Saturday, September 29, 2007

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (6)

Empat Tuduhan Wowok
INI petikan esei Wowok Hesti Prabowo yang ia
bentangkan dalam diskusi dalam rangka Festival
Kesenian Yogyakarta XIX di Ruang Seminar Taman Budaya
Yogyakarta, 24 Agustus 2007. Eseinya berjudul "Mari
Melawan Monster Kebudayaan", ada termuat dalam buku
"Tongue in Your Ear, Antologi Puisi dan Esei FKY
XIX-2007) (FKYPressplus, Yogyakarta, 2007).

Wowok memulai makalahnya dengan menyebut bahwa
Goenawan Mohamad (GM) adalah sosok yang selama ini
tampik dengan pencitraan positif "yang sengaja dia
bangun". Tetapi, kata Wowok, belakangan terkuak, citra
positif GM yang diperkuat oleh KUK-nya itu ,
hanyalah "kedok untuk mengelabui rakyat". Wah!
"Terbongkarlah kini GM dan konco-konconya itu hanyalah
para pecundang, penipu rakyat, antidemokrasi, haus
kekuasaan, arogan, dan pemaksa keseragaman."

Gus tf yang tampil semeja sebagai pembicara
mempertanyakan pilihan-pilhan kata Wowok. "Kita ini
sastrawan, kok memakai kata-kata kasar seperti itu?"
kata Gus tf.

Saut Situmorang yang menjadi moderator diskusi, justru
memaklumi bahasa Wowok. Peserta diskusi mempertanyakan
kenetralan Saut. Saya baca di kotak redaksi, Saut dan
Wowok bersama Viddy AD Daery bersama-sama mengelola
jurnal Boemipoetera.

Wowok juga menulis, bahwa TUK adalah tempat umbar
kelamin. "Kabar miring tentang kebebasan seks di TUK
bukan kabar baru," kata Wowok.

Wowok menyebut kubu mereka sebagai "pejuang sastra",
dan mereka menyatakan perang terhadap "gerombolan GM".
Oh ya, ada tambahan sebutan Agen Imperialis untuk GM.
Wah!

Dan inilah empat dosa penyebab KUK harus "diperangi".
1. Iklan dukungan kenaikan BBM dari "GM dan
cecunguk-cecunguknya" dari Freedom Institute yang
melukai hati rakyat.

2. GM dan TUK disokong dana asing dengan penuh sadar
membangun pintu gerbang bagi penjajahan di bidang
budaya, terutama melalui kesusasteraan.

3. Salah seorang "cecunguk TUK" bernama Sitok
Srengenge, dengan arogan mengklaim, bahwa siapa pun
sastrawan Indonesia yang belum diundang atau belum
pentas di TUK bukanlah sastrawan nasional!

4. Ketika pasokan dana asing yang mengalir mulai
berkurang, TUK pun mencaplok DKJ.

Dahysat bukan? Esei Wowok ditutup dengan ajakan
begini: Jadi harus menunggu apa lagi sementara bahaya
laten itu telah menjelma menjadi monster? Perang
sastra telah dimulai dan saatnya kita mengabdi bagi
bumi pertiwi.

Jika betul akan ada perang itu, saya sendiri tidak
akan ikut-ikutan. Saya tidak akan memihak kubu
manapun. Saya malah tidak percaya ada kubu-kubu itu.
Saya hanya ingin mengabdi bagi bumi pertiwi, untuk itu
tidak harus perang kan? :-) (bersambung)

From : Hasan Haspahani

No comments: