Thursday, August 30, 2007

Sekali lagi : belajar dari Stiglitz [“pengkhianat” kepentingan World Bank dan IMF]

Catatan A. Umar Said

Sekali lagi : belajar dari Stiglitz

Tulisan tentang kritik tajam Joseph E. Stiglitz, pakar ekonomi Amerika yang
terkenal sekali di dunia, terhadap berbagai politik pemerintah Indonesia
mengenai modal asing, rupanya mendapat perhatian dari banyak kalangan di
Indonesia. Agaknya, perhatian yang besar sekali terhadap kritik Stiglitz
ini disebabkan karena masalah penanaman modal asing ini sedang menjadi
persoalan hangat yang besar sekali di berbagai kalangan, terutama di
kalangan organisasi massa dan para intelektual. Juga, karena kritik tajam
ini diucapkan oleh seorang tokoh penting Amerika yang mempunyai bobot yang
besar sekali.

Joseph E. Stiglitz adalah professor dalam ekonomi, yang pernah menjabat
sebagai penasehat ekonomi terkenal Presiden Bill Clinton, dan dipilih
sebagai Wakil Direktur Bank Dunia, serta menduduki jabatan-jabatan penting
di berbagai badan ilmiah dan organisasi Amerika dan internasional, yang
berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi dan permbangunan. Ia telah menulis
banyak buku yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi di dunia, dan
telah memperoleh Hadiah Nobel karena keahliannya.

Mengenai Indonesia Stiglitz sudah sering mengemukakan pendapatnya dalam
berbagai ceramah atau tulisannya, baik selama kunjungannya di Indonesia di
masa-masa yang lalu, maupun dalam berbagai kesempatan di banyak negeri.
Tetapi, pernyataannya yang terakhir di Jakarta baru-baru ini, adalah sangat
menarik, karena ia telah mengangkat masalah politik pemerintah Indonesia di
bidang penanaman modal asing dengan bahasa yang cukup kritis.

Untuk dapat bersama-sama menelaah kembali - dengan lebih teliti lagi -
kritiknya yang tajam tentang politik pemerintah Indonesia di bidang
penanaman modal asing, maka kita sajikan sekali lagi interviewnya dengan
Tempo (16 Agustus 2007). Mengingat arti penting interwiew-nya ini bagi kita
maka patutlah kiranya kita dalami, sekali lagi, pokok-pokok fikirannya,
yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang
terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah Indonesia berani
melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan
yang diperoleh para investor asing.

"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang
merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz

”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan
Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia.
Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan
kegiatan eksplotasi di Papua.

”Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut
izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan
minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan
melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya
harus dicabut dong," kata dia.

”Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Freeport Indonesia melakukan
pencemaran lingkungan selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun,
kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta
perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan
limbahnya (kutipan dari Tempo Interaktif selesai).

Mereka sedang merampok kekayaan alam kita

Sebagai seorang ahli di bidang ekonomi, yang pernah menjabat Wakil Direktur
Bank Dunia, dan anggota terkemuka dewan ekonomi presiden Clinton maka
menarik dan penting sekali ketika ia mengatakan “Pemerintah Indonesia
diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi
merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah berani melakukan ini maka akan
memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para
investor asing. Perusahaan tambang asing tahu kok bahwa mereka sedang
merampok kekayaan alam negara-negara berkembang”.

Anjuran Stiglitz supaya pemerintah Indonesia menegosiasi ulang
kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat
merupakan pembenaran atau penggarisbawahan tuntutan banyak kalangan di
Indonesia, termasuk organisasi seperti : ABM (Aliansi Buruh Menggugat) ,
Koalisi Anti Utang, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Debt Watch,
FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia), INFID (International NGO's Forum
for Indonesian Development), JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), KPKB
(Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh), KoAge (Koalisi Anti Globalisasi
Ekonomi), KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), LBH Apik , PBHI (Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), Perkumpulan Bumi,
Sekretariat Bina Desa, SP (Solidaritas Perempuan) SEKAR, Aliansi Perempuan
untuk Keterwakilan Politik, AKATIGA, STN (Serikat Tani Nasional), SPOI
(Serikat Pekerja Otomotif Indonesia), Lapera Indonesia, The Institute for
Global Justice, FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), Serikat Mahasiswa
Indonesia,), LS-ADI (Lembaga Studi dan Aksi Untuk Demokrasi), LBH-Jakarta,
PRD, Papernas, Perhimpunan Rakyat Pekerja, Indonesian Centre for
Environmental Law (ICEL), Federasi Serikat Buruh Jabotabek, (dan banyak
organisasi lainnya).

Stiglitz menegaskan bahwa kalau pemerintah Indonesia berani melakukan
negosiasi ulang tentang perjanjian-perjanjian atau kontrak-kontrak maka akan
memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para
investor asing. Pernyataan Stiglitz ini sangat penting, sebab sejak puluhan
tahun, para investor asing di Indonesia telah mengeruk keuntungan yang
besar, sedangkan hasil yang diperoleh pemerintah Indonesia adalah kecil
sekali. Yang lebih-lebih menyedihkan lagi ialah kenyataan bahwa sebagian
(yang tidak kecil!) dari hasil kontrak-kontrak ini tidak masuk ke kas
negara, melainkan dikorupsi oleh pejabat-pejabat di berbagai tingkat, baik
di Pusat maupun di daerah.

Stiglitz dianggap “pengkhianat” kepentingan World Bank dan IMF

Pernyataan Stiglitz mengenai pentingnya negosiasi ulang kontrak-kotrak
dengan para investor asing ini juga tercermin dalam kalimatnya yang
mengatakan bahwa perusahaan tambang asing itu pada umumnya tahu bahwa mereka
sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang Bahasa yang digunakan
Stiglitz, sebagai ahli ekonomi yang terpandang di dunia, yang mengatakan
bahwa investor-investor asing itu “merampok kekayaan alam negara-negara
berkembang” adalah ucapan yang terlalu terus-terang dan tidak
tanggung-tanggung, dan langsung menusuk jantung hati para investor skala
dunia itu.

Itulah sebabnya maka sebagai seorang yang pernah menjabat wakil Direktur
Bank Dunia ia dijuluki oleh sebagian kalangan sebagai “pengkhianat”.
Sikapnya yang kritis sekali terhadap politik dan praktek-praktek yang
dilakukan IMF, dan yang menentang akibat-akibat negatif globalisasi,
membikin dirinya terkenal sebagai seorang yang membela kepentingan
negara-negara miskin dan dunia ketiga umumnya. Ia juga termasuk seorang di
antara tokoh-tokoh yang melawan pencemaran lingkungan hidup.

Masalah Freeport : akibat politik yang salah Orde Baru

Juga, sebagai orang yang pernah menduduki jabatan yang begitu tinggi dan
penting dalam pemerintahan Amerika pernyatannya mengenai perlunya ada
negosiasi ulang dengan PT Freeport Indonesia adalah satu hal sangat menarik.
Sebab, hal ini bertentangan sama sekali dengan sikap pembesar-pembesar
Amerika lainnya (termasuk Henry Kissinger) yang selalu berusaha membela
kepentingan PT Freeport.

Sikap Stiglitz yang demikian penting ini kiranya perlu mendapat sambutan
dari banyak kalangan, baik dari kalangan pemerintah maupun tokoh-tokoh
masyarakat, para intelektual dan organisasi masyarakat. Karena, kasus PT
Freeport adalah salah satu di antara kasus-kasus yang paling parah yang
dihadapi negara Indonesia, sebagai akibat politik yang salah selama puluhan
tahun dari rejim militer Orde Baru sejak tahun 1967.

Tetapi, masalah investasi asing yang dihadapi negara Indonesia bukanlah
hanya PT Freeport Indonesia, melainkan juga sebagian terbesar investasi
asing lainnya. Ini juga berlaku bagi Exxon, Newmont, Rio Tinto dan banyak
lagi lainnya. Sebab, jumlah investasi asing di bidang pertambangan di
Indonesia adalah besar sekali. Kira-kira 70 % dari pertambangan di Indonesia
didominasi oleh modal asing. Dan sebagian besar dari investasi asing ini
sudah menimbulkan bermacam-macam akibat yang negatif terhadap masyarakat
setempat di sekelilingnya, baik di bidang sosial maupun ekonomi, dan akibat
buruk yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Bukan hanya Freeport saja!

Ini terjadi dengan kasus investasi Exxon Mobil di Aceh (NAD), Laverton Gold
di Sumatera Selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimntan Timur, Arutmin
di Kalimantan Selatan, Aurora Gold di Kalimantan Tengah , PT Inco di
Sulawesi Selatan, Expan Tomori di Sulawesi Tengah, Antam Pomalaan di
Sulawesi Tenggara, Newmont di Sulawesi Utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa
Tenggara Timur, Newcrest, PT Anggal dan PT Elka Asta Media di Maluku, Beyond
Petroleum (BP) Tangguh di Papua.

Dalam menganjurkan kepada pemerintah Indonesia untuk menegosiasi ulang
kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai pertambagan
minyak dan gas, Stiglitz mengambil contoh keberhasilan Bolivia. “”Negara
miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih
besar. "Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang
sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen," ujarnya. Dan para investor asing
itu, kata dia, tetap disana.

Yang juga sangat menarik dari interview Stiglitz ialah anjurannya supaya
akibat praktek-praktek buruk para investor asing di Indonesia dibeberkan
dalam media massa. “Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya,
sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang”, katanya. Rupanya,
Stiglitz cukup mengenal garis-garis besar situasi di Indonesia, sehingga ia
menganjurkan adanya pembeberan di media massa segala oraktek-praktek buruk
perusahaan besar asing serta akibatnya yang merugikan.

Anjuran Stiglitz semacam itu adalah penting sekali kalau kita ingat kepada
sikap para pejabat negara sejak pemerintahan Orde Baru yang membuka pintu
lebar-lebar bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran di berbagai
bidang. Investor diberi segala macam pelayanan dan kemudahan-kemudahan,
walaupun ternyata banyak menimbulkan masalah bagi rakyat dan merugikan
kepentingan negara.

Gerakan extra-parlementer : tugas patriotik

Oleh karena DPR atau DPRD (atau DPD) tidak bisa diharapkan banyak untuk
mengontrol berbagai politik pemerintahan mengenai investasi-investasi asing,
maka peran berbagai organisasi non-pemerintah (ornop) dan media massa
menjadi sangat penting sekali. Sebab, korupsi dan kolusi melalui dalam
bentuk “suapan” yang macam-macam tidak hanya telah dilakukan oleh
pejabat-pejabat penting negara, melainkan juga oleh anggota-anggota DPR atau
DPRD.

Jadi, segala macam aksi-aksi extra-parlementer yang dilakukan oleh berbagai
kekuatan dalam masyarakat untuk melawan segala politik buruk pemerintah di
bidang penanaman modal asing adalah tugas atau kewajiban yang patriotik,
yang perlu mendapat dukungan seluas mungkin dari segala fihak. Gerakan atau
aksi-aksi extra-parlementer yang dilakukan berbagai tokoh masyarakat, ornop,
dan ormas mahasiswa dan pemuda, adalah sangat mutlak perlunya untuk
menghadapi dominasi modal asing di Indonesia beserta kakitangan mereka

Kiranya, kita semua patut selalu ingat bahwa dari 230 juta penduduk
Indonesia sekitar separonya (atau sekitar 115 juta) hidup dengan kurang 2$US
seharinya, dan bahwa ada pengangguran lebih dari 40 juta orang, dan juga
lebih dari 40 juta orang hidup dalam kemiskinan, ditambah lagi dengan 13
juta anak-anak yang kurang makan.

Dengan banyaknya masalah-masalah parah yang sedang dihadapi bangsa dan
negara kita dewasa ini, maka makin nyatalah bahwa dengan sistem pemerintahan
dan konstelasi politik seperti yang sekarang ini tidak mungkin diadakan
perubahan-perubahan radikal yang bisa membawa perbaikan hidup bagi sebagian
besar rakyat. Apalagi, berbagai masalah besar dan parah seperti tersebut di
atas dibikin lebih parah lagi dengan korupsi yang sudah merajalela dan
pembusukan akhlak di berbagai kalangan masyarakat.

Sejumlah negeri-negeri di Amerika Latin (umpamanya Venezuela, Bolivia,
Argentina dan juga Kuba) sedang menunjukkan kepada dunia bahwa jalan lain
untuk mendatangkan perubahan besar dan perbaikan hidup rakyat banyak adalah
mungkin, dan bukannya jalan yang ditunjukkan oleh Washington.

Pengalaman di berbagai negeri Amerika Latin ini patutlah sekali diperhatikan
oleh semua golongan dan kalangan di Indonesia yang menginginkan adanya
perubahan-perubahan besar serta perbaikan sejati di negeri kita.

Paris 30 Agustus 2007

No comments: