Tuesday, July 26, 2005

SDM IT : Terjebak dalam paradigma tradisional

Ada seorang rekan yang menulis:

>From: Harry Surjadi , wrote:

>Mas Bagus,
>Rasanya bukan hanya perlu penguasaan piranti open source-nya. Saya pikir
>yang paling susah adalah mental dari orang Indonesia. Misalnya, banyak
>peneliti (kalau bicara perguruan tinggi dan lembaga penelitian) "tidak mau"
>berbagi hasil penelitian secara online. Saya bilang tidak mau karena mereka
>sangat ketinggalan dalam menggunakan internet. Coba saja masuk ke website
>mereka.

>Menguasai teknologinya saya pikir lebih mudah dibandingkan mengubah mental
>menjadi mental yang sadar akan pentingnya menguasai teknolog dan
>memanfaatkan teknologi itu.

>Salam,
>Harry Surjadi

>-----------

Sepertinya memang SDM IT kita terlalu sibuk untuk meluangkan sedikit
waktu membangun demi bangsa dan negara, artinya masih berat pada
kepentingan pribadi maupun golongan (atau perusahaan).

Masyarakat IT saat ini juga masih berkutat pada pemikiran tradisional,
dalam konteks teknologi yang dikembangkan saat ini, terutama di bidang
software, karena itu ikut menjadi fundamen dari IT itu sendiri.

Tradisional ini adalah masih pada pemikiran Gates tentang adanya
komputer di setiap rumah, yang akhirnya banyak bertumpu pada sistem
Desktop. Contoh : Windows, KDE, GNOME , dll.

Operating System yang dikembangkan Gates juga belum banyak berubah,
kalau dulu bertumpu pada Interrupt Service Routine, di replace dengan
model Registry, hanya dikembangkan dengan penambahan model profile
keamanan. Model registry ini menghasilkan pemikiran tentang COM.
Selanjutnya dikenal istilah platform, sejak adanya Gosling "Java".
.Net itu sendiri secara layer mesin juga dibangun di atas model COM [
Lihat referensi level 3, tentang CLR]
Sehingga .Net hanya merupakan semacam "perbaikan" dari pemikiran
Gosling, dari model interpreter – byte code menjadi Just In Time
compilation,
Sehingga performanya lebih cepat. Dari model deploy ke multi platform
/ mesin menjadi development multi language karena adanya Microsoft
Intermediate Language. Dari pemikiran object terdistribusi yang
sebelumnya berkomunikasi memakai non 80 port ke 80 port (COM /CORBA ke
SOAP WebService).
Linux juga hanya berkutat untuk mengejar ketinggalannya terhadap
Windows Desktop dengan kecepatan tinggi.

Pertanyaannya adalah mengapa masih berpikir ala Gates ? [Komputer ada
di rumah rumah] Dimana pemikiran ini adalah hanya mempercanggih
komputer di rumah rumah (yaitu komputer desktop). Memang Sudah ada
Layanan layanan di Cyber, tapi masih dengan susah payah dan repot
harus di execute dari rumah rumah ( termasuk kantor tentunya).

Mengapa tidak ada pemikiran untuk pendelegasian pekerjaan, sehingga
terminal terminal tidak perlu canggih. Ingat, saat ini kita masih
harus melakukan pencarian ke internet langsung untuk mencari
informasi, ataupun untuk melakukan auction, pembelian, penjualan. Pada
saat itu harus juga ada orang lain di belahan dunia yang lain atau di
sisi yang lain. Sangat merepotkan proses pekerjaan ini. Padahal kita
telah mengenal apa itu "AGENT".

Mengapa tidak ada / jarang yang berpikir bahwa intelligent agent
tersebut bisa melakukan perkerjaan kita? Mengapa belum ada yang
membangun Platform khusus untuk "AGENT" ?

Cobalah kita membayangkan suatu "AGENT" kita delegasikan pekerjaan
kita, kita kirim lewat terminal sederhana, tidak perlu secanggih
Desktop saat ini, mungkin hanya OS pada Handphone kita. Kita "upload"
AGENT ini untuk berkolaborasi dengan AGENT lainnya, dan bekerja
mewakili kita di Cyber. Selanjutnya kita tinggal menunggu dalam waktu
tertentu. Bukankah hal ini lebih menghemat kita dalam berlayar di duia
maya? Berapa waktu bisa di hemat?

Kita jarang berpikir tentang suatu Platform atau Protokol masa depan,
bahkan bangsa ini hanya menghasilkan sedikit karya protokol, yang
orang jarang mengetahuinya, sehingga pemanfaatannya ke masyarakat luas
kurang. Kita masih mementingkan perut kita sendiri daripada membangun
negeri ini untuk melakukan penelitian, karena biasanya hasil
penelitian hanya untuk memperkaya lembaga atau orang itu. Mengapa
tidak mengambil cara pandang suatu community yang mengatakan
"Knowledge is belong to everyone [ or human being] ?

Lihatlah perkembangan teknologi Microsoft, yang hanya berpikir
tradisional, konputer ada di semua rumah? Atau juga pemikiran jamannya
Marc Andressen – Mosaic, yang hanya berpikir melihat dokumen di dunia
maya dengan tampilan bagus? Atau juga pemikiran tentang object
terdistribusi yang menjadi Layanan – layanan dunia maya?

Ayo bangkitlah SDM IT kita membangun negeri ini dengan terobosan yang
belom dipikirkan Gates [karena Gates itu sebenarnya bisa besar dengan
model kulakannya]. Apakah dengan mengembangkan model mirip community
"Knowledge is belong to everyone" kita masih trauma dengan era
Sosialis jaman 1965, meskipun banyak teori sosialis menentang Karl
Max?

Beratkah untuk mengambangakan sistem yang sama sekali baru ? Jalan
kesana adalah menyakitkan dan membosankan, namun bantulah negeri ini,
bangun bangsa ini untuk mencapai lompatan IT ke masa depan.

Wednesday, July 20, 2005

IGOS, OpenCommunity, OpenResource: Membangun peradaban ICT Indonesia

Proyek IGOS telah lama dicanangkan oleh Kominfo dan telah memulai langkahnya dengan mengeluarkan Waroeng IGOS.
Sebenarnya Indonesia bisa meningkatkan akselerasi pembangunan ICT dengan cara bahu-membahu, mengambil keberhasilan Open Community membangun sistem Linux yang seperti sekarang ini. Sangat jauh berbeda ketika saya mengalami Linux pada tahun 1995 bila dibandingkan dengan kemajuan pesat Linux saat ini.

Apa yang diperlukan untuk membangun lompatan / revolusi ICT Indonesia? Sebagian yang terlintas di benak saya adalah:

1. Masyarakat ICT Indonesia membutuhan tidak hanya Open Source saja, melainkan lebih banyak ke arah Open Resource. Kita dapati di Industri Piranti Lunak istilah: Best Practices.
Berapa banyak waktu yang harus diinvestasikan untuk mempelajari teknologi baru? Kita memerlukan ‘Best practise’ orang-orang yang telah berpengalaman di bidangnya, sehingga kita bisa langsung melanjutkannya.
Banyak di masyarakat kita kesulitan untuk mendapatkan RoadMap / Path yang benar dalam mempelajari teknologi, meskipun Internet telah di ‘gelar’ ,karena memang hasil penelitian bersifat propietary.
Menilik ke konsep bahwa Pengetahuan Milik Semua Orang, kita perlu men-share pengetahuan / hasil penelitian kita, apapun itu, sekecil apapun itu.

Apakah kita khawatir mata pencaharian kita berkurang karena competitor kita mengetahui teknologi yang kita share? Come on ! Kita akan jauh mendapatkan lapangan pekerjaan jika ICT Indonesia melesat. Berapa banyak kebutuhan teknologi di masyarakat, swasta maupun pemerintah bila semuanya sudah ‘melek’ ICT.

Hal lain yang muncul di benak saya adalah bagaimana China membangun jaringan ber bandwith Gigabyte antar Lembaga pendidikan, University.
Mungkin di Indonesia sudah mulai dibangun jaringan antar universitas, tapi itu saya kira masih kurang. Bayangkan jika jaringan antar universitas ini minimal berbandwith 100 Mbps saja. Jika jaringan ini bisa menjadi BackBone network di Indonesia akan sungguh memberikan ke masyarakat perluasan informasi. Sebagian besar penggunaan Internet di masyarakat Indonesia ini adalah interaksi di lingkungan lokal, maka hal terbaik adalah membangun backbone tersebut.

2. Membangun Open Community itu sendiri. Coba kita bayangkan adanya seperti pam swakarsa (keamanan), wajib militer (militer), dokter PTT (kesehatan), bagaimana dengan ICT ini? Mungkin sudah saatnya untuk tiap praktisi ICT menyumbangkan hasil pikirannya.


3. Pemerintah bisa memberikan iklim kondusif untuk men-drive Open Resource, Open community ini. Untuk trigger awal Waroeng IGOES sudah diluncurkan pada event yang cukup tepat. Langkah selanjutnya adalah memfasilitasi membangun Open Research, dimana hal ini pemerintah bisa mendapatkan manfaat langsung, yang bisa berupa pembangunan piranti lunak Open Source untuk kebutuhan pemerintahan, mungkin mirip dengan pemerintah Perancis.

4. Sumber Dana ? Sudah saatnya masyarakat kalangan atas / ‘the have’ , yang mempunyai dana lebih [sesuai konsep ‘survival of the fittest’], daripada hanya mencoba me-loundring money-nya, mengapa tidak kita mulai beramal, membangun negara Indonesia tercinta ini? Cobalah membuat hidup kita berarti dengan tidak hanya menghamburkan-hamburkan dana [sebab konsep uang hanyalah gagasan, kadang dalam suatu perjalanan bisnis, kita tidak tau uang itu pergi kemana, ambil hikmahnya ketika Soros mengambil uang kita, siapa yang merasa kehilangan? Soalnya kita tidk tau kalo uang kita telah dicuri]. Mari kita bangun negara tercinta Ini.

Keuntungan lain dari kita memperkuat Industri ICT ini adalah : kita bisa menjual teknologi kita ini untuk menggantikan jualan kita yang sekarang, BBM [ supaya kita nggak perlu jualan BBM lagi].

Jelas tulisan ini masih banyak memerlukan pertimbangan, ada tanggapan ?

[bagusalfa@gmail.com]

Saturday, July 9, 2005

Siapkah Industri Piranti Lunak Indonesia bersaing?

Indonesia memang sudah banyak / berjamur adanya perusahaan yang
membuat piranti lunak. Sekualitas apakah piranti luak yang dihasilkan
di Indonesia?

Banyak sekali software house yang belum menggunakan metodologi
pengembangan software dengan benar, jarang sekali yang mencapai CMM
level 3, apalagi level 5.

Banyak sekali merupakan 'pejuang' / warrior, semuanya dikerjakan orang
yang sama sekaligus, mulai dari penanganan pelanggan, analysis,
develop, testing, deploy, implement. Kode yang diciptakan semakin lama
menjadi kode bakmi yang semakin musykil untuk dipelihara.

Sehingga persis seperti ungkapan bahwa yang mengetahui Kode itu
cuman ada 2 , yaitu pengembangnya ( si developer) dan Tuhan.


Penggunaan pendekatan dengan ORM, OOP (atau mungkin AOP) yang meliputi
Design pattern / Analysis pattern sangat jarang diterapkan. Bagaimana
dengan Reusabilitas? Dimana hal ini berpengaruh pada Produktifitas dan
efisiensi. Normalisasi Database jarang sampai level 3 apalagi 5.


Dalam hal keamanan banyak sekali pengembang yang teledor, contohnya
yaitu dengan tidak adanya Security Analysis, maka dapat dipastikan
kode yang diciptakan sangat tidak aman, gampang diakali atau dirusak,
masih ditambah dengan kurang dimengertinya In Depth security /
keamanan berlapis. Kebanyakan menggunakan 1 acount untuk akses ke
database dan sebagainya. Tanpa security analysis berarti software
tersebut bolong.

Belum lagi penguasaan Bussiness Rule di pengembang masih jarang
memenuhi syarat ( kada kurang kerjasama dengan konsultan expert di
bidangnya).

Mampukah piranti lunak Indonesia bersaing melawan piranti lunak asing?

--
Alpha Bagus Sunggono
----------------------------------------------------------------------------------
From: Heru Yuwono

Pak Alpha Bagus,

Terimakasih atas infonya, saya sedang baca intro CMM dari
http://www2.umassd.edu/swpi/sei/CMM-Tutorial.pdf dan
http://www2.umassd.edu/swpi/sei/spf.html ... sangat menarik :)

Kemudian saya membayangkan bagaimana mengembangkan sebuah software yang
berkualitas, misalkan mencapai CMM level 5, termasuk semua concern yg Pak
Alpha Bagus utarakan: normalisasi database, security, etc. saya membayangkan
metode pengembangannya seperti berlapis - lapis seperti bawang
merah...lapisan paling luar mungkin CMM, kemudian sebuah SPF, kemudian RUP,
kemudian...apa lagi ya ? Mohon pencerahannya.

Jadi pointnya adalah, dalam opini saya, sebagian besar software company
local kita tidak memiliki metode pengembangan yang memang memenuhi standard
dan sudah baku digunakan, termasuk human resourcenya. Berapa banyak misalkan
Project Manager yg memang berkualifikasi dimiliki oleh suatu software
company ? yg saya tahu ada satu software company besar local memiliki PM yg
berkualifikasi dan bersertifikasi, Cuma ini sebagian kecil. Pengembangan
software mungkin menggunakan metoda yg berbeda tergantung dari banyak hal,
seorang PM tentu lebih mengerti.

Pendidikan ? ya, banyak orang IT dan yg terlibat IT di kita yg memiliki
background pendidikan non-IT, seperti saya, makanya saya tidak tahu apa itu
normalisasi database :) to some degree, ini masalah juga.

Dukungan pemerintah ? ya, ini masalah juga. Pembajakan ? masalah lagi. Apa
lagi ya problemnya ? Kecerdasan ? bukan masalah, sumber daya kita pintar2
kok.

Solusi ? any idea ?

Mohon koreksinya.

Terimakasih.
Heru
-------------------------------------------------------------------------------
From: Muhammad Ichsan

Saya pikir kalo software housenya sudah besar seharusnya mereka punya ahli-ahli yang menguasai aspek2 yang Mas Bagus katakan seperti aspek security, reusability. Dari pengalaman teman saya yg bekerja pada perusahaan IT yang sudah berdiri lebih dari satu negara. Mereka aja masih menggunakan metodologi yang brutal: yang penting kelar.

Software house yang masih kecil mungkin masih sulit untuk menguasai aspek yang luas. Mungkin Mas Bagus punya saran-saran untuk software house yang kecil bagaimana bisa tumbuh bersaing. Saya sendiri menyadari pentingnya sih, tapi memulainya itu sulit. Kadang kita merasa yang penting klien puas dan hanya kita serta Tuhan yang tau.
-------------------------------------------------------------------------------

From: Kasim W

saya rasa pengembang piranti lunak di indonesia mampu bersaing ke luar negeri, yang terkenal di jakarta saja banyak seperti MII, asaba, inforsys, balicamp, mitrais, mitrasoft, plasmedia, excelsoft, jatis, aaj-integrasi, intimedia, rata-rata sepengetahuan saya, mereka menghasilkan produk software yang berkualitas tinggi, dapat digolongkan kedalam CMM level 4 bahkan level 5.

biasanya setelah produk sudah jadi atau hampir jadi, si business analyst biasanya minta banyak perubahan dan penambahan, sehingga lama-lama software yang sebetulnya sudah rapi tersebut menjadi diacak-acak gara-gara banyak perubahan atas permintaan business analyst, kalau sudah seperti ini siapa yang patut dimintai pertanggung jawaban? si developer? si project manajer? ataukah si business analyst? atau business analyst sendiri yang tidak tahu metodologi pengembangan software (SDLC) tapi tidak tahu implementasi yang benar, sehingga developer akhirnya menganggap business analyst sebagai pengacau saja, celakanya business analyst menimpakan kesalahan kepada project manajer dan developer, project manajer tidak mau terima lalu menimpakan kesalahan kepada developer, akhirnya yang paling dirugikan itu adalah developer, sudah cape-cape buat akhirnya tidak dipakai atau dipakai cuma sebentar lalu di scratch alias di buang ke recycle bin, kalau seperti ini terus lama-lama developer berpikir "mendingan saya buat ala kadarnya saja, toh nanti diminta ubah ini-itu, nanti kalau saya buat bagus-bagus yang cape saya sendiri karena buang enerji, buang waktu namun hasilnya engga sepadan dan business analyst juga tidak komentar apapun sebagus apapun yang saya buat, ngapain coba bikin mata jadi sembab lihatin monitor terus untuk coding selama 24 jam tanpa ada hasil", lebih parahnya lagi developer berpikir seperti ini "dari pada saya jalan di tempat, mendingan saya interview di tempat lain" nah lho kalo muncul pikiran seperti ini, software house akan ditinggalkan oleh developernya. apa kesalahannya? kesalahannya karena proses di dalam life cycle development itu sendiri yang menyebabkan turunnya produktifitas developer akibat salah action dari atasan developer.

jadi menurut saya, software yang dihasilkan sebetulnya berkualitas namun karena adanya proses yang tidak benar sehingga mengurangi kualitas software tersebut. saya rasa di negara-negara lain juga keadaannya sama seperti di indonesia.

------------------------------------------------------------------------------------
From: Kasim W

Bung Ichsan,

yang Bung Ichsan katakan itu benar sekali, banyak vendor yang menganut prinsip "yang penting kelar", yang penting client bayar saya penuh, saya sarankan kalau rekan-rekan developer temukan software house semacam itu lebih baik tinggalkan segera karena rekan-rekan tidak mendapatkan apapun yang menjadikan prestasi buat rekan-rekan dalam berkarya buat company itu, kerja maximal namun hasil minimal tidak sesuai yg diharapkan. belum lagi software house itu hanya mengejar keuntungan namun tidak melakukan pendidikan pada stafnya, misalnya utk developer bagaimana melakukan coding dgn teknik oo yg lebih baik, utk sistem analyst bagaimana melakukan user requirement gathering dengan benar, utk business analyst bagaimana melakukan pendekatan bisnis dari sudut mata IT development, utk project manajer bagaimana memanajemen proyeknya dengan baik tanpa semata-mata dgn entengnya menyuruh developernya lembur karena deadlinenya sudah tight tanpa memikirkan alternatif yang lebih baik padahal schedule yang dia buat tersebut tidak realistis, sehingga developer tidak menganggap project manajer sebagai tukang mandor belaka, yang setiap hari/minggu cuma tanya "sampai sejauh mana progressnya?", "kenapa masih belum kelar?", "kalau begitu lembur yah", "kapan kelarnya? sore ini ya!" wah kalau ketemu project manajer seperti ini, saya juga bisa menjadi project manajer.
Tapi biasanya project manajer yang seperti ini yang disukai oleh boss.
satu hal hal, boss tahunya semua urusan selesai, untuk apa saya menghire kamu menjadi karyawan saya, kalau memastikan project pasti kelar sama kamu tidak sanggup lebih baik kamu keluar saja dari company saya, saya sudah bayar kamu mahal lho, masih banyak orang yang ngantri di belakang kamu yang lebih qualified dari kamu.. begitu kira-kira pikiran boss.
-----------------------------------------------------------------------------------

From: Tahir Tahang

Memang tidak mudah untuk sampai ke sana, karena kita ada di lingkungan yang
serba berkekurangan. Kita sangat kekurangan dalam hal developer yang bermutu
serta waktu dan biaya pengembangan yang tersedia, coba dihitung2 berapa
minimal jumlah orang yang harus dilibatkan dalam sebuah proses yang memenuhi
persyaratan CMM level 3 apalagi level 5, belum lagi waktu dan biayanya.
Di sini kita cenderung untuk menyelesaikan sesuatu secara tergesa2, bahkan
untuk berpikirpun kadang tidak ada waktu. Belum lagi lulusan2 baru dari
institusi pendidikan secara umum tidak cukup siap untuk diserap di industri
pengembangan software karena kurikulum mereka berjalan sangat jauh
ketinggalan dari kebutuhan pasar. Apa yang bisa kita lakukan untuk meninjau
kembali dan menyegarkan kurikulim ini? atau biarlah semuanya diserahkan
kembali ke masing2 institusi pendidikan yang jumlahnya sekian banyak tsb?
lalu bagaimana menyetarakan dan mengukur tingkat keahlian mereka kalau
kurikulumnya sangat jauh dari seragam?
Kemudian di industri, para developer dituntut untuk mencari ilmunya sendiri,
kadang tanpa dukungan dari perusahaan mereka, bahkan developer tools untuk
masing2 developer aja belum tentu disediakan (dengal legal). Kalau ikut
kursus pun kadang harus bayar sendiri.
Karena itu kita perlu saling membantu dalam "belajar dengan mudah dan
terjangkau", supaya di suatu masa nanti kita pun mampu bersaing, baik skill
maupun produk2 yang kita hasilkan. Dari komunitas pengembang piranti lunak
berbasis .Net, INDC, kita mencoba untuk sharing dan saling mengupdate
melalui beberapa kegiatan dan hasil karya komunitas untuk komunitas. Kita
berusaha meningkatkan taraf keahlian para "tukang program" menjadi "software
engineer". Buat rekan2 yang sudah banyak terlibat ataupun baru belajar dalam
pengembangan piranti lunak terutama yang berbasis .Net, silahkan bergabung
dan mari kita saling membantu dan belajar bersama.
INDC menyediakan:
arsip mailing list di http://dotnet.netindonesia.net
ada blogs dari para .net developers di http://blogs.netindonesia.net
dan ada e-books gratis berbahasa indonesia karya komunitas di
http://otak.csharpindonesia.net

Memang belum maksimal tapi ada baiknya kalau kita mencoba apa yang kita bisa
dalam batas kemampuan kita.


Salam dan selamat berkarya,

Tahir Tahang
INDC
www.netindonesia.net
---------------------------------------------------------------------------------
From: Frans Thamura

>
> Banyak sekali software house yang belum menggunakan metodologi
> pengembangan software dengan benar, jarang sekali yang mencapai CMM
> level 3, apalagi level 5.
>
dari pada mikirin CMM Level :) yang saya sendiri lagi belajar, dan perlu
dana tambahan untuk membuatnya, apalagi ngikutin stepnya.

contoh saja perusahaan perusahaan yang bisa bersaing secara global,
tetapi gak pakai CMM.

CMM setahu saya untuk yang mau ambil project outsourcing bukan buat
teknologi di export.

Tumpuannya simple, kreatifitas dan baseline skill.

dengan modal SCJP + Kreatifitas sudah ideal sepertinya.

kalau sales sudah naik, baru deh mikirin di CMM kan.


Beberapa yang saya dapatkan mungkin bisa jadi acuan, saya sendiri lagi
cari tahu apakah mereka CMM.

1. Atlassian
2. Limewire
3. GlueCode


Frans
----------------------------------------------------------------------------------
From: Irwan Effendi

Jawaban saya:

Saat ini belum
Mudah-mudahan dengan diadakannya Open System Research Center, yang
pada pembahasan terakhir dijadikan Open System Research and
Development Center, kita bisa meningkatkan KUALITAS piranti lunak dan
memulai industri piranti keras di bidang high tech.

Sementara itu, untuk model kerja, sudah dibicarakan bahwa kita akan
mencontoh dari IETF (www.IETF.org), tetapi fokusnya adalah ke
practical application, bukan core standard. Yang akan dicontoh adalah
prosedur pembakuan dan pendataan progressnya (sistim standarisasi RFC)

salam,

Irwan Effendi
----------------------------------------------------------------------------------

From: Made Wiryana for Mailing List

On Sun, 3 Jul 2005, Tahir Tahang wrote:

> untuk berpikirpun kadang tidak ada waktu. Belum lagi lulusan2 baru dari
> institusi pendidikan secara umum tidak cukup siap untuk diserap di industri
> pengembangan software karena kurikulum mereka berjalan sangat jauh
> ketinggalan dari kebutuhan pasar. Apa yang bisa kita lakukan untuk meninjau
> kembali dan menyegarkan kurikulim ini? atau biarlah semuanya diserahkan
> kembali ke masing2 institusi pendidikan yang jumlahnya sekian banyak tsb?
> lalu bagaimana menyetarakan dan mengukur tingkat keahlian mereka kalau
> kurikulumnya sangat jauh dari seragam?

Menurut saya jangan "karena nafsu siap pakai" akhirnya kurikulum hanya
dipenuhi oleh hal-hal praktis yg lagi trend. Sehingga ilmu dasar dan
pengetahuan basic malah diabaikan.

Saat ini malah terkesan kita sangat minim sekali penguasaan ilmu dasar,
tapi malah lebih ngotot belajar yg praktis-praktis saja. Ndak heran ndak
bisa melompat soalnya nggak mau jonkok dulu :-)

Tanpa pengetahuan dasar akhirnya hanya "gumun" dengan produk teknologi
saja. Saya bicara pada level pendidikan tinggi.

IMW
----------------------------------------------------------------------------------
From: Budi Rahardjo

Silahkan baca tulisan saya mengenai Pengelolaan Pusat Penelitian di
http://budi.paume.itb.ac.id/articles

Kalau kesulitan mengambil filenya, nanti saya simpan di tempat lain.
Link ke kampus biasanya agak lambat

----------------------------------------------------------------------------------

From: "Sutjahyo Budiman"
To: "'Djarot Subiantoro'"
Date: Mon, 4 Jul 2005 16:43:48 +0800
Subject: RE: [Telematika] Siapkah Industri Piranti Lunak Indonesia bersaing?

Pak,

Saya rasa issues yang dilontarkan sporadis. Mending dibuat lebih structured:
1. Kesiapan dari sisi market
- Market dalam negeri
- Market luar negeri
- Customer perception mengenai produk Indonesia
- Roadmap India yang sudah 20 tahunan di industri ini (how we can learn to speed up)

2. Kesiapan dari sisi internal perusahaan
- Kemauan untuk menjadi international standard
- Kemauan dan KEMAMPUAN untuk memperbaiki proses sesuai standard yang ada di dunia
- Kemauan untuk fokus pada teknologi yang dianut oleh dunia international

3. Kesiapan dari sisi human resource
- Bagaimana membuat matang programmers kita secara teknikal
- Bagaimana membuat matang programmers kita secara non teknical (communication, english, negotiation)

4. Kesiapan dari sisi tools (hardware dan software)
- Investasi untuk hardware masih tinggi
- Investasi untuk software masih tinggi (atau ambil yang bajakan?)

5. Dukungan dari sisi pemerintahan
- Dukungan dari segi knowledge enhancement
- Dukungan secara bisnis

1 - 5 itu challenges kita semua. Tapi ini tidak berarti kita tidak bisa. Karena semua negara pasti mengalami hal yang sama. Kok mereka (ada yang) bisa? So pasti ada jalan. Kalau ga salah sih Pak:

1. India:
- Kelebihan mereka banyak orang India di negara2 maju dan mereka bisa bahasa Inggris
- Pioneer2 di India menjadi raja di dalam Negeri baru ke Luar Negeri
2. Eropa Timur dan Eropa Utara (skandinavia)
- Dari sebelum jaman booming software outsourcing, udah banyak orang2 dari Eropa Timur dan Eropa Utara yang ngetop
- Mereka akhirnya hanya tampil sebagai individual, ga pernah as company yang ngetop

Kayaknya sih ujung2-nya adalah marketnya mau terima atau ngga. Mungkin kalau Indonesia bisa dikiblatkan ke Negara2 Islam yang secara natural masih mau accept kita sebagai IT (benefit) provider, dibanding negara2 maju yang selalu membandingkan kita dengan India, Philipines, Ireland, dll...

Cahyo

----------------------------------------------------------------------------------
From: Made Wiryana for Mailing List
On Mon, 4 Jul 2005, Djarot Subiantoro wrote:

> Saya post komentar dari kolega saya yang bergerak di
> SW Development Services.
> Note: forwarded message attached.
>

> bisa? So pasti ada jalan. Kalau ga salah sih Pak:

>1. India:
>- Kelebihan mereka banyak orang India di negara2 maju dan mereka bisa
>bahasa Inggris
>- Pioneer2 di India menjadi raja di dalam Negeri baru ke Luar Negeri

>2. Eropa Timur dan Eropa Utara (skandinavia)
>- Dari sebelum jaman booming software outsourcing, udah banyak orang2
>dari
>Eropa Timur dan Eropa Utara yang ngetop
>- Mereka akhirnya hanya tampil sebagai individual, ga pernah as company
>yang ngetop

Kebetulan negara-negara ini (India dan Eropa Timur) punya 1 kesamaan
(Eropa Timur biasanya bahasa Inggrisnya ndak bagus). Kesamaan mereka
adalah penguasaan ilmu dasar seperti matematika dan logik sangat bagus.

Jadi kesimpulannya kembali ke ilmu dasar yg makin terlupakan :-) karena
tergeser nafsu mengejar pengetahuan praktis

IMW

----------------------------------------------------------------------------------

From: Frans Thamura

> Menurut saya jangan "karena nafsu siap pakai" akhirnya kurikulum hanya
> dipenuhi oleh hal-hal praktis yg lagi trend. Sehingga ilmu dasar dan
> pengetahuan basic malah diabaikan.

setuju, dan akhirnya negara kita masuk kedalam sebuah mekanisme pasar
"pengguna" sehingga bukan hanya menjadikan kita semua sapi perahan,
tetapi juga sapi yang dicocok hidungnya.

jadi harus dibuat trend tipe orang yang bukan pakai tetapi buat.

tetapi caranya gimana agara ini bisa direalisasikan. the market said
"ngapain buat kalau ada yang bisa dipake?"

Frans
----------------------------------------------------------------------------------