Thursday, January 22, 2009

Benarkah: Menulis di Blog, Orang Tua dipanggil Polisi ?

> Posted by: "Ahmad Suwandi" wandi@airputih. or.id
> suwandiahmad
> Wed Jan 21, 2009 1:52 am (PST)
> Yossy, karib saya dari Combine Resource Intitution
> (CRI), menuliskan
> pengalamannya mengurus Kartu Keluarga di Kantor
> Kelurahan di:
> http://suarakomunit as.combine. or.id/index.
> php?code= 2&cid=5&sid= 0&id=1491
> Akibatnya, orang tuanya dipanggil Pak Polisi.
>
=================================================================
> Dikutip dari
>
http://suarakomunitas.combine.or.id/index.php?code=2&cid=5&sid=0&id=1491
>
> Kemarin (20/1/2009) saya mendengar kabar pejabat
> teras di Kecamatan Patimuan, tentang tulisan ini.
> Karena komunikasi via telepon ringkasnya,
> kronologinya demikian. Senin (19/1/2009) pihak
> kecamatan mendatangi kantor kepala Desa Rawaapu
> untuk mencari warganya yang menulis berita ini.
> Kebetulan, diakhir tulisan disebutkan nama terang
> dan alamat penulis, yaitu Yossy Suparyo, Warga Desa
> Rawaapu, Kecamatan Patimuan, untuk mengklarifikasi
> dari pemberitaan. Kebetulan kepala desa mengetahui
> si penulis, kebetulan berteman baik, sehingga karena
> tidak mengerti duduk perkaranya, maka si kepala desa
> mengantar rombongan dari kecamatan, warga sering
> menyebutnya mantri polisi (polisi pamong praja) ke
> rumah penulis. Karena tidak bisa menemui penulis,
> rombongan kecamatan meminta orang tua penulis
> (kebetulan orang tua penulis berlatarbelakang tidak
> lulus SD dan dikenal warga baik-baik--tepatnya
> penurut) agar mengontak penulis untuk pulang
> menyelesaikan masalah tersebut.
> Intinya penulis disuruh "menghadap" sang camat.
> Jika tidak salah dengar apabila dalam dua hari tidak
> pulang maka penulis akan dilaporkan ke polisi.
> Sebagai jaminan, esoknya (20/1) orang tua penulis di
> jemput kepala desa ke kantor polisi (kebetulan
> keduanya pun akrab) untuk dimintai keterangan.
> Mencermati penjelasan tersebut, tindakan yang
> dilakukan oleh pihak Kecamatan Patimuan mungkin
> didasari oleh niat baik, yaitu ingin melakukan
> klarifikasi. Sayang, mereka tidak menyadari bahwa
> perbuatan itu menyalahi prosedur dalam UU No 40
> tahun 1999 tentang pers. Semestinya pihak kecamatan
> melakukan tindakan hak jawab atau klarifikasi yang
> ditujukan untuk media yang memuat tulisan tersebut.
> Tindakan Kecamatan Patimuan untuk menindaklanjuti
> pemberitaan itu dapat dikategorikan sebagai tindakan
> kriminalisasi pers. Padahal, permasalahan ini juga
> sudah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
> tanggal 30 Desember 2008 yang isi meminta para hakim
> menghadirkan saksi ahli
> dari Dewan Pers untuk kasus yang menyangkut delik
> pers. Jadi, menurut saya lebih baik pihak kecamatan
> membuat tulisan sebagai hak jawab atas tulisan ini.
> Apabila pihak kecamatan ingin menggeser masalah ini
> sebagai pencemaran nama baik, saya rasa salah
> alamat. Menurut saya tulisan Yossy Suparyo sangat
> jelas dan mendukung tegaknya perundang-undangan yang
> ada di Indonesia.
>
> ===============================================
> Tulisan Yossi:
>
> 07 November 2008
>
>
> Angka Merah untuk Akuntabilitas Pelayanan Publik di
> Patimuan
>
>
> Setiap pelayanan publik harus menerapkan sistem
> akuntabilitas. Lewat SK MenPAN Nomor 26 Tahun 2004,
> transparansi dan tanggung gugat menjadi prasyarat
> wajib yang menentukan baik buruknya sebuah
> pelayanan.
> Senin (3/11) pukul 11.30, penulis sebagai warga
> datang ke kantor Kecamatan Patimuan untuk melakukan
> perpanjangan KTP. Tepat 16 November 2008 masa
> berlaku KTP saya habis. Sesuai dengan peraturan yang
> tertera di KTP, 14 hari sebelum KTP habis diharapkan
> warga segera memperbaharui.
>
> Memasuki kantor kecamatan, saya segara mencari papan
> informasi tentang bagaimana pembuatan Kartu Tanda
> Penduduk (KTP). Sesuai dengan SK MenPAN di atas,
> setiap unit pelayanan instansi pemerintah wajib
> mempublikasikan mengenai prosedur, persyaratan,
> biaya, waktu, standar, akta atau janji, motto
> pelayanan, lokasi serta pejabat atau petugas yang
> berwenang dan bertangung jawab sebagaimana telah
> diuraikan di atas. Dari dua papan informasi yang ada
> tak satu pun ada informasi tentang layanan-layanan
> yang diselenggarakan oleh kecamatan.
>
> Lalu, saya masuk ke loket pelayanan. Saya bertanya
> pada petugas. Sujadi, nama petugas itu, meski saya
> tidak kenalan di atas saku seragamnya tertulis
> dengan jelas nama itu. Saya mengutarakan
> keperluannya, yakni membuat KTP. Lalu, sya bertanya
> apa persyaratannya sebab tidak ada layanan informasi
> yang saya bisa akses.
>
> Saya mengeluarkan surat pengantar dari pemerintah
> desa dan Kartu Keluarga (KK). Tak begitu lama,
> Sujadi mengecek berkas, lalu berkata,"Kamu ada foto?
> Kamera di sini rusak sudah 2 hari ini. Jika tidak
> punya, silahkan foto di luar dulu."
>
> Saya tetap santai. "Wah, jika dua hari kamera rusak
> apa tidak dicarikan alternatif?" saya mencoba
> bertanya. "Kebetulan saya bawa kamera digital
> mungkin bisa membantu, setelah jepret bisa langsung
> ditransfer," lanjutku.
>
> "Gak bisa, semua harus dilakukan oleh dan dengan
> alat petugas. Anda bawa foto gak? Latarnya harus
> warna biru atau merah. Jika punya saya scan tapi
> bayar Rp 10 ribu," sergah petugas.
>
> "Ya, kebetulan saya bawa. Tapi warna latarnya putih.
> Gimana jika saya oleh sebentar di komputer saya.
> Nanti file-nya saya kasih," balasku seraya hendak
> mengeluarkan komputer jinjing dari tas.
>
> Belum sempat hal itu dilakukan, Sujadi segera
> menolaknya. Tetap seperti tadi, aktivitas itu akan
> dilakukan timnya. Akhirnya, saya mengalah. Saya
> menyerahkan berkas dan selembar foto 3x4.
>
> "Tiga puluh ribu, mas," petugas segera menyebutkan
> angka biaya yang harus dibayar sang pemuda.
>
> Selanjutnya, saya mengeluarkan uang Rp 50 ribuan.
> Petugas memasukkannya dalam laci, seraya memberi dua
> lembar sepuluh ribuan, sembari mempersilahkan saya
> menunggu di luar, tepatnya emperan, sebab tidak ada
> fasilitas untuk antri atau menunggu.
>
> "Maaf tidak ada kwitansi?" tanyaku. "Saya tadi telah
> membayar, mengapa saya tidak dikasih tanda bukti,"
> lanjutku.
>
> "Gak ada kwitansi mas, nanti kalau selesai mas saya
> panggil," mukanya sudah mulai masam. "Semua dilayani
> sama kok," sergahnya.
>
> "Bukan begitu, bukankah setiap transaksi harus ada
> tanda bukti?" saya coba protes, tapi segera petugas
> melayani lainnya.
>
> Kwitansi pembayaran penting sebab menurut SK MenPAN
> Nomor 26 Tahun 2004, kepastian dan rincian biaya
> pelayanan publik harus diinformasikan secara jelas
> dan diletakkan di dekat loket pelayanan, ditulis
> dengan huruf cetak dan dapat dibaca dalam jarak
> pandang minimum 3 (tiga) meter atau disesuaikan
> dengan kondisi ruangan. Transparansi mengenai biaya
> dilakukan dengan mengurangi semaksimal mungkin
> pertemuan secara personal antara pemohon dan
> penerima pelayanan dengan pemberi pelayanan.
>
> Unit pemberi pelayanan seyogyanya tidak menerima
> pembayaran secara langsung dari penerima pelayanan.
> Pembayaran hendaknya diterima oleh unit yang
> bertugas mengenola keuangan atau bank yang ditunjuk
> oleh Pemerintah atau unit pelayanan. Di samping itu,
> setiap pungutan yang ditarik dari masyarakat harus
> disertai dengan tanda bukti resmi sesuai dengan
> jumlah yang dibayarkan.
>
> Di emperan ada puluhan warga yang duduk di lantai
> menunggu panggilan. Ada yang mengurus KTP, KK, dan
> lain-lain. Saya bertanya pada beberapa warga, berapa
> rupiah mereka membayar sebuah layanan dan apakah
> diberi kwitansi. Untuk satu layanan, beberapa warga
> membayar dengan berbeda. Saya Rp 30 ribu, Si Kardi
> membayar Rp 20 ribu, Si Warni membayar Rp 25 ribu.
> Mengapa satu layanan harganya berbeda?
>
> Ada tiga kesalahan fatal yang dilakukan Kecamatan
> Patimuan. Pertama, tidak ada sumber rujukan yang
> dipersiapkan oleh lembaga ini sehingga warga dapat
> mengakses setiap layanan secara jelas. Prosedur dan
> tata cara layanan hanya dapat akses apabila warga
> bertanya pada petugas layanan, Sayangnya, penjelasan
> antara satu petugas dengan petugas lainnya simpang
> siur alias tidak sama.
>
> Kedua, tidak adanya penerapan sistem pelayanan yang
> akuntabel. hal ini terlihat dari tidak adanya
> kwitansi sebagai tanda bukti pembayaran dan biaya
> yang dibayarkan juga tidak sama. Jadi, ada peluang
> si petugas memberikan harga yang beranekaragam.
>
> Ketiga, dari dua aktivitas di awal, warga jelas
> tidak mendapatkan layanan sesuai dengan prinsip dan
> standarisasi pelayanan publik sesuai dengan SK
> MenPAN Nomor 26 Tahun 2004. Semakin rumitnya sebuah
> layanan makin besar terjadi penyalahgunaan wewenang.
>
> Meski penulis tidak mengecek satu per satu, fakta
> pelayanan publik seperti di Kecamatan Patimuan juga
> terjadi di seluruh kecamatan di Kabupaten Cilacap.
> Bahkan beragam instansi dinas juga melakukan hal
> serupa. Ambil contoh, Dinas Tenaga Kerja dan
> Transmigrasi menarik Rp 3.000,- untuk pengurusan
> kartu kuning tanpa ada surat tanda bukti apapun.
>
> Perbuatan ini jelas masuk dalam tindakan melawan
> hukum, terlebih dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi
> negara yang menerapkan sistem manajemen modern dan
> akuntabilitas. Jangankan pembayaran Rp 30 ribu,
> membeli permen seharga Rp 700,- di toko saja
> mendapatkan slip bukti pembayaran.
>
> Lalu, siapa yang tidak tertawa ketika mereka bilang
> tentang pemberantasan korupsi di depan masyarakat.
> Camat Patimuan mesti bertanggung jawab dan bupati
> harus memberikan peringatan keras atas peristiwa
> ini. Tapi bagaimana jika perbuatan serupa dilakukan
> keduanya: masa jeruk makan jeruk! Eh...
>
http://suarakomunitas.combine.or.id/index.php?code=2&cid=5&sid=0&id=1491
>
>

No comments: