Friday, October 20, 2006

Misteri Dunia Maya

Dari: Mira Wijaya Kusuma

Di suatu hari yang cerah aku bersama temanku bernama Silvia berjalan memasuki pintu gerbang taman di pusat kota Amsterdam, yang kebetulan tidak jauh dari tempat tinggal kami. Taman tersebut memang dikenal sebagai tempat sahaja buat kebanyakan penghuni lokal maupun untuk para pengunjung turis asing. Terutama di waktu musim panas, suasana taman tercermin lebih meriah karena juga ada podium terbuka buat menikmati hiburan acara musik dan pertunjukan teater gratis. Tapi kali ini kunjungan weekend kami kuanggap spesial karena saát musim gugur taman yang dinamai 'Vondelpark' itu kuanggap suasananya lebih tenang dan nyaman. Sehingga buat kami sangat menyenangkan berkesempatan berjalan-jalan di antara perlindungan pohon-pohon besar, yang usianya relatif sudah ratusan tahun. Juga serasa nikmat dan nyaman menghirup udara segar dicampur dengan bau harumnya aroma dedaunan pohon yang berjatuhan serta menyatu dengan tanah.

Seusainya kami berjalan-jalan, lalu kami memasuki kafé bernama ‘Blauwe Lucht’ (Langit Biru), yang tempatnya juga di sekitar lokasi taman. Sesampainya di kafé kami memilih tempat duduk di teras balkon tingkat satu, maksudnya supaya bisa duduk santai sambil menikmati kehangatan dari pancaran matahari. Memang saát itu temperatur udaranya sudah agak dingin sekitar 20 derajat. Sebenarnya di setiap waktu musim semi, buatku duduk di tempat favorit ini kuanggap lebih indah dan cantik untuk memandang keindahan panorama danau, yang dihiasi tumbuhnya bunga-bunga bermekaran disepanjang pinggiran danau. Juga, selalu memberi kesan nikmat mendengarkan selingan macam-macam suara ceria sendagurau para burung-burung. Seakan-akan suara-suara para burung diantara ranting dahan pohon-pohon turut serta meramaikan suasana di kafe. Biasanya, aku lebih senang membiarkan diriku hanyut dalam nikmat sendaguraunya para burung maupun jenis burung lainnya. Biarpun aku tidak pernah peduli untuk
mengetahui nama dan jumlah jenis burungnya. Telah menjadi kesenanganku pula mendengarkan bunyi-bunyi suara merdu, yang terdengar saling bersautan antar burung-burung tersebut. Keindahan suara celotehnya yang ceria dan merdu itu ternyata sudah menjadi candu buatku. Tentu suara bermacam-macam burung itu tidak pernah kumengerti maksudnya.

Kesenanganku lainnya, iaitu memperhatikan bebek-bebek yang sedang bersahaja saling bersenda gurau disekitar danau. Kadangkala aku merasakan kecemburuanku melihat kehidupan para binatang ini, yang nyatanya bisa mendapatkan kesempatan hidup berbahagia dan nyaman dalam menikmati kebebasannya, yang kuanggap tidak berbatas. Yang kuherankan, begitu terbiasanya mereka saling bercumbu rayu memadu kasih di tempat umum, sepertinya mereka tidak peduli lagi dengan masyarakat lingkungan di sekitar danau maupun di lingkungan kafé. Apalagi bilamana di musim semi, suasana romantis sungguh berpengaruh buat para binatang itu, yang sepertinya mengerti makna hidupnya sendiri dalam menikmati prinsip moral kebebasannya. Bebas merdeka dengan citra erotis dan exotisnya di tempat favoritnya. Terkadang aku berpikir pada jiwa romantisnya kaum insani juga, yang tentunya memiliki pula cita rasa dan citra moral kebebasan seperti para binatang itu, tapi toh...nyatanya banyak halangan-halangan tradisi
hidup tertentu yang memenjarakannya.
“Rupanya kau lagi happy yah? koq senyum-senyum tak menentu sendirian! Apa karena kau lagi asyik menikmati dunia mayamu itu yah?” tanya temanku Silvia yang tiba-tiba membangunkanku dari alam lamunanku dalam nikmat kebahagiaan binatang-bintang itu.
“oooh...d u n i a m a y a?” tanyaku lagi sembari menoleh kearah temanku yang sedang tersenyum ria. Padahal dalam benaku masih terlintas suasana nyaman alam kesadaran lingkungan pada romantisme para burung dan bebek-bebek itu. Sebenarnya aku masih belum merelakan diriku untuk melepaskan keasyikanku menikmati suasana sendagurau para binatang itu.
“Bukankah kau terakhir ini menyibukan diri dalam dunia mayamu?” tanya temanku lagi sambil menggeser kursinya kearah ku. Lalu aku melemparkan senyum kearah temanku namun kurasakan senyumanku kali ini mengandung makna ironis dan absurd. Karena rupanya dia sudah menganggap aku ini menjadi orang yang suka berkhayal dalam dunia maya yang diartikan hidup dalam masyarakat khayalan belaka?
“ya..ya... dunia maya yang maksudmu dunia dalam angan-angan itu? Apakah maksudmu alam dalam khayalan? Atau apa ada lainnya yang kau maksudkan?”
“Bukankah kau sendiri pernah cerita ke aku bahwa setelah kau berlangganan adsl menjadikan kau lebih gampang mengakses internet? Lalu bagaimana kelanjutannya mengunjungi dunia maya mu itu?” Tanyanya sambil memancarkan matanya yang penuh perhatian. “Apakah di alam dunia mayamu juga bisa menikmati suasana alam taman seperti sekarang ini yang sedang kita nikmati?”
“Ooh maksudmu milisgroups? Jawabku singkat sambil memandang kearah panorama danau. Kemudian aku menggeser kursiku kearah temanku maksudnya supaya aku duduknya bisa lebih dekat dengan temanku itu. Lagi pula aku pun baru menyadarinya kembali bahwa lama kami tidak bertemu. Dan kesempatan inilah keinginan kami duduk di kafé, yang sebenarnya memang untuk santai sambil berbincang menukar informasi pengalaman. Terekam kembali ingatanku pada periode awal pengenalanku dengan Silvia ini. Ternyata proses pertemanan kami tak dirasakan sudah berusia hampir seperempat abad lamanya. Memang sejak awal temanku ini memiliki interes kehidupannya berbeda dengan lingkungan perkawanan keseharianku sejak di jaman kuliah. Bahkan temanku sudah lebih dulu hidup berkeluarga serta telah dikaruniai dua putra. Dan uniknya dia suka bekerja di sektor elektronik atau bekerja di sektor yang berkaitan dengan semacam informasi tehnologi komunikasi. Kehidupan rutin keseharian temanku ini juga lain, yang
kuanggap dia lebih pandai dan sigap mengatur waktu hidupnya antar kombinasi sebagai pekerja profesional dan mengurus anak serta mengatur kehidupan rumahtangganya. Jadi aku tahu persis bahwa temanku ini tidak pernah punya interes dengan ilmu khayalan. Mungkin pula lantaran latar belakang kehidupannya sejak kecil di Indonesia selalu runyam dan sengsara. Padahal dia dilahirkan sebagai anak tunggal tapi selama hidupnya di tanah air, dia tidak pernah mengenal sosok ayahnya. Dan, baru kemudian kuketahui bahwa sebenarnya ayahnya di jaman pemerintahan Soekarno mendapat beasiswa belajar ke luar negeri sedangkan ketika itu temanku masih berusia 5 bulan dalam perut ibunya. Tapi ketika terjadi peristiwa Tragedi Berdarah 1965/66 ayahnya ternyata tidak bisa kembali ke Indonesia karena paspornya di cabut serta diancam akan di tangkap atau dibunuh oleh rejim Soeharto. Jadi temanku ini tidak sudi pula memahami kehidupan dunia spiritualisme lantaran dianggapnya tidak mampu menyelesaikan
persoalan kehidupan keduniawian. Apalagi buat temanku ini yang akhirnya dia bisa berhasil bertemu kembali dengan ayahnya di pengasingan. Namun dia pun menyadarinya pula bahwa perjuangan dirinya untuk nasib baiknya itu belum tentu bisa dinikmati oleh anggota keluarga lainnya, yang nyatanya sebagaian dari anggota keluarganya hilang atau dihilangkan pula tanpa kabar berita dalam peristiwa berdarah setelah terjadi GESTOK ‘65.
"Ya betul, aku masih ingat tentang ceritamu berkenalan dengan figur-figur penulis di berbagai milis group itu.” Jawab temanku antusias untuk memancing obrolan.
“Oooh...maksudmu tentang milisgroup yang ketika itu baru berdiri? Ya..betul...di situ memang bisa mengikuti bermacam-macam kreasi eksperimen, yang tertuang dalam karya tulisan ekspresi diri dari beberapa penulis. Selain karya puisi, cerpen dan esei ada pula karya curhatnya. Juga ada opini maupun informasinya yang cukup lumayan. Tentu aku tidak semuanya mengenal latar belakang para penulisnya di kehidupan alam nyata.”
“ Jadi kau sudah mulai terbawa hanyut dalam alam kreasi karya tulisan beberapa anggota milisgroup itu?”
“Tentu ada beberapa karya tulisannya sudah kukenal sejak masa pemerintahan rejim Soeharto. Tapi setelah ‘Soeharto Ngelencer’ di tahun 1998 ternyata banyak dari penulisnya menjadi berani merubah namanya ke nama asli tanpa mengubah visi dan misi karyanya yang kuanggap masih tetap kritis dan bermutu. Tapi masih ada pula pendapatnya yang mencerminkan pada keberpihakan isu-isu politik-ideologi kepentingan warisan kekuasaan Orde Baru”.
“Oooh...mengenai penggunaan nama palsu dalam dunia maya, bukankah sudah dianggap biasa dan wajar?”
“ya...tentu saja sudah dianggap wajar dan bahkan sudah membudaya. Ada pula yang menggunakan nama sampai lebih dari 10 nama palsu hanya dengan maksud untuk melecehkan anggota milis lainnya, atau maksudnya buat menyakitkan perasaan orang lain. Sebenarnya akupun tidak peduli dengan alasan-alasannya memakai nama palsu, asalkan karya tulisan mereka itu mampu menginspirasikan wawasan pemikiran baru buat proses pencerahan dan perubahan di Indonesia.”
“ Kemarin ini aku sempat lihat di data informasi CIA bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia 19 juta orang, padahal untuk mengakses ke internet buat ukuran masyarakat di Indonesia masih merupakan hal ‘kemewahan’ biarpun dimana-mana ada warnet? “ tanya temanku lagi yang masih belum mengerti dan ingin tahu penjelasan dariku.
“Tentu saja tapi bukan berarti peranan dunia maya tidak memiliki fungsi ganda. Maksudku ada yang memanfaatkannya misalnya untuk mengembangkan hobby menulis. Tapi memang ada pula yang secara sadar punya tujuan lain tapi sampai saát ini aku tidak pernah tahu dasar motivasinya.”

Suasana menjadi tenang kembali dan kami masing-masing masih duduk nyantai serta larut dalam keheningan. Aku menoleh sejenak ke arah temanku dan dari pancaran matanya kelihatannya masih ada rasa ingin tahu lebih banyak tentang cerita pengalamanku sebagai salah satu anggota milisgroups. Lalu kulihat Silvia mengalihkan pandangannya ke arah sekitar teras kafe, yang ternyata para pengunjungnya tinggal kami berdua bersama tiga orang lainnya.
“Ada kenalanku yang pernah cerita padaku bahwa dia menganggap masyarakat maya itu bisa menciptakan suatu kehidupan tersendiri. Dia menceritakan pengalamannya bahwa dia bisa menikmati suasana keunikannya buat mendekatkan dirinya pada keinginan penyaluran angan-angannya.
“Maksudmu angan-angan apa?
“ yah.. angan-angan keinginan khayalannya yang bisa di refleksikan secara bebas tanpa batasan. Rupanya dia itu menjadi pencandu penikmat hidup dalam dunia mayanya. Karena bagian dari ‘kebebasan’ yang diyakininya, yang tidak dapat di ekspresikan di alam dunia nyata seolah-olah bisa dilakukannya di alam dunia maya.”
“Ooo...itu maksudmu sudah semakin banyak orang menggunakan sarana fasilitas internet. Ya...tentu saja, bukankah sarana internet sudah dianggap lebih mudah dan praktis buat menyalurkan keinginan seleranya? Akupun tidak akan menyangkal bilamana ada seseorang yang punya hobby menulis pada akhirnya dia bisa mendapatkan pengakuan sebagai penulis di publik figur dalam dunia maya maupun di dunia nyata. Bukankah pengakuan dari prestasi karya tulisannya di alam dunia maya bisa dianggap menjadi selaras serta sesuai dengan keinginan dan kepentingan ambisinya sebagai penulis figur publik di alam dunia nyata?”
“ Ya...itulah tapi maksudku lain lho! Ok..lah, apa maksudmu sebagai penulis yang dilakukannya via dunia maya itu bisa diakui pula sebagai tambahan daftar cv karya tulisan di dunia nyata?” tanya temanku lagi yang masih belum paham dengan maksud uraianku.
“Kenapa tidak kalau karya tulisannya disenangi oleh banyak orang? Bukankah tujuan dari hobbynya sebagai penulis tidak bertentangan dengan karier fungsi kerja yang di inginkannya? Kau pun pernah cerita ke aku tentang pengalaman teman kerjamu itu bahwa sarana fasilitas yang ada di internet juga memiliki fungsi multi-dimensional. Kau sendiri mengakuinya bahwa dunia internet itu banyak gunanya buat umat manusia yang menginginkan untuk menambah wawasan baru. Bukankah keinginanya sebagai penulis terkenal bisa dijadikan wacana multi fungsional pula buat usaha prestasi baru mereka?”
“Ya betul....tapi bukan berarti tidak ada kebahayaannya lho? Kan kau tau bahwa pengertian dan pemahaman kode etik ‘kebebasan’ akhirnya menjadi tidak berbatas dalam moral kehidupan masyarakat maya. Bukankah kau sendiri sudah tahu bahwa setiap orang tidak bisa berbuat semaunya di kehidupan darat?”.
“Jadi maksudmu misalnya berselingkuh melalui chatten ataupun cara lainnya yang sehubungan dengan penyaluran nafsu birahi sudah menjadi hal yang biasa pula bagi penganut para pemain dunia maya?” tanyaku penasaran sambil tetap memandang asyik ke arah bebek-bebek di danau yang sedang sibuk dengan kesahajaan sendiri.
Untuk kesekian kalinya aku menoleh dan memandang kearah temanku itu. Namun kelihatannya temanku itu masih asyiknya duduk santai sambil pula memandang ke arah danau. Mungkin juga dia sudah enggan untuk mengobrol denganku.

Suasana wekeend di kafé terasa mulai agak sepi, yang tersisa hanyalah suara keramaian celoteh para burung, yang menandakan sesaát lagi matahari mulai terbenam. Suasana seperti inilah yang selalu kurindukan kalau aku sedang berada di tanah air. Seketika kurasakan hembusan udara dingin sudah mulai masuk menyentuh badanku melalui sela-sela pakaian yang kupakai. Padahal hawa panas dari pemanas gas tabung di teras sekitar tempat duduk kami masih tetap memancarkan bara apinya. Sejenak ku ingat kembali rekaman cerita temankerjaku yang sudah menjadi pecandu dunia maya. Di lingkungan kerjanya dia selalu dikenal sebagai figur pekerja keras dan sangat tekun dalam melakukan pekerjaannya. Dia dikenal pula sebagai orang yang pendiam tapi terkadang menunjukan senyum keramahannya ke para teman sekerjanya. Juga dari penampilannya terkesan bagaikan seorang perempuan alim ulama karena berasal dari keluarga muslim. Kalau dilihat dari latar belakang keluarganya memang sangat dipengaruhi dari
budaya Arab walaupun dirinya menganggap berasal dari bangsa Barber di Maroko. Namun pada umumnya bergaul di lingkungan kerjanya, teman kerjaku ini selalu menunjukan sikap menjarak terhadap para personel lainnya. Penampilan berpakaiannya pun kuanggap sopan dan sikapnya pun sangat santun untuk supaya tidak menarik perhatian kaum lawan jenisnya. Padahal model pakaian yang dikenakannya tidak pernah ketinggalan jaman. Biarpun model pakaiannya selalu terlihat membalut badannya yang ramping dan berisi itu.

Suatu kali aku pernah diundang berkunjung kerumahnya dan ternyata dirumahnya dia tidak memakai kerudung kepala. Rambutnya yang ikal dan hitam begitu indah terurai panjang sampai dibawah bahu. Wajah kecantikannya menjadi lebih lengkap dengan hiasan pupurannya di bibir, alis dan bulu matanya. Sehingga ekspresi pancaran matanya yang besar dan tajam terlihat punya daya tariknya tersendiri. Lantas aku dibawa keruangan kamar berukuran 4 kali 5 meter, yang lengkap dengan tata ruangan interiurnya yang indah. Disitu juga ada komputer dan alat-alat pendukung webcamesnya. Dengan tenangnya dia bercerita ke aku bahwa nama palsunya telah menjadi nama favorit buat menyalurkan fantasi memainkan peranannya sebagai figur idaman kaum laki-laki di internet seks. Ketika itu aku masih belum tahu banyak tentang kehidupan dunia maya, yang disebut juga sebagai masyarakat informasi global. Rupanya begitu mudahnya menggunakan nama palsu dalam dunia maya. Dan nyatanya dunia internet buat temanku
ini adalah cara halal, yang dianggap serba mudah dan gampangnya buat merealisasi keinginan menyalurkan kepuasan birahinya melalui dunia internet. Pernah aku menanyakannya tentang penggunaan nama palsu di alam dunia maya, yang menurut temankejaku itu berguna buat melindungi dirinya. Juga menurutnya berguna buat merealisasi keinginan dirinya. Padahal setahuku “tujuan” membuat nama palsu saja, dasarnya hanya satu, iaitu melakukan penipuan. Apalagi kalau tujuan penipuannya dikaitkan dengan kasus keserakahan dan kebengisan terhadap kepentingan antar sesama umat manusia. Lantas siapa yang harus mempertanggung jawabkannya bahwasanya jenis penipuannya itu sudah menjadi bagian budayanya pula karena bisa dilakukan secara terang terangan serta telah diterima oleh masyarakat umum.
“Eeeeh....lamunanmu sudah nyampe mana nih! Koq aku di gratisin sih?” tanya temanku lagi memancing untuk meneruskan obrolannya.
“yaaah.... jadi menurutmu hidup tuh memang selalu ada enaknya dan tidak enaknya kan? Dimana saja kita hidup, entah itu dalam dunia nyata ataupun di alam dunia maya seperti yang ada di internet itu!” Jawabku cepat sambil menatap pancaran matanya yang kurasa Silvia sudah mulai kecewa dengan keasyikanku melamun sambil memandang burung-burung yang sedang berlomba mencari tempat berteduh di antara ranting peponan.
“Bukankah menurut ceritamu dunia maya menjadi tambah interesan untukmu? Barusan kau bilang bahwa kau mengagumi karya atau pendapat opininya dari beberapa penulis, walaupun kau tidak mengenalnya di dunia nyata?”
“Teks itu bicara jadi kalau karya tulisan seseorang sudah digemari oleh pembaca, itu berarti karyanya dinilai bagus dan pastinya akan dihargai oleh publik pembaca umum”.
“Jadi maksudmu karena karya tulisannya dianggap punya kesamaan kualitas standart penulis sastra terkenal di alam dunia nyata? Bukankah akan lebih interesan bilamana kita bisa mengenal sosoknya terlebih dahulu serta mengenal kehidupan kesehariannya di darat.” Lanjutnya yang sudah mulai semangat untuk melanjutkan percakapannya.
“ Tentu, karena kalau tidak sepertinya kita dihadapi oleh sesuatu hal yang ‘misteri’. Karena biasanya seseorang cenderung malu-malu atau merasa takut untuk menunjukan sikap dan watak keasliannya di alam dunia nyata. Kau pun pernah menguraikan pendapatmu tentang hal prilaku dan etika bergaul dalam dunia internet. Menurutku pendapatmu itu mungkin ada benarnya!” lanjut celotehku yang maksudnya supaya temanku ini merasa terhibur oleh uraian komplimenku itu.
“Memangnya aku pernah cerita apa ke kau? Seingatku aku hanya menyatakan bahwa internet adalah hasil kreasi manusia, yang didasari oleh keinginannya dari ‘kebebasan individu’ tanpa peduli akan akibatnya buat orang lain. Lagi pula menurutku setiap orang hanyalah ingin saling berkompetisi ria, yang tujuannya engga jauh-jauh, yaitu untuk mengejar uang, status sosial dan ambisi pribadi. Karena dasar kebebasan pilihannyalah yang bisa mampu menjamin kebutuhan kebahagiaan dan kepuasan batinnya untuk diri sendiri. Lalu kita-kita ini bisa berbuat apa?”
“Iaitu yang kumaksudkan. Bukankah berarti tawarannya mampu memberi keuntungan bagi siapapun?" Kemudian aku duduk terdiam sambil melihat ke arah alat pemanas yang pancaran bara apinya sudah mulai agak redup. Rupanya temanku ini masih saja tidak puas dengan maksud perhatianku buat menyenangkan hatinya.
“Apa kau tidak menyadarinya bahwa perkembangan dari prinsip ‘kebebasan tak berbatas’ dalam dunia internet itu, ternyata sekaligus berfungsi pula sebagai peningkatan fasilitas penawaran kebutuhan konsumsi seks?”
“Jadi menurutmu atas dasar pemikiran itukah, makanya dunia internet dianggap lebih praktis dan mudah untuk bisa meraih peningkatan penawaran kepuasan seks konsumen, yang berarti berakibat pula pada peningkatan kasus persoalan kejahatan seksual?”
“Itulah yang menjadi dilema, dan ironisnya pihak pemerintahan dimana pun belumlah mampu mengontrol intervensi ‘kebebasan individu’ yang mengarah pada tindakan kejahatan tersebut. Lalu bagaimana mereka menangani persoalan peningkatan kejahatan seksual pedofil yang tujuannya memperkosa dan menyiksa anak-anak kecil itu sampai mati?” Lanjut temanku yang kelihatan raut wajahnya mulai murung.
“ Oh ya itulah hasilnya dan semakin marak saja penganut pedofil melakukan tawaran konsumsi seks anak-anak lewat internet! Apakah kau sudah tahu secara statistik tentang korban kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak-anak dari tindakan para pedofil atau lainnya itu di Europa? Bahkan sering kubaca di koran indonesia yang memberitakan kasus kejahatan pedofil bulé di Tanah Air.” jawabku cepat supaya temanku itu bisa ceria kembali tapi nyatanya dia tidak mereaksinya bahkan tetap duduk memandang kearah danau.

Kurasakan suasana santainya sudah menjadi agak tegang dan kupikir perbincangannya tak perlulah diteruskan. Aku menoleh kearah Silvia untuk kesekian kalinya tapi kali ini kulihat wajah Silvia menjadi pucat dan badannya yang ramping dan indah itu mulai kelihatan menggigil kedinginan. Pancaran matanya pun yang biasanya jernih dan cemerlang kelihatan sudah mulai layu. Aku langsung berdiri serta mengajaknya masuk kedalam ruangan kafé. Dia pun beranjak dari tempat duduknya serta ikut berjalan masuk ke ruangan dalam kafé. Sesampainya di dalam ruangan kafe kami mengambil tempat duduk dekat jendela supaya bisa tetap menikmati pemandangan ke arah danau. Aku masih sempat duduk memandang keluar melalui jendela kafé, yang terlihat cahaya remang-remang sorotan pancaran dari bulan purnama, yang menerangi suasana taman di sekitar danau. Padahal waktu hampir menunjukan jam setengah delapan malam dan diruangan kafe hanya ada kami berdua bersama seorang pelayan yang sedang berdiri di
belakang bar. Berarti ku pikir sudah waktunya kami berbuka puasa bersama.

Sementara itu temanku masih duduk merunduk dan sekali-kali memandangku dengan pancaran tajam ke arah ku. Kali ini tatapan matanya terkesan agak aneh dan tidak bisa lagi ku pahami maksudnya... Aku mulai khawatir serta mempertanyakan diri, apa sebenarnya yang ada dalam benaknya? Jantungku mulai berdetak cepat dan rasanya tidak enak. Tak pernah aku merasakan situasi tegang seperti ini karena sepanjang pengalaman berkencanku dengan Silvia, hubungannya selalu baik dan adem ayem. Seketika, pelayan bar berdiri didepan meja kami lalu aku menoleh kearah pelayan tersebut dan langsung memesan dua coklat susu dan erwten soup spesial lengkap dengan roti perancisnya. Tak lama kemudian pelayan itu kembali ke meja kami dengan membawa pesanannya. Dengan cepat dan dalam tempo sekejap temanku menghabiskan soupnya sedangkan aku masih duduk tenang sembari perlahan-lahan menikmati rasa soup kesenanganku itu. Seusainya dia memakan soupnya lalu dia memulai percakapannya kembali namun nada suara
yang lembut iramanya masih terdengar datar.
“Memang benar kata kau bahwa kehidupan dimana pun akan sama tantangannya, tak peduli apakah kau berada di dunia maya atau di dunia nyata. Aku teringat kembali pada peristiwa kematian tragis Theo van Gogh”.
“Lho...maksudmu apa kaitannya antar dunia maya dan terbunuhnya Theo van Gogh?”
“Maksudku setelah kejadian kasus tragedi pembunuhan Theo van Gogh, toh akhirnya pihak pemerintah semakin mencurigai umat muslim, yang katanya peningkatan radikalismenya ditunjang dari fasilitas sarana internet. Padahal pihak rakyatnya mulai menyadarinya bahkan mulai mengakuinya bahwa setiap orang memang punya hak ‘kebebasan” untuk mengeluarkan pendapat tapi setiap orang punya cara dan tanggung jawabnya buat menangani suatu persoalannya sendiri.”
“Ooooh...maksudmu karena banyak orang merasa dirinya terancam tapi merasa tidak cukup hanya dengan menggunakan cara berkomunikasi ataupun berdebat saja di publik umum?”
“Ya betul, bukankah masalahnya siapa yang punya kekuasaan dan siapa yang mengusai media? Apakah dengan di wajibkannya memiliki batasan etika dalam bergaul menjadikan orang minoritas kayak kita ini sudah menjadi puas hidup sebagai imigran yang di diskriminasi terus menerus?”
“Seharusnya mereka menyadarinya bahwa kenyataannya setiap orang tidak akan punya kesensitifan yang sama, biarpun konon katanya masing-masing sudah dianggap bisa punya rasa tanggung jawab atas konsekuensi dari perbuatannya sendiri”
“Itulah yang kumaksudkan pula, bukankah pada akhirnya kita pun menyaksikan peristiwa Kematian Tragisnya si Theo van Gogh ini, yang nyatanya bisa terjadi pula di alam masyarakat yang dinilai peradabannya relatif lebih maju dari negara dunia ketiga?” Lalu lanjutnya “Bukankah kita juga mengalaminya sendiri di sekitar lingkungan kita sehari-hari? Bahkan kau sendiri pernah cerita mengenai pengalaman temanmu yang orang Eritrea itu. Kau bilang bahwa dia di adopsi sejak bayi oleh orang tua Belanda serta diberi nama keluarga orang tua angkatnya. Ternyata temanmu itu juga mengalami pengalaman sial ketika sedang mencari kerja.”
“Ya betul, ironisnya buat nasib temanku itu lamaran kerjanya langsung di tolak hanya karena manajernya akhirnya tahu kalau dia itu bukan orang Belanda bulé. Bukankah itu merupakan pengalaman absurd di masa abad ke 21ini?” Jawabku sambil menyantap soupku yang kumakan dengan nikmatnya sampai habis tak tersisa lagi. Kemudian aku beranjak dari kursiku, yang maksudnya ingin sekalian membayar rekening pesanannya. Tapi pelayan kafenya tiba-tiba sudah berdiri didepan meja kami sambil meyodorkan bonnya. Dengan cepatnya temanku lalu menyodorkan uangnya ke arah pelayannya.
“Toh, akhirnya kita semakin mengerti serta memahaminya tentang arti “kebebasan” itu. Kitapun sudah menyadarinya pula bahwa kasus tragedi kematian Theo Van Gogh merupakan kelanjutan dari kasus kematian figur politisi populis yang bernama Pim Fortyun, yang dibunuh oleh aktivis lingkungan. Kau pun tahu Pim itu selain seorang homofil, juga sebagai aktifis politik bekas anggota partai buruh lantas berpindah ke partai liberal VVD kemudian berhasil membangun partai sendiri dengan massa pendukungnya berasal dari warisan keturunan pendukung rejim fasis Hitler, yang anti orang asing.”
“Ya...tentu tidak mengherankan kalau mereka itu bersikap meremehkan golongan minoritas di dalam negerinya, padahal kenyataannya kita-kita ini juga turut menyumbang perbaikan ekonomi Belanda, dengan melalui wajib bayar pajak dan asuransi yang beragam itu selama puluhan tahun. Bukankah ini adalah fakta juga bukti sumbangan kita dari anggota golongan minoritas, yang telah melakukan hidup berintegrasi 100% dalam kehidupan masyarakat di Belanda? Lalu, sampai sekarang kenapa jasa kita sebagai penyumbang pembangunan ekonomi dalam negeri tidak pernah mendapat pengakuan secara wajar dari pemerintahan Belanda?” Rupanya temanku ini kelihatannya menjadi tidak puas dengan pemerintah yang semakin bersikap tidak manusiawi dalam menanggapi persoalan-persoalan ketegangan sosial. Lalu aku mencoba menetralisir suasana yang sudah mulai agak tegang kembali dengan menyatakan bahwa yang namanya pemerintah pasti maunya hanya berkuasa dan ingin mempertahankan kekuasaannya tapi kalau rakyatnya
sudah tidak mendukungnya lagi karena semakin menggantungkan nyawanya pada daging, buah2an dan sayuran HALAL yang dijual oleh kaum minoritas, toh pada akhirnya pemerintahan itu sendiri terpaksa harus tunduk pada kepentingan kebutuhan isi perut rakyatnya. Lalu kami segera meninggalkan ruangan kafe berjalan menuju arah rumah kami masing-masing.

Mokum, musim gugur 2006
-----------------------------------
Tanggal: 2006 Okt 19 21:42
Judul: CiKEAS> Misteri Dunia Maya

No comments: