Tuesday, June 13, 2006

[FISIKA] (Dan) Patahan Itu Hidup Lagi ?

Ma'rufin Sudibyo
Thu, 01 Jun 2006 19:02:27 -0700

Dan) Patahan Itu Hidup Lagi ?

BMG menyatakan gempa Yogya 27 Mei 2006 ini memiliki
episentrum di dasar Samudera Hindia pada koordinat
8,26deg LS 110,31deg BT, dalam jarak 37 km di selatan
kota Yogya. Sementara USGS menyatakan posisi
episentrum justru ada di kawasan Pantai Samas atau
tepatnya di muara Sungai Opak, pada koordinat 8,007deg
LS 110,286deg BT sejauh 20 km ke arah selatan dari
kota Yogya. Sementara EMSC - dari Eropa - menyatakan
pusat gempa justru ada di sebelah timur Yogya,
tepatnya di bawah kawasan Piyungan - Patuk pada
koordinat 7,851deg LS 110,463deg BT sejauh 12 km dari
Yogya. Namun ketiga lembaga itu sama2 menyatakan bahwa
gempa tektonik ini berasal dari pure strike-slip alias
pergeseran mendatar, bukan gerak naik / turun
sebagaimana yang biasa terjadi pada zona subduksi.

Lepas dari pihak mana yang paling akurat, posisi2
episentrum ini cukup menarik. Episentrum-nya USGS
berada tepat di sebuah patahan yang berarah timur laut
- barat daya dan membentang mulai dari kawasan utara
Candi Prambanan hingga ke muara Sungai Opak.
Episentrum-nya EMSC berada persis di bawah bukit2
kapur Pegunungan Sewu yang menjadi bagian horst
patahan ini. Sementara episentrum-nya BMG, ternyata
juga terletak di sekitar garis imajiner perpanjangan
patahan ini ke selatan, menerus ke Samudera Hindia.

Apa yang bisa diartikan dari sini ? (Hampir pasti)
bisa dikatakan gempa kuat di Yogya berkaitan dengan
aktivitas patahan Sungai Opak ini. Mungkin hal ini
juga yang bisa menjelaskan mengapa daerah dengan
kerusakan terparah (dan korban jiwa terbesar) ada di
sumbu imajiner Bantul - Klaten, karena memang patahan
ini membentang dari Bantul selatan hingga Klaten
selatan (kawasan Prambanan). Barangkali hal ini juga
yang bisa menjelaskan ambruknya stasiun KA Prambanan
(sementara stasiun2 lainnya hanya rusak ringan) serta
melengkung dan patahnya rel KA di antara stasiun
Srowot - Prambanan, suatu hal yang " luar biasa " bagi
sebuah gempa dengan magnitude 5,9 - 6,3 skala Richter,
yang lebih kecil dibanding misalnya gempa Nias ataupun
gempa Kep. Mentawai tahun silam.

Tentang patahan ini, bila anda pernah berwisata ke
Parangtritis, sebelum memasuki gerbang kawasan wisata
itu anda akan melintasi jembatan gantung yang
membentang di atas sebuah sungai. Itulah Sungai Opak.
Selain melintasi sungai, persis di jembatan ini anda
sebenarnya juga sedang melintasi patahan Sungai Opak,
yang terpendam di bawah endapan vulkanik Gunung
Merapi. Panorama di sebelah selatan jembatan tadi
berbeda dibanding sebelah utara yang relatif datar.
Selain bukit2 kapur, di sini juga terdapat mata air
panas (hot springs) Parangwedang, yang tidak
berkaitan dengan aktivitas vulkanik ataupun
post-vulkanik, namun disebabkan oleh patahan. Rupanya
ruang di bawah horst diisi oleh magma, namun bidang
patahannya masih cukup kuat untuk menahan tekanan
magma - beda dengan patahan sejenis di utara, yang tak
sanggup menahan tekanan magma hingga magma bisa muncul
ke permukaan Bumi lewat bidang patahan dan
terbentuklah jajaran gunung-gunung api Merapi, Merbabu
dan Ungaran. Meski begitu magma di bawah horst tadi
sudah cukup mampu untuk memanaskan air bawah tanah,
yang kemudian keluar melewati bidang patahan sebagai
air panas.

Patahan ini pernah diteliti di akhir 1980-an dan
disimpulkan bahwa ia telah mati. Sehingga tidak pernah
diperhitungkan sebagai salah satu potensi bahaya bagi
Yogyakarta dan sekitarnya. Fokus potensi bahaya di
Yogya kemudian lebih ditekankan pada ancaman letusan
Merapi serta gerakan tanah. Gempa tektonik - kalaupun
ada - dianggap diletupkan oleh zona subduksi yang
berada 300 km di selatan Yogya.

Jauh hari sebelumnya Yogya dan sekitarnya juga pernah
diguncang gempa besar pada Juni 1867, dengan magnitude
sekitar 7. Gempa ini menimbulkan kerusakan dan korban
yang luar biasa hingga manuskrip Kraton Yogya
mencatatnya dengan candrasengkala " obah lapis pitung
bumi " alias bergeraknya tujuh lapisan bumi, yang
terjemahannya menunjukkan angka tahun 1867 Masehi.
Candrasengkala ini menunjukkan betapa hebatnya
guncangan tanah saat itu, hingga disebutkan
menyebabkan bergeraknya tujuh lapisan bumi. Disini
harus diingat bahwa kata " pitu (tujuh) " dalam
kesusastraan Jawa merupakan kata serapan dari sastra
Arab, dan digunakan untuk menyatakan hal yang jamak.
Demikian besarnya guncangan saat itu hingga istana air
Tamansari (yang dibangun Hamengku Buwono 1 seabad
sebelumnya) rusak berat dan tidak pernah lagi
ditempati / diperbaiki sampai saat ini. Tugu golong
gilig yang menjadi lambang kota Yogya sampai ambruk
dan terbelah menjadi tiga bagian. Tanah longsor
terjadi di mana-mana, dan dari sini muncullah toponimi
" Terban " yang kemudian menjadi nama sebuah daerah di
pinggir Sungai Code, di sebelah selatan kampus UGM.

Kini patahan itu (nampaknya) hidup kembali. Dan di
sana, di bawah lembah Sungai Opak, gempa2 susulan
terus berkejaran. Sekilas pergeseran patahan ini
memang tidak besar. Bila gempa megathrust 26 Des 2004
menimbulkan pergeseran (rata-rata) 15 m dan (maksimal)
20 m, di gempa Yogya 'hanya' 5 - 10 cm. Namun bila
kita bandingkan pergeseran ini dengan pergerakan
patahan2 sejenis, yang banyak eksis di Jawa Barat
seperti patahan Lembang - Cimandiri - Baribis, dimana
kecepatannya (rata-rata) 0,2 mm / tahun, maka nampak
pergeserannya cukup besar.

Apa yang menyebabkan patahan ini hidup kembali, apakah
gempa megathrust 2004 silam ? Atau aktivitas Merapi
yang memang sedang memuncak setelah istirahat
berkepanjangan 5 tahun terakhir (hal yang memang tidak
biasa) ? Kita tidak tahu. Demikian juga, bagaimana
masa depan patahan ini dan apa pengaruh getaran
gempanya bagi dapur2 magma jajaran gunung2 api Merapi,
Merbabu dan Lawu ? Kita juga tidak tahu, dan
(harapannya) semoga tidak muncul hal lain yang lebih
buruk. Sebab rakyat Philipina telah merasakan betapa
sebuah gempa besar pada pertengahan Juli 1990 - yang
menghancurleburkan kawasan Baguio - dengan pusat
berjarak 100 km dari Gunung Pinatubo ternyata sanggup
membangunkan gunung yang telah 600 tahun terlelap (dan
tererosi berat) dengan munculnya erupsi freatik pada
awal April 1991 yang terus berkembang hingga puncaknya
menghasilkan letusan dahsyat ultraplinian pada
pertengahan Juni 1991 dengan semburan abu mencapai
ketinggian 34 km.

Bumi bercinta, manusia menangis, kata van Bemmelen.
Dan jujur saja, membayangkan semua kemungkinan2 itu,
membuat saya pribadi jadi bergidik ngeri. Apalagi
Merbabu dan Lawu memang sudah sangat lama terlelap,
dan Merapi 1.000 tahun silam punya sejarah letusan
teramat besar, hingga sanggup meruntuhkan dinding
barat dayanya dan mengalirkan milyaran ton material
vulkanik yang selanjutnya membentur Pegunungan
Menoreh, membentuk perbukitan Gendol dan mengubur
candi Borobudur...

No comments: