Friday, June 3, 2005

Ada artikel bagus dari temen neh.............

KELEMBUTAN

Seorang teman saya terkenal punya sifat emosional. Semasa kuliah dulu, ia
memiliki julukan sumbu pendek. Berkali-kali kami ikut berkelahi hanya
gara-gara membela dirinya. Belum lama ini, ketika berjumpa kembali
dengannya, saya melihat perkembangan luar biasa. Ia jauh dari kesan
emosional. Suaranya perlahan, tertata, dengan kesabaran dalam. Saya dan
teman-teman mendesak dirinya untuk bercerita.

Alkisah, usai kuliah ia jatuh cinta pada seorang gadis Jawa dari keluarga
terpandang. Sistem pendidikan di keluarga ini keras sekali, sehingga si
gadis Jawa itu halus dan sabar luar biasa. Teman saya menganggap gadis
Jawa ini serba lelet. Entah kenapa, Tuhan punya rencana sendiri. Mereka
menikah juga, di Eropa, ketika keduanya kuliah pascasarjana.
Selama 10 tahun menikah, mereka terombang-ambing prahara. Maklum, teman
saya itu ketika kuliah terkenal sebagai playboy. Namun, perkawinan itu
selamat hingga kini. Teman saya ahirnya berubah. Kini, ia dikenal sebagai
pemimpin penyabar, juga arif dan bijaksana.
Ia menyebut ilmu istrinya sebagai manajemen kelembutan. Teman-teman yang
mendengar cerita ini terharu, dan manggut-manggut. Ceritanya memang luar
biasa: bagaimana kelembutan bisa mengubah perilaku.

Saya ingat ajaran klasik Cina dari I Ching.

Intinya, bila alirannya tertahan, air akan berhenti sejenak, menambah
volumenya, akhirnya meluber melewati rintangan. Barangkali inilah yang
diperlukan Presiden Amerika, George Bush, agar mau sadar dan menyurutkan
niatnya berperang melawan Irak.

Manajemen kelembutan memang unik. Saya ingat ajaran mentor saya, Mahatma
Gandhi, tentang ahimsa, yaitu cinta dan damai. Gandhi percaya, ahimsa
dapat merangkul siapa saja, kekuatannya dahsyat tanpa batas.

Kita mungkin sukar percaya bahwa sesuatu yang lemah dan lentur mampu
mengalahkan yang keras. Sebab, sejak kecil secara fisik kita diajari:
hanya benda keras seperti palu dan martil yang bisa memecahkan batu dan
tembok.

Kekuatan ahimsa secara filosofis adalah pada pandangan bahwa tak semua
musuh harus ditumpas. Ahimsa menawarkan alternatif, daripada menghancurkan
musuh, lebih baik merangkulnya dengan cinta dan damai.

Teman saya bercerita, ketika pertama kali istrinya tahu ia berselingkuh,
sang istri memperlihatkan lebih banyak cinta dan damai. Mulanya ia
senang-senang saja, menganggapnya bodoh dan lemah. Lama-lama ia malu
sendiri. Akhirnya ia sadar, yang sesungguhnya bodoh dan lemah adalah
dirinya sendiri.
Ia lalu menerapkan manajemen kelembutan di kantor. Anak buahnya, dan para
stafnya, awalnya kaget. Kalau biasanya ia memarahi staf yang berbuat
salah, kini ia berbalik mengajarkan di mana letak kesalahan itu, dan
menjelaskan hal yang benar. Ia tak menjadi palu atau martil yang
menghancurkan. Anak buah dan para stafnya pun senang karena mereka belajar
banyak dari kesalahan yang mereka perbuat. Yang paling ajaib adalah
terciptanya budaya malu. Perlahan tapi pasti, manajemen kelembutan itu
menunjukkan hasil yang jitu.

Suasana kantor juga menjadi baik. Politik kantor menurun. Gosip makin
hilang. Produktivitas pun ikut tumbuh dengan sehat. Kami bisa melihat
hasilnya pada teman saya yang berubah 180 derajat. Hanya saja, perlu
diingat, manajemen kelembutan bukan berarti kita menjadi plin-plan dan
tidak tegas. Buktinya adalah Gandhi sendiri yang tetap tegas dan konsisten
menjalankan ahimsa, walau harus membayar mahal dengan nyawanya.

Ketika Gandhi akhirnya tertembak mati pada 25 Januari 1948, Albert
Einstein berkomentar: di masa-masa mendatang, generasi penerus kita akan
sulit percaya bahwa pernah ada manusia seperti Gandhi.

-wisa-

 Posted by Hello

No comments: