Wednesday, October 24, 2007

Jika Sarjana Ekonomi Menjual Uang di Stasiun

Tujuh tahun lalu, Betty diyakinkan oleh saudaranya yang lebih
dulu `mangkal' di stasiun kota untuk mengikuti jejaknya menjadi
penjual uang. Karena diiming-imingi penghasilan besar, Betty yang
masih duduk di bangku kuliah dan jauh dari orang tua, tidak
melewatkan kesempatan ini.

"Dulu saya bayar kuliah sendiri dari jualan uang kayak gini" kata
Betty (bukan nama asli) sambil duduk di trotoar menggendong tas warna
hitam yang sudah kumal. Di dalam tas yang digendongnya nampak
tumpukkan uang kertas pecahan Rp. 10.000,- , Rp. 5.000,- dan Rp.
1.000,-.

Begitu lulus dari Universitas Indonesia tahun 2004, Betty (26)
memilih meneruskan profesi penjual uang. "Setelah ngerasain
penghasilan disini saya tidak mau kerja kantoran, kan gajinya kecil,
lagian pake sistem kontrak" kata Betty yang mengaku pernah ditawari
menjadi Customer Service Bank Swasta dengan gaji Rp. 1.200.000,-
perbulan. Betty menyebutkan ada pula rekan seprofesinya yang bertitel
Sarjana Akuntansi dan Sarjana Komputer.

Pelanggan yang sering menukarkan uang di stasiun kota adalah pedagang
di pasar pagi, pedagang glodok dan restoran di sekitar Muara Karang.
Mereka membutuhkan pecahan ribuan untuk uang kembalian. "Banyak juga
perusahaan yang menukar uang disini, untuk bayar gajian," Jelas Betty.

Setiap harinya Betty yang berjualan dari pagi hingga sore di stasiun
kota mendapatkan keuntungan bervariasi dari Rp. 50.000,- sampai Rp.
300.000,-. "Kami membeli uang Rp. 1.000.000,- dengan harga Rp.
1.005.000,- dari bos. Biasanya bundelan Rp.100.000,- kami untungin
Rp. 5.000,-" Bos yang dimaksud Betty adalah pihak yang mengambil uang
langsung dari Bank Indonesia.

Selama bulan puasa Betty mengaku dapat keuntungan lebih besar karena
banyak kebutuhan masyarakat untuk bagi-bagi uang saat Lebaran. "Nah
kalau bulan puasa bisa untung 10 persen dari omset penjualan. Pas mau
lebaran malah bisa jual Rp. 5.000.000,- sehari" Jelas Betty berseri-
seri.

Menjelang Lebaran nampak penjual uang musiman mulai meramaikan
stasiun kota. Pada hari-hari sebelum bulan puasa para wanita bertopi
dengan tas besar yang digendong di depan ini masih terhitung belasan
orang. Namun sejak sabtu (15/9) sudah terlihat dua puluhan wanita
yang memegang bundelan uang di kedua tangannya mengejar-ngejar
pelanggan. Target mereka adalah para pemudik yang ingin berlebaran
bersama sanak keluarga di daerah asal mereka.

Ketika Media Indonesia merapatkan mobil ke sebrang stasiun kota, lima
orang perempuan berusia 30 an sampai 50 an berebut menyodorkan
tumpukan uang ke dalam mobil. Yang cukup mengejutkan adalah bundelan
uang kertas baru pecahan Rp 50.000,- bertuliskan Rp. 5.000.000,-
bercap Bank Indonesia disodorkan tanpa ragu ke dalam mobil.

Transaksi seperti ini sudah bertahun-tahun berlangsung di depan
stasiun kota yang mengarah ke Bandengan, Pluit. Beberapa petugas
polisi yang berjaga-jaga di lampu merah stasiun kota tidak
mengacuhkan aktivitas belasan penjual uang. Memang, jasa penjualan
uang ini tidak melanggar hukum. "Kami tidak takut polisi, atau
trantib, kami kan bukan menipu. Selama ini ngga ada cerita penjual
uang ditangkep kamtib" Kata Merry (bukan nama asli) meyakinkan.

Walau memegang uang dalam jumlah besar beberapa penjual uang mengaku
tidak takut dengan pencopet dan perampok. "Namanya cari uang yah ada
resikonya, di daerah asal kami wanita juga harus mampu menopang
keluarga," kata Betty yang setiap bulan mampu mengirimkan uang
sedikitnya Rp. 1.000.000,- untuk orang tuanya di Sumatera Utara.

Para wanita penjual uang terlihat akrab bersenda gurau dengan
pengemudi angkot, bajaj maupun ojek sepeda yang mangkal di depan
stasiun kota. Merry berseloroh dengan pengemudi bajaj yang sudah lama
menunggu penumpang. "Ngapain situ stress melulu, kayak kita dong
pegang uang terus makanya ngga stress." sambil mengipas-ngipas wajah
nya dengan bundelan uang.

Namun tidak selalu untung dialami para penjual uang. Beberapa wanita
mengaku pernah ditipu oleh pelanggan. Suatu kali ada teman seprofesi
Betty yang mendapat uang pecahan palsu Rp. 100.000,- sebanyak lima
lembar. "Yah kami ngga tau kalo pelanggan ngasi uang asli apa ngga
karena jualannya cepet-cepetan sama yang yang lain. Baru tahu pas
nyetor kembali sama bos"

Alasan Betty berjualan di stasiun adalah pelanggan yang datang
berasal dari berbagai kelas sosial. "Kalau di terminal susah
ngerayunya, yang beli supir bus semua. Kalau disini dari pedagang
sembako sampe anggota DPR aja nukar uang, jadi ga ditawar melulu."
papar Betty blak-blakan.

Ditanya tentang masa depannya, dengan percaya diri Betty menjawab
akan mengumpulkan modal untuk menjadi Bandar penjual uang. "Saya mau
nyari anak buah, kayak di Tanjung Priok yang lokasinya (titik
penjualan uang, red) banyak. Disitu banyak yang dulunya penjual uang
sekarang udah jadi bos (Bandar, red). Kalau di stasiun kota mah
lokasinya sedikit, jadi kami rebutan pelanggan" analisis Betty yang
bergelar sarjana ekonomi.

Renji Betari, Stasiun Kota (15/9)

2 comments:

NASORI ABDUL GHANI said...

apapun profesinya,klo emang halal "go head"...analisa masa depan adalah wajib bagi setiap orang.

Anonymous said...

Wah Pak Ghani gimana nih, perkara ini ada dalilnya di Qur'an (saya lupa surat dan ayatnya). Dimana yang penafsiran bebasnya adalah : Uang(termasuk Valas dan Saham)DIHARAMKAN untuk diperjual belikan karena bukan merupakan produk atau komoditi melainkan alat tukar, dan yang namanya tukar adalah mengganti milik kita dengan yang lain yang senilai (tanpa ditambahkan atau dikurangi).