of his colleagues, who hunker
down in the Green Zone and play video games, Ferris is committed to the
Agency's old values: spotting, assessing, developing and recruiting agents
to penetrate al Qaeda in Iraq's networks and provide the irreplaceable
human-based intelligence that is so lacking these days.
"Your job is to feed the machine," CIA's Near East Division Chief and
Ferris' boss Ed Hoffman tells the younger man. "You're perfect for the job,
you poor bastard."
Mr. Ignatius explains: "It was true. Ferris spoke Level Four Arabic; he had
dark hair and complexion that would allow him to pass as an Arab in his
robes and keffiyeh, and he had that essential hunger, which he thought he
could satisfy by taking risks." In Iraq, working out beyond the wire, Ferris
is gravely wounded during a botched operation in which he loses a pair of
his agents.
But it is not for naught: He comes away having caught a faint whiff of a
new al Qaeda network that is planning a series of devastating bombings in
Western Europe. The net is headed by a shadowy figure named Suleiman.
After a convalescence at Walter Reed, Ferris is given a new assignment:
deputy chief of station in Amman, Jordan. There, he will liaise with Hani
Salaam, the sophisticated, urbane, ruthless head of Jordan's intelligence
service who is known as Pasha Hani. After Ferris' initial Jordanian-based
ops to penetrate Suleiman's network fail -- incurring the wrath of Hani --
the American comes up with a risky but brilliant idea. Taking a page from
the Brits' Operation Mincemeat and another from Mr. Clarridge's Psy Op
playbook, Ferris conceives a scenario to draw Suleiman out of the shadows.
Through deception -- "Taqyiia" in Arabic -- Ferris will create a
"virtual agent." He will do so by allowing al Qaeda to find the body of a
CIA officer. On the corpse are documents indicating that the Americans have
a highly-placed agent inside al Qaeda's leadership.
As Mr. Ignatius' NE Division Chief Ed Hoffman puts it: "We have to make
Suleiman think we have done the thing we in fact have been unable to do,
which is to get inside his net. And then we can play with his mind.
Jealousy. Vanity. Pride. These basic emotions will crack Suleiman open like
a fat oyster. We will introduce information into his sphere that is so
upsetting, so confusing, so threatening that he must find out what it's
about. And at that point, he must contact others. Must. And then he is
observable. Quantifiable. Destructible."
Mr. Ignatius has a wonderfully ironic take on the operation that forms
the nucleus of "Body of Lies." In World War II, Capt. Montagu obtained The
Man Who Never Was by appealing to the patriotism of the dead man's father.
Ferris has to steal the corpse. When the English confirmed the Germans had
taken the bait, the British chiefs of staff proudly cabled Winston Churchill
(who was in the United States at the time), "Mincemeat swallowed whole."
Ferris' op is so far off the books no one -- not even the president -- will
ever be told.
The problems start almost immediately, of course. Ferris' life is
compounded by a broken marriage and a beautiful American woman he meets in
Amman. Things get dicey because Ed Hoffman has his own ideas about how the
operation should proceed, and he isn't worried when Ferris warns that Hani
Salaam, whose agency's cooperation is critical to the CIA's success in
Jordan, may get burned in the process.
Mr. Ignatius juggles things quite nicely. Unlike most of the folks
writing fiction about the CIA these days, he understands the gestalt of the
place and the internal and external pressure under which the agency's
denizens operate. He doesn't throw huge clumps of backstory at you, either,
but unpeels his characters like onions, adding to their complexity and
allowing them to reveal themselves at their own pace.
And just as importantly, Mr. Ignatius has spent enough time in the
Middle East to understand its quirks, its habits and its customs and
traditions. As Pasha Hani tells Ferris at one critical point, "This is my
world, you see. I understand it. You Americans are visitors. You try to
comprehend, but it is really quite impossible. You only make mistakes. And
you are arrogant, I am sorry to say. You don't know what you don't know."
How true; how absolutely true. Indeed, given the history of America's
recent misadventures in the region, one can only hope they make "Body of
Lies" required reading at the NSC and CIA.
Now, there's a hiccough every now and then. Mr. Ignatius' hero is
subjected to torture that is more than vaguely reminiscent of what George
Clooney suffers in "Syriana," the movie very, very loosely based on former
CIA case officer Robert Baer's book "See No Evil." Even though Ferris'
American girlfriend works for an NGO involved with a variety of Palestinians
and Jordanians that includes members of the Muslim Brotherhood, she is never
checked out or vetted by the otherwise meticulous Hoffman.
And the reason for a running joke about Ferris' ancestry becomes obvious
after the third time. But these are quibbles. Mr. Ignatius has built us a
wonderful, three-dimensional jigsaw puzzle of a book, and it's great fun to
watch his characters flailing desperately to put the pieces together.
John Weisman's latest novel, "Direct Action," was released in paperback
by Avon last spring. He can be reached at black ops@johnweisman.com.
-------------------------
From : http://www.washtimes.com/books/
20070421-103141-8531r_page2.htm
BODY OF LIES
By David Ignatius
W.W. Norton, $24.95, 349 pages
REVIEWED BY JOHN WEISMAN
"All warfare," the Chinese philosopher and tactician Sun Tzu wrote
almost 3,000 years ago, "is based on deception." History's greatest warriors
understood this simple yet profound exhortation to think outside the box.
Odysseus, who breached Troy's walls by constructing a huge hollow wooden
horse, certainly personified the rare breed of outside-the-siege-tower
thinkers. During World War II, a Royal British Navy lawyer named Ewen Edward
Montagu pushed the Sun Tzu envelope when he mounted a clever sleight-of-hand
operation to convince Germany the Allies were planning to invade the Balkans
in 1943 (in fact the target was Sicily). Montagu's Operation Mincemeat was
later chronicled in the book and Clifton Webb movie "The Man Who Never Was."
More recently, legendary CIA operations officer Duane "Dewey" Clarridge
ran an ambitious deception that provoked psychotic paranoia in terrorist Abu
Nidal's mind, causing him to destroy his own organization. "On a single
night in November of 1987, approximately 170 [of his own people] were tied
up and blindfolded, machine-gunned, and pushed into a trench prepared for
the occasion. Another 160 were killed in Libya shortly thereafter," Mr.
Clarridge writes in the 1997 autobiography "A Spy for All Seasons."
Lately, however, deception operations seem to have fallen out of favor.
Whether this vacuum is due to the tsunami of risk aversion that swept over
the Central Intelligence Agency in the 1990s (detritus from which still
unfortunately clutters headquarters today), the culture of political
correctness that eschews the sorts of amoral operations that might offend
self-righteous congressional Democrats or the fact that it has become
virtually impossible to keep a secret in Washington anymore, is unclear.
The bottom line, however, is simple and unsettling. For reasons
unfathomable to a large segment of our most seasoned intelligence
professionals both active and retired, we have abandoned a valuable weapon
in our arsenal. This deplorable situation is the jumping-off point for David
Ignatius' complex, intricate, Byzantine CIA novel "Body of Lies."
The novel recounts the story of Roger Ferris, an aggressive young case
officer who volunteers for Iraq. Unlike most of his colleagues, who hunker
down in the Green Zone and play video games, Ferris is committed to the
Agency's old values: spotting, assessing, developing and recruiting agents
to penetrate al Qaeda in Iraq's networks and provide the irreplaceable
human-based intelligence that is so lacking these days.
"Your job is to feed the machine," CIA's Near East Division Chief and
Ferris' boss Ed Hoffman tells the younger man. "You're perfect for the job,
you poor bastard."
Mr. Ignatius explains: "It was true. Ferris spoke Level Four Arabic; he had
dark hair and complexion that would allow him to pass as an Arab in his
robes and keffiyeh, and he had that essential hunger, which he thought he
could satisfy by taking risks." In Iraq, working out beyond the wire, Ferris
is gravely wounded during a botched operation in which he loses a pair of
his agents.
But it is not for naught: He comes away having caught a faint whiff of a
new al Qaeda network that is planning a series of devastating bombings in
Western Europe. The net is headed by a shadowy figure named Suleiman.
After a convalescence at Walter Reed, Ferris is given a new assignment:
deputy chief of station in Amman, Jordan. There, he will liaise with Hani
Salaam, the sophisticated, urbane, ruthless head of Jordan's intelligence
service who is known as Pasha Hani. After Ferris' initial Jordanian-based
ops to penetrate Suleiman's network fail -- incurring the wrath of Hani --
the American comes up with a risky but brilliant idea. Taking a page from
the Brits' Operation Mincemeat and another from Mr. Clarridge's Psy Op
playbook, Ferris conceives a scenario to draw Suleiman out of the shadows.
Through deception -- "Taqyiia" in Arabic -- Ferris will create a
"virtual agent." He will do so by allowing al Qaeda to find the body of a
CIA officer. On the corpse are documents indicating that the Americans have
a highly-placed agent inside al Qaeda's leadership.
As Mr. Ignatius' NE Division Chief Ed Hoffman puts it: "We have to make
Suleiman think we have done the thing we in fact have been unable to do,
which is to get inside his net. And then we can play with his mind.
Jealousy. Vanity. Pride. These basic emotions will crack Suleiman open like
a fat oyster. We will introduce information into his sphere that is so
upsetting, so confusing, so threatening that he must find out what it's
about. And at that point, he must contact others. Must. And then he is
observable. Quantifiable. Destructible."
Mr. Ignatius has a wonderfully ironic take on the operation that forms
the nucleus of "Body of Lies." In World War II, Capt. Montagu obtained The
Man Who Never Was by appealing to the patriotism of the dead man's father.
Ferris has to steal the corpse. When the English confirmed the Germans had
taken the bait, the British chiefs of staff proudly cabled Winston Churchill
(who was in the United States at the time), "Mincemeat swallowed whole."
Ferris' op is so far off the books no one -- not even the president -- will
ever be told.
The problems start almost immediately, of course. Ferris' life is
compounded by a broken marriage and a beautiful American woman he meets in
Amman. Things get dicey because Ed Hoffman has his own ideas about how the
operation should proceed, and he isn't worried when Ferris warns that Hani
Salaam, whose agency's cooperation is critical to the CIA's success in
Jordan, may get burned in the process.
Mr. Ignatius juggles things quite nicely. Unlike most of the folks
writing fiction about the CIA these days, he understands the gestalt of the
place and the internal and external pressure under which the agency's
denizens operate. He doesn't throw huge clumps of backstory at you, either,
but unpeels his characters like onions, adding to their complexity and
allowing them to reveal themselves at their own pace.
And just as importantly, Mr. Ignatius has spent enough time in the
Middle East to understand its quirks, its habits and its customs and
traditions. As Pasha Hani tells Ferris at one critical point, "This is my
world, you see. I understand it. You Americans are visitors. You try to
comprehend, but it is really quite impossible. You only make mistakes. And
you are arrogant, I am sorry to say. You don't know what you don't know."
How true; how absolutely true. Indeed, given the history of America's
recent misadventures in the region, one can only hope they make "Body of
Lies" required reading at the NSC and CIA.
Now, there's a hiccough every now and then. Mr. Ignatius' hero is
subjected to torture that is more than vaguely reminiscent of what George
Clooney suffers in "Syriana," the movie very, very loosely based on former
CIA case officer Robert Baer's book "See No Evil." Even though Ferris'
American girlfriend works for an NGO involved with a variety of Palestinians
and Jordanians that includes members of the Muslim Brotherhood, she is never
checked out or vetted by the otherwise meticulous Hoffman.
And the reason for a running joke about Ferris' ancestry becomes obvious
after the third time. But these are quibbles. Mr. Ignatius has built us a
wonderful, three-dimensional jigsaw puzzle of a book, and it's great fun to
watch his characters flailing desperately to put the pieces together.
John Weisman's latest novel, "Direct Action," was released in paperback
by Avon last spring. He can be reached at black ops@johnweisman.com.
-------------------------
From : http://www.washtimes.com/books/
20070421-103141-8531r_page2.htm
Saturday, April 21, 2007
Ditemukan Bukti Baru Danau Purba Borobudur
Jumat, 20 April 2007 - 18:49 wib
YOGYAKARTA, JUMAT--Guru besar Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Sutikno
bersama mahasiswanya, Helmy Mulyanto MSi berhasil
menemukan bukti baru yang menguatkan hipotesis bahwa
danau purba Borobudur telah terbentuk sejak masa
Pleistosen (zaman prasejarah).
"Berdasarkan hasil analisis palinologi terhadap
sedimen batu lempung berwarna kecoklatan di sekitar
Candi Borobudur ditemukan beberapa fosil tumbuhan
komunitas danau bagian atas yang berasal dari zaman
Pleistosen," kata Helmy Murwanto saat menyampaikan
hasil penelitian mereka dalam "First International
Symposium on Borobudur Cultural Landscape Heritage"
yang diselenggarakan UNESCO di Yogyakarta, Jumat.
Dia mengatakan, para ahli sepakat menyimpulkan bahwa
Candi Borobudur dibangun di atas dataran tinggi yang
berada di tengah-tengah danau, yang menggambarkan
bunga teratai di tengah telaga sebagai perwujudan
tempat kelahiran Sang Budha.
Namun, kata dia, hingga saat ini masalah waktu
terbentuknya danau purba yang pernah mengelilingi
Candi Borobudur tersebut masih menjadi perdebatan di
kalangan para ahli.
Beberapa ahli meyakini danau tersebut merupakan danau
bentukan akibat letusan kuat Gunung Merapi pada 1006 M
yang menyebabkan terbendungnya Sungai Progo karena
bagian puncaknya merosot ke arah barat daya (Kedu
selatan).
"Sedangkan pandangan yang lain mempercayai bahwa danau
tersebut telah ada sejak zaman prasejarah, jauh
sebelum Candi Borobudur dibangun," katanya.
Menurut Helmy, penemuan ini menjadi sebuah terobosan
baru yang mematahkan beberapa penelitian sebelumnya
yang tidak menemukan fosil tumbuhan komunitas danau di
sekitar bangunan candi.
Tentunya, hasil penelitian ini masih perlu
dikembangkan dengan penelitian lanjutan guna
menyempurnakannya. "Berubahnya danau menjadi daratan
yang mengelilingi candi saat ini dikarenakan seringnya
tumpukan material letusan Gunung Merapi mengendap di
danau yang lambat laun mengakibatkan danau menjadi
kering," kata Helmy. (ANTARA/AWE)
YOGYAKARTA, JUMAT--Guru besar Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Sutikno
bersama mahasiswanya, Helmy Mulyanto MSi berhasil
menemukan bukti baru yang menguatkan hipotesis bahwa
danau purba Borobudur telah terbentuk sejak masa
Pleistosen (zaman prasejarah).
"Berdasarkan hasil analisis palinologi terhadap
sedimen batu lempung berwarna kecoklatan di sekitar
Candi Borobudur ditemukan beberapa fosil tumbuhan
komunitas danau bagian atas yang berasal dari zaman
Pleistosen," kata Helmy Murwanto saat menyampaikan
hasil penelitian mereka dalam "First International
Symposium on Borobudur Cultural Landscape Heritage"
yang diselenggarakan UNESCO di Yogyakarta, Jumat.
Dia mengatakan, para ahli sepakat menyimpulkan bahwa
Candi Borobudur dibangun di atas dataran tinggi yang
berada di tengah-tengah danau, yang menggambarkan
bunga teratai di tengah telaga sebagai perwujudan
tempat kelahiran Sang Budha.
Namun, kata dia, hingga saat ini masalah waktu
terbentuknya danau purba yang pernah mengelilingi
Candi Borobudur tersebut masih menjadi perdebatan di
kalangan para ahli.
Beberapa ahli meyakini danau tersebut merupakan danau
bentukan akibat letusan kuat Gunung Merapi pada 1006 M
yang menyebabkan terbendungnya Sungai Progo karena
bagian puncaknya merosot ke arah barat daya (Kedu
selatan).
"Sedangkan pandangan yang lain mempercayai bahwa danau
tersebut telah ada sejak zaman prasejarah, jauh
sebelum Candi Borobudur dibangun," katanya.
Menurut Helmy, penemuan ini menjadi sebuah terobosan
baru yang mematahkan beberapa penelitian sebelumnya
yang tidak menemukan fosil tumbuhan komunitas danau di
sekitar bangunan candi.
Tentunya, hasil penelitian ini masih perlu
dikembangkan dengan penelitian lanjutan guna
menyempurnakannya. "Berubahnya danau menjadi daratan
yang mengelilingi candi saat ini dikarenakan seringnya
tumpukan material letusan Gunung Merapi mengendap di
danau yang lambat laun mengakibatkan danau menjadi
kering," kata Helmy. (ANTARA/AWE)
Wednesday, April 11, 2007
Genocide di Batavia
Datangnya orang Eropa melalui jalur laut diawali oleh Vasco da Gama, yang pada tahun 1497-1498 berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui Semenanjung Harapan (Cape of Good Hope) di ujung selatan Afrika, sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan pedagang-pedagang Timur Tengah untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini ditempuh melalui jalur darat yang sangat berbahaya.
Pada awalnya, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan Tenggara termasuk ke Nusantara adalah untuk perdagangan, demikian juga dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian dilanjutkan dengan politik pemukiman –kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname dan CuraƧao, tujuan Belanda sejak awal adalah murni kolonisasi (pemukiman).
Bangsa Portugis, yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan Maluku, yang kaya akan rempah-rempah –komoditi langka dan sangat mahal di Eropa. Setelah dapat mematahkan perlawanan rakyat Maluku tahun 1511, Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku selama sekitar 100 tahun.
Pada akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai menunjukkan minatnya di wilayah Asia Tenggara dan melakukan beberapa pelayaran ke wilayah ini, antara lain dilakukan oleh James Lancaster tahun 1591, dua bersaudara Frederik dan adiknya, Cornelis de Houtman tahun 1595 dan kemudian tahun 1599, Jacob van Neck tahun 1598. Lancaster datang lagi tahun 1601. Ketika de Houtman bersaudara tahun 1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut dengan sangat ramah, demikian juga dengan para pedagang lain, yang setelah itu makin banyak datang ke Jawa, Sumatera dan Maluku. Sebelum Belanda membuat Jayakarta/Sunda Kalapa (setelah menduduki Jayakarta, Belanda kemudian menamakannya Batavia) menjadi pelabuhan yang merupakan basis perdagangan dan kubu militernya, pelabuhan Banten adalah pelabuhan internasional yang terbesar di Asia Tenggara dan menjadi pusat perdagangan antar benua.
Ketika kembali ke Asia Tenggara tahun 1599, Houtman bersaudara terlibat pertempuran melawan kerajaan Aceh, di mana Cornelis tewas dan Frederik ditawan, dan setelah dibebaskan tahun 1602, ia kembali ke Amsterdam. Selama di penjara, ia sempat belajar bahasa Melayu dan menerbitkan kamus Melayu pertama pada tahun 1603.
Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East India Company dan berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602 dan Prancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company tahun 1604.
Pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie - VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda –yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
a. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
b. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
1. memelihara angkatan perang,
2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3. merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
4. memerintah daerah-daerah tersebut,
5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6. memungut pajak.
(Catatan penulis: Saya punya satu coin VOC dari tahun 1790)
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).
Belanda konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan perdagangannya dan menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah dan kemudian menguasai). Apabila ada konflik internal di satu kerajaan, atau ada pertikaian antara satu kerajaan dengan kerajaan tetangganya, Belanda membantu salah satu pihak untuk mengalahkan lawannya, dengan imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda, termasuk antara lain memperoleh sebagian wilayah yang bersama-sama dikalahkan. Dengan tipu muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya akan rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.
Jayakarta, Jajahan VOC Pertama
Bukti tertua mengenai eksistensi pemukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti terebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh.
Pemukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malakka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d’Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tome Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh Raja Pakuan Pajajaran guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman kerajaan Islam Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.
Ironisnya, kini tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta. Jelas tanggal ini tidak mencerminkan berdirinya kota Jakarta, karena dari berbagai prasasti, telah terbukti bahwa Sunda Kalapa telah ada sejak abad 10. Ironis, karena hari penaklukkan Jakarta yang dipimpin oleh seorang asing, ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta.
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.
Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa, Jayakarta, Jakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara. Entah sejak kapan, penduduk di kota Batavia dinamakan –atau menamakan diri- orang Betawi, yang mengambil nama dari Batavia tersebut. Dilihat dari sejarah dan asal-usulnya, jelas penamaan ini keliru.
Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di bumi Nusantara, yang berakhir tanggal 9 Maret 1942, yaitu dengan resmi menyerahnya Pemerintah India Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC
Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.
Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.
Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.
Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.
Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.
Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.
Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.
Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun dari gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang orang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.
Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”
Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum). Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.
Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).
Tabel 1. Jumlah penduduk dan jumlah budak di berbagai pemukiman Belanda di Samudra India akhir abad 17.
(Tabel 1 & 2, lihat: http://www.historycoop.org/journals/jwh/14.2/vink.html)
Tabel 2. Jumlah budak VOC dan jumlah seluruh budak Belanda dengan rata-rata jumlah perdagangan budak per tahun oleh Belanda, sekitar tahun 1688.
Barulah pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan di beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini.
Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.
Pembantaian oleh Belanda di Pulau Banda. Hongi Tochten
Tidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi kenguntung bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint),
Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.
Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas.
Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:
“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.
Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.
Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.
Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.
Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit.
Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post (lihat: Laurens van der Post: “The Admiral's Baby”, John Murray, London, 1996.):
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”
Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris, dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.
Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie secara besar-besaran, guna menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.
Menurut catatan statistik Kompeni, sebagai hasil extirpatie dari Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10 Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000 pohon rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.
Pembantaian Etnis (Genocide) Tionghoa di Batavia
Kekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan oleh Adriaen Valckenier, yang menjadi Gubernur Jenderal India Belanda dari tahun 1737 - 1741. Selain melanjutkan budaya korupsi dan penindasan serta eksploitasi rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai, peningkatan yang sangat pesat jumlah orang Tionghoa yang ada di Batavia telah menjadi ancaman bagi orang Belanda.
Sebenarnya pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli di perkebunan. Namun banyak dari mereka yang berhasil menjadi pedagang, pengusaha dan rentenir uang, dengan kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi sebagai perantara antara orang Eropa dan pribumi.
Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang Tionghoa ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena adanya kolusi antara para pengusaha yang terus mendatangkan kuli dari Tiongkok dan pejabat administrasi VOC yang menerima suap. Para pengusaha Belanda juga memperoleh manfaat dengan adanya kuli murah, rajin dan patuh, dibandingkan dengan pribumi yang sering membangkang, melawan dan bahkan melakukan pemberontakan.
Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai puluhan ribu orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang Tionghoa. Mereka juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing etnis Tionghoa, keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di sekitar Batavia.
Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga pasar di Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka dari Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok tersebut ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu. Deportasi dengan kapal laut ini dimulai pada bulan Juli 1740. Tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli Tionghoa ke Ceylon, muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan isu tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri mereka dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang Batavia. Tanggal 8 Oktober malam, suasana di Batavia sangat mencekam, karena diberitakan, bahwa orang-orang Tionghoa di dalam kota Batavia akan bergabung dengan warga Tionghoa dari sekitar Batavia.
Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun yang terjadi dalam 3 hari kemudian adalah pembantaian terhadap semua orang Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tionghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen Turbulenten te Batavia, 1938).
Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan judul “MerkwĆ¼rdigkeiten” menuturkan pengalamannya ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Tionghoa di Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia membunuh orang Tionghoa beserta seluruh keluarganya di Batavia, yang adalah tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu dengan lainnya. (lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch – Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert. Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000).
Diperkirakan sekitar 24.000 orang etnis Tionghoa yang tewas dibantai oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Said. Mereka kemudian menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang dan Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat.
Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar pada waktu itu, dan ketika berita ini sampai di Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut ajaran Kristen yang taat, namun bukan saja melakukan perbudakan, melainkan juga pembantaian etnis secara massal. Gubernur Jenderal Valckenier dan Wakil Gubernur Jenderal Baron von Imhoff saling menyalahkan atas terjadinya genocide tersebut. Valckenier sendiri kemudian dipanggil pulang dan meninggal ketika dalam tahanan. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah orang Jerman. Masalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah Belanda, berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja. Tak ada satu orang pun dari pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan.
Di Den Haag, Belanda, sejak Januari 2003 International Criminal Court - ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) memulai kegiatannya, dan Menlu Belanda waktu itu, van Aartsen menyatakan, bahwa dengan demikian “Den Haag is the capital of international justice.” (Den Haag adalah pusat keadilan dunia), karena sebelumnya di Den Haag juga terdapat Intenational Court of Justice. Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan dari ICC disebutkan, bahwa kejahatan tertinggi adalah pembantaian etnis (genocide), dan setelah itu, kejahatan terbesar kedua adalah Kejahatan Atas Kemanusiaan (crimes against humanity).
Ironis sekali, bahwa di negara yang telah melakukan kejahatan terbesar, genocide, dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu perbudakan, pembantaian massal seperti di Sulawesi Selatan dan Rawagede, menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga peradilan internasional, dan Menlunya bertepuk dada, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Satu bangsa yang mengalami amnesia dan pengingkaran kolektif!
Runtuhnya VOC. Penjajahan Pemerintah India-Belanda
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-IndiĆ«) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 – 1801).
=======================================
Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (KUKB) menuntut
Pemerintah Belanda untuk:
I. Mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945; dan
II. Meminta Maaf Kepada Bangsa Indonesia atas Penjajahan, Perbudakan, Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.
--------------
Sumber : http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/
voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html
Pada awalnya, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan Tenggara termasuk ke Nusantara adalah untuk perdagangan, demikian juga dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian dilanjutkan dengan politik pemukiman –kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname dan CuraƧao, tujuan Belanda sejak awal adalah murni kolonisasi (pemukiman).
Bangsa Portugis, yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan Maluku, yang kaya akan rempah-rempah –komoditi langka dan sangat mahal di Eropa. Setelah dapat mematahkan perlawanan rakyat Maluku tahun 1511, Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku selama sekitar 100 tahun.
Pada akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai menunjukkan minatnya di wilayah Asia Tenggara dan melakukan beberapa pelayaran ke wilayah ini, antara lain dilakukan oleh James Lancaster tahun 1591, dua bersaudara Frederik dan adiknya, Cornelis de Houtman tahun 1595 dan kemudian tahun 1599, Jacob van Neck tahun 1598. Lancaster datang lagi tahun 1601. Ketika de Houtman bersaudara tahun 1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut dengan sangat ramah, demikian juga dengan para pedagang lain, yang setelah itu makin banyak datang ke Jawa, Sumatera dan Maluku. Sebelum Belanda membuat Jayakarta/Sunda Kalapa (setelah menduduki Jayakarta, Belanda kemudian menamakannya Batavia) menjadi pelabuhan yang merupakan basis perdagangan dan kubu militernya, pelabuhan Banten adalah pelabuhan internasional yang terbesar di Asia Tenggara dan menjadi pusat perdagangan antar benua.
Ketika kembali ke Asia Tenggara tahun 1599, Houtman bersaudara terlibat pertempuran melawan kerajaan Aceh, di mana Cornelis tewas dan Frederik ditawan, dan setelah dibebaskan tahun 1602, ia kembali ke Amsterdam. Selama di penjara, ia sempat belajar bahasa Melayu dan menerbitkan kamus Melayu pertama pada tahun 1603.
Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East India Company dan berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602 dan Prancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company tahun 1604.
Pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie - VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda –yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
a. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
b. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
1. memelihara angkatan perang,
2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3. merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
4. memerintah daerah-daerah tersebut,
5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6. memungut pajak.
(Catatan penulis: Saya punya satu coin VOC dari tahun 1790)
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).
Belanda konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan perdagangannya dan menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah dan kemudian menguasai). Apabila ada konflik internal di satu kerajaan, atau ada pertikaian antara satu kerajaan dengan kerajaan tetangganya, Belanda membantu salah satu pihak untuk mengalahkan lawannya, dengan imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda, termasuk antara lain memperoleh sebagian wilayah yang bersama-sama dikalahkan. Dengan tipu muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya akan rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.
Jayakarta, Jajahan VOC Pertama
Bukti tertua mengenai eksistensi pemukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti terebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh.
Pemukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malakka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d’Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tome Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh Raja Pakuan Pajajaran guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman kerajaan Islam Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.
Ironisnya, kini tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta. Jelas tanggal ini tidak mencerminkan berdirinya kota Jakarta, karena dari berbagai prasasti, telah terbukti bahwa Sunda Kalapa telah ada sejak abad 10. Ironis, karena hari penaklukkan Jakarta yang dipimpin oleh seorang asing, ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta.
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.
Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa, Jayakarta, Jakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara. Entah sejak kapan, penduduk di kota Batavia dinamakan –atau menamakan diri- orang Betawi, yang mengambil nama dari Batavia tersebut. Dilihat dari sejarah dan asal-usulnya, jelas penamaan ini keliru.
Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di bumi Nusantara, yang berakhir tanggal 9 Maret 1942, yaitu dengan resmi menyerahnya Pemerintah India Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC
Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.
Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.
Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.
Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.
Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.
Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.
Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.
Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun dari gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang orang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.
Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”
Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum). Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.
Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).
Tabel 1. Jumlah penduduk dan jumlah budak di berbagai pemukiman Belanda di Samudra India akhir abad 17.
(Tabel 1 & 2, lihat: http://www.historycoop.org/journals/jwh/14.2/vink.html)
Tabel 2. Jumlah budak VOC dan jumlah seluruh budak Belanda dengan rata-rata jumlah perdagangan budak per tahun oleh Belanda, sekitar tahun 1688.
Barulah pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan di beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini.
Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.
Pembantaian oleh Belanda di Pulau Banda. Hongi Tochten
Tidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi kenguntung bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint),
Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.
Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas.
Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:
“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.
Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.
Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.
Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.
Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit.
Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post (lihat: Laurens van der Post: “The Admiral's Baby”, John Murray, London, 1996.):
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”
Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris, dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.
Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie secara besar-besaran, guna menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.
Menurut catatan statistik Kompeni, sebagai hasil extirpatie dari Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10 Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000 pohon rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.
Pembantaian Etnis (Genocide) Tionghoa di Batavia
Kekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan oleh Adriaen Valckenier, yang menjadi Gubernur Jenderal India Belanda dari tahun 1737 - 1741. Selain melanjutkan budaya korupsi dan penindasan serta eksploitasi rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai, peningkatan yang sangat pesat jumlah orang Tionghoa yang ada di Batavia telah menjadi ancaman bagi orang Belanda.
Sebenarnya pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli di perkebunan. Namun banyak dari mereka yang berhasil menjadi pedagang, pengusaha dan rentenir uang, dengan kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi sebagai perantara antara orang Eropa dan pribumi.
Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang Tionghoa ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena adanya kolusi antara para pengusaha yang terus mendatangkan kuli dari Tiongkok dan pejabat administrasi VOC yang menerima suap. Para pengusaha Belanda juga memperoleh manfaat dengan adanya kuli murah, rajin dan patuh, dibandingkan dengan pribumi yang sering membangkang, melawan dan bahkan melakukan pemberontakan.
Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai puluhan ribu orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang Tionghoa. Mereka juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing etnis Tionghoa, keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di sekitar Batavia.
Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga pasar di Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka dari Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok tersebut ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu. Deportasi dengan kapal laut ini dimulai pada bulan Juli 1740. Tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli Tionghoa ke Ceylon, muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan isu tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri mereka dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang Batavia. Tanggal 8 Oktober malam, suasana di Batavia sangat mencekam, karena diberitakan, bahwa orang-orang Tionghoa di dalam kota Batavia akan bergabung dengan warga Tionghoa dari sekitar Batavia.
Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun yang terjadi dalam 3 hari kemudian adalah pembantaian terhadap semua orang Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tionghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen Turbulenten te Batavia, 1938).
Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan judul “MerkwĆ¼rdigkeiten” menuturkan pengalamannya ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Tionghoa di Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia membunuh orang Tionghoa beserta seluruh keluarganya di Batavia, yang adalah tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu dengan lainnya. (lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch – Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert. Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000).
Diperkirakan sekitar 24.000 orang etnis Tionghoa yang tewas dibantai oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan Raden Mas Said. Mereka kemudian menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang dan Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat.
Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar pada waktu itu, dan ketika berita ini sampai di Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut ajaran Kristen yang taat, namun bukan saja melakukan perbudakan, melainkan juga pembantaian etnis secara massal. Gubernur Jenderal Valckenier dan Wakil Gubernur Jenderal Baron von Imhoff saling menyalahkan atas terjadinya genocide tersebut. Valckenier sendiri kemudian dipanggil pulang dan meninggal ketika dalam tahanan. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah orang Jerman. Masalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah Belanda, berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja. Tak ada satu orang pun dari pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan.
Di Den Haag, Belanda, sejak Januari 2003 International Criminal Court - ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) memulai kegiatannya, dan Menlu Belanda waktu itu, van Aartsen menyatakan, bahwa dengan demikian “Den Haag is the capital of international justice.” (Den Haag adalah pusat keadilan dunia), karena sebelumnya di Den Haag juga terdapat Intenational Court of Justice. Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan dari ICC disebutkan, bahwa kejahatan tertinggi adalah pembantaian etnis (genocide), dan setelah itu, kejahatan terbesar kedua adalah Kejahatan Atas Kemanusiaan (crimes against humanity).
Ironis sekali, bahwa di negara yang telah melakukan kejahatan terbesar, genocide, dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu perbudakan, pembantaian massal seperti di Sulawesi Selatan dan Rawagede, menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga peradilan internasional, dan Menlunya bertepuk dada, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Satu bangsa yang mengalami amnesia dan pengingkaran kolektif!
Runtuhnya VOC. Penjajahan Pemerintah India-Belanda
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-IndiĆ«) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 – 1801).
=======================================
Pada 20 Mei 2005, KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (KUKB) menuntut
Pemerintah Belanda untuk:
I. Mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945; dan
II. Meminta Maaf Kepada Bangsa Indonesia atas Penjajahan, Perbudakan, Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan.
--------------
Sumber : http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/
voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html
Tuesday, April 10, 2007
Pukulan Dua Setengah Kancing IPDN
IPDN punya tradisi pukulan setengah kancing, dimana posisinya kira-kira adalah di Ulu Hati. Apakah ada tempat lain yang mempunyai tradisi itu ?
Teman saya dari BPLP / P3B, sekitar tahun 97-99 , pernah bercerita tentang hal itu di sekolahnya. Jadi si Junior dipanggil oleh Seniornya, kemudian diberi tutup mata. Bila si Junior masih mengeraskan perutnya, maka ditunggu. Setelah si Junior mengambil nafas, artinya bagian perutnya lembek, maka barulah Pukulan dua setengah kancing ini dilancarkan.Mengenai Tendangan terbang sehingga Junior terpelanting jauh ke belakang juga ada.
Mengapa Junior diam saja dihajar? Karena junior punya ketakutan, apabila melawan Senior maka bisa di black list oleh para Senior2 angkatan yang dulu2 sehingga tidak bisa Melayar / Berlaut.
Apakah semua dihajar ? Saya tidak tahu mengenai hal ini, tapi memang temen saya ini agak bandel, jadi sering mencuri2 kesempatan keluar asrama.
Dari data ini kita melihat dua sekolah yang berjauhan, IPDN dan BPLP (Pelayaran) punya budaya yang mirip, yaitu pukulan dua setengah kancing. Apakah ada sekolah lain yang mempunyai ? Saya kira pasti ada.
Saya pernah mendapatkan Latihan Dasar Militer, di Pusat Latihan Tempur, Ranting Induk Infanteri Klaten, di situ tidak kelihatan adanya pendidikan seperti itu atau yang menjurus ke arah itu.
Ketika saya berlatihdi Perguruan Naga Jati (Silat), memang ada bentuk pukulan2 seperti itu. Namun sebelumnya dilatih pernafasan untuk mengeraskan otot, yaitu otot perut, ulu hati, leher, kepala, punggung , (tidak ada mengeraskan bagian kemaluan).
Nah bila pukulan di IPDN itu memang sudah pernah ada latihan pengerasan otot, mungkin tidak apa2, tetapi kalo memang dicari pada saat lemahnya, seperti pada kasus BPLP, maka bisa menyebabkan kematian. Cuman saya mungkin belom pernah mendengar kabar tentang kematian akibat pukulan di BPLP.
Memang yang namanya dunia, tidak terlepas dari premanisme. Termasuk dalam menjabat suatu jabatan, adakalanya mendapatkan teror dari para preman ( legal maupun ilegal). Ini yang digunakan sebagai alasan oleh praja IPDN. Sedangkan di lautpun, kita temui banyak sekali (semakin banyaknya) Bajak Laut, ini pula yang menjadi alasan BPLP untuk memasukkan pemukulan dalam pendidikannya ( hubungan Senior - Junior maksudnya).
Seyogyanga memang pelatihan untuk memperkuat fisik merupakan tanggung jawab pribadi, jadi betul apabila Presiden melakukan demiliterisasi di dunia pendidikan. Artinya bila pribadi masing2 perlu memperkuat diri, bisa mengikuti pelatihan2 khusus / bela diri.
Teman saya dari BPLP / P3B, sekitar tahun 97-99 , pernah bercerita tentang hal itu di sekolahnya. Jadi si Junior dipanggil oleh Seniornya, kemudian diberi tutup mata. Bila si Junior masih mengeraskan perutnya, maka ditunggu. Setelah si Junior mengambil nafas, artinya bagian perutnya lembek, maka barulah Pukulan dua setengah kancing ini dilancarkan.Mengenai Tendangan terbang sehingga Junior terpelanting jauh ke belakang juga ada.
Mengapa Junior diam saja dihajar? Karena junior punya ketakutan, apabila melawan Senior maka bisa di black list oleh para Senior2 angkatan yang dulu2 sehingga tidak bisa Melayar / Berlaut.
Apakah semua dihajar ? Saya tidak tahu mengenai hal ini, tapi memang temen saya ini agak bandel, jadi sering mencuri2 kesempatan keluar asrama.
Dari data ini kita melihat dua sekolah yang berjauhan, IPDN dan BPLP (Pelayaran) punya budaya yang mirip, yaitu pukulan dua setengah kancing. Apakah ada sekolah lain yang mempunyai ? Saya kira pasti ada.
Saya pernah mendapatkan Latihan Dasar Militer, di Pusat Latihan Tempur, Ranting Induk Infanteri Klaten, di situ tidak kelihatan adanya pendidikan seperti itu atau yang menjurus ke arah itu.
Ketika saya berlatihdi Perguruan Naga Jati (Silat), memang ada bentuk pukulan2 seperti itu. Namun sebelumnya dilatih pernafasan untuk mengeraskan otot, yaitu otot perut, ulu hati, leher, kepala, punggung , (tidak ada mengeraskan bagian kemaluan).
Nah bila pukulan di IPDN itu memang sudah pernah ada latihan pengerasan otot, mungkin tidak apa2, tetapi kalo memang dicari pada saat lemahnya, seperti pada kasus BPLP, maka bisa menyebabkan kematian. Cuman saya mungkin belom pernah mendengar kabar tentang kematian akibat pukulan di BPLP.
Memang yang namanya dunia, tidak terlepas dari premanisme. Termasuk dalam menjabat suatu jabatan, adakalanya mendapatkan teror dari para preman ( legal maupun ilegal). Ini yang digunakan sebagai alasan oleh praja IPDN. Sedangkan di lautpun, kita temui banyak sekali (semakin banyaknya) Bajak Laut, ini pula yang menjadi alasan BPLP untuk memasukkan pemukulan dalam pendidikannya ( hubungan Senior - Junior maksudnya).
Seyogyanga memang pelatihan untuk memperkuat fisik merupakan tanggung jawab pribadi, jadi betul apabila Presiden melakukan demiliterisasi di dunia pendidikan. Artinya bila pribadi masing2 perlu memperkuat diri, bisa mengikuti pelatihan2 khusus / bela diri.
Tuesday, April 3, 2007
Kepepet, Cahaya Ponsel Dipakai Saat Operasi [Medis]
Jumat , 23/03/2007 15:15 WIB
Kepepet, Cahaya Ponsel Dipakai Saat Operasi
Ardhi Suryadhi - detikInet
Hanoi, Apapun bisa dijadikan suatu alat bantuan jika sudah dalam kondisi terdesak. Salah satu contohnya, dengan apa yang dilakukan dokter salah satu rumah sakit di Vietnam yang menggunakan cahaya lampu dari ponsel untuk menyelesaikan operasi kelahiran.
Seperti dilansir Cellular News dan dikutip detikINET, Jumat (23/3/2007), hal itu terpaksa dilakukan tim dokter karena ketika tengah dilakukannya operasi caesar lampu di kamar operasi tiba-tiba mati, padahal saat itu sedang dalam tahap krusial bagi si calon ibu.
Sialnya, generator yang biasa dijadikan sumber energi pengganti juga tidak menyala. Kontan, demi menyelamatkan kedua nyawa tersebut tim dokter langsung berinisiatif untuk tetap melanjutkan proses operasi meski hanya dengan mengandalkan cahaya lampu ponsel.
"Kami harus tetap melanjutkan operasi sesegera mungkin namun ruang operasi saat itu sangat gelap," cerita Dr Nguyen Tu Tin, dokter kepala yang memimpin operasi tersebut.
Untuk mendapatkan cahaya penerangan yang memadai tim yang terdiri dari para dokter dan suster dari rumah sakit Pleiku di propinsi Gia Lai ini menggabungkan delapan ponsel mereka, walaupun cahaya yang didapat masih pas-pasan tapi operasi kembali berjalan.
"Keadaan saat itu tidak terlalu terang, namun cahaya ponsel cukup membantu kami untuk mengambil bayi sang ibu sebelum generator kembali menyala," kenang Dr Nguyen.
Insiatif dari tim operasi tersebut ternyata tidak sia-sia, karena baik ibu ataupun bayi yang dilahirkan selamat dan dalam kondisi yang sehat, bahkan mereka dapat segera meninggalkan rumah sakit.
(ash/ash)
-----
From : http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/03/tgl/23/
time/151526/idnews/757903/idkanal/398
Kepepet, Cahaya Ponsel Dipakai Saat Operasi
Ardhi Suryadhi - detikInet
Hanoi, Apapun bisa dijadikan suatu alat bantuan jika sudah dalam kondisi terdesak. Salah satu contohnya, dengan apa yang dilakukan dokter salah satu rumah sakit di Vietnam yang menggunakan cahaya lampu dari ponsel untuk menyelesaikan operasi kelahiran.
Seperti dilansir Cellular News dan dikutip detikINET, Jumat (23/3/2007), hal itu terpaksa dilakukan tim dokter karena ketika tengah dilakukannya operasi caesar lampu di kamar operasi tiba-tiba mati, padahal saat itu sedang dalam tahap krusial bagi si calon ibu.
Sialnya, generator yang biasa dijadikan sumber energi pengganti juga tidak menyala. Kontan, demi menyelamatkan kedua nyawa tersebut tim dokter langsung berinisiatif untuk tetap melanjutkan proses operasi meski hanya dengan mengandalkan cahaya lampu ponsel.
"Kami harus tetap melanjutkan operasi sesegera mungkin namun ruang operasi saat itu sangat gelap," cerita Dr Nguyen Tu Tin, dokter kepala yang memimpin operasi tersebut.
Untuk mendapatkan cahaya penerangan yang memadai tim yang terdiri dari para dokter dan suster dari rumah sakit Pleiku di propinsi Gia Lai ini menggabungkan delapan ponsel mereka, walaupun cahaya yang didapat masih pas-pasan tapi operasi kembali berjalan.
"Keadaan saat itu tidak terlalu terang, namun cahaya ponsel cukup membantu kami untuk mengambil bayi sang ibu sebelum generator kembali menyala," kenang Dr Nguyen.
Insiatif dari tim operasi tersebut ternyata tidak sia-sia, karena baik ibu ataupun bayi yang dilahirkan selamat dan dalam kondisi yang sehat, bahkan mereka dapat segera meninggalkan rumah sakit.
(ash/ash)
-----
From : http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/03/tgl/23/
time/151526/idnews/757903/idkanal/398
Monday, April 2, 2007
Dapatkah Pemanasan Global Mencairkan Seluruh Es di Bumi?
Dapatkah Pemanasan Global Mencairkan Seluruh Es di Bumi?
Moskow (ANTARA News/Ria Novosti) - Jika suatu ketika lapisan es di bumi mencair maka ketinggian permukaan air laut dapat dipastikan naik hingga 64 meter.
Nikolai Osokin, pakar glaciologi pada Institut Geografi, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, memperkirakan, kota-kota ditepi pantai kemudian tenggelam di bawah permukaan air, termasuk Belanda, yang sebagian besar wilayahnya notabene berada di bawah permukaan air laut.
Bagaimanapun juga, baik Belanda maupun seisi planet bumi yakin bahwa kehancuran yang luar biasa dapat terjadi setiap saat dalam beberapa ribu tahun mendatang.
"Institut kami telah mempersiapkan atlas yang menggambarkan tempat-tempat dengan sumber es dan salju di seluruh dunia, bahkan kami juga telah menyiapkan model peta dunia dengan tanpa lapisan es," katanya.
Hal ini, bagaimanapun juga, hanyalah sebuah model, bukan ramalan. Akan tetapi, peringatan dari sebuah ramalan tetap saja ada jika pemanasan global yang telah terlihat pada akhir abad ke-20 ini berlanjut untuk beberapa dekade kedepan -- banyak es di samudra Artik akan mencair.
Ada sebuah prasyarat yang penting: Sekalipun es Artik harus mencair, ketinggian permukaan laut tidak akan berubah karena volume air yang dihasilkan oleh es yang mencair sama dengan volume air yang digantikan ketika es tersebut mengambang.
Tingkat bahayanya berbeda: pemanasan dapat memicu pencairan pulau sebesar satu benua es. Saat ini, lapisan es terbesar menutupi Antartika, dimana 90 persen es dunia berada di sana dan Greenland. Cairnya lapisan es ini dipastikan dapat membawa kehancuran.
Lantas, adakah alasan untuk panik? Tingkat suhu yang naik antara 3-6 derajat celcius dalam beberapa abad ke depan diyakini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan bagi Antartika, dimana suhu rata-rata di sana kurang dari 40 derajat di bawah nol.
Proses yang terjadi pada lapisan permafrost bahkan lebih rumit lagi bila dibandingkan dengan proses yang terjadi pada es itu sendiri.
Musim dingin pada beberapa dekade terakhir sedikit tidak normal. Karena itu, lapisan permafrost yang tertutup es di wilayah Artik mulai berkurang dan mencair. Masa pemanasan sebenarnya dapat terlihat, bahkan semakin dekat.
Proses paling alami di bumi adalah sebuah siklus, dengan ritme yang pendek atau panjang. Tetapi, apapun yang terlihat, kenaikan suhu tidak dapat dihindari akan diikuti oleh penurunan, dan sebaliknya.
Penelitian tentang inti es yang dilakukan oleh stasiun Antartik Vostok milik Rusia menunjukkan bahwa ini adalah apa yang telah terjadi di bumi untuk paling sedikit 400.000 tahun.
Saat ini, para ilmuwan mengatakan bahwa mencairnya lapisan es mulai berhenti, yang telah dibuktikan dari data yang didapatkan oleh stasiun meteorologi di sepanjang pantai Artik Rusia.
"Kami saat ini sedang mempelajari pengaruh dari atmosfer dan lapisan salju yang menutupi lapisan permafrost," kata Osokin seperti dikutip Ria Novosti.
Di wilayah yang tertutupi lapisan permafrost, sebuah lapisan mencair pada musim panas, ketika suhu naik di atas nol. Namun demikian, pada musim dingin lapisan ini kembali membeku. Ini adalah proses yang normal: mencair, membeku.
Akan tetapi, jika musim dingin secara tidak normal menjadi hangat, lapisan yang mencair tidak membeku kembali. Kemudian, lapisan yang disebut talik, dengan suhu sekitar nol, terbentuk. Ini adalah suatu hal yang cukup mengganggu bagi bangunan-bangunan dan pipa-pipa.
Terlihat jelas bahwa lapisan es seharusnya mencair jika suhu meningkat. Akan tetapi, banyak tempat yang menyaksikan hal berbeda. Suhu rata-rata tahunan bertambah tinggi, tetapi lapisan es tidak mencair, bahkan bertambah luas.
Kenapa? Karena faktor yang paling penting adalah adanya lapisan salju. Pemanasan global mengurangi lapisan ini, yang pada akhirnya membentuk semacam penyumbat panas bagi lapisan es yang lebih tipis. Sehingga es yang paling lunak sekalipun dapat membekukan tanah di bawahnya.
Di banyak tempat, tanah yang membeku dalamnya sekitar 500-800 meter. Bahkan jika perkiraan pemanasan tertinggi menjadi kenyataan dan suhu naik dengan 3-6 derajat, tidak lebih dari 20 meter tanah yang beku akan mencair.
Beberapa orang takut bahwa lapisan es yang mencair akan mencemari udara dengan metana yang menguap. Akan tetapi, air yang membeku hanya membutuhkan 15 persen dari lapisan berkedalaman 20 meter, dan jumlah gas yang menguap tidak signifikan. Jadi, manusia hanya akan menerima dampak yang kurang menyenangkan ini dalam beberapa ratus tahun mendatang.
Saat ini, para ilmuwan tidak begitu mengkhawatirkan pemanasan global sebagai suatu perubahan dalam sirkulasi atmosfer. Dalam beberapa tahun belakangan ini, apa yang disebut dengan pergeseran barat telah mendominasi, yang berarti bahwa udara bergerak dari wilayah barat menuju timur.
Sedikit sekali yang membicarakan mengenai pergeseran meridian, bergerak dari selatan ke utara dan sebaliknya. Sekarang, pergeseran meridian menjadi sering.
Jika angin bergerak menuju selatan, maka akan timbul udara dingin; jika bergerak ke utara, angin membawa udara hangat dan hujan pada musim dingin.
Hal ini mengakibatkan meleleh dan bergeraknya salju es baik pada situasi biasa maupun dalam hujan salju yang lebat, mengakibatkan longsor dan Lumpur di pegunungan.
Proses meridian telah menjadi suatu rutinitas akhir-akhir ini, yang menjanjikan sebuah perhitungan anomali udara yang berbeda; suhu yang tinggi dan rendah, hujan deras dan hujan salju serta banjir dalam waktu yang lama, yang pastinya akan membawa kepada kehancuran.(*)
--------------
From : http://www.antara.co.id/arc/2007/3/28/
dapatkah-pemanasan-global-mencairkan-seluruh-es-di-bumi/
Moskow (ANTARA News/Ria Novosti) - Jika suatu ketika lapisan es di bumi mencair maka ketinggian permukaan air laut dapat dipastikan naik hingga 64 meter.
Nikolai Osokin, pakar glaciologi pada Institut Geografi, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, memperkirakan, kota-kota ditepi pantai kemudian tenggelam di bawah permukaan air, termasuk Belanda, yang sebagian besar wilayahnya notabene berada di bawah permukaan air laut.
Bagaimanapun juga, baik Belanda maupun seisi planet bumi yakin bahwa kehancuran yang luar biasa dapat terjadi setiap saat dalam beberapa ribu tahun mendatang.
"Institut kami telah mempersiapkan atlas yang menggambarkan tempat-tempat dengan sumber es dan salju di seluruh dunia, bahkan kami juga telah menyiapkan model peta dunia dengan tanpa lapisan es," katanya.
Hal ini, bagaimanapun juga, hanyalah sebuah model, bukan ramalan. Akan tetapi, peringatan dari sebuah ramalan tetap saja ada jika pemanasan global yang telah terlihat pada akhir abad ke-20 ini berlanjut untuk beberapa dekade kedepan -- banyak es di samudra Artik akan mencair.
Ada sebuah prasyarat yang penting: Sekalipun es Artik harus mencair, ketinggian permukaan laut tidak akan berubah karena volume air yang dihasilkan oleh es yang mencair sama dengan volume air yang digantikan ketika es tersebut mengambang.
Tingkat bahayanya berbeda: pemanasan dapat memicu pencairan pulau sebesar satu benua es. Saat ini, lapisan es terbesar menutupi Antartika, dimana 90 persen es dunia berada di sana dan Greenland. Cairnya lapisan es ini dipastikan dapat membawa kehancuran.
Lantas, adakah alasan untuk panik? Tingkat suhu yang naik antara 3-6 derajat celcius dalam beberapa abad ke depan diyakini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan bagi Antartika, dimana suhu rata-rata di sana kurang dari 40 derajat di bawah nol.
Proses yang terjadi pada lapisan permafrost bahkan lebih rumit lagi bila dibandingkan dengan proses yang terjadi pada es itu sendiri.
Musim dingin pada beberapa dekade terakhir sedikit tidak normal. Karena itu, lapisan permafrost yang tertutup es di wilayah Artik mulai berkurang dan mencair. Masa pemanasan sebenarnya dapat terlihat, bahkan semakin dekat.
Proses paling alami di bumi adalah sebuah siklus, dengan ritme yang pendek atau panjang. Tetapi, apapun yang terlihat, kenaikan suhu tidak dapat dihindari akan diikuti oleh penurunan, dan sebaliknya.
Penelitian tentang inti es yang dilakukan oleh stasiun Antartik Vostok milik Rusia menunjukkan bahwa ini adalah apa yang telah terjadi di bumi untuk paling sedikit 400.000 tahun.
Saat ini, para ilmuwan mengatakan bahwa mencairnya lapisan es mulai berhenti, yang telah dibuktikan dari data yang didapatkan oleh stasiun meteorologi di sepanjang pantai Artik Rusia.
"Kami saat ini sedang mempelajari pengaruh dari atmosfer dan lapisan salju yang menutupi lapisan permafrost," kata Osokin seperti dikutip Ria Novosti.
Di wilayah yang tertutupi lapisan permafrost, sebuah lapisan mencair pada musim panas, ketika suhu naik di atas nol. Namun demikian, pada musim dingin lapisan ini kembali membeku. Ini adalah proses yang normal: mencair, membeku.
Akan tetapi, jika musim dingin secara tidak normal menjadi hangat, lapisan yang mencair tidak membeku kembali. Kemudian, lapisan yang disebut talik, dengan suhu sekitar nol, terbentuk. Ini adalah suatu hal yang cukup mengganggu bagi bangunan-bangunan dan pipa-pipa.
Terlihat jelas bahwa lapisan es seharusnya mencair jika suhu meningkat. Akan tetapi, banyak tempat yang menyaksikan hal berbeda. Suhu rata-rata tahunan bertambah tinggi, tetapi lapisan es tidak mencair, bahkan bertambah luas.
Kenapa? Karena faktor yang paling penting adalah adanya lapisan salju. Pemanasan global mengurangi lapisan ini, yang pada akhirnya membentuk semacam penyumbat panas bagi lapisan es yang lebih tipis. Sehingga es yang paling lunak sekalipun dapat membekukan tanah di bawahnya.
Di banyak tempat, tanah yang membeku dalamnya sekitar 500-800 meter. Bahkan jika perkiraan pemanasan tertinggi menjadi kenyataan dan suhu naik dengan 3-6 derajat, tidak lebih dari 20 meter tanah yang beku akan mencair.
Beberapa orang takut bahwa lapisan es yang mencair akan mencemari udara dengan metana yang menguap. Akan tetapi, air yang membeku hanya membutuhkan 15 persen dari lapisan berkedalaman 20 meter, dan jumlah gas yang menguap tidak signifikan. Jadi, manusia hanya akan menerima dampak yang kurang menyenangkan ini dalam beberapa ratus tahun mendatang.
Saat ini, para ilmuwan tidak begitu mengkhawatirkan pemanasan global sebagai suatu perubahan dalam sirkulasi atmosfer. Dalam beberapa tahun belakangan ini, apa yang disebut dengan pergeseran barat telah mendominasi, yang berarti bahwa udara bergerak dari wilayah barat menuju timur.
Sedikit sekali yang membicarakan mengenai pergeseran meridian, bergerak dari selatan ke utara dan sebaliknya. Sekarang, pergeseran meridian menjadi sering.
Jika angin bergerak menuju selatan, maka akan timbul udara dingin; jika bergerak ke utara, angin membawa udara hangat dan hujan pada musim dingin.
Hal ini mengakibatkan meleleh dan bergeraknya salju es baik pada situasi biasa maupun dalam hujan salju yang lebat, mengakibatkan longsor dan Lumpur di pegunungan.
Proses meridian telah menjadi suatu rutinitas akhir-akhir ini, yang menjanjikan sebuah perhitungan anomali udara yang berbeda; suhu yang tinggi dan rendah, hujan deras dan hujan salju serta banjir dalam waktu yang lama, yang pastinya akan membawa kepada kehancuran.(*)
--------------
From : http://www.antara.co.id/arc/2007/3/28/
dapatkah-pemanasan-global-mencairkan-seluruh-es-di-bumi/
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak? Dari manakah asal Ki Sanak? Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…” Ia ...
-
Pada intinya perbedaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terletak pada sifat bahasa Jawa yang ekspresif dan bahasa Indonesia yang desk...
-
Source: http://www.egmca.org:8080/artikel/art10/lihatKomentar ============== * bagus banget nih kalau alat ini bener- bener bisa kerja. ...