Wednesday, December 6, 2006

Transmigrasi : Tanah Impian yang cuman Impian

Dalam Era reformasi seperti ini, masih ada juga janji tinggal janji. Para transmigran yang dijanjikan mendapat seperempat hektar tanah hanya berakhir mendapat 20m x 20 m, dengan tanah yang memprihatinkan. Padahal seharusnya secara bertahap dari seperempat hektar dijanjikan akan mendapat dua hektar. Para transmigran yang sudah habis-habisan untuk menjual harta bendanya, mestikah terlantar. Sedangkan pemimpin negara dikatakan sedang sibuk mengurusi (baca: melarang) Poligami. Alih-alih memperhatikan masyarakat miskin, pemerintah cukup lamban mengurusi rakyatnya. Kelambanan ini bisa dilihat pada kasus Lapindo, kebutuhan energi (BioDiesel , PLTN). Korupsi juga masih dilakukan tebang pilih , misal pada kasus korupsi berjamaah.

Harapan Itu Kandas di Owata
http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/06/nas18.htm

EMPAT bulan lalu, tepat pada pertengahan Juli 2006, pasangan Kasiyo (40) dan Salimah (32) berangkat dengan kepala tegak.
Bersama 24 kepala keluarga (KK) lainnya, warga Randugarut, Kecamatan Tugu, Semarang itu bertolak ke Desa Owata, Kecamatan Bolango Utara, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo untuk bertransmigrasi. Tujuannya pasti: memperbaiki nasib.
Sebelum berangkat, mereka menjual berbagai barang yang dimiliki, termasuk VCD dan pesawat TV hitam putih ukuran 12 inchi. Hasil penjualan itu, sekitar Rp 1,5 juta, dikantongi sebagai tambahan bekal. Tak lupa, mereka membawa serta tiga buah sepeda, yang akan dipakai selama tinggal di tempat baru.
Terbayang di kepala mereka, ketika itu, tanah seluas seperempat hektare yang menjadi ladang rezekinya. Sesuai janji pemerintah, tanah itu akan dilipatkan menjadi dua hektare. Dan, mereka siap bekerja keras untuk mengolah tanah itu.
Tapi, apa yang didapat setiba di Gorontalo? Kasiyo dan Salimah-bersama 24 transmigran asal Jateng lainnya-hanya bisa menelan kecewa. Pemerintah hanya menyediakan tanah seluas 20 meter x 20 meter, tak ada seperenam luas yang dijanjikan. Itupun tidak seideal yang dibayangkan, tanahnya tak terlampau subur dan berada di lereng yang cukup terjal.
Empat bulan berlalu, para transmigran yang berasal dari Grobogan dan Semarang itu belum berhasil beradaptasi dengan tempat tinggal yang baru. Selama itu, mereka hanya menggantungkan pada jatah hidup (jadup) yang diberikan pemerintah, yakni beras 42 kilogram per bulan dan ikan asin sebagai lauknya.
Hingga akhirnya, 14 November lalu, Depnakertrans memulangkan 23 transmigran itu karena tanah di Owata dipandang tak cukup layak, sementara 2 KK lainnya memilih bertahan di Gorontalo.
Pemulung
Selesaikah derita Kasiyo dan Salimah bersama kawan-kawannya? Tidak. Sepulang dari Gorontalo, nestapa masih merundungnya. Pada mulanya, mereka bersama 13 KK asal Semarang, mereka ditempatkan di panti sosial Kramas, Tembalang. Namun, beberapa KK menolak karena merasa tidak nyaman.
''Saya tidak terbiasa nganggur. Kalau di Kramas itu cuma makan dan tidur saja,'' kata Kasiyo ketika ditemui Suara Merdeka di trotoar Jl MH Thamrin, tepat di samping kantor Pertamina UPms IV, Selasa (5/12).
Maka, dia memilih tinggal di jalanan. Bersama istri dan empat anaknya, dia genap setengah bulan ini tinggal di tepi jalan.
Tiap hari, anak-anak itu harus berkarib dengan udara malam yang tidak menyehatkan. Saputra, anak bungsunya, sempat dilanda demam.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Kasiyo menjadi pemulung yang memberinya penghasilan Rp 10.000-Rp 15.000 sehari.
''Padahal kabeh wis entek didol, Mas, termasuk tiga buah sepeda yang saya bawa ke Gorontalo,'' imbuh Salimah, sembari menyeka air matanya.
Tak jauh beda, nasib Agus Didik (40), transmigran asal Kaligawe, Genuk, yang juga terpaksa menggelandang di jalanan. Bersama istri dan tiga anaknya, kini dia tinggal di Kampungkali, tepatnya di ujung timur Jl Mayjen Sutoyo.
Agus juga menjadi pemulung. ''Kami tak tahu, entah sampai kapan harus menggelandang di jalanan....'' (Achiar M Permana-60)

No comments: