Wednesday, December 6, 2006

Inti Pandangan Neoliberalisme

Farid Gaban , wrote: Inti Pandangan Neoliberalisme

PASAR YANG BERKUASA
Mempreteli peran dan kewajiban pemerintah, serta membebaskan
perusahaan "swasta" dari setiap ikatan yang dikenakan oleh pemerintah
tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang bisa disebabkannya.

PANGKAS ANGGARAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL
Kurangi anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih,
semua itu atas nama pengurangan peran negara.

DEREGULASI
Memangkas hukum dan aturan yang bisa mengurangi penciptaan laba,
termasuk ukuran-ukuran untuk melindungi hak buruh dan pelestarian
lingkungan hidup.

PRIVATISASI
Menjual perusahaan, barang dan layanan milik negara kepada investor
swasta. Walaupun dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang
seringkali memang dibutuhkan, privatisasi mengkonsentrasikan
kemakmuran kepada segelintir tangan dan membuat rakyat miskin tak bisa
mendapatkan barang serta layanan yang mahal.

MENGENYAHKAN KONSEP "THE PUBLIC GOOD" (Kemaslahatan Bersama)
Mengurangi tanggungjawab bersama dan menggantikannya dengan "kewajiban
individu". Membiarkan kaum termiskin untuk menemukan solusi sendiri
atas mahalnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial serta
menyebut mereka "malas" jika mereka gagal.

GLOBALISASI KAPITALISME: Mitos dan Realitas

MITOS 1: Demokrasi dan kapitalisme berjalan seiring

REALITAS: Demokrasi dan ekonomi pasar yang sehat memang merupakan
cita-cita bagus karena merupakan basis bagi berkembangnya masyarakat
yang mampu mengorganisasikan diri dan memperlakukan anggotanya secara
setara.

Tapi, kapitalisme adalah pembunuh maut bagi keduanya. Kapitalisme
menciptakan ilusi di dalam pikiran mereka yang berkuasa bahwa ideologi
ini merupakan mesin kemakmuran, sementara faktanya merupakan mesin
perusak dan pencipta ketimpangan. Dalam definisi, desain dan praktek,
kapitalisme adalah sistem yang akan mengkonsentrasikan kekuasaan
ekonomi ke tangan segelintir orang dan mengesempingkan banyak orang,
artinya: tidak demokratis.

MITOS 2: Globalisasi akan mengakhiri kemiskinan

REALITAS: Globalisasi ekonomi menciptakan kemakmuran, tapi hanya untuk
segelintir elit yang diuntungkan oleh konsolidasi kapital, merger,
teknologi skala global, dan aktivitas finansial seperti bursa saham
dan bursa uang. Pasang naik perdagangan bebas dan globalisasi
semestinya "mengangkat semua kapal" dan mengakhiri kemiskinan. Tapi,
dalam setengah abad setelah diperkenalkan, lebih banyak kemiskinan di
dunia ketimbang sebelumnya, dan situasinya terus memburuk.

MITOS 3: Globalisasi akan mengakhiri kelaparan dunia

REALITAS: Globalisasi pertanian telah gagal dalam mengatasi krisis
kelaparan di dunia. Pada kenyataannya, justru telah memperburuk
krisis. Selama dua dasawarsa terakhir, jumlah pangan di dunia terus
meningkat, namun meningkat pula jumlah kelaparan. Sebuah studi PBB
belum lama ini menunjukkan bahwa dunia sebenarnya cukup akan pangan.
Problemnya ada dalam distribusi yang tak merata. Globalisasi produksi
pangan telah meminggirkan petani kecil dari tanahnya dan menggantinya
dengan industri pertanian kimiawi yang padat mesin. Globalisasi
produksi pangan memproduksi pangan yang salah dalam suatu proses yang
membuat jutaan petani kehilangan tanah, tak punya rumah, miskin uang,
dan bahkan tak bisa memberi makan sendiri.

MITOS 4: Globalisasi baik untuk lingkungan

REALITAS: Globalisasi secara inheren bersifat merusak alam karena
menuntut produk dan jasa bergerak ribuan kilometer keliling dunia,
melonjakkan ongkos lingkungan yang demikian mahal dalam bentuk polusi
uadara dan air, peningkatan konsumsi energi, dan penggunaan bahan
kemasan serta pengawet kimiawi yang tak terurai. Kemakmuran yang
diperoleh dari perdagangan dunia sangat sedikit yang dibelanjakan
untuk program perbaikan lingkungan. IMF dan Bank Dunia justru praktis
memastikan perusakan lingkungan.

MITOS 5: Globalisasi ekonomi tidak bisa dihindari

REALITAS: Para pendukung globalisasi ekonomi cenderung melukiskan
globalisasi sebagai proses yang tak terhindarkan, atau merupakan muara
logis dari seluruh benturan gaya ekonomi dan teknologi yang berjalan
selama berabad-abad. Mereka melihat globalisasi sebagai hukum alam.

Tapi, globalisasi ekonomi bukanlah evolusi yang natural.
Lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia, GATT, NAFTA dan WTO
menempatkan nilai ekonomi di atas nilai-nilai lainnya, serta menindas
kemampuan tiap negara untuk melindungi lingkungan, buruh, dan
konsumen. Globalisasi semacam itu bahkan cenderung menolak kedaulatan
serta demokrasi sebuah negeri jika negeri itu nampak merintangi
"perdagangan bebas". Tapi, tak satupun dari itu tak bisa dihindari.
Menyebut globalisasi sebagai tak terhindarkan adalah upaya
menghipnotis orang untuk meyakini bahwa tak ada yang bisa dilakukan
untuk mencegah globalisasi, sehingga menciptakan sikap pasrah dan
pasif.***

No comments: