Thursday, August 30, 2007

Pengalaman Menakutkan Melancong di Malaysia

Hampir Saja Dipukuli Polisi

Budiman Bachtiar Harsa
boyharsa@yahoo.com

NAMA saya Budiman Bachtiar Harsa, 37 tahun, WNI asal Banten, karyawan di BUMN berkantor di Jakarta. Kasus pemukulan wasit Donald Peter di Malaysia, bukanlah kejadian pertama. Behubung sdr Donald adalah seorang "Tamu Negara" hingga kasusnya terexpose besar-besaran. Padahal kasus serupa sering menimpa WNI di Malaysia. Bukan hanya TKI atau pendatang haram, tetapi juga wisatawan.

Tahun 2006, bulan Juni, saya dan keluarga (istri, dua anak, adik ipar), untuk pertama kalinya kami "melancong" ke Kuala Lumpur Malaysia. Kami sudah pernah berwisata ke
negara2 lain, sudah biasa dengan berbagai aturan imigrasi.

Hari pertama dan kedua tour bersama Travel agent ke Genting Highland, berjalan lancar, kaluarga bahagia anak-anak gembira. Hari ketiga city tour di Kuala Lumpur (KL), ibukota Malaysia sebetulnya juga berjalan normal sampai pada malam harinya.

Malam harinya, kami mengunjungi KLCC yang ternyata sangat dekat dari Hotel Nikko, tempat kami menginap. Usai makan malam, berbelanja sedikit, adik ipar dan anak-anak saya pulang ke hotel karena kelelahan, menumpang shuttle service yang disediakan Nikko Hotel. Saya dan istri berniat berjalan-jalan, menikmati udara malam seperti yg biasa kami lakukan di Orchrad Singapore, toh kabarnya KL cukup aman.

Mengambil jalan memutar, pukul 22.30, di dekat HSC medical, lapangan dengan view cukup bagus ke arah Twin Tower.

Saat berjalan santai, tiba2 sebuah mobil Proton berhenti, dua pria berpakaian preman turun mendekati saya dan istri. Mereka tiba-tiba meminta identitas saya dan istri, saya balas bertanya apa mau mereka. Mereka bilang "Polis", seraya memperlihatkan kartu sekilas, lalu saya jelaskan bahwa saya turis, menginap di Nikko hotel.

Mereka tak peduli, bahkan memaksa meminta passport, yang tentu saja tidak saya bawa. Masak sih di negeri tetangga, sesama melayu, speak the same language, saya dan istri bisa berbahasa Inggris, negara yang tak butuh visa, kita masih harus bawa passport?

Salah satu "polis" ini bicara dengan HT, entah apa yg mereka katakan dengan logat melayunya, sementara seorang rekannya tetap memaksa saya mengeluarkan identitas. Perilaku mereka mulai tak sopan dan istri saya mulai ketakutan.

Saya buka dompet, keluarkan KTP. Sambil melotot, dia tanya : "Kerja ape kau disini?". Saya melongo... kan turis, wisata. "Ya jalan-jalan aja lah," begitu saya jawab. Saya kaget. Pak polis membentak dan mendekatkan mukanya ke wajah saya: "Kau kerja ape? Punya licence buat kerja tak?"

Wah, kali dia pikir saya TKI ilegal. Saya coba tetap tenang, saya bilang saya bekerja di Jakarta, ke KL untuk wisata. Tiba-tiba salah satu dari mereka mencoba memegang tas istri, dan bilang dengan membentak : "Mana kunci Hotel?"... Wah celakanya kunci kedua kamar kami dibawa anak dan ipar saya yang pulang duluan ke hotel.

Saya ajak mereka ke hotel yang tak jauh dari lokasi kami. Namun pak Polis malah makin marah, memegangi tangan saya, sambil bilang : "Indon... dont lie to us. Saya kurung kalian... kalau berani macam-macam !"

Jelas saya menolak dan mulai marah. Saya ajak mereka ke hotel Nikko, dan saya bilang akan tuntut mereka habis-habisan. Sambil memegangi tangan saya, tuan polis itu meludah kesamping, dan bilang : "Kalian semua sama saja... !"

Saat itu sebuah mobil polisi lainnya datang, pake logo polisi, seorang polisi berseragam endekat. Di dadanya tertulis nama: Rasheed.

Saya merapat ke pagar taman sambil memegang istri yang mulai menangis. Melawan tiga polis, tak mungkin. Saya bakal kalah. Mereka berbicara bertiga, mirip berunding. Wah, apa polis Malaysia juga sama aja seperti oknum di Indonesia, perlu mau nyari kesalahan orang ujung-ujungnya merampok?

Petugas berseragam lalu mendekati saya, meminta kami untuk tetap tenang. Saya bertanya, apa dua orang preman melayu itu polisi, lalu polisi berseragam itu mengiyakan. Rupanya karena saya mempertanyakan dirinya, sang preman marah dan mendekati saya, mencengkram leher jaket saya, dan siap memukul, namun dicegah polisi berseragam.

Polisi berseragam mengajak saya kembali ke Hotel untuk membuktikan identitas diri. saya langsung setuju, namun keberatan bila harus menumpang mobil polisi. Saya minta untuk tetap berjalan kaki menuju Nikko Hotel, dan mereka boleh mengiringi tapi tak boleh menyentuh kami. Akhirnya kami bersepakat, namun polisi preman yang sempat hampir memukul saya sempat berkata : "If those indon run, just shoot them..." katanya sambil menunjuk istri saya. Saya cuma bisa istighfar saat itu, ini rupanya begitulah nasib orang Indonesia di negeri tetangga yang sering kita banggakan sebagai "sesama melayu".

Diantar polisi berseragam saya tiba di Nikko Hotel. Saya minta resepsionis mencocokkan identitas kami, dan saya menelpon adik ipar untuk membawakan kunci. Pihak Nikko melarang adik saya, dan mengatakan kepada sang Polis, bahwa saya adalah tamu hotel mereka, WNI yang menyewa suites family, datang ke Malaysia dengan Business class pada Flight Malayasia Airlines.

Pak Polis preman mendadak ramah, mencoba menjelaskan bahwa di Malaysia mereka harus selalu waspada. Saya tak mau bicara apapun dan mengatakan bahwa saya sangat tersinggung, dan akan mengadukan kasus ini, dan "membatalkan rencana bisnis dengan sejumlah rekan di
malaysia" (padahal saya tak punya rekan bisnis di negeri sial ini).

Polisi berseragam berusaha tersenyum semanis mungkin, berusaha keras untuk akrab dan ramah, petugas Nikko Hotel kelimpungan dan berusaha membuat kami tersenyum. Setelah istri saya mulai tenang, saya mengambil HP P9901 saya dan merekam wajah kedua polisi ini. Keduanya berusaha menutupi wajah, meminta saya untuk tidak merekam wajah mereka.

Istri saya minta kita mengakhiri konflik ini, dan sayapun lelah. Kami tinggalkan melayu-melayu keparat ini, tanpa berjabat tangan. Sepanjang malam saya sangat gusar, dan esoknya kami
membatalkan tur ke Johor baru, mengontak travel agent agar mencari seat ke Singapore. Siang usai makan siang, saya tinggalkan Malaysia dengan perasaan dongkol, dan melanjutkan liburan di Singapore.

Mungkin nasib saya sial? Ya. Mungkin saya hanya 1 dari 1000 WNI yang apes di Malaysia? bisa. Tapi saya catat bahwa bila saya pernah dihina, diancam, bahkan hampir dipukuli, bukan tak mungkin masih ada orang lain mengalami hal yg sama.

Jadi, kalau hendak berlibur di Malaysia, sebaiknya pikir masak2. Jangankan turis, Rombongan atlet saja bisa dihajar polisi Malaysia. Bayangkan bila perlakuan seperti ini dilakukan dihadapan anak kita. Tentu anak akan trauma, sekaligus sedih. Hati-hati pada promosi wisata Malaysia. Di Malaysia, WNI diperlakukan seperti Kriminal.

Sekali lagi : belajar dari Stiglitz [“pengkhianat” kepentingan World Bank dan IMF]

Catatan A. Umar Said

Sekali lagi : belajar dari Stiglitz

Tulisan tentang kritik tajam Joseph E. Stiglitz, pakar ekonomi Amerika yang
terkenal sekali di dunia, terhadap berbagai politik pemerintah Indonesia
mengenai modal asing, rupanya mendapat perhatian dari banyak kalangan di
Indonesia. Agaknya, perhatian yang besar sekali terhadap kritik Stiglitz
ini disebabkan karena masalah penanaman modal asing ini sedang menjadi
persoalan hangat yang besar sekali di berbagai kalangan, terutama di
kalangan organisasi massa dan para intelektual. Juga, karena kritik tajam
ini diucapkan oleh seorang tokoh penting Amerika yang mempunyai bobot yang
besar sekali.

Joseph E. Stiglitz adalah professor dalam ekonomi, yang pernah menjabat
sebagai penasehat ekonomi terkenal Presiden Bill Clinton, dan dipilih
sebagai Wakil Direktur Bank Dunia, serta menduduki jabatan-jabatan penting
di berbagai badan ilmiah dan organisasi Amerika dan internasional, yang
berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi dan permbangunan. Ia telah menulis
banyak buku yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi di dunia, dan
telah memperoleh Hadiah Nobel karena keahliannya.

Mengenai Indonesia Stiglitz sudah sering mengemukakan pendapatnya dalam
berbagai ceramah atau tulisannya, baik selama kunjungannya di Indonesia di
masa-masa yang lalu, maupun dalam berbagai kesempatan di banyak negeri.
Tetapi, pernyataannya yang terakhir di Jakarta baru-baru ini, adalah sangat
menarik, karena ia telah mengangkat masalah politik pemerintah Indonesia di
bidang penanaman modal asing dengan bahasa yang cukup kritis.

Untuk dapat bersama-sama menelaah kembali - dengan lebih teliti lagi -
kritiknya yang tajam tentang politik pemerintah Indonesia di bidang
penanaman modal asing, maka kita sajikan sekali lagi interviewnya dengan
Tempo (16 Agustus 2007). Mengingat arti penting interwiew-nya ini bagi kita
maka patutlah kiranya kita dalami, sekali lagi, pokok-pokok fikirannya,
yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang
terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah Indonesia berani
melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan
yang diperoleh para investor asing.

"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang
merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz

”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan
Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia.
Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan
kegiatan eksplotasi di Papua.

”Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut
izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan
minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan
melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya
harus dicabut dong," kata dia.

”Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Freeport Indonesia melakukan
pencemaran lingkungan selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun,
kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta
perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan
limbahnya (kutipan dari Tempo Interaktif selesai).

Mereka sedang merampok kekayaan alam kita

Sebagai seorang ahli di bidang ekonomi, yang pernah menjabat Wakil Direktur
Bank Dunia, dan anggota terkemuka dewan ekonomi presiden Clinton maka
menarik dan penting sekali ketika ia mengatakan “Pemerintah Indonesia
diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi
merugikan kepentingan rakyat. Jika pemerintah berani melakukan ini maka akan
memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para
investor asing. Perusahaan tambang asing tahu kok bahwa mereka sedang
merampok kekayaan alam negara-negara berkembang”.

Anjuran Stiglitz supaya pemerintah Indonesia menegosiasi ulang
kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat
merupakan pembenaran atau penggarisbawahan tuntutan banyak kalangan di
Indonesia, termasuk organisasi seperti : ABM (Aliansi Buruh Menggugat) ,
Koalisi Anti Utang, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Debt Watch,
FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia), INFID (International NGO's Forum
for Indonesian Development), JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), KPKB
(Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh), KoAge (Koalisi Anti Globalisasi
Ekonomi), KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), LBH Apik , PBHI (Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), Perkumpulan Bumi,
Sekretariat Bina Desa, SP (Solidaritas Perempuan) SEKAR, Aliansi Perempuan
untuk Keterwakilan Politik, AKATIGA, STN (Serikat Tani Nasional), SPOI
(Serikat Pekerja Otomotif Indonesia), Lapera Indonesia, The Institute for
Global Justice, FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), Serikat Mahasiswa
Indonesia,), LS-ADI (Lembaga Studi dan Aksi Untuk Demokrasi), LBH-Jakarta,
PRD, Papernas, Perhimpunan Rakyat Pekerja, Indonesian Centre for
Environmental Law (ICEL), Federasi Serikat Buruh Jabotabek, (dan banyak
organisasi lainnya).

Stiglitz menegaskan bahwa kalau pemerintah Indonesia berani melakukan
negosiasi ulang tentang perjanjian-perjanjian atau kontrak-kontrak maka akan
memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para
investor asing. Pernyataan Stiglitz ini sangat penting, sebab sejak puluhan
tahun, para investor asing di Indonesia telah mengeruk keuntungan yang
besar, sedangkan hasil yang diperoleh pemerintah Indonesia adalah kecil
sekali. Yang lebih-lebih menyedihkan lagi ialah kenyataan bahwa sebagian
(yang tidak kecil!) dari hasil kontrak-kontrak ini tidak masuk ke kas
negara, melainkan dikorupsi oleh pejabat-pejabat di berbagai tingkat, baik
di Pusat maupun di daerah.

Stiglitz dianggap “pengkhianat” kepentingan World Bank dan IMF

Pernyataan Stiglitz mengenai pentingnya negosiasi ulang kontrak-kotrak
dengan para investor asing ini juga tercermin dalam kalimatnya yang
mengatakan bahwa perusahaan tambang asing itu pada umumnya tahu bahwa mereka
sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang Bahasa yang digunakan
Stiglitz, sebagai ahli ekonomi yang terpandang di dunia, yang mengatakan
bahwa investor-investor asing itu “merampok kekayaan alam negara-negara
berkembang” adalah ucapan yang terlalu terus-terang dan tidak
tanggung-tanggung, dan langsung menusuk jantung hati para investor skala
dunia itu.

Itulah sebabnya maka sebagai seorang yang pernah menjabat wakil Direktur
Bank Dunia ia dijuluki oleh sebagian kalangan sebagai “pengkhianat”.
Sikapnya yang kritis sekali terhadap politik dan praktek-praktek yang
dilakukan IMF, dan yang menentang akibat-akibat negatif globalisasi,
membikin dirinya terkenal sebagai seorang yang membela kepentingan
negara-negara miskin dan dunia ketiga umumnya. Ia juga termasuk seorang di
antara tokoh-tokoh yang melawan pencemaran lingkungan hidup.

Masalah Freeport : akibat politik yang salah Orde Baru

Juga, sebagai orang yang pernah menduduki jabatan yang begitu tinggi dan
penting dalam pemerintahan Amerika pernyatannya mengenai perlunya ada
negosiasi ulang dengan PT Freeport Indonesia adalah satu hal sangat menarik.
Sebab, hal ini bertentangan sama sekali dengan sikap pembesar-pembesar
Amerika lainnya (termasuk Henry Kissinger) yang selalu berusaha membela
kepentingan PT Freeport.

Sikap Stiglitz yang demikian penting ini kiranya perlu mendapat sambutan
dari banyak kalangan, baik dari kalangan pemerintah maupun tokoh-tokoh
masyarakat, para intelektual dan organisasi masyarakat. Karena, kasus PT
Freeport adalah salah satu di antara kasus-kasus yang paling parah yang
dihadapi negara Indonesia, sebagai akibat politik yang salah selama puluhan
tahun dari rejim militer Orde Baru sejak tahun 1967.

Tetapi, masalah investasi asing yang dihadapi negara Indonesia bukanlah
hanya PT Freeport Indonesia, melainkan juga sebagian terbesar investasi
asing lainnya. Ini juga berlaku bagi Exxon, Newmont, Rio Tinto dan banyak
lagi lainnya. Sebab, jumlah investasi asing di bidang pertambangan di
Indonesia adalah besar sekali. Kira-kira 70 % dari pertambangan di Indonesia
didominasi oleh modal asing. Dan sebagian besar dari investasi asing ini
sudah menimbulkan bermacam-macam akibat yang negatif terhadap masyarakat
setempat di sekelilingnya, baik di bidang sosial maupun ekonomi, dan akibat
buruk yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Bukan hanya Freeport saja!

Ini terjadi dengan kasus investasi Exxon Mobil di Aceh (NAD), Laverton Gold
di Sumatera Selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimntan Timur, Arutmin
di Kalimantan Selatan, Aurora Gold di Kalimantan Tengah , PT Inco di
Sulawesi Selatan, Expan Tomori di Sulawesi Tengah, Antam Pomalaan di
Sulawesi Tenggara, Newmont di Sulawesi Utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa
Tenggara Timur, Newcrest, PT Anggal dan PT Elka Asta Media di Maluku, Beyond
Petroleum (BP) Tangguh di Papua.

Dalam menganjurkan kepada pemerintah Indonesia untuk menegosiasi ulang
kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai pertambagan
minyak dan gas, Stiglitz mengambil contoh keberhasilan Bolivia. “”Negara
miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih
besar. "Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang
sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen," ujarnya. Dan para investor asing
itu, kata dia, tetap disana.

Yang juga sangat menarik dari interview Stiglitz ialah anjurannya supaya
akibat praktek-praktek buruk para investor asing di Indonesia dibeberkan
dalam media massa. “Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya,
sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang”, katanya. Rupanya,
Stiglitz cukup mengenal garis-garis besar situasi di Indonesia, sehingga ia
menganjurkan adanya pembeberan di media massa segala oraktek-praktek buruk
perusahaan besar asing serta akibatnya yang merugikan.

Anjuran Stiglitz semacam itu adalah penting sekali kalau kita ingat kepada
sikap para pejabat negara sejak pemerintahan Orde Baru yang membuka pintu
lebar-lebar bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran di berbagai
bidang. Investor diberi segala macam pelayanan dan kemudahan-kemudahan,
walaupun ternyata banyak menimbulkan masalah bagi rakyat dan merugikan
kepentingan negara.

Gerakan extra-parlementer : tugas patriotik

Oleh karena DPR atau DPRD (atau DPD) tidak bisa diharapkan banyak untuk
mengontrol berbagai politik pemerintahan mengenai investasi-investasi asing,
maka peran berbagai organisasi non-pemerintah (ornop) dan media massa
menjadi sangat penting sekali. Sebab, korupsi dan kolusi melalui dalam
bentuk “suapan” yang macam-macam tidak hanya telah dilakukan oleh
pejabat-pejabat penting negara, melainkan juga oleh anggota-anggota DPR atau
DPRD.

Jadi, segala macam aksi-aksi extra-parlementer yang dilakukan oleh berbagai
kekuatan dalam masyarakat untuk melawan segala politik buruk pemerintah di
bidang penanaman modal asing adalah tugas atau kewajiban yang patriotik,
yang perlu mendapat dukungan seluas mungkin dari segala fihak. Gerakan atau
aksi-aksi extra-parlementer yang dilakukan berbagai tokoh masyarakat, ornop,
dan ormas mahasiswa dan pemuda, adalah sangat mutlak perlunya untuk
menghadapi dominasi modal asing di Indonesia beserta kakitangan mereka

Kiranya, kita semua patut selalu ingat bahwa dari 230 juta penduduk
Indonesia sekitar separonya (atau sekitar 115 juta) hidup dengan kurang 2$US
seharinya, dan bahwa ada pengangguran lebih dari 40 juta orang, dan juga
lebih dari 40 juta orang hidup dalam kemiskinan, ditambah lagi dengan 13
juta anak-anak yang kurang makan.

Dengan banyaknya masalah-masalah parah yang sedang dihadapi bangsa dan
negara kita dewasa ini, maka makin nyatalah bahwa dengan sistem pemerintahan
dan konstelasi politik seperti yang sekarang ini tidak mungkin diadakan
perubahan-perubahan radikal yang bisa membawa perbaikan hidup bagi sebagian
besar rakyat. Apalagi, berbagai masalah besar dan parah seperti tersebut di
atas dibikin lebih parah lagi dengan korupsi yang sudah merajalela dan
pembusukan akhlak di berbagai kalangan masyarakat.

Sejumlah negeri-negeri di Amerika Latin (umpamanya Venezuela, Bolivia,
Argentina dan juga Kuba) sedang menunjukkan kepada dunia bahwa jalan lain
untuk mendatangkan perubahan besar dan perbaikan hidup rakyat banyak adalah
mungkin, dan bukannya jalan yang ditunjukkan oleh Washington.

Pengalaman di berbagai negeri Amerika Latin ini patutlah sekali diperhatikan
oleh semua golongan dan kalangan di Indonesia yang menginginkan adanya
perubahan-perubahan besar serta perbaikan sejati di negeri kita.

Paris 30 Agustus 2007

Bali Post. Filsafat Pembangunan Mahatma Gandhi

Kamis Wage, 30 Agustus 2007


Mahatma Gandhi berpendapat bahwa sejatinya secara
global penduduk dunia tidak pernah kekurangan pangan.

Bali Post. Filsafat Pembangunan Mahatma Gandhi
Oleh Dr.Ir. Wayan Windia

SUDAH menjadi wacana publik bahwa manusia telah
terjebak dalam keserakahannya. Dalam tatanan pola pikir, telah
berkembang konsep pragmatisme, materialisme, dan kapitalisme. Dalam
tatanan sosial telah berkembang konsep yang mementingkan kelompok,
golongan, dan bangsanya sendiri-sendiri. Selanjutnya dalam tatanan
artefak/fisik/kebendaan, telah banyak diketahui tentang betapa
sakitnya bumi dan alam kita.

Adanya ramalan tentang kawasan Bali (Sanur dan
Kuta) yang akan tenggelam, ditelan laut mengindikasikan bahwa bumi
ini memang sudah rusak, karena ulah manusia yang serakah. Banyak
ahli lingkungan yang mengatakan bahwa timbulnya berbagai penyakit
yang kini muncul ke permukaan bumi, disebabkan keseimbangan alam
lingkungan bumi yang rusak. Penyakit tanaman, hewan, dan manusia
yang kini bermunculan (yang sebelumnya tidak banyak dikenal dalam
beberapa dekade yang lalu) karena keseimbangan alam kita yang rusak.

Ada catatan pengalaman di Jepang, di mana pada
suatu waktu pemerintah melarang petani menanam padi. Tujuannya, agar
tidak terjadi produksi berlebihan. Akibatnya, sistem aliran irigasi
tidak berjalan sebagaimana biasanya. Berbagai hewan (mungkin di
antaranya predator) menjadi mati, karena tidak ada air yang cukup.
Hal inilah akhirnya menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit di
Jepang yang menyerang penduduk. Kasus itu menunjukkan kepada kita,
tentang perubahan lingkungan yang kecil sekalipun, ternyata dapat
menyebabkan munculnya berbagai penyakit bagi manusia.

Penyakit flu burung yang kini mencuat, tampaknya
tak lepas dari kerusakan lingkungan alam. Termasuk di antaranya,
karena ada 'pemaksaan' terhadap ayam (bangsa burung) untuk bertelur,
beranak, dan berdaging. Dengan demikian genetik ayam akan melemah,
dan muncullah penyakit flu burung. Hal yang analogis pernah terjadi
pada tanaman jeruk di Bali. Karena ada 'pemaksaan' terhadap tenaman
jeruk untuk berbunga dan berbuah, maka genetik tanaman jeruk
melemah. Muncullah penyakit CVPD. Hal yang sepadan tampaknya terjadi
pada manusia, yang berkait dengan kemunculan penyakit HIV/AIDS,
kanker, dan lain-lain.

Dalam berbagai buku sejarah pangan dunia tercatat
bahwa negara maju memang sangat serakah, dan makan terlalu banyak.
Rakyat di negara maju makan biji-bijian, lima kali lebih banyak
dibandingkan dengan rakyat di negara yang sedang berkembang. Namun
biji-bijian itu dimakan melalui ternaknya. Ternaknya diberi makan
jagung, gandum, kacang-kacangan, jagung, dan lain-lain dengan
harapan agar dagingnya menjadi empuk, susunya lebih bergizi, dan
lain-lain. Padahal makanan ternak itu sejatinya bisa langsung
dimakan oleh manusia.

Catatan sejarah pangan ini tampaknya membuktikan
pendapat Mahatma Gandhi bahwa sejatinya secara global penduduk dunia
tidak pernah kekurangan pangan. Ketersediaan pangan selalu lebih
besar dibandingkan dengan jumlah penduduk. Namun, kalau terjadi
kekurangan pangan bagi penduduk, jelas hal itu karena keserakahan
manusia. Karena penduduk negara maju yang serakah, maka harga pangan
akan mahal, dan penduduk yang miskin tidak mampu membelinya. Di
samping itu, sarana dan prasarana angkutan yang tidak sepadan
menyebabkan pula terjadi banyak kelaparan di dunia.

Berkait dengan bahasan di atas, maka filsafat
pembangunan yang lain dari Mahatma Gandhi dan kiranya penting untuk
dilaksanakan adalah bahwa pembangunan harus sebesar-besarnya
diarahkan pada populasi rakyat yang termiskin (anatonda). Filsafat
ini tampaknya sudah banyak dikenal, dan sudah menjadi hiasan bibir
bagi tiap pemimpin kita. Namun dalam kenyataannya, penduduk miskin
tetap saja banyak. Dalam beberapa kasus jumlahnya makin banyak,
meskipun tidak di atas angka standar PBB. Oleh karenanya,
pembangunan harus memihak penduduk miskin, dan bukan memihak kaum
investor (kalangan berduit).

Karena itu, kita harus segera menghentikan
keserakahan kita untuk membabat hutan, mengeksploitasi lahan dan
air. Yang paling penting, para pemimpin bangsa dalam semua level,
haruslah memberikan keteladanan sebagaimana halnya yang dilakukan
oleh Mahatma Gandhi.

Tuesday, August 28, 2007

Kebohongan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias

Kabar Bohong dari Luengbata
[ penulis: Akhiruddin Mahjuddin, SE, Ak | topik: Korupsi ]

Pagi itu tepat pukul 09 wib. saya tiba di kantor untuk memulai
rutinitas. Seperti biasa, hal pertama yang saya lakukan adalah
membaca koran lokal sambil melihat berita headline dan berita yang
menyangkut dengan kejahatan anggaran dan penyalahgunaan kewenangan.

Setelah melahap semua berita tentang Aceh terkini, baru saya mulai
kerja. Sejumlah dokumen dan surat yang menumpuk di atas meja mulai
ditelaah dan disposisi. Ada satu surat tanpa identitas pengirim yang
berisi beberapa data tentang institusi yang berkantor di Lhuengbata.
Saya baca dengan seksama. "Mantap kataku," guman saya sambil
mengasingkan surat itu.

Data berupa surat elektronik itu mengurai "isi perut" Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Surat itu bermula
dari kecemasan dan kekhawatiran salah seorang staf di bagian pusat
data dan informasi (Pusdatin). Ia mungkin sudah tidak tahan dengan
kebohongan angka-angka rumah yang disajikan oleh BRR kepada publik.

Bohong rame-rame

Pantun melayu, "sekali lansung ujian, seumur hidup orang tak
percaya", maksudnya sekali melakukan kebohongan, maka kebohongn baru
tidak mungkin bisa ditutupi. Jadi, sekali berbuat bohong maka anda
tidak bisa keluar dari siklus dan matarantai kebohongan.

Kerisauan Wasi memuncak dan ditulis secara gamblang dalam surat yang
ditujukan kepada rekan-rekannya dengan subjek berita finaslisasi
data di Serambi dan Waspada - pencerahan tentang perumahan.

Angka rumah ini adalah mungkin angka yang paling cantik. Selalu
diburu dan dapat tampil memukau. Hanya saya merasa perlu pencerahan
tentang gerak-gerik angka rumah yang lincah ini yang bikin saya
bingung mengikutinya. Misalnya dengan pernyataan "91.540 rumah sudah
selesai dan dalam tahap penyelesaian di lapangan."

Minggu lalu, aktivis GeRAK mendapat angka monev perumahan, bahwa per
Mei 31, 2007, rumah selesai dibangun total 77.194 unit yang terdiri
dari 21.292 rumah dibangun oleh BRR dan 55.902 rumah dibangun oleh
NGO. Senin lalu, saya dapat info bahwa dari 21.292 rumah dibangun
BRR. Ternyata pengertian rumah selesai dibangun BRR termasuk juga
angka rumah yang baru selesai urusan kontraknya dengan kontraktor.

Itulah sepenggal isi kawat "rahasia" dari Lhuengbata yang
menggambarkan kebohongan pihak BRR. Tidak hanya itu, kawat itu juga
menjelaskan lebih lanjut kebohongan yang dilakukan oleh BRR pada
bulan Desember Tahun 2006.

Saya khawatir, 91.540 ini adalah termasuk angka rumah yang hanya
baru selesai urusan kontraknya bukan urusan bangunannya. Hal seperti
ini pernah terjadi bulan November 2006 saat hendak mengeluarkan
angka rumah untuk buku dua tahun peringatan tsunami. Saat itu
dikeluarkan angka rumah selesai dibangun BRR adalah

16.894 unit (data terlampir). Angka itu adalah bulan November
diproyeksi untuk Desember 2006. Kenyataanya sampai April 2007, rumah
selesai dibangun BRR hanya mencapai 13.300 (data terlampir).

Terburainya isi perut BRR ini menggambarkan kesemrautan kinerja di
beberapa kedeputian. Kesimpangsiuran angka-angka liar rumah BRR
menunjukkan lemahnya manajemen pengelolaan aset dan verifikasi data
di lembaga kaya ini. Dan cerita merot tentang BRR tak hanya terjadi
sekarang. Sejak berdiri pada 2005, "mesin pembangkit" rehabilitasi
dan rekonsrtuksi ini pun tak henti menuai kritik; gaji besar kinerja
loyo.

Titik tolak

Konon tercecernya kawat rahasia yang memburaikan isi perut lembaga
tsunami ini membuat berang para petingginya. Rapat pun dilakukan
untuk mencari tahu siapa orang yang membocorkan hingga kawat rahasia
tersebut bisa sampai ke kantor GeRAK Aceh. Alhasil hingga saat ini
orang yang dicaripun belum ketemu.

Tindakan mencari siapa pelaku yang melakukan spionase bukanlah
tindakan elegan. Yang dilakukan seharusnya membenahi managemen
pengelolaan aset dan mekanisme verifikasi data perumahan.

Data bohong tentang rumah yang terjadi di tubuh lembaga mesin
penggerak rehabilitasi dan rekonstruksi ini harusnya dijadikan
sebagai tonggak untuk melakukan evaluasi bukan saja sistem tapi juga
kinerja staf, bahkan sampai pada pemberian sanksi.

Kebohongan BRR terhadap data rumah yang disajikan tidak saja untuk
publik Aceh tapi juga konsumsi publik dunia international, sungguh-
sungguh merupakan tindakan yang memalukan. Kejadian tersebut
ternyata tidak membuat para elite BRR bergeming. Mereka memegang
falsafah "anjing mengonggong kafilah tetap berlalu." Inilah beda
dengan bangsa Jepang yang melembagakan budaya malu. Di Jepang, siapa
pun pejabat negara yang telah gagal atau dianggap gagal oleh publik
dalam melakukan tanggungjawabnya, apalagi melakukan kebohongan
publik semisal menyulap kinerjanya untuk kepentingan politis semata,
maka dia tidak segan-segan untuk mengundurkan diri bahkan ada yang
sampai bunuh diri. Kalau saja saya adalah KM, maka akan saya tempu
jalan yang sama sebagai titik tolak membangun budaya malu di negeri
ini. Agar kelak menjadi contoh bagi pejabat lainnya dalam mengemban
amanah rakyat, semoga!

*) Penulis adalah koordinator GeRAK Aceh

Friday, August 24, 2007

Revolusi Kemerdekaan dan Pribadi2 di baliknya

Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri

Oleh : ANTON

Sejarah mencatat sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sekelompok pemuda
dengan nekat menculik Sukarno dan Hatta, berikut Fatmawati dan
bayinya Guntur dibawa ke Rengasdengklok untuk dipaksa
memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini sebenarnya bermula pada
kunjungan sekelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta di suatu
tempat. Orang itu adalah : Wikana (ketua), DN Aidit, Soebadio
Sastrosatomo, Suroto dan Yusuf Kunto.

Pada pertemuan itu sekelompok pemuda itu ngotot agar kemerdekaan
Indonesia di proklamasikan secepatnya sebelum ada keputusan resmi
dari sekutu tentang status Indonesia, artinya masa vakum kekuasaan
akibat kalahnya Jepang ibarat `Golden Time' bagi orang kena serangan
jantung sebelum diselamatkan dokter atau mati ditengah jalan.
Sukarno menolak ia takut kalau proklamasi dilakukan tanpa
menyertakan Panitia Kemerdekaan yang notabene buatan Jepang maka
bisa terjadi penangkapan-penangkapan yang tidak perlu dan korban
dari pihak rakyat karena kebrutalan Jepang. Tapi para pemuda itu
bilang mereka sudah siap, dan revolusi tinggal tunggu pelatuknya.
Jakarta akan terbakar api perang kemerdekaan. Sukarno tetap menolak
permintaan pemuda itu. Akhirnya salah seorang dari mereka dalam
suasana panas mengancam bila Bung Karno tidak mau memproklamirkan
maka akan ada pertumpahan darah dalam pertemuan ini. Bung Karno yang
terkenal nggak mau ngalah, malah balik mengancam sambil pegang
lehernya dan berteriak. "ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu,
dan sudahilah nyawa saya sekarang juga, jangan tunggu besok!" Hatta
yang lebih berkepala dingin menengahi suasana yang sudah memanas
itu, dia bilang "Sudah jangan diteruskan...kalau kalian sanggup
proklamasikan saja sendiri" Hatta meminta pemuda lebih sabar
menunggu keadaan. Jelas suasana ini membuat para pemuda yang memaksa
Bung Karno kecewa apalagi Wikana yang sudah sangat yakin bahwa
Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pasti bisa membantu Indonesia, ia
kenal dengan petinggi-petinggi Kaigun yang memang agak bersimpati
atas kemerdekaan Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian
mencetuskan ide gila untuk menculik Sukarno dan Hatta.

Lalu bagaimana yang terjadi dengan nasib orang-orang yang terlibat
pada pertemuan itu setelah Indonesia merdeka?.

Sukarno menjadi Presiden Indonesia pertama, namun diakhir hidupnya
ia dikarantina akibat peristiwa G 30 S yang nggak jelas siapa yang
main. Akhir hidupnya menderita sakit lever dan wajahnya bengkak-
bengkak, dokter yang merawat Bung Karno bukan lagi dokter Mahar
Mardjono tapi dokter hewan dan ia tidak boleh baca koran, menerima
tamu bahkan kerap menerima perlakuan kasar dari pengawal yang
diperintahkan Junta Militer Orde Baru untuk menjaga beliau. Orang
yang terakhir menjenguk beliau adalah Hatta. Sukarno yang dalam
keadaan koma tiba-tiba tersadar ketika Hatta datang, dengan suara
pelan dia berkata "Hatta kau disini?".Hatta menanggapinya dengan
menjawab "Bagaimana keadaanmu, No?" Hatta memanggil Sukarno dengan
nama kependekan seperti yang sering ia kalau ia memanggil Bung Karno
di jaman pergerakan sampai awal kemerdekaan. Bung Karno menjawab
sama dengan apa yang ditanyakan Hatta dalam bahasa Belanda "Hoe gaat
het met Jou?". Hatta menangis sambil memegangi tangan Bung Karno.

Tokoh yang paling tragis dari kisah orang-orang yang hadir dalam
pertemuan itu adalah DN Aidit alias Bang Amat. Ia yang diawal
kemerdekaan tertangkap Belanda dan dipenjarakan di Pulau Onrust lalu
setelah dibebaskan ia bergabung dengan gerakan Musso, akibat
peristiwa Madiun 1948, ia bersembunyi dan baru muncul di awal tahun
50-an. Ia juga dicari-cari Rezim Sukiman pada Razia Agustus 1951,
kemudian PKI mendapat pengakuan politik oleh Sukarno, dan DN Aidit
merevitalisasi PKI, lalu membesarkan partai ini menjadi partai
paling menakutkan bagi lawan-lawan politiknya. Akibat peristiwa G 30
S ia dituduh sebagai dalang utama dan kabarnya ia dihabisi oleh
prajurit RPKAD di sebuah tempat di Solo. Pembunuhan terhadap
karakternya paling brutal dalam kisah sejarah Indonesia, ia bukan
saja dibantai kehidupannya tapi juga dibantai namanya, DN Aidit
menjadi nama paling mengerikan baik di buku-buku pelajaran maupun
film atau kisah-kisah di masa Orde Baru.

Soebadio Sastrosatomo juga mengalami nasib yang kurang baik dalam
hidupnya setelah Indonesia merdeka. Pada awalnya ia masa-masa manis
berpolitik. Pada saat pemerintahan Amir Syarifudin jatuh akibat mosi
tidak percaya terhadap perundingan Renville, Amir yang juga tadinya
satu partai dengan Badio alias Kiyuk..berkata pada Badio dalam
sebuah rapat mendadak "Ik leg mijn ambt neer. Saya sudah kalah,
Badio..wordt jij maar Perdana Menteri. Daar is the plane, ga jij
maar Jakarta om meet de Belanda te spreken..(Saya letakkan jabatan
saya, saya sudah kalah Badio, kau saja jadi Perdana Menteri.Disana
ada pesawat terbang, kau pergilah ke Jakarta untuk berunding dengan
Belanda). Saat itu umur Badio baru 30 tahun. Namun Badio menolak
tawaran Amir.

Saat Sukarno mengusulkan supaya Badio diangkat menjadi Jaksa Agung
pada bulan November 1945 Hatta menolak dengan berkata "Soebadio is
the jong" (Soebadio terlalu muda) jadilah Badio seumur-umur tidak
pernah menerima jabatan resmi pemerintah. Malah ia keluar masuk
penjara. Di jaman Demokrasi terpimpin Badio masuk penjara Madiun
karena dianggap menentang Sukarno. Lalu di jaman Orde Baru tanpa
proses pengadilan ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 888
hari. Hidupnya sangat sederhana, Pak Badio ini tinggal di Jalan
Guntur No. 49 Jakarta. Rumahnya merupakan bangunan tua yang lapuk di
makan usia. Badio ini termasuk anak didik Sjahrir, Ia benci sekali
dengan Suharto namun ia menyenangi Bung Karno walaupun ia pernah
dipenjara pada saat jaman Bung Karno. Di jaman Orde Baru Megawati
berkali-kali datang ke rumah Badio dan kalau Megawati datang, Badio
selalu tanya "Apa kata Bapak?" Badio yakin Megawati mampu berdialog
dengan arwah Bung Karno.

Wikana adalah tokoh yang paling tidak dikenal dalam sejarah
Indonesia. Padahal pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 peran
beliau yang paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan
Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah
dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Lalu
Wikana mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung
Karno di Pegangsaan, ia juga tegang saat melihat Bung Karno sakit
malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi.
Wikana kasak kusuk ke kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu
jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Setelah kemerdekaan
jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap terlibat peristiwa
Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran tentara. Bersama
dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan
baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun
1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 februari
1955. Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana
tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak
progresif, ini sama saja dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex
Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan
perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat
pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan
Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak
mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung Waperdam
Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS.
Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana
hilang begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.

Lalu bagaimana dengan Hatta?, Hatta menjadi Wakil Presiden dan
dilantik bersama Bung Karno. Hatta memiliki peran besar pada
revolusi bersenjata 1945-1949 karena Bung Karno tidak disukai
Belanda sangat membenci Bung Karno, dan dianggap Bung Karno tak
lebih dari Quisling, tokoh kolaborator Norwegia yang berkhianat dan
membantu Nazi, Bung Karno dianggap membantu rezim fasis Jepang
selama pendudukan militer Jepang 1942-1945 namun Hatta dan Sjahrir
disukai Ratu Belanda karena itulah kedua tokoh ini yang paling
sering berunding dengan Belanda. Hatta melakukan restrukturisasi
partai-partai politik dan militer. Restrukturisasi militer Hatta
memiliki dampak paling luas terhadap perkembangan sejarah Indonesia,
terutama sekali berjaraknya militer rasional ciptaan Hatta-AH
Nasution dengan sentimentalisme patriotik Sukarno. Selain itu
restrukturisasi militer Hatta memunculkan peristiwa politik paling
kontroversial sepanjang era revolusi kemerdekaan, peristiwa Madiun
1948. Orang-orang komunis menuduh Hatta terlibat pada perjanjian
rahasia red drive proposal antara pemerintah AS dengan RI untuk
membendung komunisme di Indonesia, dengan imbalan AS akan mendukung
perjuangan diplomatik Indonesia baik di PBB maupun forum-forum
perundingan dengan Belanda. Red Drive Proposal ini dianggap sebagai
awal mula munculnya peristiwa Madiun yang berakibat dibunuhnya tokoh-
tokoh politik penting dari garis kiri seperti : Amir Sjarifudin,
Musso, Suripno dll.

Setelah penghancuran PKI dan Front Demokrasi Rakyat, karir politik
Hatta semakin cemerlang ia dipercaya pemerintah RI menjadi
penandatangan perjanjian KMB 1949 dan pengakuan kedaulatan RI atas
Indonesia 27 Desember 1949. lalu Hatta dengan baik mengatur formasi
kabinet, bersama dengan Sri Sultan HB IX, Hatta memodernisir TNI.
Setelah Pemilu 1955, karir politik Hatta menurun, ini berbanding
terbalik dengan karir politik Bung Karno yang menanjak ditunjang
mulai kuatnya PKI revitalisasi Aidit 1954 dan mulai mendapatnya
dukungan militer terhadap Bung Karno seiring tidak puasnya kerja
parlementer. Hatta menolak konsep-konsep politik Bung Karno, lalu
hubungan itu merengang, pada tahun 1956 Hatta mengundurkan diri,
awalnya Bung Karno menolak pengunduran diri Hatta, tapi akhirnya ia
menandatangani surat pengunduran diri Hatta. Mundurnya Hatta membuat
kecewa banyak perwira militer non Jawa yang notabene juga anti PKI.
Protes terhebat adalah ketika PRRI mengultimatum agar Dwitunggal
Sukarno-Hatta kembali lagi dan pemerintah Jakarta jangan sampai
jatuh ke tangan komunis, atau pemberontakan pecah. Akhirnya
pemberontakan PRRI pecah diikuti dengan gerakan Permesta. Kolonel
Ahmad Yani yang menyelesaikan kasus PRRI dengan operasi 17 Agustus-
nya. Praktis setelah PRRI nama Hatta hilang dari peredaran, ia hanya
disebut dalam upacara proklamasi sebagai ko-proklamator. Nasibnya
sebagai ko-proklamator menyelamatkan nasibnya karena dengan itu
rezim Sukarno tidak berani menjebloskan Hatta ke penjara, ini
berbeda dengan nasib Sjahrir. Konon kabar yang beredar dari versi
buku-buku sejarah (Versi PKI terlibat dalam Gestapu) Hatta
dimasukkan ke dalam tokoh yang harus dibunuh pada malam jahanam 30
September 1965. Namun DN Aidit menolak Hatta dijadikan sasaran
pembunuhan. Mungkin Aidit sungkan pada Hatta, walaupun Aidit pernah
mendakwa habis-habisan Hatta pada pengadilan kasus Madiun tahun
1955. Hatta tetap dipandang sebagai guru politiknya, karena Hatta
sering mengajar anak-anak muda pergerakan pada Markas Pemuda Menteng
61.

Setelah PKI dihancurkan oleh Orde Baru dan Bung Karno digerogoti
karir politiknya pelan-pelan. Hatta sempat dimunculkan sebagai calon
kuat Presiden RI, bersama dengan AH Nasution. Tapi Hatta tetap
menolak sebelum kasus G 30 S jelas, ia bahkan menantang Junta
Militer Orde Baru untuk membawa Sukarno ke pengadilan agar peristiwa
ini jelas dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Mental Hatta adalah
mental khas didikan Belanda, yang menempatkan hukum diatas
segalanya. Bersama Deliar Noer Hatta ingin mendirikan PDII (Partai
Demokrasi Islam Indonesia) tapi ijin pendirian ditolak Orde Baru.
Ketika kekuasaan Suharto mulai mapan setelah peristiwa Malari 1974
menyusul ditangkapinya tokoh-tokoh PSI dan aktivis mahasiswa, muncul
kasus aneh Sawito Kartowibowo, eks pegawai Departemen Pertanian yang
mengeluarkan dokumen `Menuju Keselamatan' dimana dia mendapat
wangsit membenahi Indonesia. Dalam dokumen itu Sawito mengkritik
habis-habisan Suharto dan keluarganya, kritik itu disetujui oleh
banyak tokoh nasional termasuk Hatta dan Hamka yang menandatangani
persetujuannya terhadap isi dokumen itu. Dalam dokumen itu juga
Sawito menunjuk Hatta sebagai tokoh yang harus menggantikan Suharto
sebagai Presiden RI demi keselamatan bangsa Indonesia. Suharto marah
bukan main, kasus Sawito dihantam habis-habisan, tapi kemujuran
Hatta terhadap bencana politik lagi-lagi terjadi, Suharto tidak
berani menyentuh Hatta. Tahun 1980 Hatta meninggal dan Iwan Fals
menciptakan lagu yang sampai saat ini masih banyak dihapal oleh
generasi muda Indonesia, lagu itu berjudul `Hatta'. Bait dalam lagu
itu yang menakutkan rezim Suharto adalah : "Terbayang nama seorang
sahabat yang tak pernah lepas dari namamu" nama yang dimaksud itu
adalah : Sukarno.

Sukarno juga yang menjodohkan Hatta dengan Rachmi Hatta, Hatta
bersumpah menolak menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah ini
merupakan reaksi terhadap November Belofte 1918, dimana pemerintah
Hindia Belanda menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada tahun itu.
Pernikahan Hatta sekaligus legitimasi pribadinya terhadap Proklamasi
1945. Beda dengan Sjahrir dan Tan Malaka yang masih ragu pada
proklamasi 1945 sebelum melihat dukungan rakyat.

Banyak orang mengenang Hatta sebagai pribadi yang disiplin waktu,
gila buku, memiliki humor kering bahkan Bung Karno pernah mengejek
Hatta sebagai pribadi yang membosankan, bukan seperti dirinya yang
womanizer dan gampang buat suasana meriah. Tapi dari semua yang
dikenang akan pribadi Hatta adalah kesederhanaan, baik kesederhanaan
hidup maupun kesederhanaan hati. Anaknya Meutia Hatta baru tahu
bahwa Bapaknya pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, setelah ia
diajari sejarah Indonesia di sekolah waktu SD. Sepulang dari sekolah
dia bertanya " Papa, dulu pernah jadi wapres RI, ya? Saya tahu dari
guru sekolah" hal ini bisa digambarkan betapa tidak melebih-lebihkan
Hatta pada peran sejarah, sampai anaknya sendiri tidak pernah tahu
apa yang dilakukannya untuk negara. Hatta dikenal tokoh yang anti
korupsi, dia pernah ditugasi oleh Suharto memberantas Korupsi lewat
komisi GAK (Gerakan Anti Korupsi) –macam KPK jaman sekarang -
saking bersihnya dan hati-hati dalam mencari harta, ia menjadi
sangat miskin secara keuangan. Bayar listrik saja sudah berat,
uangnya hanya dari uang pensiun Wapres yang nilainya nggak seberapa.
Mendengar Hatta kesulitan bayar uang listrik dan air, Ali Sadikin
gubernur Jakarta pada waktu itu membebaskan Hatta untuk membayar
listrik dan air PAM. Keinginan Hatta yang tidak keturutan saat usia
senjanya ialah membeli sepatu Bally dari kulit hitam.

Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Karena
disitu ada koruptor Pertamina baru saja dimakamkan Haji Taher- yang
harta korupnya jadi rebutan antara pemerintah RI dengan keluarganya,
pemerintah RI diwakili LB Moerdani -, dan menurut Hatta banyak
koruptor lain dimakamkan disana, ia tidak mau bergabung bersama
Koruptor. Hatta ingin dimakamkan dekat dengan rakyat di Pemakaman
Karet, Jakarta tempat dimana Chairil Anwar juga dimakamkan. Kota
dimana ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

ANTON

PS. Untuk Yusuf Kunto dan Suroto saya tidak punya referensinya...
-------------
Oh, bung Irry saya dapat data Wikana dari situs lama http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/05/19/0032.html

Dalam bukunya AM Hanafi Menggugat.

ANTON

Wednesday, August 22, 2007

NASKAH PROKLAMASI yg disepakati 14 Juli 1945

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu makan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Bangsa Indonesia di zaman dahulu telah mempunyai riwayat mulia dan bahagia, yang batas-batasnya meliputi seluruh kepulauan Indonesia sampai ke Papua, malah melampaui ke daratan Asa sampai ke batas-batas tanah Siam; negara merdeka, yang dalam perhubungan perdamaian dan persahabatan dengan negara-negara merdeka di daratan Asia, menyambut tiap-tiap bang sayang datang dengan kemurahan hati.

Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia, membawalah bencana kepada bangsa Indonesia itu. Lebih dari tiga abad meringkuklah bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Belanda dengan haluan politik jahat: memecah-mecah persatuan kita, mengina, menginjak-injak rasa kehormatan kita, menghina, menghisap-memeras kekayaan kita untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri.

Perkosaan yang jahat itu tidak dapat persambungan dalam dunia seterusnya, yang di dalamnya bertambah-tambah kehebatan perlombaan imperialisme Barat, berebut kekayaan segenap dunia. Dan lama-kelamaan bangkitlah kembali dengan sehebat-hebanya semangat perlawanan bangsa Indonesia, yang memang tak pernah padam dan tak pernah dipadamkan, dalam lebih 3 abad perkosaan oleh imperialisme Belanda itu. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesa adalah sejarah berpuluh-puluh pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda itu. Bergeloralah lagi di dalam kalbu bangsa Indonesia tekad yang berkobar-kobar berbangkit kembali sebagai satu bangsa yang merdeka dalam satu negara yang merdeka, melahirkanlah pergerakan teratur dalam bangsa Indonesia, yang didasarkanatas cita-cita keadilan dan kemausiaan, menuntut pengakuan hak kemerdeaan tiap-tiap bangsa. Tidak tercegah, tidak tertahan tumbuhnya, meluas dan mendalam pergerakan ni dalam segenap lapisan dan segenap barisan bangsa Indonesia, betapa pun kerasnya, betapa pun buasnya betapa pun ganasnya kekuatan pemerintah Belanda berkhtiar mencegah dan menindasnya.

Di saat memuncaknya gelagat pergerakan itu yang seperti barat saat kelahiran anak dari kandungan ibunya, maka Tuhan Yan Maha Kuasa telah membelokkan perjaanan riwayat dunia, mengalih/memindahakn perimbangan kekuasaan di muka bumi, istimewa di daerah lautan Teduh, untuk membantu pembinaan kelahiran itu.

Tuntutan Dai Nippo Teikoku, bertentangan denan tujuan-tujuan imperialisme Barat, yaitu tuntutan hak kemerdekaan Asia atas dasar persamaan ha bangsa-bangsa, serta politik ang dengan tegas dan tepat dijalankan olehnya, menuju pembangunan negara-negara merdeka dan lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, akhirnya telah menyebabkan Dai Nipoon Teikoku metnyatakan perang kepada Amerika Serikat dan Inggris. Perang Asia Timur Raya ini, yang berkebetulan dengan saat memuncaknya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesa dan pergerakan kmerdekaan bangsa-bangsa Asia yang lain, menjadilah sebagai puncak pertemuan perjuangan kemerdekaan segala bangsa Asia di daratan dan di kepulauan Asia.

Dengan mengakui dan menghargai tnggi keutamaan niat dan tujuan Dai Nipoon Teikoku dengan Perang Asia Timur Raya itu, maka tiap-tiap bangsa dalam lingkungan Asia Tmur Raya atas dasar pembelaan bersama, wajiblah menyumbangkan sepenuhnya tenaganya dengan tekad yang sebulat-bulatnya, kepada perjuangan bersama itu, sebagai jaminan yang seteguh-teguhnya untuk keselamatan kemerdekaannya masing-masing.

Maka sekarang, telah sampailah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia, adil dan makmur, yang hidup sebagai anggota sejati dalam kekeluargaan Asia Timur Raya. Di depan pintu gerbang Negara Indonesia itula rakyat Indonesia menyatakan hormat dan terima kasih kepada semua pahlawan-pahlawan kemerdekaannya yang telah mangkat.

Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, berdasar atas segala alasan yang tersebut di atas itu, dan didorong oleh keinginan luhur supaya bertangung-jawab atas nasib sendiri, berkehidupan kebangsaan yang bebas, mulia, terhormat, maka rakyat Indonesia dengan ini:

MENYATAKAN KEMERDEKAAN.

------------------
dari : http://pejalanjauh.blogspot.com/2007/08/naskah-asli-proklamasi-yang-tak-jadi.html

PETISI KEPRIHATINAN ATAS PERAMPASAN PC WARNET

----- Original Message -----
From: "Dwi Mardianto"
Sent: Saturday, August 18, 2007 6:47 PM
Subject: [asosiasi-warnet] PETISI HENTIKAN PERAMPASAN PC WARNET

* PETISI KEPRIHATINAN ATAS PERAMPASAN PC WARNET *

Resah warnet ketika aparat penegak hukum sweeping software bajakan,
yang digunakan warnet-warnet. Sedangkan software-software bajakan
masih banyak digunakan di institusi pemerintahan.

CPU diangkut, karyawan diangkut, pengelola sempoyongan, dan warnet
berhenti beroperasi, jadi berkurang yang bisa beroperasi.

Sejauh mana sih hubungan cpu dengan software, apakah menggunakan
software bajakan serta merta CPU sebagai instrumen juga dalam
masalah tersebut dan patut untuk di sita, atau itu merupakan
merampas barang orang lain juga secara melawan hukum maupun
kepatutan yang berlaku umum.

Software adalah alat bukti data procesing dan membutuhkan media
penyimpanannya tetap yaitu di perangkat keras penyimpanan berupa CD.
Sedangkan pada Hardisk berupa media yang relatif dan tidak tetap,
karena bisa berubah-ubah, namun untuk dijadikan suatu instrumen
dalam perkara ini tentunya masih dapat dilakukan secara limitatip.
Namun dalam proses sweeping aparat penegak hukum seluruh komponen
CPU yang belum secara langsung sebagai instrumen tetap di sita.

Kita bicara di sini CPU diangkat juga, apakah CPU merupakan
instrumen, saya yakin sangat tidak berdasar sebagaimana saya uraikan
dibawah ini. Dan lebih banyak mematikan ekonomi rakyat kecil,
sehingga cukuplah Hardisk sebagai media penyimpanan di sita
sedangkan CPU ditinggalkan dengan surat pernyataan tidak
menggunakannya lagi OS bajakan.

Sehingga cukup alasan pemilik Warnet yang sebagian besar roda ekonomi
masyarakat menengah bawah bisa terus berjalan dengan menggunakan OS
lain seperti LINUX. Dan tidak menimbulkan pengangguran dan keresahan
baru bagi masyarakat, ingat untuk lepas dari krisis ekonomi ini kita
harus saling membantu dan mengedapankan semangat Gotong Royong
sebagai modal dasar kita.

Untuk dapat mempergunakan software OS/Program atau apapun bentuknya
yang diperlukan adalah:

1. Arus Listrik (Yang disediakan oleh PLN atau Genset)
2. Arus/Gelombang Interkoneksi
3. Hardware ( CPU, Monitor, mouse, keyboard, LAN)
4. Software (OS, dan Program)
5. Brainware (Orang yang settup)

Sejauh mana instrumen suatu tindak pidana bisa diterapkan secara
langsung dalam Criminal Justice System (CJ-Sys) yang berlaku di
Indonesia melalui pranata Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana,
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana, Hak Atas Kekayaan Intelektual
(Undang Undang Hak Cipta, Undang Undang Merek, Undang Undang Paten
dan Undang Undang Desain Industri, Rahasia Dagang).

"Jika memperhatikan penerapan hak cipta di luar negeri, memperoleh
kompensasi ganti rugi atas tindakan pelanggaran hak cipta yang
dialami oleh pemegang hak cipta merupakan hal yang sering dilakukan
untuk menuntut hak atau penegakan hukum hak cipta." - Prof. Dr. Budi
Mulyana

Sehingga tujuan dari suatu korporasi untuk memperoleh nilai ekonomis
produk yang dihasilkan bisa tercapai. Mengingat penerapan Pidana
dalam CJ-Sys yang berlaku positip di Indonesia adalah sebagai
*Ultimum Remedium *(*tindakan terakhir apabila tindakan tindakan
Preemtif, Preventif tidak dapat diterapkan lagi dalam menyelesaikan
suatu perkara*).

Saya coba bandingkan dengan Pidana Hak Cipta di Indonesia dengan
Pidana di Jerman dan Jepang, sebagai berikut;

Article 106 UU hak Cipta pelanggaran Hak Cipta di Jerman dan Article
119 Chapter VII Penal Provisions UU Hak Cipta di Jepang, tentang
memproduksi menyebarkan mentraformasi hak cipta secara melawan
hukum, paling tinggi ancaman pidana 1 tahun di Jerman dan 3 tahun di
Jepang, sedangkan di Indonesia 5 tahun.

Apakah dengan lebih tingginnya ancaman Pidana Undang-Undang semakin
Hebat, sudah barang tentu jawabannya adalah tidak, dengan lahirnya
ancaman di Undang-Undang Hak Cipta jelas bukan merupakan produk yang
lahir dan dijiwai dari kepentingan masyarakat sehingga patut kiranya
diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Dengan Undang - Undang Hak Cipta tentunya suatu hal yang relatif
baru di Indonesia dan telah menggerus budaya dasar yang ada di
Indonesia dengan semangat Gotong Royong, apabila dalam transformasi
hukum dipaksakan keberadaannya tanpa memahami nilai-nilai yang
berlaku di Indonesia tinggal kita tunggu penerapannya akan mendapat
pertentangan yang luar biasa.

Sebagai contoh semangat Gotong Royong yang kita miliki adalah:

1. Kasus Penjiplakan VCD Inul pada era Industrialisasi

Statement si pencipta goyang "Tidak mempermasalahkan tekniknya untuk
ditiru, dikembangkan dan digunakan pihak lain." ngebor adalah
semangat asli bangsa Indonesia, mengapa Inul ketika dihujat tetapi
masih banyak yang melakukan pembelaan terhadap dirinya tanpa
diminta. Tetapi masyarakat lebih masa bodoh dengan Microsoft Corp.

Karena semangat Gotong Royong masih melekat erat di sebagian besar
masyarakat Indonesia yang tidak terjebak oleh Kepentingan
Individualisti, Modal (Kapital) dan Rezim Hak Cipta hasil propaganda
Barat.

2. Semangat Budaya Masyarakat Adat

Diluar daripada Folklor, adalah suatu kebanggaan di masyarakat adat
apabila ciptaannya berupa:

1. Tarian Adat, dipertunjukan dan diguanakan dalam event
2. Puisi, Pantun dipergunakan untuk iklan
3. Motif baju adat, kopiah
4. Dll, masih banyak lagi

Hak Cipta pada dasarnya adalah baik, namun apabila tercium dengan
jelas kepentingannya tidak ditujukan kepada kemaslahatan hidup di
masyarakat tentu akan membawa dampak yang sangat merugikan bagi
masyarakat.

Ada lebih baiknya ketika Undang - Undang Hak Cipta telah terkooptasi
oleh Kepentinga Barat, Kepentingan Pemilik Modal dan Kepentingan
Individualistik, dalam penegakannya para Penegak Hukum dengan
Perangkat Deskresi bahkan Deponir dalam menilai suatu perkara dapat
bertindak arif dan bijaksana, terlebih pada sweeping warnet yang
nota bene adalah sendi perekonomian masyarakat, dan sebagai salah
satu pionir dalam mencerdaskan masyarakat dan bangsa menuju era yang
lebih menantang ke depan. Mohon untuk dikedepankan kepentingan
Strategis dengan mencari alternatif lain daripada harus menyita
PC dari suatu Warnet.

Sifat Pidana Hak Cipta adalah sifat pidana menyerang harta kekayaan
seseorang (Orang maupun Badan Hukum) karena secara tegas disebutkan
Hak Cipta sebagai barang bergerak.

Apabila dipandang sebagai barang bergerak, secara keperdataan
peralihan kepemilikan jauh lebih mudah dan lebih cepat, bisa dengan
pinjam pakai, bisa dengan sewa menyewa, bisa dengan cara nemu
dijalan pun bisa, karena dianggap sebagai barang bergerak (Bezit).

Sangat berbeda jika barang tersebut sebagai Barang Tidak Bergerak
misal kapal dengan bobot 200 ton ke atas, rumah, Hak atas strata
title.

Hal ini jelas diperbolehkan oleh Pasal 3 ayat 2 huruf e

(2) Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun
sebagian, karena

e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan.

Yang dimaksud tentunya peralihan tersebut sebagaimana diatur dalam
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia namun secara harmonis dapat
melakukan harmonisasi dengan sifat eklusif benda bergerak tersebut
yang melekat Hak Terkait, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang
Hak Cipta. Bukan secara membabi buta menerapkan Undang-Undang Hak
atas Kekayaan Interletual an sich.

(1) Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau
melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak,
atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

(2) Produser Rekaman Suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan
izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak
dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.

(3) Lembaga Penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin
atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat,
memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui
transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem
elektromagnetik lain.

Apabila menyentuh pada rana hukum pidana tentu tidak terlepas pada
koridor yang akan diterapkan, karena menyangkut upaya paksa, yang
sedikit mungkin diusahakan untuk tidak melukai hak-hak hukum lain
dalam penerapannya.

Sungguh yakin CD yang berisi software yang dituduh dibajak tentunya
dikopi dari CD aslinya, sudah barang tentu sebagai pemilik sah dia
dapat memperoleh hak untuk mengkopi semilyar cd untuk keperluannya
sendiri, tidak dibatasi oleh Undang-Undang Apapun yang berlaku di
Indonesia dan dia bisa minjemin atas tuh barang untuk kepentingannya.

Dan sebagai barang bergerak dia bisa berpindah secara cepat, memang
jika hal yang diperjualbelikan adalah program OS itu sendiri adalah
hal yang sangat merugikan, tetapi coba cermati dengan harga CD yang
dianggap sebagai CD bajakan, *harga yang dijual adalah tidak lebih
dari kelipatan pertambahan nilai atas CD sebagai fisik nya saja*,
tidak medekati 1 persen pun dari harga software yang ada dalam CD
tersebut, sehingga motif untuk memperoleh keuntungan dari Software
tersebut sangat jauh.

Tentunya untuk menilai apakah software tersebut dibajak dan
didistribusikan dengan cara melanggar hak cipta dan nilai ekomonis
seseorang tentunya perlu dilihat Niat, karena unsur pidana yang
terpenting adalah adanya Niat, yang dalam penyidikan dapat tergambar
jelas ketika menemukan Modus dari suatu pidana yang dituduhkan.

Sehingga niatan mengambil keuntungan dari pembajakan sebagai anasir
*Pidana Materiel *atau di Barat di Kenal *Rule of Reason*, saya rasa
sulit untuk terpenuhi sebagai pembajakan suatu software OS/Program.
Karena dalam Undang-Undang Hak Cipta diperlukan pembuktian secara
Materiel unsur-unsurnya

Karena:

1. OS/Program tidak mengalami perubahan yang berarti tetap
sebagaimana dia dibuat pada awalnya oleh Pemilik Hak Cipta
2. Nama, Merek, semua HaKI yang melekat padanya tetap pada si pembuat
Software/Pemegang Hak Cipta.
3. Si Pencipta tidak pernah melarang Warnet Si Badu atau Warnet Si
Udin untuk mempergunakan ciptaannya dengan alasan melanggar hak
cipta, kecuali Deklarasi atas inisitip sendiri yang tidak mengikat
si Warnet secara langsung.

Dari sinilah mungkin kita coba berangkat seberapa besar latar
belakang dan unsur kesalahan dari Warnet-Warnet yang di sweeping
yang menjadi perkara pidana pelanggaran HaKI khususnya pada Program
Operasi yang digunakan di warnet hingga harus kehilangan mata
pencariannya.

Bahkan secara *letterlijke*

Pasal 15 UU Hak Cipta

.., tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta .....

g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik
Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Jika CPU dianggap dalam praktek penegakan hukum sebagai intstrument
suatu delik, maka jika Pemilik adalah Warnet membeli suatu program,
Warnet berhak menggandakan sebanyak apapun cadangan di berapapun CPU
(karena yang dianggap sebagai instrument penyimpanan adalah CPU)
sebanyak yang dia mau sepanjang dipergunakan untuk Warnet Sendiri,
Tentang siapa yang menggunakan di Warnet tersebut tidak diatur oleh
Undang-Undang, boleh siapa saja silahkan seluruh penonton stadion
lapangan bola sekalipun.

Misal : saya punya OS di rumah apakah adik, kakak, tetangga tidak
boleh menggunakan OS di komputer saya, meskipun saya menarik bayaran
untuk dikumpulkan bayar akses internet setiap bulan..??? Tentu boleh
dong..

Yang dilarang jika kita melihat secara *a contrario *dari Pasal
tersebut adalah, jika tidak dipergunakan sendiri, lebih jelasnya
dipergunakan oleh warnet lain. Barulah penggandaan tersebut dilarang
secara tegas. Namun sejauh mana pelarangan tersebut masih menjadi
bahan perdebatan untuk memperoleh kepastian hukumnya.

Kecuali Penegak Hukum hendak menggunakan standar ganda, atau karena
kekurangpahamannya seperti kerbau dicucuk hidungnya saja mengikuti
kemauan Barat, Pemilik Modal dan Individualistik.

Sehingga seberapa besar unsur kesalahan yang di emban Warnet, bahkan
ada yang memiliki OS asli tetapi karena yang lainnya dianggap
illegal padahal belum tentu Illegal sudah diangkut PC nya, dan
Warnet tidak beroperasi.

Sungguh sangat menyakitkan bagi saya melihat perilaku brutal dalam
penegakan hukum dan merupakan cermin brultality dari Undang-Undang-
nya sendiri yang tidak berlandaskan kepada semangat masyarakat
Indonesia dan hanya melayani kepentingan Barat, Para Pemilik Modal,
dan Kapitalisme.

Maka atas dasar pemikiran di atas dengan Ini Kami Mengutuk keras
Tindakan Aparat Hukum maupun Oknum Aparat yang Melukai Rakyat, dan
Mematikan Sumber Mata Pencarian Masyarakat dalam melakukan Sweeping.

Dan Meminta Kepada Aparat Hukum Untuk Menghentikan Tindakan Serta
Merta Merampas PC dari Warnet-Warnet, atau apabila tidak diindahkan
Kami sebagai warga negara yang merasa dirugikan dengan tidak
beroperasinya Warnet-Warnet mengajukan Gugatan Class Action terhadap
Aparat Penegak Hukum dan Microsoft Corp.

Meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa Seberapa
besar Gratifikasi yang dikeluarkan Pemilik OS/Program untuk
diberikan kepada Penegak Hukum dalam melakukan operasi tersebut.

Dwi Mardianto

Kepada Yth,

Presiden Republik Indonesia

Kapolri

Menteri Hukum dan HAM

DPR RI

Dirjen HaKI

AWARI

Monday, August 20, 2007

FBI dan CIA Diketahui Mengubah Wikipedia

Senin, 20 Agustus 2007 | 00:14 WIB

TEMPO Interaktif, Washington:
Sebuah program pemindai baru mengungkapkan Biro Federal Amerika
Serikat (FBI) dan Pusat Agen Intelijen (CIA) telah mengedit sejumlah
informasi di dalam situs ensiklopedia Wikipedia. Topik-topik yang
menjadi sasaran adalah invasi terhadap Irak dan penjara kontroversial
Guantanamo.

WikiScanner, yang dikembangkan oleh Virgil Griffith--siswa lulusan
California Technology, telah melacak perubahan-perubahan isi informasi
situs itu ke sejumlah komputer yang dikendalikan oleh FBI dan CIA.

Perubahan yang dilakukan, diantaranya, termasuk menghilangkan
gambar-gambar foto satelit kamp-kamp penjara kontroversial di
Guantanamo di Kuba. Di pulau itu, militer AS menahan tanpa dasar hukum
sejumlah orang dengan tuduhan terlibat aktivitas terorisme.

Perubahan juga dilakukan terhadap artikel-artikel yang mengupas invasi
negara itu sejak 2003 terhadap Irak. Grafis mengenai jumlah korban
jiwa akibat invasi itu juga dimanipulasi untuk mengecilkan kejadian
yang sebenarnya.

Program itu juga menemukan, CIA mengubah informasi soal mantan
direktur lembaga intelejen itu, William Colby. Sejumlah informasi
mengenai karir diubah.

Selain kedua lembaga intelejen AS itu, sejumlah perusahaan komersial
juga didapati ikut mengubah informasi menyangkut diri mereka. Padahal,
aturan editorial Wikipedia menggariskan, orang dan organisasi dilarang
mengedit tulisan mengenai diri mereka sendiri.

Namun, seorang juru bicara perusahaan induk Wikipedia, Wikimedia,
mengatakan ensiklopedia online itu mampu mengkoreksi dirinya sendiri.
Dan setiap informasi yang keliru akan langsung dikoreksi secara cepat.

FBI tidak menanggapi hal ini. Sedangkan juru bicara CIA bersikukuh,
setiap komputer yang dikendalikannya digunakan secara
bertanggung-jawab. Budiriza/Yahoo/ABC

OEY HAY DJOEN - 'TOKOH KEBANGSAAN'

From: isa
To:
Sent: Saturday, 18 August, 2007 2:42
Subject: [budaya_tionghua] Kolom IBRAHIM ISA -- OEY HAY DJOEN - 'TOKOH KEBANGSAAN'

Kolom IBRAHIM ISA
17 Agustus 2007
------------------

OEY HAY DJOEN - 'TOKOH KEBANGSAAN'

Kutulis artikel ini,dalam rangka memperingati Ultah ke-62 Hari
Kemerdekaan Indonesia. Dengan memfokuskan pada tokoh Oey Hay Djoen,
dimaksudkan agar, bersama kita mengkhayati dalam fikiran dan pemahaman
tentang makna KEBANGSAAN INDONESIA. Bahwa nasion ini, selain terdiri
dari sukubangsa-sukubangsa, yang sering disebut BUMIPUTERA atau
PRIBUMI, bahwa bangsa yang sedang tumbuh dan berkembang ini,
bagian-bagiannya, anggota-anggotanya juga terdiri dari pelbagai etnik
asal asing, seperti etnik Tinghoa(ini yang paling banyak ketimbang
lainnya), India, Eropah, Arab, Tamil, dll.

Tidak adanya kesatuan fikiran dan pemahaman mengenai sejarah dan
identitas nasion kita, a.l. menyebabkan sementara fihak dari pelbagai
jurusan, dengan maksud jahat,(baik yang datang dari luar maupun dari
dalam negeri), -- menggunakannya untuk mengadu domba
'kita-sama-kita'. Juga untuk mengalihkan perhatian masyarakat umum
dari masalah yang riil (seperti kemiskinan, ketidak-adilan, korupsi,
kesewenang-wenangan aparat dan birokrasi, ketidaksiapan menghadapi
bencana alam, dsb) yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Kasarnya
mencari 'kambing hitam' untuk lepas tangan dari tanggungjawab sendiri.
Catatan sejarah kita menunjukkan 'aksi-aksi atau kekerasan
anti-Tionghoa' sering digunakan oleh penguasa dan sementara kaum
reaksioner untuk 'mengalihkan perhatian masyrakat' dan atau dengan
gampang-gampangan menuding 'kambing hitam'.

Mengenai apa atau siapa yang dinamakan bangsa Indonesia, atau
bagaimana identitas nasion ini, tidak sedikit yang kurang mamahaminya,
atau punya pemahaman dan interpretasi berbeda. Sebagai contoh
sederhana: mungkin tidak banyak yang tau bahwa salah satu tokoh
penting pejuang kemerdekaan Indonesia, tokoh nasionalis Mohammad Husni
Thamrin, kakeknya, adalah seorang usahawan berbangsa Inggris. Pejuang
kemerdekaan Dr Douwes Dekker, adalah asal Belanda. Mantan Menteri
Republik Indonesia, Siauw Giok Tjan (Kabinet Presiden Sukarno, 1945),
adalah keturunan etnik Tionghoa. Tokoh Nasionalis Mr. Utrecht, adalah
asal Indo-Belanda. Dr.Magnus Franz Suseno, asal Jerman, dll.

* * *

Ada pelbagai pertimbangan mengapa kali tulisan difokuskan pada seorang
tokoh Kebangsaan Indonesia OEY HAY DJOEN, asal etnis Tionghoa.
Pasalnya, ialah, karena dalam sejarah kita sejak abad ke-18
berkali-kali terjadi aksi-aksi, gerakan ataupun kampanye anti-etnis
Tionghoa di Indonesia. Sering dalangnya atau sumbernya adalah
penguasa. Menunjukkan bahwa mengenai asal etnis Tionghoa di Indonesia,
masalahnya tidak sesederhana soal orang-orang asal etnis asing
lainnya. Satu dan lain hal disebabkan oleh jumlah penduduk Indonesia
yang asal etnis Tionghoa jauh lebih beasr dari yang asal etnis
lainnya. Juga kedudukan asal etnis-Tionghoa dalam masyarakat, di
lapangan kegiatan ekonomi negeri sedemikian rupa, sehingga menimbulkan
macam-macam soal. Sehingga amat mudah dilakukan penghasutan rasialis
yang bermuara pada kekerasan dan pembunuhan.

* * *

Penamaan atau titel sebagai 'TOKOH KEBANGSAAN', untuk OEY HAY DJOEN,
bukanlah penemuan atau karanganku sendiri. Penamaan tsb diberikan
oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), suatu parpol yang dibangun
pada awal periode gerakan Reformasi. PKB didirikan dan dibimbing
oleh Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia. Wahid
juga dikenal sebagai salah seorang pimpinan penting NU. Selain itu
Gus Dur diakui sebagai salah seorang kiayi Islam Indonesia dewasa
ini. Wahid dihargai dan dihormati karena pandangannya yang konsisten
demokratis, pluralis dan sekular.

Penamaan sebagai 'Tokoh Kebangsaan' untuk Oey Hay Djoen, dinyatakan,
ketika PKB memberikan 'GUSDUR AWARD' (Juli 2007) kepada Oey Hay
Djoen sebagai pengakuan dan penghargaan atas peranan positif Oey Hay
Djoen dalam kehidupan dan kegiatan sebagai orang Indonesia.

Siapapun , atau lembaga manapun yang menamakan Oey Hay Djoen sebagai
TOKOH KEBANGSAAN, nama itu sepenuhnya tepat. PAS pada tokoh OEY HAY
DJOEN. Dengan itu dinyatakan (diingatkan) kepada seluruh bangsa,
bahwa sebagai seorang 'keturunan' Tionghoa, jelas, --- Oey Hay Djoen
-- , memang sejak masa mudanya adalah pejuang konsisten demi
kemerdekaan Indonesia, demi keadilan dan kemakmuran bagi bangsa.
Sebagaimana halnya banyak tokoh-tokoh keturunan Tionghoa lainnya,
antara lain, Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Tan Ling Djie, Tan Po
Goan, Oey Tjoe Tat, Tjoa Sek In, Yap Thian Hien, dan banyak lainnya ,
mereka-mereka itu:
----- Adalah bagian dari potensi politik nasion Indonesia, bagian
dari kekuatan REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA. Yang telah mengabdikan
bagian terpenting dari kehidupan mereka pada negeri dan nasion Indonesia.

* * *

Sering terjadi bahwa kita mengira telah mengenal baik seseorang
sahabat karib, yang memang sudah lama dikenal. Tetapi, ternyata
pengenalan kita mengenai sahabat lama itu, jauh dari cukup.
Ternyata yang baru dikenal itu hanya 'puncaknya dari gunung és' ,
seperti kata pepatah. Itulah yang terjadi dengan aku.

OEI HAY DJOEN, yang memang sudah lama kukenal, baru kemudian
bertambah pengenalanku. Adalah sesudah lengsernya Suharto, makin
kukenal siapa OEY HAI DJOEN, siapa dia sebenarnya. Tahun 1960-an,
ketika itu, aku sesungguhnya baru mengenalnya sebagai sebagai salah
seorang tokoh pimpinan Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat. Orangnya
sangat energetik. Luar biasa hangat terhadap kawan, serta punya rasa
solidaritas yang tinggi. Selalu gembira dan antusias. Lebih-lebih lagi
ia optimis terhadap haridepan bangsa dan tanah air.

Kemudian terjadilah 'G30S', 1 Oktober 1965'. Hari itu dimulai kudeta
merangkak Jendral Suharto. Presiden Republik Indonesia Sukarno
digulingkan. Peneliti (Researcher) John Rosa, dalam bukunya yang
terbit tahun lalu, menamakan 'G30S, 'A pretext for a mass murder'.
Dalam peristiwa 1 Oktober itu, enam orang jendral dan seorang perwira
muda TNI dibunuh. 'Gerakan 30 September', menurut pernyataan para
pencetus dan pelakunya sendiri, melakukan gerakan militer mereka
dengan tujuan, untuk menggagalkan rencana Dewan Jendral yang
berrencana mengkup Presiden Sukarno. Tujuan mereka adalah untuk
menyelamatkan Presiden Sukarno.

Dalam serentetan aksi-aksi kekeran yang didalangi oleh fihak militer
di bawah Jendral Suharto, dengan dukungan lapisan sipil, dilakukan
penangkapan besar-besaran, pembunuhan besar-besaran dan pemenjaraan
dan pembuangan besar-besaran. Itu semua demi menghancurkan dan
memusnahkan samasekali PKI, kekuatan Kiri lainnya, dan semua yang
dianggap pendukung atau simpatisan PKI dan pendukung-pendukung
Presiden Sukarno.

* * *

Oey Hay Djoen, yang ketika itu adalah anggota DPR (sebelumnya anggota
Konstituante RI), juga 'diamankan' dan dikirim ke pulau pembuangan P.
Buru. Empatbelas tahun Oey Hay Djoen dipenjarakan oleh Orba bersama
ribuan warganegara Indnesia tak bersalah dan setia kepada Republik
Indonesia. Apa salah mereka? Sebagian besar dari mereka tidak
mengetahui apa salah mereka, bahkan tidak tahu apa tuduhan yang
difitnahkan pada mereka.

Oey Hay Djoen, sebagaimana ribuan warganegara tak bersalah lainnya,
dibuang ke P Buru pada tahun 1969, tanpa proses pengadilan yang
bagaimanapun. Sesudah 10 tahun meringkuk dan merana di pulau
pengasingan itu, ia 'dibebaskan' dalam bulan Desember 1979. Rezim
Orba melepaskannya dengan dengan pernyataan: Tidak terdapat cukup
bukti akan keterlibatan dengan G30-S (1979-1998). Lepas dari pulau
Buru, Oey Hay Djoen hakikatnya masih tetap tidak bebas. Karena,
sebagai ET – Eks Tapol, duapuluh tahun lamanya, sampai 1998, ia
harus melapor sekali seminggu – kemudian sekali sebulan -- pada
instansi KODIM – sebagai tahanan kota.

Mengapa Oey kemudian tidak perlu lagi lapor sejak tahun 1998?

Sebabnya jelas! Adalah Gerakan Reformasi yang menggelora dan
menggulingkan Jendral Suharto, itulah yang menyebabkan, Oey Hay Djoen
dan banyak ET lainnya tidak perlu melapor lagi kepada aparat.
Sebenarya perlakuan Orba selama lebih dari tigapuluh tahun, merupakan
pelanggaran HAM yang amat biadab, merupakan 'CRIME AGAINST HUMANITY'.
Kejahatan terhadap kemanusiaan. Menahan dan membuang warganegara
sendiri yang tidak bersalah, tanpa proses pengadilan apapun. Membunuh
dan 'menghilangkan' banyak orang tak bersalah.

Namun, 'warisan Orba tsb', yang merupakan kejahatan yang bukan main
kejamnya dan luar biasa luas skalanya, tokh masih belum diurus dan
ditangani pemerintah. Para korban masih belum DIREHABILITASI nama
baik serta hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraannya. Meskipun
pemerintah-pemerintah silih berganti sejak jatuhnya Suharto sering
bicara soal Reformasi, Demokrasi dan Rekonsiliasi.

Nasib Oey Hay Djoen ini, 'masih untung', kata sementara orang di
kampung. Karena Oey tidak 'dihabisi', tidak dibunuh. Pada masa
berkecamuknya teror Jendral Suharto terhadap warganegaranya sendiri,
banyak orang-orang Kiri dan PKI yang pada tengah malam buta, diangkut
dari rumah masing-masing dengan truk-truk militer. Dan . . . . mereka
tidak kembali lagi untuk selama-lamanya. Sampai dewasa ini, ribuan
istri, ibu, bapak, adik dan abang tidak mengetahui dimana orang-orang
yang mereka cintai itu dikubur.

* * *

Tidak sedikit para ET - Eks Tapol -- yang tidak tahu apa yang harus
mereka kerjakan, sesudah mereka dilepas dari penjara. Karena kampanye
Orba terhadap mereka (a.l. peraturan 'bersih lingkjungan'), yang
hakekatnya adalah 'chracter assassination' terhadap orang-orang
Kiri dan pendukung Presiden Sukarno, para Eks-Tapol dianggap manusia
yang martabatnya lebih rendah dari kaum 'kasta Paria', kasta terrendah
di kalangan pengikut Hindu. Mereka sering juga disebut 'the
untouchables'. Sesudah lepas dari penjara, para ET tidak mungkin
mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan, meskipun tadinya banyak
yang pegawai negeri , bahkan tidak sedikit yang tadinya pejabat tinggi
kementerian, dsb. Bagi Oey Hay Djoen, kesulitan-kesulian sesudah
'dibebaskan' dari pulau Buru, dihadapinya sebagai tantangan dalam
perjuangan demi cita-cita mulya untuk keadilan dan pembebasan dalam
arti kata sebenarnya dari rakyat Indonesia.

Setelah ia `bebas dari pulau Buru', dengan tekad mantap dan semangat
tinggi, Oey melakukan kegiatan dalam rangka membantu generasi muda
Indonesia untuk memperoleh literatur berguna. Oey mulai secara khusus
menerjemahkan buku-buku pengetahuan dan teori ilmu sosial, politik
dan ekonomi. Umumnya literatur progresif dan sosialis.

Memahami arti penting literatur progresif, Sosialis dan Marxis yang
oleh rezim Orba dilarang dan dimusnahkan, Oey Hay Djoen memncurahkan
segenap tenaga dan fikirannya untuk mengisi kekosongan akan literatur
Sosialis. Tidak kurang dari 29 karya-karya hasil pemikiran para
peneliti ilmu sosial dan ekonomi, teoretikus-teoretiks sosialis dan
Marxis yang telah diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen. Antaranya,
misalnya buku klasik Karl Marx dan Frederich Engels, Das Kapital
Jilid, 1,2 dan 3. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam
literatur sosialis berbahasa Indonesia di sepanjang sejarah kita. Juga
karya Prof. Dr W. F. Wertheim, 'Gelombang Pasang Emansipasi'. Kemudian
karya progresif mutakhir karangan Dan Lev dan Ruth McVey, 'MAKING
INDONESIA', juga sudah diterjenmahkan oleh Oey Hay Djoen. Dan banyak
lainnya lagi.

Apa yang dilakukan oleh Oey Hay Djoen, sesuatu yang memerlukan
ketekunan, ketelitian dan dedikasi yang tinggi serta konstan
terhadap cita-cita untuk ikut menyadikan pemikiran penulis-penulis
dan pejuang sosialisme, dimaksudkan agar pemikiran-pemiliran dunia
progresif menjadi pengetahuan generasi baru, angkatan muda sebagaimana
dikatakan oleh Oey. Untuk itu Oey Hay Djoen dibantu oleh sejumlah
kawan-kawannya, Editor Jusuf Isak, serta dari golongan muda seperti
cendekiawan Hilmar Farid, dll.

Dalam kegiatannya, khususnya untuk menerbitkan, Oey Hay Djoen,
bekerjasama dengandan mendapat bantuan sejumlah penerbit seperti
penerbit buku bermutu HASTA MITRA.

Kutulis artikel ini untuk menggaris-bawahi, bahwa penganugerahan
'GUS DUR AWARD' kepada Tokoh Kebangsaan OEY HAY DJOEN, SEPENUHNYA TEPAT!

Saturday, August 18, 2007

AMERIKANISASI TUBUH ANAK MUDA INDONESIA

AMERIKANISASI TUBUH ANAK MUDA INDONESIA
Oleh : MOHAMMAD AFIFUDDIN

Lazim kita temui saat ini, anak muda (baca: mahasiswa) Indonesia pergi ke kampus dengan mengecat rambutnya warna-warni, atau sekelompok remaja yang gemar nongkrong di café berlisensi asing (transnasional) di dalam kompleks pertokoan mewah atau mal-mal dan plaza.
Bisa ditebak, golongan pertama mungkin sudah malu membawa identitas generasi muda Indonesia yang memang secara genital rambutnya berwarna hitam dan sedikit ikal. Sedangkan yang terakhir ini, pasti merasa risih jika harus makan di pinggir jalan atau berlama-lama cangkru`an di warung kopi.
Fenomena ini menjadi bukti dari analogi yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard, bahwa kegilaan mencari identitas “semu” tersebut sebagai ekstasi yang melanda masyarakat kontemporer. Di mana orang akan berduyun-duyun mendatangi gerai McDonald`s daripada “McDono.” Walaupun beda status made in-nya, tapi relatif tidak beda rasa dan kelezatannya, apalagi menghilangkan cap makanan tersebut sebagai junk food.
Semua berpulang pada satu motif: demi gengsi dan prestise. Karena status “manusia modern” hanya untuk mereka yang melakukan itu semua. Tradisi mimikri ini terus lestari akibat makin terlembaganya kebiasaan tersebut dalam mind set budaya mayoritas anak muda Indonesia zaman sekarang. Apalagi sejak pesatnya perkembangan industri budaya pop dalam dekade 80-an sampai akhir 90-an.
Bahkan ada lagi yang menarik. Sebuah pemberitaan di salah satu media mengisahkan tertangkapnya seorang pemuda oleh Polisi akibat membawa narkoba. Ketika ditanya motifnya, simple ia menjawab, “ingin seperti para musisi rock di Amrik.” Atau yang lebih ekstrem lagi ingin mengikuti jejak sang mahaguru Reggae asal Jamaika, Bob Marley.
Kondisi macam itu sebenarnya ingin berbicara pada kita, bahwa, identitas budaya Indonesia sedang pada titik nadir. Karena yang akan dipertaruhkan adalah anak muda: satu generasi yang menjadi tumpuan penerus estafet budaya nusantara yang (katanya) dulu pernah mendapat “gelar” Adi Luhung.

Makin Terjajah
Banyak orang sepakat, makin lama usia kemerdekaannya, negeri ini memang makin terjajah. Tentu tidak lagi terjajah dalam arti konvensional. Melainkan penjajahan finansial, kultural dan penjajahan politik. Dengan bergabungnya Indonesia dalam blok AFTA dan WTO, makin menegaskan bahwa posisi Indonesia tetap tersetir oleh kebijakan neo-liberalisme dari para agen The Economic Hit Man macam IMF atau Bank Dunia.
Tapi kesadaran masyarakat atas invasi di bidang politik dan ekonomi, mungkin akan sedikit melalaikan bahayanya posisi suatu bangsa bila telah terjajah secara kultural. Karena jamak dipahami, budaya memegang peranan penting sebagai “otak” dari segala tingkah laku masyarakat, sekaligus penanda identitas kultural sebuah bangsa.
Secara garis besar, dalam budaya dikenal dua jenis: budaya material (fisik, simbol) dan budaya in/non-material (pemikiran, ajaran, kepercayaan, dsb). Penjajahan yang dilakukan dalam bentuk material akan cenderung mudah terdeteksi secara kasat mata. Sebab percampuran arsitektur antar kultur dalam sebuah bangunan atau hybridasi bentuk dalam wujud pakaian adat dengan cepat dapat diketahui asal muasalnya.
Bandingkan dengan kolonialisasi yang masuk dalam ranah kognitif dan mentalitas manusianya. Siapa yang dapat mengukur kedalaman rasa seseorang secara tepat? Dan siapa pula mampu menimbang percampuran unsur-unsur pembentuk mind set seseorang?
Nampaknya, kondisi itulah yang sedang kita hadapi. Benturan budaya yang intens lama-kelamaan kian menghilangkan elemen asal budaya aslinya. Buktinya generasi muda kita rela menyerahkan tubuhnya untuk dilumuri “grafiti” dari negeri seberang. Mereka tak rikuh membebek pada industri fashion barat. Lantas memanjakan matanya dengan tontonan sinema maupun tayangan hiburan asing, layaknya produk MTv dan Holywood.
Lalu kemanakah tayangan-tayangan hiburan produksi pribumi yang dulu masih menghiasi layar kaca, macam serial si Unyil atau pementasan wayang dan ludruk? Semua luluh dalam aksi panggung Cristhina Aguilera dan akting menawan Brad Pitt. Bahkan produk industri hiburan Indonesia modern justru datang dengan wajah ambigu: pemainnya tetap orang Indonesia, tapi ide dan konsep acaranya justru impor. Contoh aktualnya terepresentasi dalam AFI, Indonesian Idol, KDI, dan sejenisnya.
Artinya, status paling fundamental dari kita telah tergadaikan. Dengan sinis Afrizal Malna menyebutnya sebagai Amerikanisasi tubuh (Kompas, 21/08/05). Afrizal menuturkan Amerikanisasi tubuh berlangsung lewat politik globalisasi yang dijalankan Amerika dan negara kapitalis lainnya untuk melakukan hegemoni ikon-ikon Amerika (penjajahan) melalui sarana berbagai media. Amerika sengaja mengonstruksi ikon-ikonnya sedemikian rupa lewat wacana kebudayaan pop, teknologi, dan modal. Akhirnya propaganda itu tertanam dalam tubuh kita sebagai koloni identitas dan konsumsi.
Artinya globalisasi membuat kebudayaan (termasuk tubuh kita) seperti jalan raya. Berbagai jenis kendaraan bebas hilir mudik di atasnya. Akibatnya ikon tunggal tersebut (Amerikanisasi) cenderung tidak dilihat secara kritis. Bahkan identitasnya seperti terendam dalam keberagaman. Parahnya lagi, seakan-akan “kita adalah Amerika.” Tetapi sebaliknya “Amerika bukanlah kita.”

Redefinisi Nasionalisme
Indonesia yang sudah berkali-kali ditaklukkan dalam berbagai bidang dalam konteks modernisasi dan globalisasi, seperti jeratan utang oleh korporasi politik keuangan internasional (utang internasional) membuat tubuh bangsa Indonesia layaknya orang yang terkulai lemas di ranjang Rumah Sakit.
Namun, konteks kontemporer yang juga menampilkan wajah Indonesia yang telah tertindas secara kultural, makin memperparah kondisi di atas. Lantas masih bisakah kita tertawa dan berbahagia saat merayakan detik-detik usia kemerdekaan ke- 62, bila secara pemikiran dan mentalitas saja masih terjajah?
Anthony Giddens pernah mengutarakan bahwa kematian peradaban selalu diawali dengan miskinnya kesadaran reflektif-diskursif (discoursive conciousness) masyarakatnya. Dengan konteks seperti itu, sudah selayaknya para elemen bangsa ini tidak hanya rutin melakukan ritual upacara bendera, menggelar berbagai lomba sambil menikmati suasana pesta kemenangan. Karena bentuk penjajahan baru telah nampak di depan mata.
Artinya manifestasi nasionalisme guna menghadang penetrasi kaum neo-imprealis tidak hanya dilakukan dengan modus konvensional ala masa penjajahan dulu. Tapi juga harus terus dikontekstualisasikan dengan model penjajahan yang terus memperbarui diri tersebut, karena bentuk penjajahan mutakhir telah nampak di depan mata. Maka dengan bertindak cepat, generasi muda bangsa ini tidak akan melangkah dengan pertanyaan, “mau dibawa ke mana bangsa ini?”

Institusi Pemerintah Dijamin Kebal Razia

RADAR SOLO :Jumat, 17 Agt 2007
Institusi Pemerintah Dijamin Kebal Razia

SOLO - Biar anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Polisi
menggunakan prinsip ini, saat melaksanakan operasi pelanggaran Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di wilayah Eks Karesidenan Surakarta.
Buktinya, meski banyak keluhan dari pengusaha rental komputer ataupun
warnet (warung internet), petugas tetap mengoperasi mereka.

Hasilnya, sejak operasi digelar, jajaran Polwil Surakarta mengamankan
lebih dari 20 unit CPU (central processing unit) komputer, berisi
program tanpa lisensi resmi. Selain itu, polisi juga menyita
sedikitnya 11.961 keping VCD non-original dan beberapa mesin play
station lengkap dengan CD game non-original.

Menurut data Sub-Bagian Reserse dan Kriminal Polwil Surakarta,
barang-barang itu disita dari berbagai wilayah di Eks Karesidenan
Surakarta. Rinciannya, unit resmob polwil Surakarta menyita 990 keping
VCD non-original, dan sembilan unit CPU non-lisensi. Kepingan VCD
disita polisi dari pengedarnya di wilayah Klodran, Colomadu
Karanganyar. Sedang sembilan unit CPU disita dari pelaku penggandaan
VCD di bilangan Grogol, Solo Baru.

Dari wilayah hukum Polres Sukoharjo, diperoleh data jajaran kepolisian
di wilayah itu sukses menyita 1.467 VCD non-lisensi dari dua
pengedarnya. Selain itu, tiga unit CPU non-lisensi resmi juga
diamankan petugas. Sedang di Sragen, polisi menyita empat unit CPU
komputer non-lisensi, 790 keping VCD non-original, dan beberapa mesin
play station.

"Dari Karanganyar, kami mendapat 7.000 keping VCD non-original dan
tujuh unit CPU komputer non-lisensi. Sedang dari Wonogiri, kami
mendapat 867 keping VCD non-lisensi. Klaten menyetor 1.013 keping VCD
bajakan. Sementara, dari Boyolali kami hanya mendapatkan satu CPU
komputer non-lisensi saja. Tidak ada VCD bajakan yang dilaporkan
disita dari sana," ujar Kapolwil Surakarta Kombespol Yotje Mende
melalui Kasubbag Reskrim Kompol M Ngajib, kemarin (13/8).

Disinggung dasar operasi itu, Ngajib memakai UU No.19/2002. Menurut
dia, dalam pasal 72 ayat 3 UU tersebut, dijelaskan bahwa barang siapa
dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan program komputer
untuk kepentingan komersial dapat dipidana. "Jadi alasan kami kuat.
Kalau memang tidak digunakan untuk tujuan komersial, maka kami tidak
akan merazianya," lanjut Ngajib.

Disinggung menganai indikasi adanya software ilegal di institusi
pemerintah, dia mengatakan tidak bisa ditindak secara hukum. Sebab,
penggunaanya bertujuan untuk kepentingan atau pelayanan umum, bukan
untuk kepentingan komersial. "Yang jelas, sudah diatur dalam
undang-undang, bahwa yang bisa ditindak adalah yang digunakan untuk
kepentingan komersial. Di luar itu hingga sekarang belum ada aturan
yang lebih jelas," tandasnya.(aw)

Tuesday, August 14, 2007

Saksi mata : kekejaman NICA

From : KIDYOTI

Saya melihat sendiri kekejaman NICA yang bermarkas di Batalion X (Sepuluh) di bilangan Senen.
Ketika itu, rakyat sering memakai menempelkan tanda merah ptih di kemeja dadanya. Dan tempelan itu ada yang terbuat dari kain, tapi ada juga yang dari kaleng.
Nah, ketika itu saya melihat soldadau NICA menyuruh orang menelan tempelan yang dari kaleng (yang belakangnya ada penitinya). Bayangkan rasanya.....
KD mengenang sekelumit kenangan 1945

----- Original Message -----
From: gsuryana
To: tionghoa-net@yahoogroups.com
Sent: Monday, August 13, 2007 9:45 PM
Subject: [t-net] Fw: Apa arti 17 Agustus ?

Memang info ini sudah cukup lama aku ketahui, dan sampai sekarang masih
selalu menjadi pertanyaanku saja, ada kabar angin Belanda sudah 'membayar'
dibawah tangan, ada juga alasan sudah dibayar dengan di rampas nya semua
perusahaan yang menjadi milik Belanda........dan semua dari sisi materi,
sedang dari sisi kejahatan perang malah tidak pernah kena usik, dan anehnya
Pemerintah Indonesia pun sepertinya tidak peduli dengan hal ini, apa di sini
ada yang bisa memberikan patromak ?

sur.
+++++++++++++++

Rupa-rupanya pihak belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia pada
tgl. 17 Agustus 1945, karena takut menambah panjang daftar DOSA-DOSA-nya.

Dalam kurun waktu Agustus 1945 s/d Desember 1949, pihak belanda mungkin
belum meraih keuntungan, tetapi pihak Indonesia jelas mengalami kerugian
yang SANGAT BESAR. Dengan pengakuan ini, belanda harus menyandang cap
agressor yang kalah. Nah, kalau dia harus membayar PAMPASAN PERANG, mungkin
ekonomi belanda bisa goyang-goyang.

Pada tahun 1948, ayah saya hampir terseret dan dihabisi oleh tentara
Anjing NICA, yaitu tentara NICA yang mengenakan badge gambar kepala anjing;
mereka kebanyakan kulitnya coklat tua dan sangat bengis dan kejam.
Ceriteranya begini. Pagi-pagi, seorang karyawan toko bernama Mu'in membawa
setumpuk catatan pembukuan toko ke pusat kota Purworejo , tempat tinggal
keluarga ayah saya. Toko yang terletak di pinggiran kota terpaksa ditutup
karena agressi belanda. Di tengah jalan, Mu'in yang tinggi besar itu
dicegat oleh beberapa Anjing NICA, dan catatan yang dia bawa itu disita dan
diteliti. Selembar kertas tertulis sbb:
Merdeka. Pindjam beras 2 kg. Bajar abis boelan.
Kata "Merdeka" itu ternyata mencelakakan. Mu'in yang setia itu dipukuli,
tapi dia tetap saja minta dapat membawa catatan toko itu kepada ayah saya.
Di muka rumah, ayah saya ditanya, apakah mengenal Mu'in. Ayah yang
mengenakan piyama biru muda dan bergaris-garis putih menerangkan bahwa
Mu'in memang karyawan tokonya. Saya (13 tahun) dan ibu beserta kelima
adik-adik semua menyaksikan dari dalam rumah. Surat sial itu ditunjukkan
ke ayah seraya berkata, "Apa ini?!"
"Itu surat dari langganan toko yang minta pinjam beras", jawab ayah.
"Ini apa!!", sambil menunjuk pada tulisan "Merdeka".
"Merdeka", jawab ayah.
"Ini juga pemberontak!!" Tangan ayah dipegang dan ditarik. Ibu secepat
kilat memegang tangan ayah yang lain dan berusaha menariknya masuk rumah.
Terjadilah tarik menarik. Untung berhasil lepas atau memang dilepaskan
dari cengkeraman Anjing NICA. Langsung pintu ditutup dan anak-anak
disuruh ke rumah sebelah lewat lubang tikus. Zaman itu, rumah satu dan
lainnya dihubungkan dengan lubang-lubang di tembok untuk jalan menyelamatkan
diri. Biasanya lubang-lubang itu hanya ditutup dengan triplex atau almari
kosong atau almari beroda yang mudah digeser. Lubang antara rumah kami dan
rumah sebelah dibiarkan terbuka, karena Oom , agen "Djamoe tjap Njonjah
Meneer" adalah kakak kandung ibu saya.

Melihat ayah yang pucat pasi dan gemetaran, tanpa tanya apa yang
terjadi, toko jamu segera ditutup, dan si oom sekeluarga turut menyelamatkan
diri.

Siang harinya, karyawan yang lain panggil-panggil di depan rumah. Ayah
yang masih shock, membukakan pintu dan menyuruhnya segara masuk. Karyawan
ini melaporkan bahwa dia melihat Mu'in mati di pinggir jalan dan kepalanya
berlubang. Ayah segera memberi uang, dan minta pak mudin di belakang toko
untuk memakamkan Mu'in dan membuat selamatan.

Begitulah ceritera kekejaman Anjing NICA. Ini bukan apa-apa kalau
dibandingkan kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan, yang menyikat habis
penduduk desa, termasuk perempuan dan anak-anak..

Catatan Perang Sastra Indonesia

Peta Sastra Negara Kita August 7, 2007
Posted by Romeltea in Opini, General. add a comment
Peta Sastra Negara Kita

Oleh H. Usep Romli HM

“Para penyair diikuti orang-orang sesat. Apakah engkau
(Muhammad) tidak melihat, sesungguhnya mereka,
berseliweran di lembah-lembah dan perkataan mereka,
menyimpang dari kebenaran? Mereka mengucapkan apa-apa
yang tak pernah dikerjakan. Kecuali para penyair yang
beriman dan berbuat kebajikan, serta banyak mengingat
Allah, dan bangkit melawan setelah dianiaya” (QS.
Asy-Syu’ara:224-227).

KASUS pemuatan sajak “Malaikat” buatan Saeful Badar
pada lembaran “Khasanah” HU Pikiran Rakyat edisi 4
Agustus 2007, hlm. 30, yang jelas-jelas mengandung
penghujatan terhadap konsep Rukun Iman Islam,
sebetulnya tidak berdiri sendiri. Para penyair dan
pengarang sastra Indonesia mutaakhir kini sedang
mengalami kontroversi amat luar biasa.

Di satu pihak, mencoba mempertahankan nilai-nilai
norma etika dalam berestetika. Di pihak lain,
memforsir segala daya upaya untuk merobohkan
norma-norma etika itu. Kelompok terakhir yang memang
sangat dominan karena didukung publikasi media massa
dan penerbitan yang kuat, menganggap estetika adalah
estetika tok. Tanpa perlu etika. Karena kebebasan
berekspresi yang masih menganut etika, dianggap tidak
bebas lagi. Bukan ekspresi murni lagi. Melainkan
ekspresi semu hasil “penjajahan” norma-norma etika
yang selalu kuno, primitif, beku, jumud, terbelakang,
dsb.

Maka kelompok terakhir ini, diusung para
seniman-sastrawan-budayawan yang biasa berkelompok di
“Teater Utan Kayu”, berkelayapan dari kafe ke kafe,
seolah-olah mengembangkan sebuah mazhab sastra-seni
yang –-katakanlah– porno. Karya-karya mereka penuh
dengan idiom-idiom tentang alat kelamin, air mani,
persetubuhan, seks bebas.

Sebutlah nama-nama Ayu Utami, dengan novel-novelnya
“Saman” dan “Larung”, Djenar Mahesa Ayu (novel “Mereka
Bilang Aku Monyet”), Dewi Lestari (”Supernova”), dll.
Karya-karya lain berupa kumpulan sajak, cerpen, hasil
pengumbaran daya khayal tanpa batas dan tanpa etika
(serta logika), lahir dari tangan-tangan Hudan
Hidayat, Binhad Nurohmat, Fajrul Rahman, Dinar Rahayu,
Rieke Diah Pitaloka, dll. Media-media seperti
“Kompas”, “Media Indonesia”, “Koran Tempo”, selalu
memuat dan menyanjung-puja karya-karya mereka.

Anehnya, orang seperti Binhad Nurohmat, yang konon
hapal di luar kepala hadits-hadits Nabi Muhammad Saw
dari “Kutubus Sittah” (enam kitab hadits paling
representatif, terdiri dari susunan Imam Bukhari,
Muslim, Turmudzi, Nisai dan Ibnu Majah), ikut-ikutan
menulis sajak-sajak yang liar dan brutal yang penuh
imajinasi-imajinasi seksual. Antara lain sajak-sajak
yang terkumpul dalam “Kuda Ranjang” (2002).

Mereka bebas leluasa melahirkan karya apa saja dalam
bentuk apa saja, asal mengandung unsur penghujatan
terhadap norma-norma kemanusiaan dan keagamaan. Malah
mereka menganggap karya-karyanya itu, sangat
manusiawi, karena konon berhasil mengungkap watak
dasar dan perasaan manusia paling dalam. Konon
berhasil mendobrak kemunafikan karena berani mengupas
hal-hal yang selalu ditabukan akibat kungkungan norma
etika.

Adakah perlawanan dari sastrawan budayawan yang masih
punya norma? Tentu saja ada. Bahkan mereka memberikan
perlawanan dari dua arah dan cara.

Pertama, langsung menohok kelakuan para sastrawan yang
mengatasnamakan kebebasan berekspresi tanpa norma
etika itu. Dipelopori sastrawan senior Taufik Ismail,
pada pidato kebudayaan di Akademi Jakarta (20 Desember
2006), berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan
Syahwat Merdeka”, menyebut kelompok sastrawan pemuja
kebebasan berekspressi itu sebagai “Gerakan Syahwat
Merdeka”. Karya mereka, menurut Taufik, dikategorikan
“Sastra Mazhab Selangkangan” (SMS), atau “Fiksi Alat
Kelamin” (FAK), yang mengandung faham neo-liberalis.
Bahaya karya-karya mereka, sejajar dengan bahaya
narkoba, VCD porno, TV mesum, foto-foto cabul di
internet, dan semacamnya.

Kedua, dengan membuat karya-karya tandingan yang penuh
norma etika, relijius, serta ajakan takwa kepada Allah
SWT. Dipelopori “Forum Lingkar Pena” (FLP),
karya-karya baik-baik ini, mampu merebut pasar. Banyak
yang berkali-kali cetak ulang. Novel “Ayat-Ayat Cinta”
karya Habiburahman el Sirazi, misalnya, sudah belasan
kali cetak ulang. Sukes buku-buku tersebut tak pernah
diulas di “Kompas”, “Media Indonesia”, atau
“KoranTempo” yang hanya mendukung “SMS” dan “FAK”
saja.

Menanggapi pidato kebudayaan Taufik Ismail, para
pendukung “SMS” dan “FAK” segera bereaksi keras. Hudan
Hidayat, Fajrul Rahman, Marian Amiruddin, Rocky
Gerung, mengeluarkan risalah “Memo Indonesia” (12 Juli
2007). Penuh keangkuhan, mereka menyatakan:

“Setiap upaya atas dasar moral, nilai-nilai, atau
kekuasaan yang hendak membelenggu,adalah menghambat
dan menjauhkan manusia dari kemajuan dan kebebasannya
sendiri. Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas
jiwa dan raga kami.Untuk mencipta kemanusiaan kami
sendiri, dalam kebebasan penciptaan tanpa penjajahan….
Kemajuan dan kebebasan kemanusiaan adalah cita-cita
kami!”

Proklamasi “Memo Indonesia” itu, dimuat dalam “Media
Indonesia Minggu” 22 Juli 2007. Pada media yang sama,
dan tanggal yang sama, penyair Binhad Nurohmat yang
konon hafal hadits “Kutubus Sittah” itu, menulis
pendapatnya yang menentang pendapat Taufik Ismail.

Dalam tulisan berjudul “Malu (Aku) Jadi Penghujat
Sastra”, Binhad memberi “petuah” kepada Taufik Ismail.
Bahwa serangan terhadap para sastrawan mutakhir,
sebagai provokasi. Tak ubahnya dengan provokasi para
pengarang “Lembaga Kebudayaan Rakyat” (Lekra),
organisasi kebudayaan milik Partai Komunis Indonesia
(PKI) th.1950-1965. Ia menggunakan pendapat “Lekra”
ketika menyerang Taufik Ismail dan kawan-kawan yang
tergabung dalam “Manifest Kebudayan” (Manikebu), yang
merupakan musuh nomor satu “Lekra” tahun 1960-an.

Ketika itu “Lekra” menyerang puisi-puisi erotis karya
para sastrawan “Manikebu”: “…puisi erotis adalah puisi
hina. Sastra semacam inilah yang harus dibabat”
(dikutip oleh Binhad dari rubrik “Lentera” koran
“Bintang Timur”, 2 Nopember 1962). Lalu Binhad
bertanya, bukankah isi pidato Taufik Ismail bukan
sejenis pembabatan juga ?

Binhad juga menyatakan bahwa “Gerakan Syahwat Merdeka”
sesungghnya tidak ada. “GSM” hanya jargon orisinil
karangan Taufik Ismail semata, yang
dibesar-besarkannya melalui koran dan mimbar pidato
demi penghujatan dan penyudutan belaka.

Suatu pendapat yang bertolakbelakang dengan kenyataan,
yang coba disembunyikan oleh Binhad Nurohmat, penyair
“Kuda Ranjang” yang juga penuh kejalangan amoral,
padahal ia seorang penghafal hadits Nabi Saw. “GSM”
hasil lontaran Taufik Ismail, memang ada. Karya-karya
Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dinar Rahayu, Hudan
Hidayat, dkk., termasuk Binhad Nurohmat, benar adanya.
Benar membawa genre “Sastra Mzhab Selangkangan”. Yang
oleh Mahdiduri, Penyair dan Ketua KSI Banten, dinilai
sebagai fiksi seksual yang tak jauh berbeda dari
layanan seks premium call 0809 (Republika, 22 Juli
2007).

Pidato kebudayaan Taufik Ismail di Akademi Jakarta,
yang menghujat “GSM”, “SMS”, dan “FAK”, tidak pernah
diliput, diberitakan atau diulas di koran-koran
“Kompas”, “Media Indonesia”, “Koran Tempo”, dan media
pendukung neoliberalisme –termasuk pendukung publikasi
“Jaringan Islam Liberal” (JIL)– lainnya. Hanya
“Republika” yang memuat. Sayang, sebaran “Republika”
jauh lebih kecil dan lebih sempit daripada koran-koran
neoliberal tadi. Sehingga gemanya tidak sampai ke
masyarakat.

Demikian pula, pemberitaan atau iklan buku-buku karya
pengarang “Forum Lingkar Pena” yang Islami, hanya
“Republika” yang suka memasang. Yang lain-lain
–terutama “Kompas” lebih suka mempublikasikan dan
menyanjung puja karya-karya “picisan” semacam fiksi
“teenlit” atau “chiklit”, yang isinya hanya cocok
untuk sinetron-sinetron remaja kelas kambing di TV-TV
yang juga mengemban missi neoliberal.

Berdasarka fakta-fakta di atas, umat Islam perlu
melakukan langkah-langkah preventif dan berskala
besar. Antara lain :

1. Merangsang pertumbuhan pengarang dari lingkungan
Islami (madrasah, pesantren, harakah, dll.). Mendidik
dan melatih para pengarang fiksi dan non-fiksi yang
bervisi etis serta agamis.

2. Memperbanyak media massa yang selalu siap
mempublikasikan, mengulas, mempromosikan karya-karya
Islami tanpa batas. Artinya, tidak hanya karya-karya
yang sudah berhasil mencapai batas nilai mutu tinggi
yang dipromosikan.Karya para pemula juga perlu
diperhatikan.

Sebagai contoh: karya-karya “teenlit” dan “chiklit”
(para pengarang remaja, anak sekolahan), sangat gencar
dipromosikan “Kompas”. Karya-karya semacam “Eifel My
Love”, “Buruan Cium Gue”, dan sejenisnya, berkat
promosi yang diada-adakan itu, laku keras. Bahkan
diangkat ke layar kaca dan film. Membuat terpesona
kaum remaja yang masih polos dan lugu.

Alhasil, sajak “Malaikat” karya Saeful Badar di “PR”,
berikut visi dan missi Redaktur Budaya “PR”, hanya
sebagai dampak akibat dari keberhasilan jaringan
konspirasi imperialisme-kapitalisme dalam memandulkan
etika dan rasa keimanan pada jiwa para sastrawan.

Akibat lebih jauh, harus berkonfrontasi dengan
kelompok-kelompok masyarakat Islam yang ingin
mempertahankan kemurnian akidah dan ketahanan etika.
Kelompok-kelompok yang justru merupakan pangsa pasar
paling utama media massa, termasuk “PR”. Sehingga
timbul kesan – dan ini sudah menjadi kenyataan global
– mereka mencari keuntungan dari orang-orang yang
dikorbankan dan dihinakan.***

– H. Usep Romli HM adalah wartawan senior,
sastrawan-budayawan Sunda, penggiat komunitas “Raksa
Sarakan”. Tinggal di Pedesaan Kec. Cibiuk, Kab. Garut.
Naskah ini khusus dikirim buat www.romeltea.co.nr.
Copyright (c) 2007 www.romeltea.co.nr