Thursday, February 16, 2006

Senjata Biologi (Flu burung) , Pembunuh yang menguntungkan Bisnis

Teror flu burung, bagi sebagian kecil orang justru berkah. Layaknya
keping mata uang, ketika satu pihak buntung, yang lain justru mengeruk
untung.

Fenomena itu awalnya dikupas F William Enghdahl, peneliti dari
GlobalResearch, California, AS. Dia membuat tiga tulisan menarik soal
pihak yang diuntungkan di balik serbuan flu burung.

Menurut Enghdahl, segelintir pihak yang diuntungkan itu adalah para
pelaku agrobisnis AS, politikus, sampai para pejabat negara.

Enghdahl memulai tulisannya dengan dua pertanyaan.
Pertama, bagaimana bisa, hanya ada satu perusahaan yang memonopoli
peredaran obat flu burung, Tamiflu, di seluruh dunia ?. Hingga kini,
monopoli dipegang perusahaan patungan AS-Swiis, Roche Holdings.

Pertanyaan kedua, tidakkah aneh bila pemusnahan jutaan unggas ternyata
lebih menyentuh unggas-unggas milik peternak kecil di Asia, dibanding
ternak milik perusahaan peternakan raksasa, terutama milik AS ?.

Kejutan pertama dari Enghdahl diterbitkan Oktober tahun lalu. Judulnya
sensasional, ''Is Avian Influenza Another Pentagon Hoax?'' (Apakah Flu
Burung itu Hanya Gurauan Pentagon ?). Hanya berselang satu bulan, terbit
tulisan keduanya, Bird Flu and Chicken Factory Farms: Profit Bonanza for
US Agribusiness (Flu Burung dan Pabrik Peternakan Ayam: Panen Untung
Buat Agrobisnis AS).

Tulisan ketiga Enghdahl bahkan jauh menusuk . Bird Flu: A Corporate
Bonanza for the Biotech Industry, Tamiflu, Vistide and The Pentagon
Agenda.. (Flu Burung: Panen Untung bagi Perusahaan Industri
Bioteknologi, Tamiflu, Vistide, dan Agenda Pentagon).

Menurut Enghdahl, terlepas dari keampuhan Tamiflu memberantas flu
burung, peredarannya yang dimonopoli Roche terbukti hanya menguntungkan
segelintir pihak. Beberapa di antaranya sangat dikenal publik sebagai
pejabat dan mantan pejabat pemerintahan Amerika Serikat (AS), yakni
mantan menteri pertahanan, Donald H Rumsfeld, dan George P Shultz,
mantan menteri luar negeri.

Tamiflu ditemukan dan dipatenkan pada 1996 oleh sebuah perusahaan
bioteknologi bernama Gilead Sciences Inc. Gilead saat ini terdaftar di
Nasdaq (bursa kedua di AS) dengan kode GILD. ''Kebetulan'' Rummy (sapaan
Donald Rumsfeld) dan George Shultz sempat duduk di jajaran direksi
Gilead. Rummy masih duduk di kursi dirut sampai menjelang ia diangkat
menjadi menteri pertahanan AS pada 2001.

Dalam siaran pers Gilead yang terbit 1997, Rummy duduk di jajaran
direksi perusahaan sejak 1988. Menurut Enghdahl, tahun lalu secara
diam-diam Rummy menambah sahamnya sampai mencapai 18 juta dolar AS. Ada
pun George Shultz, ia dikabarkan meraup untung setidaknya 7 juta dolar
AS dari hasil penjualan saham Gilead, awal tahun lalu. Sejalan dengan
menyebarnya flu burung di berbagai belahan bumi, saham Gilead sejak 2001
terus melejit. Dari posisi tujuh dolar AS per lembar di 2001, November
lalu harganya sampai ke kisaran 50 dolar AS. Saat ini, nilai
kapitalisasi pasar Gilead telah mencapai 22 miliar dolar AS.

Lalu, apa hubungannya Gilead dengan Roche ?. Selidik punya selidik,
ternyata Gilead menyerahkan hak pemasaran dan paten obat-obatannya
(terutama Tamiflu) kepada Hoffman-LaRoche. Dengan begitu, dari setiap
Tamiflu yang dijual Roche, Gilead mendapat bagian 10 persen keuntungan.
Tidak heran, sampai akhir tahun lalu, pendapatan Gilead dari sisi
royalti saja mencapai 219,1 juta dolar AS, meningkat 166 persen dari
2004.

Dominasi Roche terhadap Tamiflu makin tak tertahan. Semester II tahun
lalu, Roche menolak permintaan Kongres AS yang memintanya melepas hak
eksklusif atas Tamiflu untuk diberikan kepada perusahaan farmasi lain.
Alasan penolakan Roche, saat ini flu burung masih menyerang berbagai
penjuru bumi. Menurut Roche, perusahaan farmasi lain tidak dapat
memproduksi Tamiflu dengan kecepatan produksi sebanding Roche.

Di pihak lain, ada lima perusahaan raksasa AS yang bergerak di industri
peternakan ayam. Mereka adalah Tyson Foods, Goldkist Inc, Pilgrim's
Pride, Con Agra Poultry, dan Perdue Farms. Dari kelimanya, Tyson adalah
yang terbesar di dunia, dengan kapasitas produksi 77,5 juta kilogram
daging ayam per pekan.

Anehnya, menurut Enghdahl, kasus flu burung justru tidak muncul dari
perusahaan-perusahaan besar tersebut. Flu burung seolah hanya mau
hinggap di unggas-unggas peternak kecil di Asia.

Terhadap hal ini, Dirut Tyson Foods, Greg Lee, mengatakan industri
peternakan AS sangat berbeda dengan Asia. ''Kami lebih melindungi ternak
kami dari penyakit,'' kata Lee, tahun lalu.

Dalam laporan FAO, sepanjang 2004 lalu, flu burung telah mengimbas Asia.
Akibatnya, Thailand dan Cina bahkan dilarang mengekspor ayam ke luar
negeri. Pada saat yang sama permintaan ayam Asia tentu harus dipenuhi.
Ketika Thailand dan Cina dilarang itulah, perusahaan AS masuk. Jepang
yang rakyatnya doyan ayam, harus mengalihkan impor ke AS.
***

Lebih jauh, virus H5N1 telah memunculkan keganjilan-keganjilan sejak
awal. ''Secara teori, virus ini sebetulnya tak dapat menular ke manusia
karena adanya perbedaan reseptor,'' tutur Kepala Balai Penelitian
Veteriner Bogor, Abdul Adjid, kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Adjid menerangkan unggas memiliki reseptor dengan spesiesifikasi 2,3.
Sementara manusia spesiesifikasinya 2,6. Artinya, secara teori, virus AI
dari unggas tak dapat diterima tubuh manusia akibat perbedaan
spesiesifikasi reseptor.

Virus influenza pada unggas melekat pada slycoprotein yang rantai
oligosaccharide-nya berakhir pada sialic acid 2,3. Berbeda dengan
unggas, kode sialic acid manusia adalah 2,6 yang secara prinsipil
berlainan. Bagaimana virus ini akhirnya dapat menulari manusia ?.

Adjid menduga, ''Kemungkinan ada evolusi spesiesifikasi virus AI dalam
tubuh.'' Menurut dia, virus AI dapat mendekam dalam tubuh manusia meski
tidak membuat tubuh sakit. Tapi di situ, ia memperbanyak diri dan
perlahan-lahan mengalami perubahan spesiesifikasi ke 2,6 lantaran lolos
dari serangan zat antibodi pada tubuh. ''Ia lalu menyerang saat tubuh
sedang lemah. Misalnya dalam keadaan stres,'' terangnya.

Bukan cuma itu. Virus ini juga memiliki 'kecerdasan' unik yang
memungkinkan penularan antarmanusia secara terbatas. Pakar biomolekuler
Universitas Airlangga, Dr drh CA Nidom, menilai virus AI dapat menular
secara efektif pada kelompok manusia yang memiliki kemiripan profil DNA
(deoxyribonucleic acid). Bagi kelompok ini, virus tak harus bermutasi
dulu untuk dapat menular. ''Namun cukup mengalami perubahan struktur
kimiawi sementara (konformasi),'' kata dia.

Artinya, virusnya tetap subtipe H5N1 yang berasal dari unggas. Namun
virus unggas ini dapat sekonyong-konyong mengalami perubahan
spesiesifitas reseptor, sehingga menular antarmanusia. ''Kasus seperti
itu kemungkinan dapat terjadi pada kelompok manusia dengan profil
genetik yang identik,'' tutur dia, beberapa waktu lalu.

Kemiripan profil genetik kemungkinan terdapat pada anggota keluarga
(small cluster) atau suku bangsa tertentu yang secara genotipe mirip.
Inilah alasan mengapa terjadi banyak kasus cluster flu burung di
Indonesia (lima kasus hingga Februari 2006).

Tapi uniknya, kasus cluster hanya terjadi di Indonesia. Apakah ada
kekhasan sifat virus flu burung di Indonesia ?.

CA Nidom termasuk yang percaya hal itu. Riset Nidom memperlihatkan bahwa
virus H5N1 yang kini menyebar di Indonesia cenderung mempunyai sifat
tidak peka terhadap sitokin atau zat antibodi yang dihasilkan tubuh
sebagai mekanisme respons.

Sifat ini, terang Nidom, akan memperburuk derita pasien setelah sang
virus mulai menyerang, karena tubuh diserang dari dua arah. ''Dari si
virus itu sendiri, juga kelebihan sitokin dalam tubuh,'' paparnya.

Sifat antisitokin ini, anehnya, tidak terdapat pada virus H5N1 yang
berasal dari Vietnam atau Thailand.

Secara detail, Nidom menjelaskan ketika virus H5N1 menyerang maka tubuh
mengeluarkan zat antibodi sitokin untuk melawan serangan virus.
Alih-alih menangkalnya, sitokin malah meluber di tubuh lantaran virus
tak teridentifikasi. Akibatnya terjadinya 'badai sitokin' (sitokin
storm) yang merusak organ paru-paru. Sementara sitokin bekerja, virus
terus mereplikasi diri, lalu dengan leluasa merusak sel-sel.
***

Kekalutan melanda distrik Kaduna, di utara Nigeria, sejak pekan lalu.
Lebih dari 150 ribu unggas di kota itu dilaporkan mati dalam tempo
kurang dari sepekan. Tak berselang lama, Kamis (9/2), pemerintah
setempat mengumumkan telah berjangkitnya Avian influenza alias flu
burung di Nigeria. Kantor berita AFP melaporkan dua bocah Kaduna
diboyong ke rumah sakit. Mereka diduga menjadi korban pertama virus flu
burung di negara itu. ''Kedua bocah juga mengalami batuk berdarah,''
tutur seorang pejabat kesehatan Kaduna, akhir pekan lalu.
Batuk berdarah ?. Inilah salah satu perkembangan paling mutakhir kasus
flu burung. ''Diduga ini gejala baru. Dahak disertai darah,'' terang dr
Tjandra Yoga Aditama, spesialis paru-paru, dari Rumah Sakit Persahabatan
Jakarta, Senin (13/2).

Kasus di Nigeria menandai jejak sang virus maut di Benua Afrika. Ini
juga menandakan bahwa virus H5N1 kini telah genap bercokol di tiga
benua: Asia, Eropa, dan Afrika, sejak merebak di Asia Tenggara pada
2003. Sejauh ini cuma Amerika dan Australia yang mengklaim bebas flu
burung.

Namun, bukan cuma sepak terjang virus ini yang pantas dikhawatirkan.
Melainkan gejala-gejala baru yang ditebar sang virus, yang kerap
membingungkan. Jika masa inkubasi dulu cuma tiga hari, kata Tjandra,
kini sudah menjadi antara dua hingga delapan hari. Yang ekstrem malah
bisa sampai 17 hari. ''Namun WHO kini telah menetapkan rata-rata tujuh
hari,'' tambah dia lagi.

Selain itu, virus ini dikabarkan mulai resisten terhadap obat antiviral
(oseltamivir). Riset yang dipublikasikan jurnal terkemuka New England
Journal of Medicine menunjukkan pasien yang diobati oseltamivir cuma 24
persen sembuh. Uniknya, kata Tjandra, pasien yang tak diobati Tamiflu
malah sekitar 25 persen yang sembuh.

Karena itulah saat ini para ahli kini tengah meneliti obat baru flu
burung. Antara lain Veramivir, Zanamivir (IV), Long-acting NA inhibitors
(LANI), Conjugated sialidase, inhibitors- cyanovirin-N, Polymerase
inhibitors siRNA, ribavirin (aerosol/IV/PO), dan Protease inhibitors
Aprotinin.

Menjadi kebal

Dugaan virus H5N1 dapat menjadi resisten terhadap oseltamivir, telah
diramalkan para ahli beberapa tahun lalu. ''Dan kini mulai terbukti,''
tulis Anne Moscona, guru besar Departemen Mikrobiologi, Pediatrik, dan
Imunologi Universitas Cornel, AS, dalam New England Journal of Medicine.
Adalah struktur kimia pada oseltamivir, kata Moscona, yang dapat memicu
perubahan struktur neuraminidase pada virus dan menciptakan kondisi
terjadinya mutasi. Neuraminidase adalah sel-sel penghalang (inhibitor)
pada virus influenza yang sebetulnya dapat berperan sebagai agen
antiviral yang efektif pada manusia.

Bagaimana struktur neuraminidase dapat berubah ?. Riset Moscona
menunjukkan bahwa carboxamide-linked hydrophobic yang terdapat pada
materi kimia oseltamivir terbukti memicu perubahan fundamental pada
ujung rantai glycerol (Neu5Ac2en) pada virus influenza.

Kontaminasi carboxamide ini memicu transformasi neuraminidase menjadi
varian baru, yakni Arg292. Transformasi disertai dengan perubahan
substrat kimia di dalamnya. Substrat kimia ini telah amat berbeda dengan
sebelumnya. Tak sekadar kehilangan fungsi antiviralnya, sebaliknya,
substrat kimia ini malah mendorong terjadinya resistensi.

Molekul-molekul penghambat (inhibitor) lantas meniru substrat alami dari
neuraminidase baru ini, sembari mengikatkan diri pada situs aktif, dan
menelorkan virus baru. Proses ini terjadi berantai pada sel-sel lainnya,
dan memicu lahirnya virus resisten lainnya.

Menurut Moscona, peristiwa kimia ini tidak terjadi pada obat influenza
lain seperti zanamivir. Kata dia, virus H5N1 memang sensitif dan tak
terduga.

Pengetahuan manusia tentang H5N1 sejatinya masih amat terbatas.

Artikel-artikel diatas dikutip dari :
Yang Untung dari Flu Burung & Virus yang Cerdas & Teka-teki Virus Flu
Pembunuh.
Republika, Rabu, 15 Februari 2006.

No comments: