Monday, October 9, 2006

Singapura Tergantung Uang Haram Indonesia

Ekonom Shanghai mempertanyakan mengapa Singapura menjadi tuan rumah konferensi IMF. Padahal, negara itu berhasil karena 'uang haram' dari Indonesia
Hidayatullah.com--Andy Xie, 46, adalah ekonom kelahiran Shanghai. Ia mengundurkan diri sebagai chief economist Morgan Stanley di Asia setelah dia menulis email yang menggambarkan Singapura tergantung pada uang haram dari Indonesia dan China.

Xie, yang bekerja pada Morgan Stanley selama sembilan tahun, mengirim email itu kepada temannya setelah menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia bulan lalu di Singapura.

Ekonom kelahiran Shanghai itu mempertanyakan mengapa Singapura dipilih menjadi tuan rumah konferensi. Dia mengatakan delegasi berlomba satu sama lain memuji Singapura sebagai kisah keberhasilan globalisasi.

"Sebenarnya, keberhasilan Singapura sebagian besar datang dari pencucian uang hasil korupsi pengusaha dan pejabat Indonesia", ujar Xie yang berbasis di Hong Kong sebelum meninggalkan Morgan Stanley pada 29 September.

Ekonomi Singapura pulih dari resesi sejak 1997 dan diperkirakan tumbuh 7,5% tahun ini. Negara itu bersaing dengan China dan India, di mana biaya buruh lebih murah.

PM Lee Hsien Loong mengatakan pertumbuhan tahunan ekonomi Singapura akan bertahan pada 3%-5% dalam 10-15 tahun mendatang sementara negeri itu memperluas industri dari teknologi informasi ke pariwisata.

"Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya, Singapura mendirikan kasino guna menarik uang korupsi dari China", kata Xie.

Singapura mengakhiri larangan kasino selama empat dasawarsa. Pemerintah berencana menaikkan tiga kali lipat pendapatan dari pariwisata hingga US$19 miliar dan melipatgandakan kedatangan pengunjung sampai 17 juta hingga 2015. [bi/cha]

Sumber : Hidayatullah.com
===============================================================================
Singapura, Negara Penyimpan
“Uang Haram” Terbesar dari Indonesia
JAKARTA - Sinyalemen bahwa Singapura merupakan negara tempat menyimpan uang hasil pencucian uang dari Indonesia bukanlah hal yang mengada-ada. Hal ini telah ditegaskan oleh Ketua PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) Yunus Husein dalam sebuah lokakarya yang bertema “Asset Tracing and Asset Recovery” akhir pekan lalu, di Jakarta.

Kenyataan bahwa Singapura merupakan salah satu negara anggota FATF (Financial Action Task Force) atau lembaga internasional yang mengampanyekan praktik-praktik anti pencucian uang terlihat sangat kontradiktif bila dikaitkan dengan pernyataan ketua PPATK tersebut. “Singapura merupakan negara yang menduduki posisi teratas dalam pelarian uang haram dari Indonesia,” kata Yunus.
Yunus menambahkan, PPATK telah mendesak STRO (Suspicious Transaction Report Office) Singapura untuk menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) selama dua kali, tetapi sejauh ini masih nihil hasilnya. ”Kita sudah dua kali menawarkan hal ini (MoU) kepada STRO (Suspicious Transaction Report Office) Singapura. Pertama, dia bilang belum, dan kedua masih akan mempertimbangkan,” papar Yunus.
Selain itu, PPATK juga telah meminta KBRI untuk membantu melakukan penyelesaian isu yang dianggap sangat sensitif ini. Pendekatan diplomatik tingkat tinggi (high diplomacy) juga telah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam lawatan ke Singapura beberapa waktu yang lalu, tetapi Indonesia bak macan ompong yang tidak mempunyai taring untuk membuat perdana menteri Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi.
Salah satu bukti yang memperkuat argumen ini sebenarnya sudah diungkapkan PPATK, yakni transaksi pengiriman uang oleh Direktur Utama Bank Global Irawan Salim terhadap istrinya yang berada di Singapura. “Ini belum termasuk beberapa nama yang masuk daftar hitam yang sedang dicari Kepolisian Republik Indonesia dengan bantuan Interpol yang diduga bersembunyi di Singapura,” kata Yunus menambahkan.
Mengapa Indonesia negara terbesar wilayah di Asia Tenggara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa tidak bisa membuat negara kecil, seperti Singapura, untuk mau mengakomodasi tuntutan Indonesia? Masih pantaskah kita atau tidak malukah kita membangga-banggakan Republik ini sebagai negara yang disegani dalam percaturan diplomasi internasional, kalau dalam lingkup regional saja masih kedodoran?
Jika mau jujur itu semua tidak lepas dari kemampuan para aparatur kita baik kepolisian, kejaksaan, dan hakim serta jajaran birokrasi kita yang merasa “gagap” dalam menangani kasus tindak pencucian uang.
Menurut pakar antipencucian uang dari Norwegia Eva Joly tindak pencucian uang berkaitan erat dengan masalah korupsi. “Penyelesaian tindak pencucian uang dan korupsi merupakan satu paket, karena setiap tindak korupsi memerlukan pencucian uang sebagai instrumen untuk menghilangkan jejak,” kata Eva.
Ia menilai tingkat korupsi di Indonesia yang merajalela menyebabkan sulitnya mengungkapkan praktek-praktek pencucian uang. “Seluruh instrumen keuangan dan hukum sudah dibuat tetapi permasalahannya semua hanya sekedar instrumen pelengkap agar Indonesia dipandng serius dalam masalah ini tetapi tanpa memberikan hasil yang jelas,” paparnya.
Banyak orang Indonesia yakin Singapura sebagai tempat menyembunyikan hasil money laundering tetapi ternyata sampai saat ini tidak ada satu bukti yang ditunjukkan pada FATF bahwa Singapura tidak kooperatif dalam memberantas masalah ini. Di dunia yang sudah sangat terbuka seperti sekarang tidak ada satu negara yang bisa dengan seenakanya dan tidak kooperatif, apalagi Singapura menjadi anggota FATF.

Berikan Sanksi
Eva menambahakan, jika Indonesia memang bisa membuktikan tuduhannya maka FATF akan memberikan sanksi pada anggotanya yang tidak kooperatif karena di dalam FATF ada mekanisme evaluasi terhadap negara-negara anggotanya, misalnya negara Belgia yang beberapa waktu yang lalu dilakukan evaluasi berkaitan dengan sejumlah laporan sejumlah lembaga perbankan di negara tersebut yang menerima dana ilegal dari Afrika. “Anggota yang terbukti tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pencucian uang akan dikeluarkan dari organisasi,” paparnya.
Ia memahami kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam memberikan bukti kepada masyarakat dunia karena kemampuan penegak hukum di Indonesia terutama kepolisian masih minim dengan paradigma lama, dan kurang mengantisipasi terhadap kejahatan ekonomi.
Pembentukan PPATK sebagai Unit intelejen Keuangan (Financial Intelligence Unit/FIU) sebagai suatu badan independen yang langsung bertanggung jawab langsung kepada presiden sebagai suatu kemajuan yang berarti,
“PPATK harus memberikan data-data setiap transaksi keuangan yang mencurigakan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada kepolisian dan kejaksaan untuk ditindaklanjuti secara hukum,” kata Eva.
Di titik krusial inilah kualitas dan keseriusan aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam penanganan pencucian uang bisa dinilai. Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia bisa dikatakan baru berjalan dalam dua tahun terakhir pada saat pemerintah mengumumkan PPATK sebagai unit investigasi untuk menyelidiki transaksi keuangan yang bersifat mencurigakan mulai 17 Oktober 2003.
Kewenangan ini sebelumnya berada di tangan Bank Indonesia di mana setiap laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (LTKM) harus dilaporkan oleh seluruh penyedia jasa keuangan. Sementara itu, payung hukum untuk lembaga ini, yakni UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan atas rekomendasi FATF on Money Laundering agar diadakan penambahan yang mengakomodasi 40 rekomendasi umum dan 8 rekomendasi khusus disempurnakan dalam ketentuan UU No. 25 tahun 2003.
Pembangunan rezim antipencucian uang juga ditandai dengan pembentukan kerja sama antara PPATK dengan beberpa instansi terkait dalam penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal, Dirjen Pajak, Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Lembaga Keuangan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia.
Sementara dalam kerja sama internasional PPATK telah menandatangani nota kesepahaman dengan Anti Money Laundering Office (AMLO) Thailand, Bank Negara Malaysia, Financial Intelligent Unit (FIU) Australia, FIU Korea, FIU Rumania (NOPCML), FIU Filipina (AMLC), FIU Belgia (CTIF) dan FIU Italia.
Empat pilar utama yang menjadi tumpuan bagi PPATK, yakni peraturan perundangan, teknologi sistem informasi dan sumber daya manusia, analisis laporan mencurigakan dan kepatuhan berbagai instansi terkait serta kerjasama domestik dan internasional sebagai kunci penting bagi keberhasilan lembaga ini.
Menurut ketentuan undang-undang PPATK memiliki kewenangan untuk meminta dan menerima laporan PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan/penuntutan, melakukan audit kepatuhan terhadap PJK dan memberikan pengecualian kewajiban pelaporan tunai (cash transaction report/CTR).

Informasi Intelijen
Di samping itu, PPATK berperan sebagai lembaga informasi intelejen keuangan, regulator di bidang anti pencucian uang melalui penerbitan ketentuan dan pedoman teknis serta sebagai focal point untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Dalam pelacakan aset dan pengembalian aset PPATK juga mempunyai wewenang untuk mengkoordinasikan pengembalian semua bentuk harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan serta melakukan penyitaan aset seperti yang direkomendasikan FATF.
Dalam rangka melakukan investigasi keuangan terhadap kejahatan pencucian uang keterlibatan polisi, jaksa, dan akuntan sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan pengungkapan kasus. Akses di berbagai di berbagai sektor seperti perusahaan real estate, kepemilikan mobil mewah, kepemilikan kapal-kapal laut, saham di pasar bursa dan akses untuk mengetahui pemilik perusahaan diperlukan untuk menelusuri jejak para tersangka, Jadi informasi yang benar dari instansi pajak, instansi keuangan, badan peradilan, perusahaan akuntan publik dan agen atau developer properti akan sangat membantu tugas-tugas PPATK.
Tindak kejahatan pencucian uang tentu melibatkan pejabat atau pemimpin negara (Political Exposure Perseon) seperti kepala pemerintahan, politisi senior, anggota legislatif, pejabat militer maupun birokrat sipil serta pengurus partai politik yang berpengaruh. Di samping itu yang tak kalah pentingnya para pengusaha yang berkolusi dengan pejabat negara serta anggota keluarga yang ada kaitannya dengan tersangka sangat berpotensi untuk melakukan pelarian uang ke luar negeri.
Untuk kelompok PEP di Indonesia diwajibkan prosedur khusus untuk menyelidiki transaksi keuangan yakni melalui customer service officer, prosedur ini sangat rawan terjadi praktek-praktek kolusi tingkat tinggi karena PPATK tidak bisa bebas untuk mengakses informasi. Penguatan institusi seperti PPATK dengan memberikan akses seluas-luasnya terhadap rekening-rekening PEP di seluruh institusi keuangan di negara-negara Singapura, Swiss, Australia, Hongkong dan negara-negara lain yang ditengarahi PPATK sebagai tempat pencucian uang dari Indonesia akan lebih berguna bagi pemberdayaan institusi ini.
Kebijakan ini akan bisa mengurangi ketidakberdayaan kepolisian Republik Indonesia yang masih begitu “hijau” dalam menangani tindak kejahatan ekonomi transnasional. Tanggung jawab PPATK yang lansung kepada presiden dan tidak berada dibawah suatu departemen, kementerian atau lembaga lainnya merupakan alternatif di tengah kondisi kepolisian Republik Indonesia yang tak kunjung mengalami perbaikan kinerja dan perilaku aparaturnya.
Pada akhirnya suatu kewenangan yang besar pada suatu institusi terkandung bahaya laten yang tidak kalah ganasnya, akhirnya tanpa adanya moralitas, integritas dan keinginan untuk memberantas secara sungguh-sungguh tindak pencucian uang, PPATK hanya akan menjadi pelengkap penderita bagi bangsa yang terus dicabik-cabik oleh wabah korupsi yang tidak pernah ditemukan ujung pangkalnya. (SH/sigit wibowo)

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2005/0307/keu1.html

No comments: