Wednesday, July 26, 2006

"Niteni", "Niroake," dan "Nambahake"

Oleh Kusmayanto Kadiman
Menteri Negara Riset dan Teknologi
======================================

Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
terbentang sepanjang tidak kurang dari 5.000 kilometer dari Sabang
sampai Merauke dan tepat di garis khatulistiwa, memiliki berbagai
keunikan alam.

Keanekaragaman hayati di darat dan di air hanya dapat disaingi oleh
Brasil. Begitu juga dengan keanekaragaman kekayaan alam lain, seperti
sumber daya mineral dan sumber energi. Sering kita menerima dan
menikmati kekayaan alam ini sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa
belaka.

Bahkan, tidak jarang dalam kita menerima kekayaan alam ini kita
memperlakukannya sebagai warisan nenek moyang dan kita lupa bahwa
kekayaan alam ini adalah sesungguhnya titipan anak-cucu yang mesti
kita pertahankan kelestariannya.

Dari berbagai sumber pengetahuan kita dapat memahami bahwa kekayaan
berupa keanekaragaman hayati dan sumber daya alam kita ini
dianugerahkan kepada kita melalui berbagai kejadian alam yang sering
kita kategorikan sebagai bencana alam karena menimbulkan kerugian
jangka pendek bagi umat manusia, seperti kematian, kehilangan rumah,
ternak, kebun, serta kerugian aset fisik lainnya dan juga kerugian
akses ke berbagai layanan pemerintahan, pendidikan, kesehatan,
spiritual, dan kenikmatan transaksional lain.

Padahal, jika kita dengan kepala dingin dan hati terbuka mau
menggunakan anugerah lain yang diberikan kepada kita, yaitu
keingintahuan (titen dalam bahasa Jawa atau iqra dalam bahasa Arab)
akan kejadian alam, maka kita tidak akan selalu bersifat negatif
menilai kejadian alam yang kita sebut bencana tersebut.

Niteni (dengan kata dasar titen) adalah perilaku yang menjadi ciri
kaum terdidik yang dapat diperoleh melalui bangku sekolah atau
melalui pengetahuan turun-temurun untuk selalu ingin tahu dan
mengenali alam. Dengan bekal niteni ini, kita ketahui bahwa tanah
kita menjadi subur dan laut kita begitu kaya akibat meletusnya gunung
api di darat ataupun di dasar laut yang memuntahkan berbagai unsur
alam yang lengkap dan setelah beberapa lama akan melengkapi unsur
hara dalam tanah dan berbagai mineral yang memperkaya kandungan air
laut. Jika kita hanya menggunakan kacamata miopik, maka kita akan
terjebak pada penilaian letusan gunung api ini sebagai bencana alam.
Serupa dengan berkah ketersediaan minyak bumi, gas alam, batu bara,
dan berbagai sumber daya mineral.

NKRI terbentang dan berada di perbatasan tiga lempengan bumi: Eropa-
Asia, Asia-Pasifik, dan Australia-Asia. Ketiga lempengan besar ini
bergerak dengan arah dan laju tertentu yang menyebabkan lempengan-
lempengan ini saling bergesekan dan juga bertubrukan satu dengan yang
lain. Gesekan dan tubrukan ini yang membuat satu lapisan menumpuk di
lapisan lain, menciptakan ruang-ruang kosong dan jadi jebakan bagi
gas, minyak bumi, batu bara, dan bahan galian lain.

Di sisi lain, gesekan dan tubrukan dua atau lebih massa besar ini
menimbulkan getaran besar dan dislokasi massa yang jika terjadi di
dasar laut akan mengubah perilaku laut secara mendadak, tsunami (tsu
dan nami bahasa Jepang yang berarti gelombang menuju darat atau
pelabuhan) adalah salah satu contoh. Kekuatan tsunami mampu membawa
berbagai unsur laut yang subur dan kaya akan mineral ke daratan.
Sekali lagi, dengan kriteria jangka pendek yang membuat kita
terperangkap dalam menilai tsunami sebagai bencana alam.

Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita dengan sepenuhnya
dapat menikmati dan mensyukuri kekayaan alam dan secara simultan
dapat menyikapi dan menghindarkan dampak negatif dari kejadian alam
yang kita sebut bencana alam itu? Ki Hadjar Dewantara mewariskan pada
kita ilmu dan pengetahuan pamungkas, yaitu N3: Niteni, Niroake, dan
Nambahake. Jika niteni fokus pada upaya mengetahui dan mengenali
berbagai kejadian alam. Niroake atau menirukan adalah langkah
selanjutnya dari hasil kita niteni, yaitu berupaya menirukan kejadian
alam yang telah kita ketahui dan pahami untuk tujuan memenuhi
kebutuhan kita. Sedangkan nambahake adalah upaya memberi nilai tambah
dari kejadian alam yang telah kita kuasai dan bisa tirukan tersebut.

Mari kita lihat bagaimana niteni, niroake, dan nambahake kita
terapkan dalam menyikapi "bencana alam", khususnya letusan gunung
api, gempa tektonik, dan tsunami.

Peringatan dini

Iptek yang diperoleh dari bangku sekolah, seperti geologi dan
geofisika, maupun pengetahuan turun-temurun yang mengajarkan untuk
mengenali peristiwa-peristiwa alam, baik dengan mengamati perubahan-
perubahan perilaku alam yang besar sampai terkecil selalu berbasis
pada niteni, yaitu mengenali perilaku alam.

Gerakan ketiga lempengan besar yang telah disebutkan terdahulu selalu
diikuti dengan tanda-tanda alam. Getaran-getaran seismik, turun-
naiknya temperatur, tekanan udara dan tinggi permukaan laut,
pergeseran pola magnetik, perubahan perilaku binatang, adalah
beberapa contoh dari tanda-tanda alam yang boleh jadi disebabkan oleh
gesekan dan tubrukan lempengan bumi. Istilah smong yang dikenal baik
dalam kultur Simeulue adalah suatu contoh konkret dari niteni
perilaku alam, yaitu turunnya muka laut secara tiba-tiba yang diikuti
dengan aksi lari ke tempat tinggi dalam upaya meminimumkan korban
dari bencana tsunami.

Dengan mengenali perilaku alam ini, kemudian kita bisa menirukannya,
tentu tidak dengan sempurna karena berbagai keterbatasan yang ada.
Dalam ilmu logis, upaya niroake (menirukan) ini kemudian dikenal
dengan istilah simulasi yang banyak digunakan sebagai upaya memenuhi
kebutuhan kita. Simulasi gunung api dan gempa tektonik yang menjadi
bekal kita untuk melakukan prakiraan akan munculnya bencana. Sistem
Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System/T-EWS) dibangun
dengan modal dasar niteni dan niroake.

Data yang dihasilkan oleh perlengkapan dan peralatan mendeteksi
getaran bumi, baik di darat maupun di laut, dipasang di titik-titik
yang diperkirakan akan mampu memberi sinyal akan kejadian gempa
tektonik yang kemudian menjadi bekal dalam upaya niroake (kata lain
dari simulasi) yang kemudian akan memberi tahu tentang kemungkinan
suatu gempa tektonik di dasar laut akan menimbulkan tsunami. Ini yang
kita sebut sebagai peringatan dini tsunami.

Idem dengan gunung api, beragam peralatan yang terpasang tepat di
lokasi puncak gunung api ataupun pemantauan yang dilakukan dari jarak
jauh sampai pada pemanfaatan citra satelit akan memberi masukan bagi
simulasi gunung api.

Melalui simulasi ini kita bisa memberi peringatan dini letusan gunung
api. Titen yang dipraktikkan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi,
adalah pendekatan holistik yang sebetulnya merupakan N3 yang
komplementer dari iptek logis: geologi, geofisik, dan biofisik.

Sistem peringatan dini tsunami dan gunung api yang dijadikan cikal
bakal pembangunan Sistem Peringatan Dini Bencana (Multi Hazard Early
Warning System/MH-EWS). Longsor, banjir, dan kebakaran kebun-hutan
adalah jenis bencana yang perlu juga kita upayakan bersama
penanggulangannya.

Untaian sepanjang 1.200 km dari barat sampai ke timur Indonesia yang
merupakan batas-batas ketiga lempengan besar berpotensi memicu
berbagai kejadian alam besar. Untaian ini dikenal sebagai Ring of
Fire. Upaya yang paling konservatif dalam menghindarkan dari dampak
bencana alam adalah menjauhinya. Ini tentu mudah dikatakan, tapi
muskil untuk dilakukan. Membangun MH-EWS dan melakukan pembelajaran
publik akan berbagai potensi bencana adalah langkah yang akan efektif
dalam mitigasi atau mengurangi dampak bencana.

Pembelajaran publik

Mengajarkan pengetahuan kejadian alam melalui bangku sekolah adalah
salah satu cara, baik melalui kurikulum formal maupun memanfaatkan
berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Khotbah di masjid, gereja, pura,
vihara, kelenteng, dan rumah ibadah lain adalah juga cara yang
terbukti ampuh. Tulisan-tulisan ilmiah populer dan komik juga upaya
yang luhur. Masyarakat Jepang dapat kita jadikan sebagai model
panutan dalam pembelajaran publik dalam menyikapi bencana alam,
mengingat deretan pulau dan lautnya menyimpan potensi besar berbagai
bencana alam.

Komik Api Inamura (Inamura Nori) telah dikenal masyarakat Jepang
sejak abad ke-18 sebagai upaya pembelajaran publik dalam mengenali
dan menyikapi tsunami. Kemajemukan kultur dan struktur komunitas
Indonesia yang memiliki pengetahuan turun temurun dan menjunjung
kearifan lokal, seperti smong di masyarakat Simeulue, perlu terus
digalang, didorong, dan ditumbuhkembangkan sebagai upaya memperkaya
iptek logis yang masih jauh dari merata dan mencukupi, mengingat
pendidikan formal masih juga belum berhasil dijadikan sebagai
komponen utama pembangunan Indonesia.

Dengan membaiknya pengetahuan masyarakat tentang bencana tentu
berbagai adaptasi akan segera dilakukan. Bangunan tahan gempa dan
siaga terhadap bencana adalah dua hal penting dalam upaya mitigasi
bencana.

Bangunan tahan gempa?

Dengan mengenali beragam potensi bencana alam, tentu masyarakat
dengan pengetahuan dan kemampuan yang ada akan melakukan penyesuaian.
Ini merupakan sifat natural dari manusia untuk tetap bisa hidup (to
learn dan to survive).

Rumah-rumah adat yang kita kategorikan sebagai bangunan dengan
arsitektur tradisional sebetulnya sudah secara intrinsik
memperhitungkan potensi bencana alam. Pembangunan rumah menggunakan
fondasi pasir, kayu, dan tali pada rumah-rumah adat dan tradisional
seperti bangunan rumah kaum Badui di Banten Dalam adalah jenis rumah
tahan gempa karena bangunannya yang fleksibel alias lentur dan dapat
beradaptasi terhadap gerakan lateral dan vertikal akibat getaran dan
gempa.

Tawaran menarik dari arsitektur modern dengan komponen cepat pasang
berbasis semen, batu, dan besi membuat rumah kaku dan rentan terhadap
bencana alam.

Tentu tidak arif memberi penilaian bahwa pendekatan modern ini buruk
jika dibandingkan dengan arsitektur bangunan tradisional. Kita wajib
menggunakan prinsip nambahake (menambahkan) rancangan yang menjadikan
arsitektur cepat bangun memiliki sifat lentur, khususnya pada fondasi
dan komponen-komponen sambungan.

Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai struktur bangunan tahan
gempa. Hal ini berlaku juga pada pembangunan bangunan-bangunan lain
di darat dan di pesisir, baik untuk rumah, bangunan publik, maupun
industri. Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menetapkan
persyaratan bangunan (yang dikenal dengan istilah building code &
standard) dan melakukan pengawasan dengan saksama dalam pemenuhan
persyaratan tersebut.

Agar masyarakat siaga?

Mengenali potensi bencana merupakan prasyarat dalam mitigasi bencana.
Pelajaran dari pengetahuan turun temurun, kearifan lokal dan
memadukannya dengan pengetahuan dan pengalaman logis yang
ditumbuhkembangkan oleh kaum intelek di kampus, laboratorium, studio,
atau kelompok ormas dan LSM domestik serta internasional akan menjadi
ciri khas alias keunikan pendekatan ala Indonesia. Niteni, niroake,
dan nambahake akan menambah koleksi solusi anak negeri sebagai
perwujudan moto Bhinneka Tunggal Ika.

Kombinasi bangun dan sebarluaskan merupakan cara efektif dalam upaya
menjadikan masyarakat kita siaga terhadap bencana. Inisiatif
masyarakat Padang, Sumatera Barat, melakukan simulasi gempa dan
tsunami yang dipimpin langsung Wali Kota Padang beberapa bulan lalu
merupakan contoh yang bukan cuma patut diacungi jempol, melainkan
ditiru, khususnya bagi masyarakat-masyarakat di pesisir Sumatera,
Jawa, NTB, NTT, Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau lain. Paket-paket
pendidikan dan pelatihan menghadapi bencana tsunami, gempa tektonik,
dan letusan gunung api mesti terus dibangun, disebarluaskan, dan
diterapkan melalui berbagai peluang pembelajaran publik, baik dengan
prinsip wajib atau sukarela.

Bayangkan seandainya kiat smong masyarakat Simeulue sempat kita
budayakan di Aceh, pembelajaran dan simulasi tsunami ala Pemkot
Padang dengan sungguh-sungguh kita lakukan dan T-EWS telah efektif…
tentu tragedi tsunami 26 Desember 2004 tidak memakan korban sebesar
yang kita alami.

Seandainya budaya membangun rumah kaum Badui, Banten Dalam, telah
menjadi kebiasaan masyarakat Yogyakarta, paket pelatihan menghadapi
gempa telah kita terus bangun, sebar luaskan, dan terapkan dan MH-EWS
telah terbangun dan berfungsi… tentu kehancuran dan korban gempa
tektonik 27 Mei 2006 akan minimal.

Terlambat? Mengapa tidak… karena itu lebih baik dari tidak
melakukannya sama sekali.

-----------------------------------------
Dari: Fernando Glenn
Tanggal: 2006 Jul 26 13:31
Judul: [hobby_club] "Niteni", "Niroake," dan "Nambahake"

No comments: