Monday, February 12, 2007

IPB Tawarkan LRB Solusi Atasi Banjir

[BOGOR] Pembuatan lubang resapan biopore (LRB) disarankan untuk dibuat di kawasan yang permukaan tanahnya sudah kedap air. Fungsi lubang itu bisa menjadi resapan air,
sehingga ketika hujan, air tidak langsung menggelontor ke selokan dan kali atau sungai, tapi ada yang terserap ke dalam tanah. Lubang resapan biopore itu, menurut Kamir R Brata, pakar dari Institut Penelitian Bogor (IPB), sudah bisa diterapkan setelah diuji coba di sejumlah kawasan oleh para peneliti IPB. Menurut dia, LBR berteknologi sederhana dan biayanya murah. "Banyaknya lahan dan bangunan yang kedap air, menyebabkan air hujan yang turun tidak terserap tanah hingga terjadi penggelontoran air dari hulu ke hilir dan berdampak banjir. Untuk itu diperlukan
solusi dengan teknologi tepat guna, sederhana dan biaya murah serta bisa
dilakukan oleh siapa saja," ujar Kamir di kediamannya di Desa Cibanteng,
Kecamatan Dramaga, Bogor, Kamis (8/2). Bagaimana cara membuat
teknologi LRB untuk atasi banjir itu? Kamir menjelaskan, dengan cara
membuat lubang dengan kedalaman 80 centimeter (cm) dan diameter lubang
sekitar 10 cm. Langkah selanjutnya memasukan sampah lapuk sebanyak 2
sampai 3 kilogram (bergantung jenis sampah) ke dalam lubang atau sumur
itu. "Sampah-sampah ini kemudian diurai oleh organisme pengurai sehingga
terbentuk pori-pori," jelas staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya
Lahan Fakultas Pertanian IPB ini. Dengan cara demikian, lanjutnya, air
hujan yang turun tidak membentuk aliran permukaan melainkan meresap ke
dalam tanah melalui pori-pori. Namun tidak perlu khawatir tanah akan
menjadi lunak karena air yang terserap justru akan tersimpan menjadi
cadangan air bawah tanah. Namun dalam pembuatan teknologi LRB ini
disarankan agar kedalaman lubang yang dibuat kurang dari satu meter. Sebab
apabila lebih dari satu meter, cacing-cacing dan organisme pengurai
lainnya akan mengalami kekurangan oksigen sehingga tidak dapat bekerja
dengan baik. Selain mempraktikan proses pembuatan lubang, Kamir
sempat menunjukkan juga penerapan LRB di lahan percobaan Cikabayan pada
areal Kampus IPB Dramaga Bogor. Di lokasi itu, saluran pembuangan di lahan
tertutup semen dilubangi dengan jarak antar lubang yakni satu meter.
"Teknologi sederhana LRB ini sangat tepat diterapkan pada pemukiman warga
yang umumnya di areal rumah mereka kedap air karena permukaan tanah
tertutup semen," ujarnya. Bencana banjir yang melanda Jabodetabek, baru-
baru ini, pun membuat IPB turut prihatin terhadap bencana alam banjir
itu. Sebenarnya, bencana seperti ini tidak perlu terjadi apabila kita
dapat mengantisipasi sebelumnya. "Bencana dapat diminimalisasikan
secara terintegrasi bersama dan berkeseimbangan, hal ini dapat dijadikan
sebagai bentuk kepedulian kita bersama," kata Kepala Kantor Prohumasi IPB,
drh. R.P. Agus Lelana, SpMP, M.Si secara terpisah. Banyak Masalah
Sementara itu, Staf Pengajar Departemen Silvikultur,
Fakultas Kehutanan - IPB, Dr Supriyanto, yang juga Ketua Gerakan
Penghijauan Peduli Banjir Jakarta dan Sekitarnya (GPPBJS), menegaskan,
permasalahan yang dialami Jabodetabek karena beberapa faktor antara lain,
wilayah itu menjadi Kota Megapolitan, kepadatan penduduk akibat
urbanisasi, polusi baik industri dan kendaraan serta banjir tahunan dari Sungai
Ciliwung dan Sungai Cisadane. Banjir merupakan salah satu masalah
yang sering dialami DKI Jakarta. "Penyebab banjir Jakarta di antaranya
karena curah hujan yang tinggi, adanya lahan kritis dan vegetasi kurang,
resapan air menurun, waduk, situ dan saluran irigasi tidak berfungsi
dengan baik," ungkap Supriyanto. Menurut dia, dari data sebaran curah
hujan di Jabodetabek, curah hujan tertinggi sekitar 3.000-3.500 milimeter
per tahun terjadi di Bogor, dan terendah terjadi di DKI Jakarta dengan
angka 1.700 milimeter per tahun. Untuk Tangerang, Bekasi dan Depok
sekitar 2000-3000 milimeter per tahun. Ditambah lagi kegiatan
pembangunan di DAS Ciliwung yang cenderung mengarah pada penurunan
daya dukung lingkungan berupa penurunan kemampuan lahan dalam meresapkan
air dan peningkatan laju erosi. Kondisi ini menyebabkan tingginya
limpasan air permukaan yang berakibat timbulnya banjir tahunan di DKI
Jakarta. "Oleh karenanya perlu transfer cost (kompensasi) dari daerah hilir
ke hulu. Kompensasi ini, terangnya, sangat diperlukan dalam penanganan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane," ujarnya. Luas
lahan kritis sampai dengan tahun 2004 di DAS Ciliwung telah mencapai
sekitar 5.400 hektar, yang tersebar di Kabupaten Bogor sekitar 4.600 hektar,
Kota Bogor sekitar 70 hektar dan Kota Depok sekitar 730 hektar. "Lahan
kritis tersebut perlu dibangun kembali dengan menaman jenis-jenis yang
produktif dan disukai oleh masyarakat. Dengan demikian, penanganan DAS
Ciliwung harus terpadu yang melibatkan dua propinsi, Jawa Barat dan DKI
Jakarta," imbuhnya. Sementara saat ini enam dari 20 situ yang
dimiliki DKI Jakarta telah rusak parah. Yaitu, Situ Rawa Dongkal,
Aneka Elok, Rawa Badung, Ria Rio, Kebon Melati, dan Pluit. Selain tercemar
sampah dan limbah, pendangkalan terjadi oleh tumbuhan air. Solusi
penanggulangan banjir, menurut dia, bukan hanya didasarkan pada civil
engineering tetapi harus didasarkan pula pada agricultural, fisheries dan
forestry engineering. "Salah satunya dengan peningkatan resapan air
melalui rehabilitasi hutan dan lahan (penghijauan)," tandasnya. GPPJS dan
IPB telah melakukan berbagai kegiatan seperti berbagai pelatihan,
pembibitan dan penghijauan sebanyak 284.700 batang ditanam pada lahan 177,75
hektar, pengembangan sumberdaya manusia untuk Green School total
peserta 603 orang, pembentukan kelompok tani. Kepedulian sivitas akademika
juga ditunjukkan Badan Ekskutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM)
IPB, ketika musibah melanda DKI Jakarta, mahasiswa mengumpulkan dana
sukarela dari masyarakat sekitar kampus. [126]

ttp://www.suarapembaruan.com/last/index.html

No comments: