Monday, May 28, 2007

Tim Indonesia Bangkit: Menuntut Kredibilitas dan Independensi BPS

Menuntut Kredibilitas dan Independensi BPS
-Tim Indonesia Bangkit-

“In God we trust. All others must bring data”. Pernyataan tersebut memberikan gambaran akan pentingnya makna sebuah data. Data akan menjelaskan keadaan yang sedang terjadi, dan dari gambaran tersebut kita akan mengambil keputusan terhadap langkah-langkah yang harus dilakukan.

Masalah utama yang seringkali dihadapi oleh para pengambil keputusan adalah akurasi pengukuran data dan metodologi yang digunakan. Data yang tidak akurat akan memberikan informasi yang menyesatkan dan dapat berdampak fatal. Dalam industri penerbangan, peran pengukuran sangat vital dan berkaitan langsung dengan keselamatan penumpang. Dengan berpatokan pada data yang dihasilkan oleh sistem navigasi yang tidak akurat, sebuah pesawat terbang akan mendarat di tempat yang tidak sesuai dengan tujuannya semula. Demikian juga dalam dunia kedokteran, peran data bagi seorang dokter sangatlah penting untuk menentukan jenis tindakan yang akan diberikan kepada pasien. Seorang dokter niscaya akan menuliskan resep yang salah, jika alat-alat ukur di laboratorium Rumah Sakit menghasilkan data yang tidak sesuai dengan kondisi pasien yang sebenarnya, yang pada gilirannya akan berakibat fatal bagi kesehatan si pasien.

Dalam kehidupan bernegara, kebutuhan akan data yang akurat malah lebih vital lagi karena tidak hanya menyangkut nasib orang per orang, tetapi menyangkut nasib 225 juta rakyat Indonesia. Oleh karena itu, BPS sebagai lembaga pengukur dan penghasil data utama di Indonesia perlu terus didorong untuk meningkatkan kredibilitas dan independensinya, baik dalam perhitungan maupun dalam presentasi data. Kredibilitas dibutuhkan agar data yang dikeluarkan BPS benar-benar akurat menggambarkan kondisi Indonesia yang sebenarnya. Sementara independensi dibutuhkan untuk memastikan data yang dihasilkan BPS bukanlah merupakan hasil dari intervensi kalangan tertentu yang bermental ”Asal Bapak Senang” sehingga justru tidak membantu menyelesaikan persoalan.

Tim Indonesia Bangkit (TIB) menilai BPS saat ini belum memenuhi kriteria independen dan kredibel seperti disebutkan di atas. Ada beberapa fakta yang mendasari penilaian tersebut, antara lain:

1. Keharusan BPS Berkoordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan

Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik, BPS dinyatakan akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Akan tetapi pada tahun 2005, ketika Bappenas dipimpin oleh Sri Mulyani, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, BPS akan dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, telah menjadi alat kendali atas independensi BPS dan membuka peluang pemerintah untuk mengintervensi data dan metodologi pengukuran data oleh BPS. Selama dua tahun terakhir, BPS bahkan harus mengkonsultasikan 5 (lima) indikator utama dengan sejumlah menteri bidang ekonomi beberapa waktu sebelum diumumkan ke publik. Keenam indikator tersebut adalah (1) Pertumbuhan Ekonomi (2) Pengangguran (3) Kemiskinan (4) Inflasi (5) Perdagangan Internasional atau Ekspor Impor.

Menurut Tim Indonesia Bangkit (TIB), posisi BPS seperti tersebut di atas sangatlah tidak wajar dan sangat rawan untuk diintervensi, terutama oleh tim ekonomi pemerintah. Seperti halnya di negara lain, pemerintah Indonesia juga sangat berkepentingan dengan keenam indikator tersebut karena menyangkut citra mereka di mata publik dalam maupun luar negeri.



2. Kredibilitas angka statistik yang meragukan

2.1 Pengukuran Inflasi yang Tidak Akurat

Kecurigaan Tim Indonesia Bangkit (TIB) akan adanya ketidakakuratan BPS dalam menghitung inflasi bermula pada kontradiksi antara data inflasi yang dilaporkan BPS dengan fakta kenaikan harga kebutuhan pokok di lapangan. Seperti halnya yang sering kita baca di media, tahun ini harga sejumlah kebutuhan pokok beberapa kali mengalami lonjakan dan menjadi sumber keresahan rakyat.

Pada periode Januari – Maret 2007, harga eceran beras medium meningkat 8,3%, namun inflasi yang tercatat oleh BPS hanya 1.9 %. Sepanjang tahun 2006 juga demikian, harga eceran beras meningkat 25% dan harga minyak goreng naik 60% menjadi Rp 8,500 per kg, namun inflasi yang dicatat oleh BPS hanya 6.6%. Memang benar bahwa beras bukan satu-satunya penentu inflasi, tetapi bobot beras dalam keranjang belanja masyarakat adalah yang paling besar. Kenaikan harga beras juga praktis memicu kenaikan harga bahan non-makanan dan makanan lainnya seperti gula, sayur-sayuran, makanan jadi dan lain-lain.

Ternyata, salah satu penyebab munculnya perbedaan sangat besar antara statistik inflasi BPS dengan fakta yang dirasakan rakyat adalah cara memotret fakta, terutama penentuan bobot perhitungan yang tidak akurat. Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002, bobot beras dalam pengeluaran rumah tangga cukup besar yaitu rata-rata sekitar 12% (bobot beras untuk kelompok miskin sekitar 24%, kelompok mendekati miskin (near poor) sekitar 19% dan rata-rata sekitar 12%). Bahkan dari hasil Susenas 2002 di wilayah studi ADB dan BPS (Maret, 2006) kabupaten pedesaan, komponen beras untuk kelompok miskin bisa mencapai 28%. Bila perhitungan dilakukan tidak hanya untuk beras tetapi untuk 9 bahan pokok maka porsinya secara nasional berkisar 30% dan untuk wilayah studi 6 kabupaten pedesaan sebesar 40%.



Namun perhitungan inflasi yang dilakukan saat ini, faktor pembobot termasuk beras tidak didasarkan pada hasil Susenas, akan tetapi menggunakan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2002. Berdasarkan survei biaya hidup 2002, penimbang (bobot) beras dalam perhitungan inflasi sangat rendah, hanya 6%. Bobot beras ini sangat jauh berbeda dengan angka pembobot yang diperoleh dari hasil Susenas di Kabupaten pedesaan sebesar 28%. Namun, karena perhitungan inflasi didasarkan pada survei biaya hidup maka bobot beras dan kebutuhan pokok lainnya dalam perhitungan inflasi menjadi sangat rendah.

Kelemahan lain dalam memotret tingkat inflasi adalah dalam pemilihan sampel Survei Biaya Hidup yang bias terhadap kelompok menengah atas karena Survei Biaya Hidup dilakukan di 44 ibu kota propinsi dan dalam keluarga respondennya harus ada anggota yang minimal tamat SMA. Berdasarkan statistik BPS, persentase pendukuk yang tidak tamat SMA mencapai 70%. Pengambilan sampel dengan cara ini akan menjauhkan hasil perhitungan dengan realitas lapangan. Sebab, metode tersebut sangat urban bias (bias terhadap pola hidup penduduk kota) dan mengabaikan pola hidup masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah kelompok menengah ke bawah. Padahal dari sebuah survei yang dilakukan oleh BPS dan ADB, diketahui adanya perbedaan tingkat inflasi yang sangat tajam antara daerah perkotaan dan pedesaan. Inflasi di pedesaan bisa mencapai lebih dari 2 kali lipat inflasi nasional. Artinya, angka inflasi saat ini lebih menggambarkan inflasi yang dihadapi kelompok masyarakat kelas menengah di perkotaan
(urban and middle class bias).

Tidak aneh terjadi perbedaan yang sangat besar antara realitas kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat (lonjakan tinggi harga beras, minyak goreng dan gula) dengan potret inflasi yang diumumkan BPS dan pemerintah, sehingga menteri-menteri ekonomi dengan sangat yakin mengutarakan telah berhasil mengatasi masalah finansial dan inflasi, tetapi rakyat biasa menjerit menghadapi kesulitan ekonomi karena lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Belum pernah dalam sejarah Indonesia modern, banyak kasus-kasus bunuh diri karena kesulitan ekonomi, kecuali selama satu tahun terakhir. Demikian juga tingkat kriminalitas dan jumlah orang yang masuk rumah sakit jiwa meningkat akibat kesulitan ekonomi.


2.2 Kejanggalan Data Pengangguran

Pengumuman BPS tentang angka pengangguran yang menurun masih perlu diklarifikasi lebih jauh lagi. Dari hasil analisa TIB, ada sejumlah kejanggalan pada data tersebut, antara lain:

Pertama, peningkatan drastis pada rasio penciptaan lapangan kerja terhadap angka pertumbuhan ekonomi. Antara tahun 2002 sampai 2005, jumlah lapangan kerja yang tercipta untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya sekitar 238 ribu. Namun pada periode Februari 2006 sampai Februari 2007, angkanya meningkat sangat drastis menjadi 421 ribu lapangan kerja per 1 persen pertumbuhan. Padahal dalam kenyataanya, industri padat karya justru banyak yang bangkrut dan tutup.

Kedua, peningkatan drastis pada pekerja informal sektor pertanian. Menurut data BPS, dalam dua tahun terakhir, jumlah orang bekerja meningkat sekitar 2.63 juta orang dan sebagian besar kenaikan tersebut diakibatkan oleh kenaikan orang yang bekerja informal di sektor pertanian yaitu sekitar 1,33 juta orang atau sekitar 51 persennya. Ini merupakan fenomena aneh karena pada periode tersebut kinerja sektor pertanian tidak terlalu baik dan hanya tumbuh rendah rata-rata 2,7 persen. Sektor Pertanian biasanya tumbuh rata-rata di atas 3 persen per tahun.

Ketiga, peningkatan drastis orang yang tidak tergolong angkatan kerja. Antara tahun 2001 sampai 2005, persentase orang yang tidak tergolong angkatan kerja (seperti anak sekolah, ibu rumah tangga, dsbnya) rata-rata hanya sekitar 32.1 persen. Namun dalam dua tahun terakhir, angkanya meningkat drastis menjadi 33.4 persen, atau meningkat 1.3 persen. Lagi-lagi ini merupakan rekayasa yang perlu diklarifikasi lebih jauh oleh BPS. Sebab secara statistik, peningkatan orang yang tidak tergolong angkatan kerja otomatis menurunkan angkatan kerja dan yang paling penting adalah menurunkan jumlah pengangguran.

Keempat, untuk memperkecil angka pengangguran, BPS menambahkan definisi pekerja bagi orang yang bekerja walaupun tidak digaji atau pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan dasarnya. Pekerja keluarga yang biasanya terdiri dari istri, anak, sepupu atau saudara lainnya yang membantu suatu usaha asalkan dalam seminggu minimal membantu selama satu jam, maka mereka akan dikategorikan sebagai pekerja walaupun mereka tidak dibayar. Jumlah pekerja keluarga sangat besar mencapai 17,8 juta orang. Jika tenaga kerja yang tidak dibayar ini dikeluarkan dari angka orang bekerja maka pengangguran yang diklaim BPS akan meningkat dari 9,8% menjadi 26%. Demikian juga ”Pak Ogah” yaitu orang yang membantu kendaraan saat memutar di jalan raya (bukan tukang parkir) asalkan mereka bekerja dalam seminggu minimal satu jam maka mereka dikategorikan sebagai pekerja. Jika ”Pak Ogah” atau pekerja informal lainnya yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasarnya dari pekerjaannya dikeluarkan lagi dari
angka pekerja, maka angka pengangguran di Indonesia akan meningkat lagi.

Saat ini, tidak ada satu negarapun terutama di ASEAN selain di Indonesia yang menggunakan definisi cukup minimal bekerja satu jam dalam seminggu sebagai ukuran dianggap sebagai pekerja. Negara lain umumnya telah menggunakan ukuran minimal 15 jam seminggu untuk dianggap sebagai pekerja.

Berbagai kejanggalan, ketidakakuratan, dan rekayasa data tersebut menunjukkan bahwa BPS tidak independen dan sangat dipengaruhi oleh intervensi menteri-menteri bidang ekonomi. Apalagi banyak kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah telah melakukan berbagai akrobat statistik sekedar untuk menunjukkan keberhasilan.

Dari hasil analisa TIB yang telah dipresentasikan beberapa waktu lalu ditemukan bahwa praktek ini pernah dilakukan sebelumnya. Saat itu pemerintah mempresentasikan angka kemiskinan telah mengalami penurunan. Ternyata pernyataan kemiskinan menurun dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005 tidak jujur dan menyesatkan. Data kemiskinan yang dilaporkan tersebut merupakan data hasil Susenas Februari 2005 atau kondisi sebelum kenaikan BBM. Padahal, BPS sebenarnya sudah memiliki data yang lebih up date yakni dari hasil Susenas bulan Juli 2005 dan Maret 2006. Namun, data tersebut tidak dilaporkan karena diperkirakan angka kemiskinan lebih tinggi dan mendekati kondisi pada awal krisis tahun 1998/1999.

Keraguan terhadap kredibilitas data BPS terbukti pada program SLT (Subsidi Langsung Tunai). Dari hasil Sensus Kemiskinan 2006 diperoleh data angka kemiskinan membengkak tinggi sehingga dalam RAPBN direncanakan jumlah keluarga miskin penerima SLT tahun 2006 sekitar 19,0 juta keluarga. Dengan asumsi anggota rumah tangga miskin dan sangat miskin sebanyak 4 orang, angka ini setara dengan 48,3 juta penduduk miskin atau sekitar 22 persen dari total penduduk. Sebuah angka yang sangat jauh dibanding angka kemiskinan sebesar 16 persen yang diklaim oleh pemerintah (paper TIB tanggal 18 Agustus 2006).

Banyak sekali keraguan atas kredibilitas dan independensi BPS, terutama sejak keluarnya Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, pada saat Sri Mulyani menjadi Meneg PPN/Ketua Bappenas, yang menyebutkan bahwa koordinasi BPS dialihkan dari Presiden kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan. Sejak saat itu, intervensi menteri-menteri ekonomi kepada BPS agar menghasilkan statistik yang ”Asal Bapak Senang” semakin sering terjadi. Intervensi tersebut biasanya dilakukan dalam bentuk rapat-rapat koordinasi menjelang pengumuman data resmi BPS, saran menteri-menteri ekonomi agar BPS memperbaiki metodologi, serta penunjukkan konsultan-konsultan asing dan tim asistensi dari luar BPS untuk menyelaraskan data BPS sesuai pesanan menteri-menteri ekonomi.

Akibatnya sangat jelas dan berbahaya. Kesulitan ekonomi rakyat seperti kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok, tingkat pengangguran dan kemiskinan terus direkayasa untuk memberikan laporan ”Asal Bapak Senang”. Masalah kemiskinan dan pengangguran diselesaikan lewat rekayasa statistik, bukan dengan program ekonomi yang pro-rakyat dan pro-lapangan kerja.

Dengan berbagai ulasan tersebut di atas, kami meminta DPR untuk membentuk PANSUS untuk menyelidiki kredibilitas dan independensi BPS. Kami juga mendesak agar DPR melakukan amandemen terhadap Undang-undang Statistik agar BPS betul-betul menjadi lembaga yang independen dan kredibel.


Jakarta, 28 Mei 2007
Tim Indonesia Bangkit

-----------
From : Alim M
ekonomi-nasional@yahoogroups.com,
28 Mei 2007 15:15

No comments: