Tuesday, April 15, 2008

Survival of the Richest

Senin, 14 April 2008

Survival of the Richest
Mardiyah Chamim
# Wartawan Tempo
Dulu Universitas Gadjah Mada dijuluki Kampus Ndeso. Saya yang anak petani belajar di kampus ini dengan bangga. Bus kota mengitari labirin kampus. Kami bangga. Tak ada sekat antara mahasiswa dan masyarakat Yogyakarta di luar kampus. Di bundaran Bulaksumur, mahasiswa nongkrong di atas sadel sepeda motor bebek tahun 1970-an. Berangkat kuliah dengan mengayuh sepeda onthel pun oke.
Citra ideal Kampus Ndeso perlahan terkikis. Besi dingin memagari kampus. Bus kota tak boleh lewat di gang antarfakultas. Di bundaran Bulaksumur, mahasiswa bergaya metropolis wara-wiri membikin macet dengan tunggangan mobil mewah.
Dan mereka memang tampil gagah, cantik, kinclong. Mereka sama sekali tidak lethek seperti mahasiswa anak-anak petani dan pegawai rendahan di zaman saya dulu. Tentu saya bangga. Benar, saya tak cemburu kok dengan adik-adik yang datang dari keluarga yang jauh lebih mapan.
Mana bisa saya tak bangga dengan UGM yang sudah maju. Modern. Julukan Kampus Ndeso pelan-pelan tinggal kenangan. Bukankah ndeso tak cocok lagi dengan irama kehidupan yang serba bergegas? Derap laju perekonomian tak mungkin dijangkau hanya dengan sepeda onthel.
Tapi benarkah UGM zaman sekarang jauh lebih indah? Belum tentu. Selalu ada yang indah dari sepotong nostalgia. Saya kangen kampus yang hirau pada mutu pendidikan, bukan semata pada kedalaman saku orang tua mahasiswa.
Kemarin UGM semakin kukuh menanggalkan gelar Kampus Ndeso. Melalui ujian masuk, 34 ribu lulusan sekolah menengah atas berjibaku memperebutkan 4.000 kursi mahasiswa. Ini berarti 60 persen dari total kursi yang tersedia.
Persyaratan ujian masuk tak rumit. Asalkan lolos ujian tulis dan, ini dia, bersedia membayar mahal. Tahun lalu ada yang rela membayar Rp 125 juta hanya untuk uang masuk Fakultas Kedokteran.
Jangan khawatir, masih ada tempat buat calon mahasiswa berkantong tipis. Jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru namanya dengan uang masuk Rp 5 juta.
Tentu, paket hemat pastilah supermacet. Tahun lalu jalur ini diperebutkan oleh 32 ribu lulusan SMA. Padahal jatahnya cuma 1.100 atau 25 persen dari total kursi mahasiswa baru UGM.
Ngenes rasa hati menyaksikan fenomena survival of the richest model begini. Rasanya lebih indah dulu, zaman kampus masih ndeso.
Sumber : Tempo
------------------------------

Salam semuanya,
Memang harus begitu yah. Ternyata the survival of the fittest telah berubah menjadi the survival of the financially fittest alias yang disebut di tulisan ini the survival of the richest.
Phenomena ini tidaklah hanya milik UGM. Kejadian ini telah menjalar ke semua universitas negeri di Indonesia ini. Persaingan yang terjadi bukanlah antara calon mahasiswa tetapi telah menjadi persaingan kekayaan orang tua calon mahasiswa. Secara umum akibat dari Phenomena ini adanya penurunan kebanggaan terhadap universitas itu satu sisi dan saya kira juga kepada kualitas lulusannya nanti. Ketika dulu hari pertama masuk kampus di UNPAD, ada tulisan selamata datang putra-putri terbaik bangsa. Rasanya bangga banget membacanya, apalagi saya yang putra daerah mampu menembus fakultas ekonomi jurusan akuntansi unpad. Bukan kepalang rasanya. Melayang dan bermimpi bahwa masa depan akan indah dan cemerlang. Kebanggan menjadi mahasiswa di UNPAD karena memang saya lulus UMPTN tanpa ada keluar uang sepeser pun. Tidak ada bantuan dari pihak manapun karena saya lulus murni, masuk menjadi salah satu dari 100an mahasiswa jurusan akuntansi dari pertarungan 13.000 peminat. Menjadi mahasiswa dan bagian dari masyarakat terdidik pada saat itu menjadi suatu nilai sosial tersendiri dan sering mendatangkan keberuntungan apalagi saya sebagai perantau di antara kalangan sesama suku yang sudah lama tinggal di Bandung.
Melihat banyaknya jalur seleksi untuk masuk ke perguruan tinggi, mungkin dengan berbagai nama, tetapi pada intinya hanya mengandalkan kemampuan orang tua, maka menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri saat ini tidak lagi menjadi kebanggaan. Ekstasi yang dirasakan ketika diterima di UNPAD mungkin tidak akan dirasakan lagi oleh anak-anak yang orang tuanya kaya. Pada gilirannya, mereka juga tidak akan belajar dengan serius karena mereka mendapatkannya dengan jalan yang lebih gampang dan tidak berliku dan harus bersusah payah. Nilai-nilai kerja keras tidak akan mereka mengerti lagi. Makna dari proses sudah tidak ada lagi. Mereka hanya akan berfikir bahwa masuk perguruan tinggi negeri lalu menghabiskan waktu selama empat sampai lima tahun lalu bekerja. Bagaimana mendapatkan pekerjaan, ya bayar lagi. Gampang kan. Yah gampang dan sangat gampang bagi yang memiliki modal yang sangat kuat.
Anak-anak yang orangtuanya tidak mampu, hanya bisa membatin dan meratapi nasib. Karena di samping peluangnya makin sedikit, uang 5 juta rupiah juga masih sangat memberatkan jika diterima di perguruan tinggi negeri dengan seleksi murni.
Salam
Rinsan Tobing

1 comment:

dr. Handry Carlos said...

jaman sekarang pendidikan makin jadi cuman buat orang kaya ya. Syusah banget kalo mau dapat pendidikan bermutu tapi terjangkau.