Thursday, July 26, 2007

IMPIAN KAKEK JOMPO MENCARI PEKERJAAN

----- Original Message -----
From: Trikoyo
To:
Sent: Thursday, 26 July, 2007 1:20
Subject: TERIMA KASIH, AKU SEHAT KEMBALI.

TEMAN-TEMANKU YANG BAIK HATI,
AKU SEHAT KOK. SUNGGUH LHO. GAK PERCAYA.
BACA SAJA IMPIANKU YANG KUTULIS BEBERAMA MENIT LALU. LIHAT SAJA DI ATTACH.
AKU CUMA TERGELETAK DI TEMPAT TIDUR SEJAK MINGGU 15 JULI YANG LALU.
SEKARANG SDH NORMAL.
PERCAYALAH AKU GAK NGIBUL KOK.
DAN KALAU SEISI RUMAH INI HARI SABTU PERGI AKU BEBAS NGETIK SEHARIAN GAK ADA YANG MELARANG.
TAPI KALAU ADA ISTERI DAN ANAKKU AKU PASTI DILARANG DUDUK DI DEPAN KOMPUTER.
MASAK ORANG MAU SENANG2 MENGHIBUR DIRI GAK BOLEH.
EMANGNYA AKU INI SDH BENAR2 JOMPO.
BULAN DEPAN KAN SUDAH AGUSTUS DAN 17 AGUSTUS TAK PERNAH KULUPAKAN.
AKU TERINGAT PELURU BELANDA YANG PERNAH BERSARANG DI BOKONGKU.
SAKIT DAN PEDIH RASANYA. MAHAL JUGA YA HARGA KEMERDEKAAN NEGERI INI.
GITU KOK BUAT RAYAHAN KORUPTOR.
STOP SAMPAI SINI.
AKU HARUS TIDUR.
SALAM HANGAT.

TRI RAMIDJO.
----------------------

CERPEN 072607

IMPIAN KAKEK JOMPO MENCARI PEKERJAAN

- AKHIRNYA KEMBALI KE LAPTOP.

Oleh : Tri Ramidjo.



Matahari bersinar terang. Kelihatannya hari ini tidak akan turun hujan, dan aku bisa pergi ke luar rumah tanpa ditemani siapa pun. Kukenakan pakaianku yang paling baik, kemeja putih. Celana panjang hitam kebiru-biruan, kucoba memakai dasi tapi tangan kananku susah digerakkan untuk memasang dasi.



Ah, pakai dasi saja gak bisa padahal dulu sambil lari pun aku bisa mengikatkan dasi dengan benar tanpa melihat cermin.

Aku mencari sepatu hitamku, tapi ternyata sepatu yang sdh 4 tahun tak pernah kupakai itu sudah jamuran dan tak berkilat-kilat lagi. Yang coklat juga begitu.



Ya, 4 tahun istirahat panjang karena stroke itu bikin banyak kerugian.

Suharto Suharto, kok tega-teganya membuat rugi orang lain ya. Kudoa’kan semoga pak Harto panjang usia dan sempat bertobat dan mengembalikan kekayaan negara dan rakyat yang telah ditilepnya.



Kemarin ketika kubuka internet, aku membaca berita, bahwa pak Asvi Warman Adam yang sejarawan muda itu menemukan kecurangan orba menyelipkan kalimat-kalimat ke dalam buku terjemahan bahasa Indonesia Otobiografi bung Karno (Kompas 06 Juni 2007).



Curang ya curang tapi ya mbok jangan mencemarkan nama baik the founding father negeri ini. Mbok ya malu sedikit. O tapi kalau tak bisa malu itu pantas sebab memang hanya tukang bwesi, tukang kayu dan pekerja-pekerja tukang lainnya yang punya palu dan bisa malu untuk memalu paku dan apa saja yang perlu di pukul pakai paklu. Memukul pakai palu itu namanya malu.



Apa kepalanya orba yang sangat keras itu harus dipaku dan dipukul pakai palu? Jangan dong, kasihan. Kan negeri ini punya falsafah 5 sila yang sila ke 2 berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab.



Hahaha. Beradab? Orba mana tahu adab, nyiksa dan membunuhi jutaan orang seenaknya dengan senyum saja bisa, kok. Namaya juga the smiling general yang beruch (terkenal busuk - bahasa Belanda), bukan terkenal harum atau beroemd.



Eee kok jadi melamun gara-gara sepatu jamuran.

Akhirnya aku pergi juga dengan memakai sandal.



Aku jalan ke Pasar Bengkok, kemudian naik angkot (angkutan kota ) ke Ciledug. Dari Ciledug aku naik bis PATAS ke jurusan Senin yang lewat Jalan Sudirman.



Namanya saja bis PATAS yang seharusnya bisa melaju cepat. Tapi karena di jalan penuh kendaraan, bis hanya bisa geremet (jalan pelan-pelan). Ya biarlah, alon-alon asalkelakon kata orang Jawa.



Akhirnya sampai juga di jalan Sudirman.

Aku ragu, di mana aku akan turun ya? Ah sudahlah, aku turun di halte depan itu saja.



Aku jalan tertatih-tatih.

Kulewati Hotel Sahid dan gedung-gedung lainnya. Sampailah akhirnya aku di gedung Mid Plaza.



Di lantai 1 ada kantor Bank of Tokyo dan beberapa kantor lainnya. Aku menuju le lift bersama orang-orang lainnya.



Entah di lantai berapa aku keluar dari lift. Aku menuju sebuah kantor entah kantior apa aku gak perhatikan.

Seorang satpam menegurku :



“Maaf, bapak mau ke mana?” Tanya sopan.

“Anu, pak, saya mau bertemu bapak kepala bagian personalia”, jawabku.

“O, bapak HRD, ya.” Kata satpam itu.

“Saya tidak tahu, apa nama kepala bagiannya pak HRD, pak Hardi. Kan?” tanyaku.

“Bukan pak Hardi pak, tapi doctor andus Haji Ahmad Suharto.” Jawabnya.



Aku mencoba mengingat-ingat nama HRD kepala bagian personalia itu. Beberapa kali aku komet kamit “hrd = hardi, hrd = hardi, aku kuwatir lupa.

Satpam itu mengantarkanku sampai ke pintu masuk ruangan pak “HRD” itu.



“Selamat siang, pak, assalamu’alaikum” ucapku.

“Selamat siang pak, silakan duduk”, jawabnya.

“Maaf pak Hardi, saya mengganggu, bapak. Saya mau minta tolong.” Kataku.

“Pak saya bukan pak Hardi. Nama saya Ahmad Suharto.” Jawabnya.

“O maaf, tadi satpam itu bilang bapak adalah HRD”, ujarku.



“Ya, betul. Saya kepala bagian HRD. HRD adalah singkatan dari Human Resources Deparetment. Dulu bahasa Belandanya Perzonele zaken” jawabnya menerangkan.



“Maaf pak, saya kira HRD itu singkatan nama Hardi.” Ujarku.



“Ngomong-ngomong bapak ada keperluan apa ? Apa yang bisa saya bantu? Nama bapak siapa?” Tanyanya ramah.



“Nama saya Tri Ramidjo. Saya datang kemari ingin cari pekerjaan. Pekerjaan apa sajalah. Pokoknya kerja dan bisa dapat duit untuk makan.” Kataku.



“Umur bapak berapa?”



“Saya 81 tahun, isteri satu orang dan punya anak dua orang semuanya sudah menikah dan cucu dua orang yang satu SMA klas 3 dan yang satu lagi cucu saya berumur 2 tahun 5 bulan.” Jawabku.



“Bapak angkatan 45 ‘kan? Sudah 81 tahun. Bisa kerja apa pak? Masak sudah 81 tahun mau kerja, kerja apa? Pengalaman bapak apa? ‘Kan punya pensiun, kenapa harus kerja.?” Ujarnya.



“Begini pak. Saya gak bisa cerita banyak mengenai rahasia hidup saya. Pokoknya orang hidup harus kerja. Hukumnya orang yang mau makan dan masih punya keinginan mengisi perut, harus kerja. Kalau gak kerja ya gak harus makan, itu prnsip hidup saya.” Jawabku.



“Ya. Tapi bapak tidak memenuhi syarat lagi untuk bekerja. 81 tahun pak, dan bapak punya 2 orang anak yang semuanya sudah bekerja dan sudah punya cucu lagi. Bapak tinggal momong cucu di rumah. Apa bapak gak dikasih makan anak.” Katanya.

“Bukan begitu. Anak saya memberi apa saja yang saya perlukan. Tapi ‘kan anak saya punya kewajiban sendiri untuk memberi nafkah keluarganya, untuk menyekolahkan anaknya, menyediakan duit untuk bermasyarakat misalnya iuran RT, pergi kondangan panggilan orang hajatan dan lain-lain, yang bahasa Jepangnya disebut KOSAI-HI (ongkos-ongkos kebutuhan untuk bermasyarakat) dll. Jadi saya harus bisa mandiri tidak tergantung anak, bisa bayar ongkos foto-copy tulisan yang saya perlukan, bisa beli pulsa HP dll.” kataku.



“Begini pak. Saya tahu keinginan bapak. Kalau kantor ini milik saya saya bisa menerima bapak. Tapi saya ini cuma pegawai yang tunduk pada peraturan kantor ini. Jadi maaf, saa gak bisa menerima bapak bekerja di kantr ini.” Jawabnya.



“Saya tidak kecewa kok. Kita ini ‘kan hidup dalam alam balayah, alam percobaan. Bermacam cobaan hidup memang harus ita jalani. Apalagi saya ini ‘kan CAMAT.” Kataku.



“Lho, bapak ini camat mana? Jadi bapak ini pensiunan camat? Kok masih cari kerja? Uang pensiun camat ‘kan cukup untuk menutup keperluan bapak.” Cerocosnya.



“Ya betul, saya ini CAMAT. Camat yang saya maksud ialah CAlon Mati.” Kataku.



Pak HRD itu tertawa terpingkal-pingkal, dan aku langsung ngibrit pamit pulang duduk di depan komputer kembali.

Ini baru kembali ke LAPTOP namanya.

Hahahaha. Dasar tukang ngibul.****



Kamis Wage, 26 Juli 2006.

No comments: