Friday, August 24, 2007

Revolusi Kemerdekaan dan Pribadi2 di baliknya

Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri

Oleh : ANTON

Sejarah mencatat sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sekelompok pemuda
dengan nekat menculik Sukarno dan Hatta, berikut Fatmawati dan
bayinya Guntur dibawa ke Rengasdengklok untuk dipaksa
memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini sebenarnya bermula pada
kunjungan sekelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta di suatu
tempat. Orang itu adalah : Wikana (ketua), DN Aidit, Soebadio
Sastrosatomo, Suroto dan Yusuf Kunto.

Pada pertemuan itu sekelompok pemuda itu ngotot agar kemerdekaan
Indonesia di proklamasikan secepatnya sebelum ada keputusan resmi
dari sekutu tentang status Indonesia, artinya masa vakum kekuasaan
akibat kalahnya Jepang ibarat `Golden Time' bagi orang kena serangan
jantung sebelum diselamatkan dokter atau mati ditengah jalan.
Sukarno menolak ia takut kalau proklamasi dilakukan tanpa
menyertakan Panitia Kemerdekaan yang notabene buatan Jepang maka
bisa terjadi penangkapan-penangkapan yang tidak perlu dan korban
dari pihak rakyat karena kebrutalan Jepang. Tapi para pemuda itu
bilang mereka sudah siap, dan revolusi tinggal tunggu pelatuknya.
Jakarta akan terbakar api perang kemerdekaan. Sukarno tetap menolak
permintaan pemuda itu. Akhirnya salah seorang dari mereka dalam
suasana panas mengancam bila Bung Karno tidak mau memproklamirkan
maka akan ada pertumpahan darah dalam pertemuan ini. Bung Karno yang
terkenal nggak mau ngalah, malah balik mengancam sambil pegang
lehernya dan berteriak. "ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu,
dan sudahilah nyawa saya sekarang juga, jangan tunggu besok!" Hatta
yang lebih berkepala dingin menengahi suasana yang sudah memanas
itu, dia bilang "Sudah jangan diteruskan...kalau kalian sanggup
proklamasikan saja sendiri" Hatta meminta pemuda lebih sabar
menunggu keadaan. Jelas suasana ini membuat para pemuda yang memaksa
Bung Karno kecewa apalagi Wikana yang sudah sangat yakin bahwa
Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pasti bisa membantu Indonesia, ia
kenal dengan petinggi-petinggi Kaigun yang memang agak bersimpati
atas kemerdekaan Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian
mencetuskan ide gila untuk menculik Sukarno dan Hatta.

Lalu bagaimana yang terjadi dengan nasib orang-orang yang terlibat
pada pertemuan itu setelah Indonesia merdeka?.

Sukarno menjadi Presiden Indonesia pertama, namun diakhir hidupnya
ia dikarantina akibat peristiwa G 30 S yang nggak jelas siapa yang
main. Akhir hidupnya menderita sakit lever dan wajahnya bengkak-
bengkak, dokter yang merawat Bung Karno bukan lagi dokter Mahar
Mardjono tapi dokter hewan dan ia tidak boleh baca koran, menerima
tamu bahkan kerap menerima perlakuan kasar dari pengawal yang
diperintahkan Junta Militer Orde Baru untuk menjaga beliau. Orang
yang terakhir menjenguk beliau adalah Hatta. Sukarno yang dalam
keadaan koma tiba-tiba tersadar ketika Hatta datang, dengan suara
pelan dia berkata "Hatta kau disini?".Hatta menanggapinya dengan
menjawab "Bagaimana keadaanmu, No?" Hatta memanggil Sukarno dengan
nama kependekan seperti yang sering ia kalau ia memanggil Bung Karno
di jaman pergerakan sampai awal kemerdekaan. Bung Karno menjawab
sama dengan apa yang ditanyakan Hatta dalam bahasa Belanda "Hoe gaat
het met Jou?". Hatta menangis sambil memegangi tangan Bung Karno.

Tokoh yang paling tragis dari kisah orang-orang yang hadir dalam
pertemuan itu adalah DN Aidit alias Bang Amat. Ia yang diawal
kemerdekaan tertangkap Belanda dan dipenjarakan di Pulau Onrust lalu
setelah dibebaskan ia bergabung dengan gerakan Musso, akibat
peristiwa Madiun 1948, ia bersembunyi dan baru muncul di awal tahun
50-an. Ia juga dicari-cari Rezim Sukiman pada Razia Agustus 1951,
kemudian PKI mendapat pengakuan politik oleh Sukarno, dan DN Aidit
merevitalisasi PKI, lalu membesarkan partai ini menjadi partai
paling menakutkan bagi lawan-lawan politiknya. Akibat peristiwa G 30
S ia dituduh sebagai dalang utama dan kabarnya ia dihabisi oleh
prajurit RPKAD di sebuah tempat di Solo. Pembunuhan terhadap
karakternya paling brutal dalam kisah sejarah Indonesia, ia bukan
saja dibantai kehidupannya tapi juga dibantai namanya, DN Aidit
menjadi nama paling mengerikan baik di buku-buku pelajaran maupun
film atau kisah-kisah di masa Orde Baru.

Soebadio Sastrosatomo juga mengalami nasib yang kurang baik dalam
hidupnya setelah Indonesia merdeka. Pada awalnya ia masa-masa manis
berpolitik. Pada saat pemerintahan Amir Syarifudin jatuh akibat mosi
tidak percaya terhadap perundingan Renville, Amir yang juga tadinya
satu partai dengan Badio alias Kiyuk..berkata pada Badio dalam
sebuah rapat mendadak "Ik leg mijn ambt neer. Saya sudah kalah,
Badio..wordt jij maar Perdana Menteri. Daar is the plane, ga jij
maar Jakarta om meet de Belanda te spreken..(Saya letakkan jabatan
saya, saya sudah kalah Badio, kau saja jadi Perdana Menteri.Disana
ada pesawat terbang, kau pergilah ke Jakarta untuk berunding dengan
Belanda). Saat itu umur Badio baru 30 tahun. Namun Badio menolak
tawaran Amir.

Saat Sukarno mengusulkan supaya Badio diangkat menjadi Jaksa Agung
pada bulan November 1945 Hatta menolak dengan berkata "Soebadio is
the jong" (Soebadio terlalu muda) jadilah Badio seumur-umur tidak
pernah menerima jabatan resmi pemerintah. Malah ia keluar masuk
penjara. Di jaman Demokrasi terpimpin Badio masuk penjara Madiun
karena dianggap menentang Sukarno. Lalu di jaman Orde Baru tanpa
proses pengadilan ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 888
hari. Hidupnya sangat sederhana, Pak Badio ini tinggal di Jalan
Guntur No. 49 Jakarta. Rumahnya merupakan bangunan tua yang lapuk di
makan usia. Badio ini termasuk anak didik Sjahrir, Ia benci sekali
dengan Suharto namun ia menyenangi Bung Karno walaupun ia pernah
dipenjara pada saat jaman Bung Karno. Di jaman Orde Baru Megawati
berkali-kali datang ke rumah Badio dan kalau Megawati datang, Badio
selalu tanya "Apa kata Bapak?" Badio yakin Megawati mampu berdialog
dengan arwah Bung Karno.

Wikana adalah tokoh yang paling tidak dikenal dalam sejarah
Indonesia. Padahal pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 peran
beliau yang paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan
Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah
dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Lalu
Wikana mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung
Karno di Pegangsaan, ia juga tegang saat melihat Bung Karno sakit
malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi.
Wikana kasak kusuk ke kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu
jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Setelah kemerdekaan
jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap terlibat peristiwa
Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran tentara. Bersama
dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan
baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun
1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 februari
1955. Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana
tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak
progresif, ini sama saja dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex
Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan
perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat
pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan
Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak
mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung Waperdam
Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS.
Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana
hilang begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.

Lalu bagaimana dengan Hatta?, Hatta menjadi Wakil Presiden dan
dilantik bersama Bung Karno. Hatta memiliki peran besar pada
revolusi bersenjata 1945-1949 karena Bung Karno tidak disukai
Belanda sangat membenci Bung Karno, dan dianggap Bung Karno tak
lebih dari Quisling, tokoh kolaborator Norwegia yang berkhianat dan
membantu Nazi, Bung Karno dianggap membantu rezim fasis Jepang
selama pendudukan militer Jepang 1942-1945 namun Hatta dan Sjahrir
disukai Ratu Belanda karena itulah kedua tokoh ini yang paling
sering berunding dengan Belanda. Hatta melakukan restrukturisasi
partai-partai politik dan militer. Restrukturisasi militer Hatta
memiliki dampak paling luas terhadap perkembangan sejarah Indonesia,
terutama sekali berjaraknya militer rasional ciptaan Hatta-AH
Nasution dengan sentimentalisme patriotik Sukarno. Selain itu
restrukturisasi militer Hatta memunculkan peristiwa politik paling
kontroversial sepanjang era revolusi kemerdekaan, peristiwa Madiun
1948. Orang-orang komunis menuduh Hatta terlibat pada perjanjian
rahasia red drive proposal antara pemerintah AS dengan RI untuk
membendung komunisme di Indonesia, dengan imbalan AS akan mendukung
perjuangan diplomatik Indonesia baik di PBB maupun forum-forum
perundingan dengan Belanda. Red Drive Proposal ini dianggap sebagai
awal mula munculnya peristiwa Madiun yang berakibat dibunuhnya tokoh-
tokoh politik penting dari garis kiri seperti : Amir Sjarifudin,
Musso, Suripno dll.

Setelah penghancuran PKI dan Front Demokrasi Rakyat, karir politik
Hatta semakin cemerlang ia dipercaya pemerintah RI menjadi
penandatangan perjanjian KMB 1949 dan pengakuan kedaulatan RI atas
Indonesia 27 Desember 1949. lalu Hatta dengan baik mengatur formasi
kabinet, bersama dengan Sri Sultan HB IX, Hatta memodernisir TNI.
Setelah Pemilu 1955, karir politik Hatta menurun, ini berbanding
terbalik dengan karir politik Bung Karno yang menanjak ditunjang
mulai kuatnya PKI revitalisasi Aidit 1954 dan mulai mendapatnya
dukungan militer terhadap Bung Karno seiring tidak puasnya kerja
parlementer. Hatta menolak konsep-konsep politik Bung Karno, lalu
hubungan itu merengang, pada tahun 1956 Hatta mengundurkan diri,
awalnya Bung Karno menolak pengunduran diri Hatta, tapi akhirnya ia
menandatangani surat pengunduran diri Hatta. Mundurnya Hatta membuat
kecewa banyak perwira militer non Jawa yang notabene juga anti PKI.
Protes terhebat adalah ketika PRRI mengultimatum agar Dwitunggal
Sukarno-Hatta kembali lagi dan pemerintah Jakarta jangan sampai
jatuh ke tangan komunis, atau pemberontakan pecah. Akhirnya
pemberontakan PRRI pecah diikuti dengan gerakan Permesta. Kolonel
Ahmad Yani yang menyelesaikan kasus PRRI dengan operasi 17 Agustus-
nya. Praktis setelah PRRI nama Hatta hilang dari peredaran, ia hanya
disebut dalam upacara proklamasi sebagai ko-proklamator. Nasibnya
sebagai ko-proklamator menyelamatkan nasibnya karena dengan itu
rezim Sukarno tidak berani menjebloskan Hatta ke penjara, ini
berbeda dengan nasib Sjahrir. Konon kabar yang beredar dari versi
buku-buku sejarah (Versi PKI terlibat dalam Gestapu) Hatta
dimasukkan ke dalam tokoh yang harus dibunuh pada malam jahanam 30
September 1965. Namun DN Aidit menolak Hatta dijadikan sasaran
pembunuhan. Mungkin Aidit sungkan pada Hatta, walaupun Aidit pernah
mendakwa habis-habisan Hatta pada pengadilan kasus Madiun tahun
1955. Hatta tetap dipandang sebagai guru politiknya, karena Hatta
sering mengajar anak-anak muda pergerakan pada Markas Pemuda Menteng
61.

Setelah PKI dihancurkan oleh Orde Baru dan Bung Karno digerogoti
karir politiknya pelan-pelan. Hatta sempat dimunculkan sebagai calon
kuat Presiden RI, bersama dengan AH Nasution. Tapi Hatta tetap
menolak sebelum kasus G 30 S jelas, ia bahkan menantang Junta
Militer Orde Baru untuk membawa Sukarno ke pengadilan agar peristiwa
ini jelas dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Mental Hatta adalah
mental khas didikan Belanda, yang menempatkan hukum diatas
segalanya. Bersama Deliar Noer Hatta ingin mendirikan PDII (Partai
Demokrasi Islam Indonesia) tapi ijin pendirian ditolak Orde Baru.
Ketika kekuasaan Suharto mulai mapan setelah peristiwa Malari 1974
menyusul ditangkapinya tokoh-tokoh PSI dan aktivis mahasiswa, muncul
kasus aneh Sawito Kartowibowo, eks pegawai Departemen Pertanian yang
mengeluarkan dokumen `Menuju Keselamatan' dimana dia mendapat
wangsit membenahi Indonesia. Dalam dokumen itu Sawito mengkritik
habis-habisan Suharto dan keluarganya, kritik itu disetujui oleh
banyak tokoh nasional termasuk Hatta dan Hamka yang menandatangani
persetujuannya terhadap isi dokumen itu. Dalam dokumen itu juga
Sawito menunjuk Hatta sebagai tokoh yang harus menggantikan Suharto
sebagai Presiden RI demi keselamatan bangsa Indonesia. Suharto marah
bukan main, kasus Sawito dihantam habis-habisan, tapi kemujuran
Hatta terhadap bencana politik lagi-lagi terjadi, Suharto tidak
berani menyentuh Hatta. Tahun 1980 Hatta meninggal dan Iwan Fals
menciptakan lagu yang sampai saat ini masih banyak dihapal oleh
generasi muda Indonesia, lagu itu berjudul `Hatta'. Bait dalam lagu
itu yang menakutkan rezim Suharto adalah : "Terbayang nama seorang
sahabat yang tak pernah lepas dari namamu" nama yang dimaksud itu
adalah : Sukarno.

Sukarno juga yang menjodohkan Hatta dengan Rachmi Hatta, Hatta
bersumpah menolak menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah ini
merupakan reaksi terhadap November Belofte 1918, dimana pemerintah
Hindia Belanda menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada tahun itu.
Pernikahan Hatta sekaligus legitimasi pribadinya terhadap Proklamasi
1945. Beda dengan Sjahrir dan Tan Malaka yang masih ragu pada
proklamasi 1945 sebelum melihat dukungan rakyat.

Banyak orang mengenang Hatta sebagai pribadi yang disiplin waktu,
gila buku, memiliki humor kering bahkan Bung Karno pernah mengejek
Hatta sebagai pribadi yang membosankan, bukan seperti dirinya yang
womanizer dan gampang buat suasana meriah. Tapi dari semua yang
dikenang akan pribadi Hatta adalah kesederhanaan, baik kesederhanaan
hidup maupun kesederhanaan hati. Anaknya Meutia Hatta baru tahu
bahwa Bapaknya pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, setelah ia
diajari sejarah Indonesia di sekolah waktu SD. Sepulang dari sekolah
dia bertanya " Papa, dulu pernah jadi wapres RI, ya? Saya tahu dari
guru sekolah" hal ini bisa digambarkan betapa tidak melebih-lebihkan
Hatta pada peran sejarah, sampai anaknya sendiri tidak pernah tahu
apa yang dilakukannya untuk negara. Hatta dikenal tokoh yang anti
korupsi, dia pernah ditugasi oleh Suharto memberantas Korupsi lewat
komisi GAK (Gerakan Anti Korupsi) –macam KPK jaman sekarang -
saking bersihnya dan hati-hati dalam mencari harta, ia menjadi
sangat miskin secara keuangan. Bayar listrik saja sudah berat,
uangnya hanya dari uang pensiun Wapres yang nilainya nggak seberapa.
Mendengar Hatta kesulitan bayar uang listrik dan air, Ali Sadikin
gubernur Jakarta pada waktu itu membebaskan Hatta untuk membayar
listrik dan air PAM. Keinginan Hatta yang tidak keturutan saat usia
senjanya ialah membeli sepatu Bally dari kulit hitam.

Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Karena
disitu ada koruptor Pertamina baru saja dimakamkan Haji Taher- yang
harta korupnya jadi rebutan antara pemerintah RI dengan keluarganya,
pemerintah RI diwakili LB Moerdani -, dan menurut Hatta banyak
koruptor lain dimakamkan disana, ia tidak mau bergabung bersama
Koruptor. Hatta ingin dimakamkan dekat dengan rakyat di Pemakaman
Karet, Jakarta tempat dimana Chairil Anwar juga dimakamkan. Kota
dimana ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

ANTON

PS. Untuk Yusuf Kunto dan Suroto saya tidak punya referensinya...
-------------
Oh, bung Irry saya dapat data Wikana dari situs lama http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/05/19/0032.html

Dalam bukunya AM Hanafi Menggugat.

ANTON

No comments: