Monday, September 24, 2007

Tentang Memubazirkan Energi Listrik

MALL

- CATATAN PINGGIR-

Goenawan Mohammad
Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007.

Jika anda berdiri di salah satu sudut Senayan City , anda akan tahu
bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang
luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan
dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod
ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang
bermeter-meter etalase dengan busana dan boga. Sepuluh, bukan, lima tahun
yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan
kegawatannya.

Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di
Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa
mega-kilowatt listrik dikerahk an untuk membangun kenikmatan yang tersaji
buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu hari
di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman
saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang
menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang. "Tahukah Tuan," tanyanya, "jumlah
tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?

Saya menggeleng, dan ia menjawab, Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah
tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh.

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan
rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri
miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin
jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak
perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung
berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di ma na
saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa
timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah
kabupaten nun di pedalaman Flores .

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti
itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada
sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan
miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak
karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai
tubuh siapa saja termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di
sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut
mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada
pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air
laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India
, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana
yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.

"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," kata teman Jepang itu
pula, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya dengar ia hidup di
sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan
mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba
menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan
dimuntahkan. Tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, "terlalu sulit,
terlalu sulit."

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan
itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika
Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari
Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat
cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan
Teduh itu dan tak menenggelamkan Amerika.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga
menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas
50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh
bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan
mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini
berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02
yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah
Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan
terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita?

"Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak.
"Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus
diperlihatkan mereka yang kaya . Kini satu miliar orang Cina dan satu
miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju
Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi
kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari
orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad
lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad
nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi
retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan
begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan
tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia.

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu
yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada
lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat
hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.

Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di
mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti
seorang rahib? Di mall itu, saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit,
terlalu sulit, pikir saya.

No comments: