Sunday, June 24, 2007

Reporter dibayar Rp 15 ribu/berita

Forward dari milis sebelah :

Komentar saya, begitu pahitkah pilihan hidup menjadi wartawan sehingga karya intelektualnya begitu tidak dihargai oleh sebuah broadcast ?

Atau memang sebagai wartawan, sang reporter memang tidak punya daya tawar yang memadai pada institusi tempatnya bekerja ?

Ada komentar dari yang lain ?

=============================

Email dari : Rezki Hasibuan

Kemarin, saya bertemu teman lama yang kini menjadi reporter di sebuah radio terkenal di Jakarta.Karena sudah lama tak bertemu banyak bahan obrolan yang dibicarakan. Kemudian iseng-iseng saya menanyakan soal gaji yang ia terima di radio itu. Saya menanyakan itu tanpa sungkan-sungkan karena dulu saya cukup berteman akrab dengan dia.

Alangkah kagetnya saya ketika dia bilang dia hanya dibayar
Rp.15.000,-/berita. Hanya segitukah seorang reporter dihargai? Kegelisahan ini kemudian saya bawa sampai ke rumah. Di rumah saya iseng-iseng menghitung penghasilan dia sebulan. teman saya itu bilang, di radio itu setiap hari ia minimal harus dapat tiga berita.

Saya kemudian menghitung jika dia setiap hari dirata-ratakan mendapat tiga berita berarti sehari dia dibayar Rp.45.000,- . Rp.45.000,- X 20 hari kerja, berarti setiap bulan dia hanya mendapat Rp.900.000,-/bulan.

Uang sebesar itu bagi reporter bujangan saja sangat tidak memadai. Saya bisa mengatakan itu, karena saya dulu pernah bekerja sebagai reporter yang hanya digaji Rp 1.200.000,-. Uang sebesar itu bagi saya sangat tak memadai. bagaimana pula dengan teman saya yang hanya
dibayar Rp 900.000,- /bulan, sementara dia mempunyai 4 orang anak, bahkan istrinya hanya ibu rumah tangga.

Entah bagaimana dia harus menutupi kekurangan dari penghasilannya yang minim itu. Dan parahnya lagi, bagaimana pula jika suatu saat ia sakit sehingga terpaksa tak kerja. Bagaimana keluarganya harus dibiayai, karena teman saya ini hanya bisa mendapat uang kalau dia menyetor berita yang hanya dihargai Rp.15.000,-/berita.

Bagi saya, yang lebih sedih lagi adalah, karya intelektual seorang wartawan hanya dihargai sebesar Rp.15.000,- . Bayangkan saja, seorang wartawan floating seperti teman saya itu harus mengejar berita dari satu tempat ke tempat lain. Dia harus mengeluarkan ongkos transport untuk mencapai tujuan. Belum lagi uang untuk beli makan dan minuman ketika bekerja.

Media radio itu tampaknya tak menghargai hasil karya
si reporter yang harus bertungkus lumus dan juga harus menguras otak untuk membuat karya jurnalistik itu. semua itu hanya dibayar Rp.15.000,- hanya lima belas ribu perak coooy bayangkan seorang wartawan di Jakarta hanya dibayar lima belas ribu perak per berita. Ini bagi saya KEJAM SEKALI!!, KEJAM SEKALI!!!. harus ada yang
bertindak untuk menaikkan penghasilan para kontributor radio seperti teman saya itu.

Bagi teman-teman yang bekerja di radio itu,harus punya
keberanian mendobrak manajemen untuk mempertimbangkan kenaikan gaji para kontributor itu. terus terang saya rasanya mau menangis mendengar
pengakuan teman saya yang hanya dibayar Rp.15.000,-/berita.Uang sebesar itu bahkan tak cukup untuk tiga kali naik bis AC.

-Rezki Hasibuan-

======================
Inilah yang akan coba digarap oleh teman-teman dari IJC. Wartawan itu diimpit oleh kekuatan modal (perushaan) dan kekuasaan. Mereka kadang tak kuasa menahan gempuran dua kekuatan itu. Dua kekuatan inilah yang coba dilawan, meski oleh organsiasi kecil, sekecil kerikil. (dulu Timtim juga ibarat kerikikil dalam sepatu diplomasi internasional Indonesia).

Fakta itu sejatinya masih tidak terlalu kejam jika dibandingkan dengan fakta lain yang justeru lebih kejam. Wartawan kontributor, wartawan magang (istilah yang diciptakan sendiri oleh perusahaan) selama sembilan bulan dengan gaji Rp 500 ribu DI JAKARTA, sekali lagi di JAKARTA.

Reposisi status wartawan harus segera dilakukan. Apakah wartawan itu buruh ataukah tidak? Jika buruh harus bagaimana dan jika tidak harus bagaimana. Ini penting dijawab. Selama ini, status (dalam manajemen) wartawan disamakan dengan buruh. Anehnya, perusahaan pers sama sekali tidak mengikuti UU Ketenagakerjaan. Misalnya, ya gaji wartawan tadi. perusahaan sendal jepit saja mengenal UMR. Perusahaan pers (yang notabene telah menjadi industri pers--sama dengan industri sendal jepit tadi) tidak menerapkan UMR. Wartawan digaji sekenanya saja. Inilah yang terjadi bung!!

Jika perusahaan sendal jepit mengganti buruhnya tidak sesuai UMR, pemerintah bisa meniup peluit dan serikat buruh memukul gendang perlawanan. BAgaimana bila industri pers memberikan gaji kurang dari UMR? Apa yang dilakukan pemerintah?? Nothing. kalau pemerintah meniup peluti, nanti dianggap 'memberdel, menegus, mengintervensi.

Bung, pers kini telah menjadi industri. Dalam otak pemilik media itu, 99 persen bicara keuntungan. Hanya persen saja bicara soal kepentingan publik. Jadi, bagi saya jangan bertuhankan pada kebebasan pers bila perusahaan-perusahaan itu masih menggaji wartawannya dengan sangat rendha dan diluar batas kemanusiaan. sebab, bila perusahaan itu menggaji wartawannya di bawah standar, mak perusahaan itu secara langsung maupun tidak langsung telah melakukan dosa paling besar dalam bidang jurnalistik: menyuruh wartawannya menerima suap.

maka gerakan yang mesti dilakukan adalah: Menutup perusahaan pers itu bila tidak memberikan gaji yang layak kepada wartawannya. Minimal, perusahaan itu memberikan gaji minimal dua-tiga kali UMR (UMR sedang ditolak buruh loh---ya paling tidaklah). Initnya bukan di UMR, intinya terletak HARUS ADA STANDAR MINIMAL GAJI WARTAWAN SELURUH INDONESIA.

Lantas, siapa yang berhak menetapkan standar gaji itu? Ya UU. HArus dibuat UU yang mengatur secara khusus mengenai status wartawan. INI LAGI-LAGI kitabicara REPOSISI JURNALIS. Siapa yang berhak menghukum bila perusahaan tidak menaaati standar gaji minimal itu.

Bung, saat ini tidak ada lagi pers yang mengabdi demi kepentingan publik seutuhnya. Pers telah menjadi indusstri. Sama halnya pabrik sendal jepit. Bedanya cuma content. Mereka menjual sendal, pers menjual informasi. mereka mengeluarkan biaya produksi karena harus membeli bahan sendal, pers justru gratis--tidak ada ongkos untuk membeli informasi (ongkos hanya untuk biaya mencapai sumber inormasi bukan membeli informasi--kecuali kalau langganan kantor berita). Jadi, Bung, lawan Bung!!

dari Habe Arifin

No comments: