Tuesday, April 1, 2008

Bukan HOAX: Menyuap Polisi Akan Dipenjara

Ternyata Cerita tentang penyuapan Polisi, malah masuk bui itu bukan suatu hoax,
tetapi bener-bener terjadi, yaitu di Surabaya. Makanya, lain kali sebaiknya minta surat
tilang saja.
Coba dilihat petikan beritanya:
----------------


Sebulan Tangkap Tujuh Penyuap, Satu Anggota
MATA Supadi, 51, sembap. Warga Mojosari, Mojokerto, itu mengaku sulit tidur setelah sepuluh hari tinggal di tahanan Polwiltabes Surabaya. Belum lagi, dia harus terus memikirkan nasib keluarganya ketika dirinya mendekam di balik jeruji penjara.

Supadi tak pernah membayangkan uang Rp 15 ribu bisa menyebabkan dirinya harus meringkuk di tahanan dan berpisah dari keluarga. "Saya benar-benar kaget. Kalau tahu begitu, saya tidak akan memaksa masuk ke dalam kota (Surabaya)," ujarnya lirih ketika ditemui pekan lalu.

Pria bertubuh tegap tersebut merupakan salah satu contoh kasus suap terhadap petugas. Supadi ditangkap karena berusaha menyuap Rp 15 ribu kepada petugas Satlantas Polwiltabes Surabaya, 16 Maret lalu. Ketika itu, dia dan kernetnya, Slamet, mengemudikan truk bernomor polisi AG 7409 UA. Dia melaju dari arah Mojokerto menuju Surabaya. Supadi bersama kendaraannya tiba di Bundaran Waru pukul 16.30.

Ada rambu larangan bagi truk untuk masuk ke Surabaya pada pukul 16.00 hingga 19.00. Namun, Supadi nekat. Dia menerobos rambu dan tetap melanjutkan perjalanan ke arah Kota Surabaya (Jl A. Yani). "Saya sakit perut. Karena itu, saya buru-buru. Maksud saya, truk hendak saya masukkan garasi di Siwalankerto. Kemudian, saya hendak balik ke rumah saya di Mojokerto," ungkapnya.

Karena menerobos rambu larangan itulah, truk Supadi dihentikan Bripka Adi Supriyono, anggota Satlantas Polwiltabes Surabaya. Melihat petugas datang, Supadi pun gelisah. Dia khawatir ditilang dan surat izin mengemudinya disita.

Supadi sudah 29 tahun bekerja sebagai sopir truk. Dia sudah berpengalaman menghadapi petugas, terutama polisi lalu lintas. Sopir truk berkulit legam itu lantas mengambil uang Rp 15 ribu dari dompetnya. Lantas, uang tersebut diselipkan ke dalam lipatan STNK dan SIM yang akan diserahkan kepada Bripka Adi.

Namun, surat plus uang tersebut tak diserahkan sendiri kepada petugas. Dia meminta Slamet, warga Waru Gunung, Surabaya, itu menyerahkan "upeti" tersebut kepada petugas. "Siapa tahu, kalau dikasih uang, bisa masuk Jalan A. Yani," kata Supadi.

Yang terjadi benar-benar di luar prediksi Supadi. Uang memang diterima Bripka Adi. Tapi, Slamet, sang kernet, justru ditangkap. Tuduhannya, menyuap. Tak lama berselang, polisi juga menahan Supadi. Lengkaplah penderitaan sopir dan kernet tersebut. Kini, keduanya harus mendekam di tahanan polwiltabes.

Kasus suap Supadi tersebut hanya salah satu contoh gerakan antisuap yang dalam sebulan terakhir dikampanyekan jajaran kepolisian di Surabaya. Tak hanya menangkap anggota polisi yang nakal, masyarakat yang tertangkap berusaha menyuap polisi juga bisa mendekam di tahanan. Setidaknya, sudah tujuh orang harus merasakan pengapnya ruang tahanan kepolisian karena berusaha menyogok petugas. Mereka tertangkap basah melanggar lalu lintas hingga pidana umum yang ditangani reserse kriminal (selengkapnya lihat grafis).

Entah apakah polisi serius atau tidak, penangkapan terhadap penyuap memang sebuah fenomena menarik. Apalagi jika yang ditangkap adalah masyarakat yang memberi mel-melan (suap) kepada polisi. Uang kecil, risikonya bisa besar.

Polisi memang gencar melakukan kampanye antisuap. Namun, membersihkan suap di institusi korps seragam cokelat tersebut memang bukanlah hal mudah. Apalagi, suap seakan sudah menjadi budaya bagi orang yang beperkara di kantor polisi.

Ada beberapa faktor yang membuat suap sulit ditanggulangi. Selain attitude (perilaku) anggota, polisi masih harus berjuang meningkatkan anggaran operasional. Dana mereka memang beranjak naik, namun masih belum cukup signifikan dibandingkan banyak dan luasnya cakupan tugas polisi.

Seorang perwira polisi menceritakan, dana operasional di lapangan sering menjadi ganjalan bagi polisi untuk benar-benar bisa "bersih". "Misalnya, bagi informan kasus narkoba. Untuk mendapat informasi, minimal harus menyediakan dana Rp 1 juta. Itu hanya untuk menangkap tersangka narkoba dalam jumlah kecil," ungkap sumber yang minta identitasnya dirahasiakan itu.

Kalau ingin mendapat narkoba berjumlah besar, informasi pun harus dibeli dengan harga jauh lebih mahal. "Kalau menangkap, justru dianggap tidak berprestasi. Akhirnya, banyak yang mencari dana siluman. Termasuk menerima suap," katanya.

Kapolwiltabes Surabaya Kombespol Anang Iskandar mengaku, sulit untuk benar-benar membersihkan jajaran kepolisian dari praktik suap. Namun, sebagai pemimpin, dirinya tidak bisa diam jika nama institusinya semakin terpuruk. Harus ada upaya untuk "bersih-bersih diri" dari stigma-stigma negatif tersebut.

"Memang sudah membudaya. Bukan hanya anggota polisi, masyarakat juga berperan. Kalau melanggar, mereka menggoda petugas dengan memberikan uang. Itulah yang harus sama-sama dibenahi," tegasnya.

Dia membantah polisi hanya menindak warga yang menyuap dengan uang kecil seperti kasus sopir-sopir truk yang ditangkap satlantas. "Yang memberi uang banyak sekalipun pasti ditangkap. Begitu pula kalau polisi yang menerima suap, hukumannya lebih berat," ujarnya.

Menurut dia, kampanye antisuap sebenarnya dirintis sejak dua tahun lalu atau sejak awal dirinya memegang tampuk pimpinan polwiltabes. Saat itu, dia menjanjikan hadiah Rp 300 ribu bagi warga yang mau melaporkan kenakalan anggotanya. Baik pelanggaran disiplin atau pidana, termasuk suap.

Namun, dua tahun kebijakan tersebut dibuat, masyarakat kurang merespons. Buktinya, hanya ada empat laporan yang masuk ke polwiltabes. "Hanya empat laporan. Laporan itu sudah ditindaklanjuti dan pelapornya sudah kami beri hadiah. Saya sendiri heran kenapa kok pelapornya sedikit, padahal kami sudah gencar menyosialisasikan melalui media," jelas Anang.

Jika saat ini polisi gencar menangkap masyarakat yang menyuap, bukan berarti pimpinan polwiltabes berpihak kepada anggotanya. "Anggota nakal tetap diproses. Justru hukumannya lebih berat. Sudah banyak yang dipecat, banyak yang dimutasi, dan banyak yang ditunda kenaikan pangkatnya," tegasnya.

Anang menyatakan, sebelum giat berkampanye melawan suap, pihaknya sudah membenahi sistem di kepolisian. Misalnya, soal laporan keuangan. Kini, setiap pimpinan di jajaran kepolisian wajib memaparkan kondisi keuangan di dalam rapat atau kepada anak buahnya. Berapa dana yang masuk, berapa pula yang digunakan.

Selain itu, polisi sudah meningkatkan anggaran di sejumlah pos. Misalnya, untuk anggaran tilang. Polwiltabes mengalokasikan dana Rp 300 juta-Rp 400 juta untuk tiap polres jajarannya. Dana tersebut disiapkan untuk hadiah anggota yang melakukan tilang.

"Besar dana setiap polres berbeda. Bergantung wilayahnya. Ada yang dialokasikan Rp 400 juta, ada yang mendapat Rp 300 juta. Dana itu turun setiap tahun," kata Juru Bicara Polwiltabes Surabaya AKBP Sri Setyo Rahayu.

"Jadi, untuk sekali tilang, anggota diberi dana operasional Rp 10 ribu. Ya, kalau dalam sehari menilang 10 pelanggar, anggota itu mendapatkan 10 kali Rp 10 ribu. Nah, dana operasional tilang itu akan diberikan oleh polres masing-masing," jelasnya.

Yayuk, panggilan Sri Setyo Rahayu, mengungkapkan, polwiltabes memang sedang fokus membenahi masalah tilang. Sebab, di situlah sering terjadi praktik suap dari masyarakat kepada polisi.

"Memang uangnya kecil. Masyarakat menyuap petugas dengan Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu. Dampaknya, image polisi bisa makin buruk. Itu di seluruh bagian, tidak hanya di lalu lintas yang dipelototi dan ditindak. Juga di reskrim atau di bagian lain," ungkap polwan kelahiran Bojonegoro tersebut.

Dengan dana operasional Rp 10 ribu per tilang, polwiltabes berharap anggotanya tak lagi "silau" pada iming-iming atau godaan dari masyarakat yang bermasalah. "Daripada terima suap Rp 20 ribu tapi berisiko ditindak, kan mending dapat Rp 10 ribu yang jelas-jelas halal," tegas Yayuk. (fid/ari)

Sumber:
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=332968

1 comment:

Unknown said...

Suap yang cuma kecil untuk polisi sekarang paling enggak 50.000 untuk sopir jalanan disesesuaikan biaya tilangnnya. Coba kalu dikasi duit lebih kalo ngak diambil... POLISI Indonesiakan begitu kebanyakan, yang Polisi bener paling cuman 1-2 orang yang lainnya kaya preman berseragam, atau ahli hukum yang munafik.