Tuesday, October 14, 2008

Panduan Memahami Akar Krisis Finansial AS dan Global

Panduan Memahami Akar Krisis Finansial AS dan Global
Oleh: Wandy Nicodemus Tuturoong

1.The Fed

Banyak ekonom yang bahkan tidak tahu bahwa Bank Sentral AS yang
didirikan pada tanggal 23 Desember 1913 antara lain oleh Eugene Meyer
(putrinya, Katherine Graham, adalah pemilik harian terkenal The
Washington Post) dan JP Morgan (seorang pedagang senjata), adalah
"institusi swasta" yang memiliki kekuasaan untuk mencetak uang untuk
pemerintah AS. Caranya, pemerintah AS melalui menteri keuangannya
(yang biasanya "orang titipan" dari Wall Street), mengeluarkan surat
hutang kepada The Fed dengan jumlah tertentu. Berdasarkan jumah ini,
The Fed mencetak uang kertas dan menambahkan bunga sekitar 6% yang
harus ditanggung pemerintah AS – akibatnya, pemerintah AS akan terus
berhutang kepada The Fed karena bunga tersebut hanya bisa dibayar bila
pemerintah AS memerintahkan untuk mencetak uang baru, yang berarti
tambahan hutang baru.

Tidak hanya itu, hutang dari pemerintah AS ini menjadi jaminan bagi
The Fed untuk kemudian meminjamkan uang kepada bank-bank komersial di
AS. Seandainya hutang pemerintah AS sebesar 100 juta dolar AS, uang
yang dapat dipinjamkan ke bank-bank komersial (bila kewajiban modalnya
10%) bisa mencapai 900 juta dolar AS. Inilah yang dinamakan
"fractional reserve system". 

Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa pemerintah AS didorong untuk
terus berhutang dan melakukan ekspansi untuk membayar hutang yang
takkan pernah bisa dibayarnya itu. Begitu pula sistem perbankan di AS,
terdorong untuk mengalokasikan pinjaman pada sektor yang paling cepat
pertumbuhannya (yaitu sektor finansial, ketimbang sektor riil yang
terkait kesejahteraan rakyat). Inilah awal mula sistem yang
menciptakan "gelembung ekonomi" hingga saat ini.

2.Pemerintah dan Kongres AS

Pemerintah AS dan umumnya anggota Kongres AS, terjerat oleh kekuasaan
The Fed dan institusi-institusi keuangan di Wall Street, terutama
karena mereka mendapatkan dana kampanye politiknya dari sini. Di dalam
negeri, pemerintah dan Kongres AS terus-menerus melakukan deregulasi
pasar modal atau finansial yang merupakan meja judi terbesar
institusi-institusi keuangan di AS (salah satunya, di masa Presiden
Bill Clinton dan Alan Greenspan sebagai Gubernur The Fed, adalah
dengan "mempreteli" Glass-Steagal Act 1933 yang dibuat pasca depresi
besar 1929 untuk mencegah kolusi antara bank investasi, perusahaan
pialang dan asuransi di pasar finansial). Dengan sendirinya, sektor
riil yang produktif menjadi tertinggal jauh perkembangannya.
Kesejahteraan publik AS makin merosot, bahkan jaminan sosial menguap
karena digunakan sebagai jaminan investasi di pasar finansial.

Di luar negeri, konsekuensinya adalah politik luar negeri AS yang
makin ekspansionis untuk menguasai sektor-sektor strategis
perekonomian dunia, khususnya minyak dan gas, serta menciptakan
ketergantungan dunia terhadap dolar AS dengan menetapkan berbagai
harga komoditas dunia dalam dolar AS. 

Melalui mitranya, IMF dan Bank Dunia, AS memperkuat pengaruhnya dengan
memaksa negara-negara satelitnya untuk meliberalisasi pasar
domestiknya (melalui apa yang dinamakan "structural adjustment
program"), sehingga memungkinkan korporasi-korporasi besar yang
dananya didukung Wall Street mengambil alih sejumah aset strategis
negara-negara itu. Negara-negara itu juga diberikan hutang luar negeri
untuk kemudian dijadikan penyicil abadi hutang luar negeri dengan
sistem riba, dengan bunga yang besar melebihi pinjaman pokoknya. Pada
saat yang sama pasar finansial/modalnya dijadikan mirip Wall Street,
sebagai ajang alternatif bagi mereka untuk melakukan "financial
netting" dengan memanfaatkan volatilitas harga, termasuk pada saat
harga-harga menukik tajam ke bawah. 

Bila ada negara-negara yang pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan
mengancam AS, mereka pada akhirnya akan diarahkan untuk terus membeli
obligasi atau surat-surat berharga pemerintah AS – dengan begitu
menciptakan ketergantungan yang kuat lagi pada dolar AS, bahkan mereka
menjadi sumber pendanaan bagi defisit anggaran dan neraca perdagangan
AS. Meskipun dengan cara ini AS akan terus-menerus berhutang dan kelak
takkan mampu membayar, namun toh permintaan terhadap dolar AS akan
tetap tinggi. Mereka yang mencoba tidak tunduk pada kekuasaan ini,
bisa-bisa mendapati mata uangnya diserang habis-habisan oleh para
spekulan yang didukung Wall Street. 

3.Perbankan dan Institusi-Institusi Keuangan di Wall Street

Perbankan di AS, demi membayar hutang dengan bunga kepada The Fed,
secara natural memilih untuk memutar uangnya di pasar modal/finansial.
Pembiayaan terhadap sektor riil yang produktif menjadi terbengkalai.
Sudah menjadi kebiasaan bagi banyak bank untuk memiliki "trader"
bahkan perusahaan pialang sendiri. Hal ini mengakibatkan gelembung
ekonomi atau "bubble" luar biasa di pasar finansial. Produk Domestik
Bruto (PDB) AS, yang merupakan cermin aktivitas ekonomi riil, di tahun
2007 adalah sekitar 14 trilyun dolar AS. Bandingkan dengan
kapitalisasi pasar modalnya yang ada di kisaran 6 trilyun dolar AS dan
pasar produk-produk derivatif (seperti "credit default swap" serta
"collateralized debt/mortgage obligation" yang menjadi pemicu krisis
global saat ini) yang mencapai 60 trilyun dolar AS – melampaui PDB
seantero planet yang cuma sebesar 50 trilyun dolar AS!

Ingatlah bahwa semua ini dibangun di atas dasar sistem moneter yang
menganut "fractional reserve system" alias dari pelipatgandaan hutang,
bukan karena aktivitas ekonomi yang riil dilakukan. Seandainya terjadi
gagal bayar dari salah satu institusi keuangan besar ini, yang akan
diikuti dengan "rush" atau "redemption" atau penarikan uang secara
serentak oleh para pemilik uang di bank dan di pasar finansial, maka
dengan sendirinya tidak akan tersedia dana atau likuiditas untuk semua
gelembung finansial yang sudah sangat besar ini. Artinya, balon akan
pecah. Harga-harga rontok seketika – apapun pemicunya.

4.Perbankan dan Institusi Keuangan di Luar AS

Besaran atau "magnitude" dari sistem perekonomian yang dibangun di AS,
mau tak mau menyeret lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya
untuk menganut sistem yang sama. Mereka bahkan ikut membeli berbagai
produk-produk gelembung finansial hasil produksi Wall Street termasuk
CDS dan CDO atau CMO (yang merupakan obligasi yang diterbitkan atas
dasar hipotek para pencicil rumah yang tak cukup modal di AS, atau
dikenal sebaga "subprime mortgage"). Akibatnya, ketika salah satu
lembaga keuangan di AS gagal bayar, bahkan bangkrut, diikuti dengan
"rush", terjadilah efek domino yang ikut menghantam
institusi-institusi finansial di luar AS.

5.Pemerintah di Luar AS

Pemerintah yang independen terhadap AS biasanya tahu betul apa yang
harus dilakukan untuk meminimalisir dampak dari bahaya gelembung
finansial semacam ini. Hal ini misalnya, dilakukan oleh Cina, yang
sejak puluhan tahun lalu terus-menerus membangun infrastruktur dan
industri manufakturnya untuk terus menggerakkan sektor riil yang
produktif. Meskipun mereka juga melakukan liberalisasi terhadap pasar
modal, namun terdapat intermediasi untuk menjembatani antara "profit"
yang didapatkan di pasar finansial untuk dialokasikan pada pembangunan
sosial terutama pendidikan. Meskipun punya fundamental ekonomi sektor
riil yang kuat, Cina tetap melakukan kontrol devisa – di samping
memiliki cadangan devisa terbesar di dunia, sekitar 1,8 trilyun dolar
AS – untuk mencegah para spekulan menghajar mata uangnya. Sementara
negara kaya minyak seperti Venezuela, selain melakukan kontrol devisa
seperti Cina, mengalihkan keuntungan dari tingginya harga minya bagi
pembangunan secara cepat inftrastrutktur serta sektor-sektor riil di
bidang non-migas, terutama telekomunikasi dan pertanian. Venezuela
juga menghimpun negara-negara Amerika Latin lainnya untuk melepaskan
diri dari ketergantungan akan mata uang dolar AS dengan merencanakan
berdirinya Bank Selatan (Banco del Sur).

Di luar negara-negara "sosialis baru" itu, para pemimpin negara Eropa
atas inisiatif Jerman, pada saat terjadi krisis, enggan untuk membeli
produk-produk "bubble" yang dimiliki oleh bank-bank mereka (yang
mendapatkannya dari Wall Street). Sebaliknya, mereka memilih untuk
melakukan nasionalisasi terhadap bank-bank mereka yang terlanjur
terjebak dalam permainan Wall Street. Artinya, mereka enggan untuk
menggunakan dana talangan untuk memperbesar gelembung ekonomi di pasar
finansial. Meskipun terlambat, mereka sadar tentang pentingnya
membangun sektor riil dan memperkuat daya beli masyarakat (yang
berarti meningkatkan kesejahteraan publik).

Sementara itu, negara-negara satelit AS, atas saran IMF, diminta untuk
menambah suntikan dana (bila perlu dengan dana infrastruktur) ke pasar
modal. Sistem devisa mereka dibiarkan terbuka bebas supaya,
sewaktu-waktu para "dealer" Wall Street bisa kembali melakukan
"financial netting" di pasar valuta asing jika perlu tambahan modal –
yang bisa mengakibatkan rontoknya mata uang lokal secara tajam. Untuk
sektor riil, cukup diberikan dana-dana karitatif yang jumlahnya tidak
signifikan untuk bisa menggerakkan produktivitas ekonomi.

Kesimpulan

Dengan menggunakan analisis "stakeholder", kita dapat melihat bahwa
krisis finansial global yang dimulai dari AS, sesungguhnya merupakan
akibat dari ketidakseimbangan pembangunan ekonomi yang berlebihan di
SEKTOR FINANSIAL dibandingkan SEKTOR RIIL yang berakar dari sistem
moneter buatan The Fed. Padahal secara inheren sektor finansial ini
sudah bersifat inflatif, karena mengandalkan keuntungannya pada sistem
riba dan bukan karena produktivitas yang riil (yang disebabkan karena
kerja, kreativitas dan pemikiran). Cara populer untuk mengatasi krisis
ini, karenanya, jelas dengan memberikan energi yang lebih besar pada
sektor riil sebagaimana yang pernah dilakukan Presiden AS Roosevelt
bersama penasihat ekonominya yang terkenal John Maynard Keynes untuk
membangun secara massif infrastruktur sektor riil pasca terjadinya
depresi besar di AS, di tahun 1930-an. Namun, jika ingin lebih
mengakar, kekuasaan The Fed untuk "meminjamkan uang" pada pemerintah
AS perlu untuk "diblejeti" (untuk lebih jelasnya lihat
www.monetary.org tentang reformasi moneter di AS).

Secara implisit, gambaran di atas juga menunjukkan bahwa
tinggi-rendahnya dampak krisis finansial yang terjadi di AS maupun di
luar AS, sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pemangku
kepentingan atau "stakeholders" tadi. Pemerintah di luar AS bisa saja
meminimalisir dampak krisis bila melakukan "imunisasi" atau "proteksi"
yang perlu serta mengantisipasinya dengan melakukan pembangunan sektor
riil dan peningkatan kesejahteraan publik secara massif. Terus
menggelembungkan pasar finansial adalah tindakan yang naif, atau maaf,
sangat bodoh.

Semoga kita semuat dapat mengambil pelajaran yang perlu bagi kemajuan
bangsa kita. MERDEKA!

1 comment:

Anonymous said...

nice posting....saya jadikan salah satu referensi untuk pembelajaran ekonomi. tks.

salam,
res