Monday, March 20, 2006

KEMBALINYA MAHESA JENAR

“Ki sanak, siapakah nama Ki Sanak?
Dari manakah asal Ki Sanak?
Sebab dari pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang daerah kami…”


Ia memakai blangkon ikat lembaran. Badannya gagah, tinggi-besar.
Pakaian yang dikenakannya sangat bersahaja: lurik hijau gadung melati
(hijau tua). Di telinga kirinya sering terselip bunga melati. Ia mengembara
dari desa satu ke desa lain, dari satu kedemangan ke kedemangan lain.

Ia seorang pengikut Syeh Siti Jenar. Ia gelisah karena Syeh Siti Jenar
dieksekusi mati oleh para wali. Mulanya, ia seorang perwira Demak yang
sangat disegani bernama Rangga Tohjaya. Lalu ia pergi meninggalkan Demak,
menyusuri hutan dan lereng-lereng gunung di Jawa Tengah. Mengubah nama
menjadi Mahesa Jenar. Mencari sepasang keris: Nagasasra dan Sabuk
Inten--yang syahdan bisa tetap mempertahankan kewibawaan Demak.

Bila ada sebuah sosok fiksi yang namanya pernah begitu populer di seluruh
pelosok Jawa Tengah, itulah mungkin Mahesa Jenar. Mahesa--ciptaan almarhum
S.H. (Singgih Soehadi) Mintardja--adalah pendekar dalam cerita bersambung
Nagasasra Sabuk Inten. Mungkin para kritikus menganggap karya ini sebagai
"sastra picisan", namun harus diakui pencapaiannya mungkin tak bisa
ditandingi novel-novel serius kita mana pun.

Nagasasra dikenal dibaca dari tukang becak sampai para pegawai. Ia
menyentuh imajinasi kalangan jelata, merakyat, hingga sampai banyak orang
menamakan anaknya dengan nama pendekar dalam kisah ini.

Gaya berbaju lurik Mahesa pernah menjadi tren di kalangan seniman Yogya,
bahkan klub sepak bola seperti PSIS Semarang--sampai sekarang mereka
menyebut dirinya “tim Mahesa Jenar”.

Karya S.H. Mintardja ini awalnya dimuat secara rutin (tiap hari) di harian
Kedaulatan Rakyat (KR) pada 1966. Kemudian dibukukan seluruhnya menjadi 64
jilid, tiap jilid 80 halaman. Saat cetakan kedua, dipadatkan menjadi 32
jilid dengan tebal 160 halaman. Di masa lalu, amat mudah menemukan seri
Nagasasra di warung-warung koran, warung rokok, atau kios buku di Yogya.

Karena itulah agaknya pihak Kedaulatan Rakyat menerbitkan edisi luks
Nagasasra Sabuk Inten. Bersampul hard cover, semuanya berjumlah tiga jilid
dengan tebal masing-masing sekitar 800 halaman. Harga per jilid Rp 100
ribu. "Sebuah edisi koleksi," kata Joko Budiarto, editor harian Kedaulatan
Rakyat yang menangani edisi luks ini. Kelahiran kembali cerita silat yang
merakyat itu menarik untuk dirayakan.

S.H. Mintardja adalah pelopor kisah genre silat Indonesia. Sebelumnya,
cerita-cerita silat Cina telah banyak digemari masyarakat, baik yang
saduran seperti terjemahan O.K.T (Oey Kim Tiang) dan Gan Kok Liang alias
Gan K.L. maupun yang karangan sendiri seperti karya-karya Asmaraman
Sukowati Kho Ping Hoo.

Tapi gara-gara S.H. Mintardja memunculkan Nagasasra, Kho Ping Hoo pun
mencoba menulis silat Jawa. Ia membuat Badai Laut Selatan, Kuda Putih dari
Mataram, dan sebagainya. Lalu muncullah generasi para penulis silat Jawa,
mulai dari Herman Pratikto yang menulis Bende Mataram sampai Arswendo
Atmowiloto yang menciptakan Senopati Pamungkas.

Almarhum S.H. Mintardja--sering disapa Pak Singgih--di masa lalu bekerja
sebagai pegawai negeri di bidang kesenian Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Yogyakarta. Ia selalu berpenampilan rapi dan sederhana.
Dari masa muda, ia memang bergelut di dunia seni. Setamat SMA bersama
Kirdjomulyo, Nasjah Jamin Widjaja, dan Sumitro, misalnya, ia mendirikan
majalah Fantasia dan majalah film Intermezzo. Lalu ia menjadi aktor dalam
grup drama Ratma, yang dipimpin Kirdjomulyo.

Banyak yang menganggap cerita Mahesa Jenar mencari keris Nagasasra Sabuk
Inten menggambarkan ketersingkiran Mintardja sebagai orang PNI di zaman
Orde Baru. Sutradara ketoprak Bondan Nusantara termasuk yang menafsirkannya
demikian. Mintardja menganggap Orde Baru cenderung arogan. Kepada Bondan,
ia pernah mengatakan bahwa ia menyikapi situasi politik yang sedang
berjalan saat itu. "Mahesa Jenar lambang pendekar yang ‘dibuang’ oleh
negara, tapi mengabdi tanpa pamrih. Ini nasionalisme Pak Singgih," kata Bondan.

Kisah Nagasasra Sabuk Inten memang bercerita tentang kekuasaan dengan latar
belakang gonjang-ganjing Demak Bintoro. Sidang para wali di Kesultanan
Demak memutuskan mengeksekusi Siti Jenar dan kemudian murid-muridnya: Ki
Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging. Mahesa Jenar adalah murid Ki Ageng
Pengging.

Ki Kebo Kenanga meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet yang
dibesarkan Nyi Ageng Tingkir. Mahesa Jenar mencari putra itu. Sebab, di
kala kecil Sunan Kalijaga telah melihat tanda-tanda Mas Karebet bakal
menjadi penguasa. Jenar juga mencari Nagasasra dan Sabuk Inten, sepasang
pusaka warisan Majapahit yang hilang. Tapi ternyata kedua keris itu juga
diperebutkan oleh golongan hitam. Mereka juga percaya, bila memiliki
sepasang keris itu, bisa absah mendirikan pemerintahan tandingan yang
menyaingi kekuasaan Demak.

Sesungguhnya, soal konflik para wali dengan Syeh Siti Jenar alias Syeh
Lemah Abang itu akan menarik apabila dieksplorasi lebih jauh. Tapi, dalam
Nagasasra, S.H. Mintardja tidak banyak mengisahkan perseteruan para wali.
Mungkin karena Mintardja seorang penganut Katolik. "Dia sendiri pernah
mengatakan, karena tidak menguasai Islam, dia tidak berani menulis lebih
banyak tentang para wali," kata Bondan Nusantara. Sebagai seorang Katolik
kejawen, agaknya S.H. Mintardja lebih menuliskan paham-paham kejawennya.

S.H. Mintardja terlihat tak menyukai kekerasan. Mahesa Jenar bila bertempur
dikisahkan tidak pernah membunuh kalau tidak terpaksa. Seburuk apa pun
tokoh itu, tidak sampai dibunuh. Tokoh-tokoh golongan hitam yang sepanjang
hidupnya bengis, pada akhir hidupnya--saat sekarat--meninggal dengan
penyesalan. Seperti Sima Rodra penyamun dari Gunung Tidar, atau Lowo Ijo
penguasa hutan Mentaok, mereka berdua jahanam sejak awal, tapi mati dengan
keikhlasan sebuah pertobatan.


***
"S.H. Mintardja ini banyak membaca babad dan berbagai serat," kata
sejarawan UGM, Prof Joko Suryo. Menurut dia, banyak nama tokoh Nagasasra
seperti Ki Ageng Pengging, Kebo Kanigara, Joko Tingkir, yang memang ada
dalam cerita sejarah.

Berbagai lokasi yang digunakan dalam setting Nagasasra semuanya juga lokasi
konkret, macam Lereng Merbabu, Rawa Pening, Gunung Slamet, Gunung Tidar,
Nusakambangan. S.H. Mintardja dikenal kerabatnya sebelum menulis cerita
selalu mensurvei sendiri lokasi sambil membawa peta. Saat mensurvei lokasi
antara Merapi dan Merbabu, ia sampai menyusuri dari daerah Selo.

Keris Nagasasra dan Sabuk Inten, misalnya, juga bagi pencinta keris di Jawa
dianggap dua keris yang ampuh. "Keris Nagasasra dan Sabuk Inten itu memang
benar-benar ada," kata Sugeng Wiyono, ahli keris Yogya. Keris Nagasasra
menurut dia berwarna keunguan, dibuat oleh Mpu Supa Madrangki yang hidup
pada zaman Majapahit. Keris ini memiliki luk 13, simbolisasi kebangunan
jiwa. Sementara Sabuk Inten dibuat oleh Mpu Domas, juga dari Kerajaan
Majapahit, memiliki luk 11, berwarna putih kekuningan. Keris ini menjadi
simbolisasi welas asih.

Saat ini keris-keris tersebut disimpan di Keraton Solo (tahun 1974, menurut
Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsrinuksmo, keris ini dibuatkan warangka
baru--dari kayu cendana wangi). Banyak tiruan keris ini, menurut Sugeng,
yang beredar di mana-mana sampai kini--dimiliki perseorangan kolektor
ataupun pejabatdan diperjualbelikan dengan harga beragam dari Rp 200 ribu
hingga sekitar Rp 4 miliar. Kedua keris ini memang menjadi makin populer
saat S.H. Mintardja mencipta kisah Nagasasra.

Berbagai ajian yang dimiliki para pendekar dalam Nagasasra juga sumber
imajinasinya berasal dari khazanah kebatinan populer Jawa. Paling tidak ada
tiga ajian dahsyat dalam kisah Nagasasra. Ajian Sastra Birawa yang dimiliki
Mahesa Jenar, ajian Lebur Seketi milik Gajah Sora, putra Ki Ageng Sora
Dipayana, dan ajian Lembu Sekilan yang dikuasai Joko Tingkir. Antara Sastra
Birawa dan Lebur Seketi seimbang. Bila Jenar menghantamkan Sasra Birawa
kepada Gajah Sora, tangannya seolah tertahan selapis baja yang tebalnya
sedepa yang bisa balik memukulnya. Sedangkan Lembu Sekilan dimiliki oleh
Jaka Tingkir. Ini ilmu aneh yang membuat semua serangan tak dapat menyentuh
tubuh Joko Tingkir.

S.H. Mintardja sendiri menurut sang istri, Suhartini, pernah belajar silat
Jawa, di antaranya Perisai Sakti, tapi tidak mendalami. "Bapak ikut silat
hanya untuk olahraga," katanya. Tapi agaknya S.H. Mintardja paham
seluk-beluk kebatinan Jawa. "Saya kira pengetahuan kebatinan Pak Singgih
cukup tinggi," kata Prof Djoko Prayitno, ketua dan pendekar pencak silat
Jawa: Persatuan Hati. Pencak silat Jawa, menurut Prof Joko Prayitno, dasar
gerakannya seperti tarian, tidak brutal. Pencak Jawa filosofinya wiraga
(mengolah raga), wirama (mengolah irama hidup), wirasa (mengolah rasa).

Yang disajikan S.H. Mintardja dalam Nagasasra banyak olah rasa ini.
Misalnya ketika Mahesa Jenar ditatar di gua Karang Tumaritis oleh Ki Kebo
Kanigara untuk menyempurnakan ilmunya, Sasra Birawa. "Ilmu ngrogoh sukma
yang dialami Mahesa Jenar itu, dalam kebatinan Jawa bisa dilakukan," tutur
Prof Joko Prayitno.

Tapi, karena arahnya lebih ke olah rasa, ia melihat jurus-jurus silat yang
ditampilkan para pendekar ciptaan S.H. Mintardja sangat kalah detail
dibanding cerita silat Cina seperti yang disadur OKT atau Gan K.L. "S.H.
Mintardja kalau sudah menulis perkelahian, misalnya bila pendekarnya
menampilkan tendangan, tidak dijelaskan dengan jurus apa atau menghindar
dengan jurus apa. Hanya paling-paling tertulis tubuhnya digeser, mundur
selangkah, tubuh direndahkan…."




***
Harus diakui, kemampuan dan kepekaan S.H. Mintardja mencampuradukkan
tokoh-tokoh ciptaannya sendiri dengan sejarah, lokasi-lokasi konkret, mitos
yang hidup di masyarakat, yang membuat karya ini mampu menancap dalam-dalam
di benak masyarakat dusun-dusun Jawa Tengah. Apalagi, pada tahun 1980-an,
drama radio penuh dengan ketoprak--yang menampilkan lakon Mahesa Jenar.
"Kalau Pasingsingan datang, terasa mencekam," demikian Nyoman Agung,
seorang wartawan penggemar Nagasasra, teringat masa kecilnya saat
mendengarkan drama radio itu. Pasingsingan adalah seorang tokoh golongan
hitam misterius yang memiliki beberapa macam ilmu golongan putih. Ia selalu
berjubah dan berkedok topeng kasar.

Hampir semua kelompok ketoprak top di Yogya dahulu, seperti Dahono
Mataram, Suryo Mataram, Wargo Mulyo, memainkan lakon Mahesa Jenar. "Saya
ingat betul, waktu itu bukan hanya kelompok ketoprak di Yogya, tapi
ketoprak seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur mementaskan lakon Mahesa
Jenar," tutur Bondan Nusantara. Setiap malam Jumat, misalnya, Siswo Budoyo
dari Tulungagung menampilkan lakon Mahesa Jenar, sementara Ketoprak Darmo
Mudo dari Semarang mementaskannya setiap malam Kamis. Menurut Bondan,
ketoprak tobong itu berkeliling dari kota ke kota, kecamatan ke kecamatan.
Judul yang pernah dipentaskan, misalnya, Dedah Prambanan, Nyabrang Alas
Tambak Boyo, Saresehan Rawa Pening. Semua itu diambil dari episode Mahesa
Jenar, tapi dipotong-potong.

Akibat begitu populernya, menurut Andang Suprihadi Purwanto, putra sulung
S.H. Mintardja, kala ayahnya masih hidup, banyak pasangan suami-istri yang
datang menemui Singgih untuk meminta restu memberi nama anaknya sesuai
dengan nama pendekar dalam Nagasasra. Ada juga yang meminta izin mendirikan
perguruan silat dengan nama Pandan Alas--meniru nama Ki Ageng Pandan Alas,
pendekar sepuh ciptaan S.H. Mintardja yang pandai menembang dalam Nagasasra.

Hasmi, kreator tokoh Gundala Putra Petir, mengakui inspirasinya tentang
Gundala datang dari membaca Nagasasra. Dalam Nagasasra, S.H. Mintardja
menyebut-nyebut nama Ki Ageng Selo dan ular gundala. Sesuai dengan legenda
Jawa, Ki Ageng Selo diyakini bisa menangkap petir. Ki Ageng adalah teman
sepermainan Mahesa Jenar. Petir dalam cerita disebut senjata para dewa
dalam bentuk simbol ular gundala. Batara Wisnu memiliki ular gundala seta,
Batara Kala memiliki ular gundala wereng yang bisa menimbulkan bunga api di
udara.

Yang lucu, akibat membaca Nagasasra, banyak juga orang yang kemudian
mencari makam para tokoh yang ada dalam cerita itu. Andang Suprihadi
Purwanto mengenang, pernah suatu hari seseorang datang ke rumahnya. Orang
itu menyampaikan kepada S.H. Mintardja bahwa ternyata makam Mahesa Jenar
dan Pasingsingan Sepuh benar-benar ada. Kuburan Mahesa di Demak dan
Pasingsingan Sepuh di dekat Gunung Telomoyo. S.H. Mintardja hanya tersenyum
dan memberi tahu itu tidak mungkin karena Mahesa Jenar itu fiktif, buatan
dia sendiri.

Andang sendiri, yang pelaku kejawen, suatu hari pernah mencari makam Kebo
Kenanga dan Kebo Kanigoro. Ia menemukan makam itu di daerah Pengging. Kedua
makam itu dikelilingi benteng. Yang mengherankan, ada sebuah makam kecil di
luar benteng, tanpa nama. Ketika ia menanyakan kepada juru kunci, dijawab
bahwa itu adalah makam Endang Widuri, pendekar perempuan di Nagasasra.
Sesampai di rumah, dengan semangat Andang menceritakan hal itu kepada
ayahnya: "Tidak mungkin. Wong, Widuri itu nama fiktif, asli buatanku," kata
Singgih seperti ditirukan Andang.

***

Nagasasra bukanlah cerita bersambung terpanjang yang dibuat S.H. Mintardja.
Cerita silat terpanjang yang pernah ditulis S.H. Mintardja adalah Api di
Bukit Menoreh. Cerita ini pertama kali dimuat di harian Kedaulatan Rakyat
tahun 1968, setelah pemuatan Nagasasra selesai. Dalam bentuk cetakan buku,
Api di Bukit Menoreh ada 496 jilid. Tatkala berjalan menulis Api di Bukit
Menoreh, Almarhum juga menulis cerita bersambung silat lain di harian Suluh
Marhain: Pelangi di Langit Singosari. Sampai akhir hayat sang pengarang,
cerita Api di Bukit Menoreh itu belum selesai dibuat.

Yang sulit dibayangkan adalah bagaimana S.H. Mintardja memiliki energi
untuk tiap hari sanggup kontinu menyerahkan naskah karangannya kadang di
dua koran yang berbeda (biasanya sepanjang tiga lembar mesin tik tiap
koran). Menurut Joko Budiarto, editor harian Kedaulatan Rakyat, apabila
S.H. Mintardja berhalangan tidak mengirim naskah, redaksi KR selalu
dibanjiri telepon menanyakan kenapa cerita bersambung tak muncul.

S.H. Mintardja melahirkan karya-karyanya dari sebuah rumah sederhana di
Gedong Kiwo MJ/801, di sekitar Pojok Beteng Kulon, Yogyakarta. Menurut
istrinya, Ibu Suhartini, dahulu ia menyediakan ruang khusus untuk mengetik
bagi suaminya di lantai dua, tapi justru ruang favorit Mintardja adalah
ruang makan. "Kalau sepi, bapak tidak produktif. Kalau menulis, bapak harus
di tempat yang bisa berinteraksi dengan orang lain," kata Suhartini mengenang.

Kebiasaan lain, setiap kali selesai menulis naskah terutama sandiwara
radio, S.H. Mintardja selalu meminta istrinya itu membaca lebih dahulu
sebelum naskah itu diserahkan ke sutradara. "Kalau ibu belum oke, bapak
belum akan menyerahkan ke sutradara," kata Andang. Agaknya, itu karena
Suhartini dahulu adalah pengisi suara sandiwara radio.

S.H. Mintardja menurut keluarganya tidak pernah mempunyai stok cerita.
Ceritanya mengalir, improve. Pengetahuan sejarahnya yang kuat membuatnya
tidak pernah kehabisan ide untuk mengangkat kembali cerita-cerita yang
hampir antiklimaks. Maria Kadarsih, pengasuh sandiwara radio, teman S.H.
Mintardja, misalnya, pernah melihat, dalam bekerja Almarhum menyiapkan
beberapa mesin ketik sekaligus. "Jadi kalau bosen atau buntu dengan kisah
satu, ia ganti ke mesin tik lain dengan cerita lain," kata Maria Kadarsih.
Untuk memudahkan cara kerja Mintardja, suatu kali sebuah penerbit berniat
membelikan Mintardja komputer, yang kala itu masih sangat mahal, tapi
Mintardja menolak dengan alasan lebih senang mendengar detak bunyi mesin
tik di malam hari.

Pada akhir kehidupan, S.H. Mintardja banyak menulis lakon ketoprak. Salah
satu karya S.H. Mintardja yang dikagumi Sultan Hamengku Buwono X adalah
naskah ketoprak berjudul Sumunaring Suryo ing Gagat Raino. Dipentaskan
November 1996 di Keraton Yogya. Ceritanya tentang alih kekuasaan dari
Pajang ke Mataram. Seperti juga cerita Nagasasra yang berakhir dengan Joko
Tingkir menggantikan Sultan Trenggana, memindahkan pusat dari Demak ke
Pajang, cerita ini membawa pesan politik halus tentang suksesi. Saat itu,
kita ingat terjadi tuntutan masyarakat agar Soeharto turun.

S.H. Mintardja meninggal 18 Januari 1999 pada umur 66 tahun di Rumah Sakit
Bethesda karena sakit jantung. Pada waktu wafat, tulisannya Mendung di Atas
Cakrawala masih dimuat bersambung sampai episode ke 848 di harian Bernas,
Yogya. Sepeninggal Mintardja, bukan berarti Mahesa Jenar mati. Terakhir
tahun lalu, 2005, di Yogya, dalam Festival Kesenian Yogya 2005, didukung
Wali Kota Yogya, para pemain ketoprak senior dan yunior muda dari 14
kecamatan di Yogya bergabung bersama dan menampilkan lakon Mahesa Jenar.
Adegan ketoprak akbar itu diawali dengan sumpah Mahesa Jenar:

"Aku ora bali ing Kraton Demak Bintoro kalamun durung bisa nggawa keris
Nagasasra-Sabuk Inten…" (Aku tak akan kembali ke Keraton Demak sebelum
membawa keris Nagasasra dan Sabuk Inten.)


Seno Joko Suyono dan L.N. Idayanie

-----------------------------------------------
From: Nugroho Dewanto
Date: Mar 20, 2006 3:29 PM
Subject: [ppiindia] kembalinya mahase jenar

11 comments:

Sastrawan Manullang said...

Halo, cerita Anda bagus sekali. Saya membaca Api di Bukit Menoreh sedikit 30 tahun yang lalu dan rasanya ingin membaca lagi. Selamat Ulang Tahun ke-2 untuk posting ini pada bulan ini.

pats said...

saya baca nagasasra & sabuk inten waktu kelas 3SD,sampe tamat,dapet pinjeman dari om,,setelah itu sempat baca pelangi di langit songosari gak tamat)dan bende mataram (ga tamat juga- krn bukunya boleh nemu di gudang om saya,dan ga lengkap,hehe). pernah suatu kali saya datang ke sebuah pameran keris (ga sengaja),disitu saya liat replika keris nagasasra,berarti yg asli memang pernah ada ya..menurut saya cerita tentang mahesa jenar itu keren,,waktu sma sempat jg baca yg model2 wiro sableng,dll,,tp ga sekeren cerita model2 nagasasra atau bende mataram,,krn menurut saya model cerita spt nagasasra lebih bisa diterima akal(terutama ilmu2 kesaktiannya menurut saya,krn masih bisa diterima akal,melihat kondisi jaman dulu memang banyak orang yg mengolah tenaga),apalagi dengan latar belakang sejarahnya, beda dengan model2 wiro sableng,yg terlalu terpengaruh silat cina (dlm kesaktiannya)-walau seru jg sih bacanya,,hehe,,saya bukan jawa tulen,berumur 34th,,skrg saya sedang baca buku gajah mada (baru nemu di toko buku kmrn kalo ada buku ini),yg ternyata pengarangnya mengagumi SH Mintardja,,

bagusalfa said...

Sastrawan dan Patrick, selamat berkelana di dunia silat lama he he he ...

Agus@ kayu jabon said...

mampir nich...
menarik sekali blog anda dan saya menyukainya..
salam....

Pak Hadi said...

Ajian Mahesa Jenar namanya Sosro Birowo (seribu banteng), bukan Sastra Birowo..

Pak Hadi said...

Ajian Mahesa Jenar namanya Sosro Birowo (seribu banteng), bukan Sastra Birowo..

Unknown said...

Karya-karya Pak Singging sangat menarik dan bikin pembacanya menunggu-nunggu lanjutannya.
Gaya penulisan yg mengalir menjadikan karya Pak Singgih enak dan mudah diikuti/dicerna, meskipun karya itu tersisip pesan-pesan falsafah Jawa yg berat dan luhur.

Artikel Pak Seno Joko Suyono ini, yg secara singkat mengenalkan siapa Pak Singgih dan memaparkan alasan dari Pak Singgih.., telah menjawab pertanyaan di benak saya ; mengapa unsur-unsur ajaran para Sunan yang menyertai unsur kejawen pada setting masa (waktu) di cerita-cerita karya beliau itu tidak secara gamblang beliau paparkan.
Namun demikian, kemasan penulisan Pak Singgih yang njawani itu pun telah mampu membawa pembacanya untuk menerjemahkan imajinasinya sendiri (berdasar pilihan-pilihan kata dan tata kalimat Pak Singgih) pada dinding-dinding ajaran/kawruh kautaman.

Sepeninggal beliau, para penggemarnya tentu "kehausan", apalagi Api di Bukit Menoreh (ADBM) belum tuntas.. :)

Namun, munculnya "penerus" beliau dari belahan lain Tlatah Jawa - Mbah Man, yang mencoba merangkai dan meneruskan ADBM, ibarat membawa air kendi penghilang dahaga di tengah Lemah Cengkar yang sedang dilanda kemarau.

Nah... bagi para sedulur penggemar Pak SH Mintardja yang merasa kehilangan seperti saya, silakan mencoba suguhan Mbah Man.

Gaya bahasa Mbah Man mirip sekali dengan gaya Pak SH Mintardja.., mungkin disengaja agar kisah yang belum selesai itu bisa tersambung dengan baik (adhesif).

Sekilas, perbedaannya adalah gaya penulisan Mbah Man yang lebih dinamis dan kadang melompat-lompat. Pembaca kadang harus menarik lagi ingatannya pada bagian lain (setting lokasi atau waktu) yg telah/pernah dibacanya.
Bahkan di dalam sesi tulisan "perekat" -- yg diberi judul Terusan Api di Bukit Menoreh (TADBM), Mbah Man seperti mengajak pembaca berlari sprint dengan memampatkan cerita dengan mengumpulkan tokoh-tokoh persilatan di dalam sesi kisah yang relatif pendek.
Bagi pembaca karya Pak SH Mintardja yang terbiasa disuguhi sesi yang berlama-lama, mungkin akan merasa ngos-ngosan seperti habis balap lari :))

Mungkin Mbah Man sengaja mempercepat ADBM dg TADBM untuk membuat setting dan ritme baru.. sehingga muncullah Sejengkal Tanah Setetes Darah (STSD) yang juga sangat menarik untuk diikuti dan ditunggu.

Perbadaan berikutnya adalah penyampaian Mbah Man yg sedikit lebih lugas ttg sisipan kawruh keislaman (yang memang menyertai setting waktu dalam cerita tersebut) dengan mulai memunculkan tokoh Sunan, adzan, Masjid Kepatihan dan Masjid di Menoreh, dalam TADBM yang diteruskan dalam STSD.


Sumangga.

Unknown said...

Birowo itu raksasa Pak bkn banteng

Unknown said...

Birowo..bhairawa. Raksasa yang kekuatannya hebat ..perkasa

endri setia said...

Apakah nogososro sabuk inten itu tidak ad sambunganya setelah karebet kembali jadi prajurit ?

Unknown said...

Saya jg mencari cari adakah terusannya cerita stlh karebet kembali ke Demak dan Mahesa Jenar menikah dng Roro Wilis